32. Taktik Ibu
Weda melipat bibir mendapati wajah menggemaskan Galoeh saat ia menggandeng gadis itu masuk ke kamar. Malam ini, Weda merasa aura kecantikan Galoeh menguar. Sebagai laki-laki normal jelas saja naluri alaminya tersentil saat melihat sorot sayu yang dipancarkan Galoeh. Seandainya Galoeh tak terlihat ketakutan seperti tikus yang terpojok, maka bisa jadi Weda akan kalap melahap gadis yang selalu membuatnya tak bisa bersikap manis karena selalu membuatnya kelabakan.
Weda mendekat menghampiri Galoeh. Tapi gadis itu justru beringsut ke belakang hingga badannya sekarang bersandar pada lemari. Kepala Galoeh berpaling ke kanan, menghindari tatapan Weda. “Mas, e-eling ….”
“Eling apa? Kamu istriku.” Suara Weda serak dihimpit dorongan darah yang mendidih. Weda tahu yang diminumnya bukan sembarang minuman. Kata Romo Danoe, Ibu Lastri sengaja membelikan ramuan di toko obat China untuk menambah stamina Weda agar bisa memberi nafkah batin yang memuaskan Galoeh. Namun, sepertinya Ibu Lastri tahu yang terbaik untuknya. Kalau tidak dalam pengaruh ramuan itu, tentu Weda tak akan senekat itu.
“Ki-kita hanya menikah di atas kertas.” Wajah Galoeh tampak pucat. Seputih tembok kamar.
Weda membungkuk, mengikis jarak menuju ke leher kiri. Ia memejamkan mata, menghirup dalam-dalam aroma feminin yang menguar dari tubuh gadis berusia dua puluh tahun ini. “Terus …”
“Sa-saya ….”
Seketika gelak tawa Weda mengudara, menepis gejolak naluri purba. Galoeh seperti mangsa empuk yang terjebak. Weda pun layaknya predator kelaparan yang siap memangsa, saat hasratnya yang tertidur menggeliat. Tak pernah matanya semelek ini melihat perempuan. Tak pernah ia ingin berada sedekat ini dengan seorang gadis.
“Ayo, kita tidur.” Pada akhirnya Weda memilih tidur. Ia tahu Galoeh pasti tak mau melakukannya hanya karena dorongan hasrat purba yang tiba-tiba terjaga. Ia pun paham kekhawatiran Galoeh yang tak mau disentuh. Pernikahan ini bagi Galoeh hanya pura-pura saja dan tadi pagi juga Raka mengatakan akan mengambil Galoeh sebelum pergerakan akan dilaksanakan dan memeringatkan dirinya agar tidak menyentuh Galoeh.
Saat mereka berdua sudah berbaring, Weda memutar tubuhnya miring menghadap Galoeh. “Loeh, sudah tidur?”
Galoeh yang berbaring terlentang, menjawab dengan dehaman. Matanya masih terpejam, tapi Weda tahu gadis itu mendengarkannya. Weda kemudian melipat tangannya ke atas untuk dijadikan sandaran kepala. “Loeh, akan ada peristiwa yang lebih menyakitkan ketika aku nanti berjuang agar negeri ini bisa merdeka.”
“Semenyakitkan apa?” Mata berbulu lentik itu akhirnya terbuka.
“Kamu … bisa mengulangi tragedi keluargamu. Kamu bisa saja dicap keluarga pemberontak lagi.”
“Ah, hanya itu. Sepertinya saya sudah mati rasa.” Galoeh mengembuskan napas panjang. “Tapi, bisakah Mas Weda berjanji?”
“Apa?” Alis Weda mengernyit.
“Mas Weda jangan sampai terluka. Ehm?” Galoeh berbaring miring. Mereka bersirobok pandang dalam pencahayaan remang-remang lampu dian.
“Aku janji. Aku akan pulang dengan selamat. Jadi, kamu juga harus manut ndak akan membuat masalah.”
Hati Galoeh teriris. Nyeri. Apakah bagi Weda, ia adalah sumber masalah? Galoeh paham sekali sepak terjang Harti yang sangat membantu dalam usaha pergerakan mereka. Dan sepertinya peran Harti dalam pergerakan itu pun cukup besar. Lagi-lagi Galoeh merasa rendah diri. Ia tak layak bersanding dengan laki-laki yang kini memandangnya tajam.
Mengingat percakapan Weda, Harti, dan Mbok Tarni sekilas tadi pagi, batin Galoeh rasanya kembali tercubit. Ia meremas kuat selimut yang menyelubungi tubuh untuk meredam nyeri di hati karena sepertinya sudah waktunya ia harus menyingkir dari kehidupan Weda dan mengembalikan kebahagiaan Weda dan Harti.
“Aku ndak sabar negeri ini merdeka. Jika itu terjadi, nanti kamu bisa bebas meraih cita-cita.” Weda kembali membuka suara.
“Cita-cita?” Galoeh kembali memosisikan tubuhnya terlentang. “Saya … sudah hampir melupakannya.”
“Kenapa? Bukannya kamu pengin jadi dokter?” Weda menatap sorot sendu Galoeh yang bimbang.
“Apa saya masih bisa bermimpi?” kata Galoeh lirih. Mimpi itu benar-benar terpendam setelah apa yang terjadi dalam hidupnya.
“Bisa. Dengan punya mimpi, kita punya semangat untuk mewujudkan semuanya.”
Weda menyisir rambut Galoeh yang tergerai sambil tersenyum tipis. Ia meraih tangan kanan Galoeh yang menumpu di perut gadis itu dan mengusap lembut punggung tangannya. “Ibuku yang menyebabkan ini semua. Kamu malah terkungkung dengan predikat istri.”
Galoeh menatap sendu laki-laki berahang tegas itu. “Awalnya begitu. Tapi, apa yang Ibu lakukan juga demi keselamatan saya. Sewaktu saya datang lagi ke sini, saya sudah ikhlas dengan takdir saya untuk menjadi istri Mas Weda.”
“Loeh, aku ndak bisa menjanjikan kebahagiaan untuk kamu. Perjuanganku dengan teman-teman penuh risiko. Aku takut kamu terluka.” Weda menggenggam erat tangannya. “Seperti tadi. Kamu melihat aku membawamu ke tempat Harti, tapi apa kamu tahu kenapa aku membawamu ke sana?”
Gadis itu menjawab. “Menemui Mas Raka?”
“Ya … karena di sana tempat yang aman kamu bisa bertemu sepupumu. Walau sebenarnya ndak seharusnya kamu mendengar apa yang kami rundingkan.” Weda mengecup buku jari Galoeh. “Besok akan ada hal yang ndak bisa aku katakan karena terkait rahasia pergerakan dan karena aku ndak mau melibatkanmu. Apa kamu sanggup?”
Galoeh masih terdiam. Sepertinya kesanggupan itu tak diperlukan karena ia akan pergi. Namun, gadis itu mengangguk saja.
“Yang jelas, apa yang kamu lihat dan dengar, belum tentu yang terjadi,” ucap Weda tegas. “Yo wes, ayo tidur. Besok aku harus kembali bertemu Mas Raka.” Weda lalu memutar badannya terlentang dan kemudian memejamkan mata.
Pada akhirnya sepanjang malam Galoeh tak bisa terlelap karena ucapan Weda yang tak mau melibatkannya, sementara Harti tampak memiliki andil dan menjadi mitra yang sepadan untuk Weda. Sepertinya kali ini ia harus benar-benar pergi dan mengikuti saran Raka. Padahal baru kali ini ia merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun, secepat itu hati Galoeh langsung terluka. Ia tak menyangka, rasa nyerinya menyesakkan dada.
Gara-gara semalaman terjaga, wajah Galoeh terlihat kusut. Ia hanya diam saja saat Ibu Lastri berceloteh panjang lebar saat mereka sarapan. Bahkan ia tak menyimak apa yang sedang mereka bicarakan.
“Loeh, kamu ditanya Ibu.” Weda menyikutnya.
Galoeh terkesiap. Lamunannya buyar seketika. “Ya?” Kedua alis Galoeh terangkat.
“Nduk, beberapa hari lagi kalian mau pemberkatan. Karena sedang musim paceklik, kami ndak bisa memberikan syukuran selayaknya. Paling hanya ingkung saja dan membuat tumpeng nasi jagung. Piye?” tanya Ibu Lastri dengan wajah berbinar meminta pendapat.
Galoeh tak tega melihat ekspresi senang mertuanya. Besok Galoeh akan pergi dan ia memprediksi Ibu Lastri akan sangat kecewa padanya karena telah datang dan pergi sesuka hati.
“Loeh, didangu Ibu ki lho (ditanya Ibu ini lho).” Weda menyenggol lagi.
“Terserah Ibu saja. Saya manut.” Hati Galoeh getir ketika lidahnya menyembunyikan sesuatu. Namun, memang ini yang terbaik. Ia harus pergi karena tak ingin menjadi ganjalan bagi Weda dan Harti dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri dan cinta mereka.
Waktu yang diberikan Raka hampir lewat. Ini hari terakhirnya di Soerakarta dan ia harus mengajukan surat pengunduran diri karena ia yakin tak akan kembali ke Sekolah Rakjat ini. Setelah lonceng tanda pulang selesai, ia pun berdiri untuk mendapatkan salam terakhir dari para muridnya.
“Djono,” panggil Galoeh ketika anak-anak sudah berhambur pulang.
Djono mendekat, menghampiri Galoeh. “Ada apa, Sensei?”
“Le, besok Sensei ndak bisa datang. Tolong berikan ini pada Imin Sensei.”
Djono mengernyit memandangi tulisan dalam huruf tegak bersambung itu. “Sensei mau ke mana?”
“Sensei ada perlu.”
“Ke Magelang lagi?” tanya Djono dengan pandangan menyelisik.
“Mungkin.” Galoeh mengangkat bahu. Ia memang tak tahu ke mana Raka akan membawanya. “Selama Sensei ndak ada, kamu tetap harus belajar dan sekolah dengan rajin ya?”
“Sensei ndak kembali?” Djono mencium ketidak beresan. Anak itu begitu peka sehingga susah dibohongi.
Galoeh tersenyum lalu menata rambut jagung Djono yang kering. “Djon, Mbak pengin kamu bisa jadi orang sukses. Janji?” Galoeh mengacungkan kelingkingnya.
“Mbak …?” Suara Djono bergetar.
“Sst …” Galoeh berdesis dengan telunjuk kiri diletakkan di depan bibir yang mengerucut. “Jangan bilang-bilang ya.”
Djono menatap nanar ke araha Galoeh dan kemudian mengaitkan kelingkingnya ke jari sang guru. Galoeh tersenyum bangga tapi juga sedih. Djono satu-satunya anak yang berjuang keras belajar dan bekerja. Ia tak ingin anak cerdas itu gagal.
Ketika Galoeh keluar dari kelas setelah kelas sepi, dari kejauhan ia melihat Souta keluar dari kelas. Galoeh pun berjalan cepat menghampiri.
“Sato-Sensei!” Galoeh memanggil dengan nada riang untuk menutupi kegundahannya.
Yang dipanggil menoleh saat ia keluar dari kelas. Beberapa hari ini ia memang terlihat tak masuk untuk mengajar karena sepertinya ada banyak urusan penting yang ia tangani di markas Kempetai.
Galoeh mendekat dan dalam jarak dua langkah ia membungkuk dalam seperti tata cara orang Jepang ketika berterima kasih. “Arigatou. Terima kasih sudah menyelamatkan saya dulu. Dan terima kasih sudah memberi saya kesempatan untuk sekolah lagi. Tapi, saya sudah memutuskan untuk ndak sekolah lagi,” kata Galoeh sembari menegakkan tubuh.
“Kenapa?”
“Ya, ada banyak pertimbangan.” Galoeh tersenyum lebar sambil meremas buku yang dia peluk.
Keputusan Galoeh sudah bulat. Besok ia akan pergi dan ia harus meletakkan semua impian dan cintanya. Sebelum ia menapaki dunia baru, malam ini ia akan membuat kenangan terindah yang tak akan Weda lupakan.
Sebelum pulang, Galoeh menyempatkan diri berbelanja. Ia hanya membeli tempe dan beberapa sayuran untuk dibuat jangan lodeh berharap agar bisa menangkal kesialan sewaktu Weda sedang berjuang. Dengan kemampuan ala kadarnya yang sedikit meningkat karena ia semakin sering mengerjakan pekerjaan dapur, Galoeh meracik bumbu lodeh yang berupa bawang merah, bawang putih, kemiri yang sudah disangrai dan sedikit terasi. Setidaknya walau ia tak belajar lagi di Ika Daigaku untuk menulis resep obat, kini ia sedikit menguasai resep makanan dan bagaimana cara meracik dengan komposisi yang pas sehingga perpaduan rempah, garam, dan gula, bisa menghasilkan rasa yang nikmat.
Tak lama kemudian, kuah santan bergolak di dalam periuk yang ada di atas tungku pawon. Galoeh mencoba mencicipi dengan mengambil sedikit kuah di ujung irus batok kelapa dan meneteskannya di pangkal telapak tangan. Setelah mencecap, ia tersenyum bangga pada dirinya karena masakannya kali ini lebih nikmat dari pada sebelumnya. Setidaknya Galoeh senang karena di saat terakhirnya, ia bisa menyajikan makanan yang sedikit bisa memanjakan lidah.
Baru saja Galoeh memindah periuk tanah liat ke tungku tanpa api, suara ketukan terdengar. Rupanya Ibu Lastri datang, membawakan sesuatu yang tertinggal.
“Kalian lupa membawa ramuannya,” kata wanita itu masuk sambil menatap ke sekeliling dan mengangguk-angguk senang karena Galoeh pandai mengatur rumah.
Galoeh mengerjap. Ia sengaja tak membawa minuman itu karena efeknya yang begitu mengerikan. Sepanjang malam tubuhnya kegerahan dan saat baru bisa terlelap, tidurnya dihiasi bunga mimpi erotis.
“Nduk, jujur saja. Ramuan ini untuk kalian supaya harmonis.” Ibu Lastri bergegas ke dapur dan mengambil teko tanah liat untuk merebus dua ramuannya. Satu untuk Galoeh dan satu untuk Weda. “Piye efeknya kemarin?”
Namun, Galoeh hanya bisa menggeleng.
“Loh, kok ndak ada pengaruhnya? Kemarin Baba Jie cerita ramuan ini sangat berkhasiat.” Ibu Lastri mengernyit heran.
“Bu, Mas Weda itu … hanya menganggap saya sahabat Tika saja. Mau berkhasiat apa ndak, ya ndak akan ada hasil yang Ibu harapkan.”
“Sebentar … sebentar ….” Ibu Lastri menarik Galoeh duduk di balai-balai kecil yang ada di pawon. “Jangan bilang kalau Weda belum menyentuhmu?”
Rasanya Galoeh seperti ingin meleleh ditelan bumi. Galoeh menunduk. Pipinya merah karena pertanyaan Ibu Lastri yang bersifat pribadi.
Ibu Lastri terkekeh. “Duh Gusti, Weda, Weda! Dia ini bikin gregetan saja Masih saja kikuk walau ada perempuan yang sudah resmi jadi istrinya.” Wanita menggeleng-geleng geli.
Bukan karena kikuk. Weda tidak menjamahnya karena masih mencintai Harti dan Galoeh pun enggan dijamah hanya karena kewajiban.
“Nduk, kamu harus maklum ya? Weda itu terlalu lama sekolah di Kolese Xaverius yang semuanya laki-laki. Dari kecil, juga bareng Gala terus. Jadi, wajar kalau dia ndak peka sama perasaan perempuan.” Ibu Lastri meraih tangan Galoeh. “Ibu percaya, Weda masih normal. Jadi, tugas kita perempuan harus bisa menyenangkan suami. Dalam hal apapun termasuk di kasur. Mau setinggi apapun cita-cita perempuan, tetap saja kita akan menjadi istri yang melayani suami. Jadi, kalau Weda canggung, ndak pa-pa kalau kamu yang berinisiatif.”
Gadis itu hanya membisu. Kedua tangannya saling menautkan jari gelisah dalam genggaman Ibu Lastri. Bagaimana bisa ia berinisiatif untuk menyerahkan kesuciannya pada laki-laki yang akan ia tinggalkan?
Air yang bergolak berhasil menjeda percakapan menantu mertua yang membuat Galoeh tak nyaman. Galoeh pikir, ia bisa bernapas lega. Tapi nyatanya, setelah Ibu meniriskan ramuan pertama dalam sebuah gelas, wanita itu kemudian menyerahkan pada Galoeh.
“Yo wes, ayo, diminum dulu mumpung hangat.”
Galoeh meringis, ingin menampik cairan itu. “Nanti saja, Bu.” Galoeh tetap berusaha menolak.
“Lebih enak kalau hangat. Ndak terasa pait.”
Mau tak mau, Galoeh meneguk kembali minuman itu. Ia tak ingin mengecewakan mertuanya untuk yang terakhir kali. Sepertinya tak masalah kalau hanya ia yang meminum ramuan ini. Walau Ibu Lastri sedang membuatkan minuman untuk Weda, Galoeh yakin, bila Weda tak meminumnya, semua akan baik-baik saja.
Sayangnya Ibu Lastri tak kunjung pulang. Beliau berbicara panjang lebar tentang kiat-kiat menyenangkan suami. Mulai memberi saran untuk memperbaiki rasa lodehnya, dan juga tentang memberi nasihat tentang apa yang harus dilakukan di ranjang yang membuat pipi Galoeh merona seperti kepiting rebus. Ia hanya mengangguk saja, sambil tangannya menarikan benang dan jarum untuk menyulam bunga melati di salah satu ujung sapu tangan Weda.
“Kalau kamu melakukannya, kamu bakal disayang suamimu, Nduk.” Ibu Lastri mengelus lembut pipi menantunya.
Pembicaraan itu berlanjut hingga hari menjelang gelap. Mendengar suara decit rem sepeda, Galoeh tahu Weda telah datang. Dalam hati ia merutuk kenapa suaminya itu datang lebih cepat dari biasanya sehingga ia bertemu Ibu Lastri. Padahal Galoeh berniat membuang ramuan itu agar tak diminum Weda. Mengetahui Weda datang, Ibu Lastri dan Galoeh beranjak dari duduk untuk menyambut laki-laki itu. Seperti biasa Galoeh akan membukakan pintu, memberi salam dan mencium punggung tangannya serta mengambil alih tas Weda.
“Ibu kok di sini?” Weda keheranan mendapati ibunya ada di situ. Ia lalu menyalami sambil mencium tangan ibunya.
“Opo ndak boleh ngunjungi rumah anaknya sendiri?” Ibu Lastri mencibir. Ia lalu bergegas ke ruang tengah untuk mengambil gelas yang berisi ramuan yang sudah disiapkannya sejak siang tadi. “Ini diminum.”
Weda melongo. Ia melirik ke arah Galoeh yang baru keluar dari kamar setelah meletakkan tasnya. “Ini … yang kemarin?” Weda menunjuk dengan pandangan ngeri.
“Ya apa lagi? Ayo, gih minum. Habis ini, Ibu mau pulang. Selak surup.”
“Nanti saja, Bu. Masih panas.” Weda berkelit mencari alasan.
Namun, alibinya kurang jitu. Ibu Lastri menarik tangan Weda dan menempelkan ke permukaan dinding gelas. “Alesan! Mana ada panas? Ayo, ndang dihabiskan!”
Weda melirik Galoeh, saat gelas itu terangkat. Tanpa daya menolak, ia pun langsung meminumnya sampai tandas.. Sementara itu, buru-buru Galoeh memberikan potongan gula merah untuk menetralisir rasanya.
Ibu tersenyum puas. “Ramuan ini ndak akan pernah gagal, Mas. Kamu harus bisa memberikan nafkah batin yang memuaskan untuk istrimu. Ibu tunggu kabar baiknya. Dan kamu, Nduk, tugasmu adalah melayani suamimu dengan baik. Pastikan suamimu kenyang lahir batin.”
Weda dan Galoeh saling melempar pandang. Terselip ketakutan dalam diri Galoeh bila ucapan Ibu Lastri benar adanya. Sekarang saja, Galoeh merasakan tubuhnya panas dan gelisah. Ia berpikir efek ramuan kemarin yang belum hilang semakin terakumulasi dengan pengaruh ramuan yang sudah ia teguk habis tadi. Bagaimana kalau ia dan Weda tak bisa mengendalikan diri dan disetir oleh nafsu belaka? Namun, Galoeh hanya mengangguk saja.
“Ingat nasihat Ibu, ya, Nduk.” Ibu Lastri mengingatkan kembali percakapan dewasanya siang tadi.
“Nasihat apa, Bu?” tanya Weda dengan pandangan ingin tahu.
“Pokok’e! Nanti kamu akan berterima kasih sama ibumu ini.” Ibu Lastri tersenyum penuh arti sembari menepuk pundak putranya.
Setelah mengantar kepulangan Ibu, keduanya masih berdiri di halaman depan, menatap dokar yang membawa wanita yang enerjik itu. Weda lalu berdeham memecah kebisuan mereka. “Loeh, habis makan, aku … balik ke markas ya?”
Galoeh menoleh, menatap Weda dengan gugup. Malam ini adalah malam terakhir Galoeh ada di sini. Tapi kenapa Weda justru kembali ke markas.
“Ada acara apa, Mas?”
Jakun Weda naik turun. “Njagani (Jaga-jaga).”
“Njagani?” Galoeh tak paham.
Weda mendengkus lalu memutar tubuh masuk begitu saja. Sepertinya Weda enggan menceritakan padanya.
“Njagani apa, Mas?” Galoeh membuntuti Weda setelah ia menutup pintu depan. Namun, tiba-tiba Weda berhenti di tengah jalan sehingga Galoeh menubruknya. Ia mengambil jarak satu langkah ke belakang sementara Weda menoleh ke arahnya.
“Njagani kalau ramuan itu benar-benar bekerja.” Wajah Weda sudah merah padam. “Semalam … mengerikan ….”
Susah payah Galoeh menelan ludahnya. Ia paham, pengaruh ramuan itu begitu besar pada tubuh. Seolah minuman tadi mampu menguarkan feromon yang memikat lawan jenis mendekat. Seperti kali ini, hanya menatap Weda saja dada Galoeh kembang kempis. Namun, apakah malam terakhirnya hanya akan berakhir dengan kesendirian?
💕Dee_ane💕
Partnya panjanggggggg banget.
Puas kan? Makanya jangan lupa buat klik bintang dan tinggalin komentar kalian. Jumpa lagi minggu depan😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top