31. Ramuan Keluarga Yu
Malam itu merupakan malam yang panjang bagi Galoeh. Pembicaraan Weda dan teman-temannya bersama Raka yang hendak mengadakan pemberontakan, terdengar menjemukan bagi Galoeh. Apalagi ia tidak bisa mengikuti percakapan mereka dan harus juga disuguhi pemandangan Weda yang terlihat selalu meminta pendapat Harti. Ia seperti ‘pupuk bawang’ yang tidak diperhitungkan, tidak diajak bicara apalagi diminta saran sehingga ia memilih duduk di sudut ruang tengah yang remang-remang dengan pencahayaan dian. Seolah orang-orang yang lebih dewasa di sana sengaja tidak memperhitungkannya karena menganggapnya masih ‘hijau’.
“Loeh …” Sentuhan di pundaknya membuat Galoeh gelagapan. Posisi tidurnya yang duduk selonjor bersandar tembok membuat ia seolah kembali ke masa pelariannya dari Magelang ke Soerakarta yang selalu tidur dalam keadaan waspada. Namun, ia seketika lega saat melihat Weda ketika membuka mata.
“Kamu kenapa? Kamu ngigau.”
Galoeh berusaha mengumpulkan nyawanya. Ia melirik ke arah empat orang laki-laki dewasa dan Harti yang menatapnya.
“Dik Galoeh tidur saja di kamar saya.” Harti kemudian menghampiri mereka.
“Ndak usah, Mbak. Saya tidur di sini saja.”
“Pakai ini.” Entah sejak kapan Weda mengenakan jaket. Kini lelaki itu melepas baju luarnya dan menyelubungkan di tubuh Galoeh. Weda benar-benar memperlakukan dia seperti anak kecil.
Pembicaraan para pemuda dan pemudi itu akhirnya berakhir menjelang tengah malam. Walau dua jam terakhir Galoeh terlihat memejamkan mata, ia sebenarnya mendengarkan dengan detail rencana-rencana pergerakan yang menurutnya sangat berbahaya. Dari yang Galoeh tangkap, Raka sanggup mengusahakan bantuan senjata dari jaringan yang ia punya tanpa imbalan.
Begitu percakapan selesai, Weda kembali membangunkannya. Tapi Galoeh enggan beristirahat di kamar dan memilih bercakap-cakap dengan Raka untuk melepas kerinduannya.
“Aku mau ngobrol sama Mas Raka, Mas.” Galoeh sengaja menolak.
Weda tak bisa melarang dan lebih memaklumi sehingga membiarkan Galoeh menghampiri Raka.
“Kamu ndak tidur?” Raka mengambil gelas lalu menyesapnya.
“Mas, rencana yang kalian bicarakan menurutku berbahaya,” ungkap Galoeh pada akhirnya.
Raka mengembuskan napas panjang sambil meletakkan gelas belimbing yang hanya tersisa ampas kopi hitam. “Tidak ada pergerakan bawah tanah yang tidak berbahaya. Makanya kami sengaja tidak mengikutkanmu.”
Galoeh menunduk, memainkan jarinya. Ia sangat paham perkataan Raka karena ia mengalami sendiri. Tuduhan yang ditujukan oleh Romo Tjokro pun sebenarnya benar karena romonya juga merupakan penyokong dana bagi kelompok yang dipimpin Raka.
“Loeh, sebaiknya kamu ikut aku. Aku harus menyembunyikan kamu dulu sebelum pemberontakan itu benar-benar dilaksanakan.” Raka mencelupkan ujung rokoknya pada ampas kopi sebelum akhirnya membakarnya.
Alih-alih menjawab, Galoeh merebut batang kretek itu. “Cukup, Mas. Sudah terlalu banyak Mas ngrokok.”
Raka mendengkus. “Kamu mirip Keinan.” Laki-laki itu kemudian menyandarkan kepalanya di tembok lembab. “Jadi, kamu mau ikut aku?”
Galoeh kembali membisu, menatap Weda yang masih bercakap dengan Irawan dan Harti. “Apa perlu?” Susah payah ia menelan ludah sendiri.
“Weda itu … kekasihnya Harti bukan?” Raka melirik Galoeh.
“Mas tahu ternyata …” Galoeh tersenyum miris, menyembunyikan nyeri di hati setiap teringat kenyataan itu.
“Ibunya … Mbok Tarni masih menganggap demikian. Dan Harti mengatakan dia belum memberitahu ibunya karena ibunya sedang sakit.” Raka menjeda ucapannya. “Aku sekarang justru lebih takut kalau kamu patah hati.”
Galoeh menyikut Raka. “Patah hati? Mana ada?” Galoeh terkekeh sumbang. Ia pun tahu resikonya ketika hatinya bergetar bila berdekatan dengan Weda.
“Jelas-jelas kamu suka sama Weda. Wong dari tadi kamu lihat dia terus.” Raka mendengkus sambil menarik bibir miring.
Galoeh berdeham, memalingkan muka untuk menyembunyikan pipi yang memerah. Apakah perasaannya begitu mudah terbaca? “Ngawur! Lagian ya, Mas, aku masih pengin melanjutkan sekolahku yang terbengkalai.”
Raka mengernyit. “Tapi, kamu sudah dicap sebagai anak pemberontak.”
“Souta Sato mau membantuku. Bagaimana menurut, Mas?”
Mata Raka membeliak lebar. “Souta Sato? Kamu gila? Bisa-bisa dia hanya menjebak kamu dengan iming-iming itu dan akhirnya kamu berakhir di rumah bordil!”
Hati Galoeh teriris. Ia hampir melupakan kenyataan bahwa Souta Sato tetaplah orang Jepang yang harus diwaspadai, hanya karena Souta pernah menolongnya dan Souta selalu menunjukkan perhatian yang tulus kepadanya. Ketika Souta memberi tahu kemungkinan ia bisa sekolah lagi, Galoeh pun sempat mempertimbangkannya.
“Aku akan bicara pada Weda.” Raka memutuskan sendiri untuk mengakhiri pembicaraan itu. “Ayo, istirahat.”
Keesokan harinya, saat membuka kelopak matanya, Galoeh mendapati kelambu putih yang mengelilinginya. Suasana remang kini berganti terang karena sorot matahari yang menembus di celah-celah tirai kamar. Seingat Galoeh, semalam ia tidur bersandar di pundak Raka, tapi rupanya Raka memindahkannya ke kamar itu.
Galoeh buru-buru menegakkan tubuhnya di ranjang. Ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar yang ia yakini kamar itu milik Harti karena terdapat gaun yang tergantung di kapstok dan wangi parfum yang melekat di tubuh dokter perempuan itu, begitu mendominasi ruangan itu. Galoeh mengalihkan pandangan ke permukaan kasur bersprei biru muda. Terselip pertanyaan apakah Weda pernah berbaring di ranjang ini dan memadu kasih dengan Harti. Yang menarik perhatian, di atas meja terdapat pesawat radio yang setahu Galoeh hanya beberapa orang saja yang mempunyai.
Tak ingin terlalu banyak berprasangka, Galoeh akhirnya bangun dan bergegas ke luar kamar. Tapi Weda tidak ada di ruang tengah. Ia lalu melangkah ke pawon dan mendengar percakapan antara Weda, Harti, dan Mbok Tarni.
“Rencananya mau kapan?” tanya Mbok Tarni sambil mengupas ubi untuk direbus dengan gula merah.
Alis Galoeh mengernyit. Rencana apa yang dimaksud Mbok Tarni? Galoeh kembali menguping pembicaraan mereka.
“Sebentar lagi, Mbok. Makanya Simbok siap-siap saja mulai sekarang.” Harti kemudian yang menjawab.
“Kamu sudah beritahu keluarga Kamuan, Nduk?” Mbok Tarni terdengar khawatir.
“Simbok tenang saja. Saya sudah bicarakan sama Romo dan Romo berkara sudah secepatnya saja dilakukan.”
Raut cerah Mbok Tarni tergurat di wajah. “Ya, wes. Pasti kalian sudah membicarakan dengan matang karena banyak yang harus Simbok siapkan.”
PIkiran buruk mulai menyusup. Mengingat pembicaraan dengan Mbok Tarni kemarin, Galoeh semakin yakin kalau Mbok Tarni pasti menanyakan rencana hubungan Weda dan Harti ke depannya.
Banyak yang dipersiapkan? Batin Galoeh semakin meradang. Ia berbalik begitu saja tak ingin mendengar lagi pembicaraan yang membuat darahnya mendidih. Hatinya melontarkan sumpah serapah kenapa bisa ia bermain hati pada laki-laki yang sudah punya kekasih. Seharusnya Galoeh bisa menjaga hatinya agar tidak tertarik pada pria dewasa yang jelas-jelas akan membuatnya patah hati. Tapi kenapa Weda memintanya untuk melakukan pemberkatan pernikahan?
Galoeh menggeleng, Kini Galoeh sangsi dengan niat Weda yang sebenarnya. Kalau memang masih menyukai Harti, tidak seharusnya ia mengikuti perintah Ibu Lastri. Sepertinya Galoeh harus benar-benar mengikuti saran Raka untuk mengikutinya menyingkir dari Sala. Namun, sebelum ia pergi dari kehidupan Weda, setidaknya ia meminta waktu pada Raka agar ia bisa mengukir kenangan yang akan ia ingat seumur hidupnya.
Galoeh akhirnya menghampiri Raka yang sedang memastikan kudanya makan rumput dan minum air sebelum melakukan perjalanan ke Ungaran. Karena harus menempuh jalan setapak, alih-alih jalan utama, maka Raka memang menggunakan kuda sebagai alat transportasinya.
“Mas, aku mau ikut Mas Raka.” Galoeh menggigit bibir menjeda kalimatnya. “Tapi beri aku waktu dua hari.”
“Kenapa harus dua hari?” tanya Raka sambil menepuk kudanya di halaman samping.
“Ada yang mau aku lakukan,” ujarnya pelan, sambil melirik ke arah pawon yang ada di belakang rumah. “Lagipula rencana kalian masih lama bukan?”
“Jangan aneh-aneh.” Raka mendekati Galoeh. Ia membungkuk, menyetarakan wajahnya dengan gadis itu. “Aku dengar Weda belum menjamahmu, itu artinya hatinya memang untuk Harti.”
“Da-dari mana Mas tahu?”
“Gala. Sahabatnya itu menggoda Weda terus.”
Galoeh berdecak. Pantas saja Tika menghindari Gala. Orangnya sama menyebalkan dengan Weda.
“Jadi, sebaiknya kamu mundur karena ndak seharusnya kamu berada di sini. Selama aku hidup, akulah yang akan melindungimu. Itulah pesan Paklik Tjokro.”
“Aku paham. Mas Raka tenang saja.” Galoeh meyakinkan sepupunya
“Sebaiknya kita pergi sebelum pemberkatanmu. Mengerti?” tandas Raka dengan mata menyipit. “Dan, sebelum itu, jangan pernah kalian berbuat aneh-aneh! Jangan terikat!”
***
Sesuai rencana semula, Weda mengajak Galoeh pulang ke Lawejan untuk mengambil sepedanya. Alih-alih langsung pulang, Ibu Lastri meminta mereka menginap semalam di rumah itu. Mau tidak mau, mereka menurut karena dama sekali tak bisa mengelak.
Seperti kebiasaan keluarga itu, mereka akan berkumpul untuk makan bersama. Malam ini, Ibu Lastri sengaja membuat lodeh terong hasil panenan kebun di belakang rumah dengan lauk gereh peda dan sambal. Di sela-sela mereka makan, Mbok Mi datang membawa baki dengan dua gelas cairan hitam seperti kopi di atasnya.
“Oh, ya, mumpung ingat, kapan lalu Ibu ke Pasar Gede mampir ke tokonya Baba Jie.” Ibu Lastri mulai berbicara. “Katanya itu resep Tiongkok warisan dari keluarga Yu secara turun-temurun untuk kesehatan.”
Galoeh menatap curiga gelas itu lalu beralih ke Weda yang menunjukkan reaksi yang sama sepertinya.
“Ayo, gih, diminum. Ndak semua dapat ramuan ini lho.” Senyuman Ibu Lastri penuh arti, menyuruh anak dan mantunya meminum larutan yang lebih mirip kopi. “Minggu depan, kalian akan benar-benar resmi menjadi suami istri. Ibu ndak sabar lagi menggendong cucu.”
Galoeh melirik ke arah Tika yang terkikik menahan tawa. Sampai-sampai berulang kali Ibu Lastri harus memperingatkan anak bungsunya. “Kenapa, Dik? Apa omongan Ibu salah?”
“Ibu ini … belum apa-apa sudah mikir cucu.” Romo Danoe hanya mengeleng-geleng saja melihat tingkah istrinya. Mungkin hanya di keluarga ini, perempuan bisa bebas berbicara.
“Melangsungkan keturunan itu ibadah, lho, Mo.” Seperti biasa Ibu Lastri enggan didebat. “Ayo, gih diminum.”
Dengan terpaksa akhirnya Weda dan Galoeh sama-sama mengangkat gelas. Namun, sebelum meneguknya Galoeh ragu dan meminta pertimbangan Weda melalui sorot matanya. Gerakan dagu Weda, menitahkan Galoeh untuk ikut meneguk cairan hitam itu. Galoeh menghidu sekilas. Aroma racikan bahan herbal china itu begitu kuat. Namun, tetap saja ia terpaksa meminumnya dengan menahan napas agar cairan itu bisa terdorong ke lambungnya karena sangat pait.
Weda yang sudah menghabiskan lebih dulu kemudian memberikan bongkahan gula merah pada Galoeh untuk menetralkan rasanya. Gadis itu bergidik dengan rasanya. Minuman apa yang diberikan ibu mertuanya?
“Habis itu. Kalian istirahat saja. Biar Mbok Mi yang beres-beres.” Ibu tersenyum puas. “Oh, ya, jangan lupa ramuannya dibawa untuk lanjut diminum besok sore.”
Selepas makan malam, alih-alih masuk kamar, Galoeh bergegas ke kamar Tika untuk menanyakan minuman apa yang diberikan Ibu Lastri.
“Buat Mas Weda obat kuat, buat kamu semacam sari rapet. Biar keset. Yang jelas, dua-duanya untuk kesuburan dan meningkatkan libido.” Tawa Tika meledak.
“Obat kuat? Sari rapet?” Galoeh mengerjap. Seketika ia ingin memuntahkan apa yang ia minum.
“Wajar to, pasutri minum begitu. Biar lengket macam perangko.” Tika tetap saja menggodanya.
“Ora lucu!” Galoeh ngeri sendiri. Bagaimana bila obat itu bereaksi dan membuat sesuatu di luar kendali nalarnya? Galoeh takut melakukan kesalahan akibat mengikuti naluri alaminya. Belum lagi pesan Ibu Lastri yang menginginkan punya cucu. Memang membuat cucu seperti membuat tembikar? Sekarang buat, beberapa hari lagi jadi. Mana mungkin Galoeh mau disetubuhi Weda ketika nyata-nyata Weda tidak menginginkannya. Kalau pun mereka sudah resmi diberkati, Galoeh juga masih berpikir dua kali. “Tik, aku bobok sama kamu ya?”
“Ndak!” Tangan Tika menyilang di depan mukanya. “Tidurmu pecicilan. Sudah sana ngeloni masku! Pecicilan berdua.” Tika menarik Galoeh dan mendorongnya keluar kamar.
Galoeh berusaha meronta tapi tetap saja tenaganya kurang kuat. Ketika ia terdorong ke luar, seketika itu juga pintu kamar Tika tertutup kasar.
“Tik!” Galoeh mengetuk pintu dengan nada memelas. “Janji aku bobok di bawah.”
“Ndak! Keloni saja masku!” Teriakan Tika dari dalam itu begitu keras hingga tak hanya didengar Galoeh tapi juga Weda yang baru saja keluar dari omah njero.
“Loeh ….” Weda berdiri dalam jarak dua langkah dari Galoeh yang masih meminta dikasihani Tika.
Galoeh terlonjak. Ia menoleh dan seketika mengerjap. Kenapa malam ini Weda terlihat lain? Apalagi ketika angin berembus, tubuh Weda seolah menguarkan feromon maskulin hingga menimbulkan debaran yang tak bisa ia cegah.
“Kamu … sedang apa?” Suara serak itu terlontar dari bibir merah yang pernah menyapa bibirnya.
“Saya mau … tidur sama Tika.”
Alis Weda mengerut. “Tapi Tika suruh kamu ngeloni aku?”
“Mas Weda ini loh!” Galoeh memunggungi Weda menyembunyikan pipi merahnya. Bisa-bisanya Weda berkata seperti itu?
“Ayo, Loeh. Bobok. Aku pengin kelonan.”
Napas Galoeh tercekat. Ia meremas gaunnya erat. Kenapa Weda berkata aneh seperti itu? Apakah reaksi obatnya mulai bekerja?
💕Dee_ane💕
Udah hari Senin lagi. Biar semangat kerja, Galoeh dan Weda mau nemenin kalian. Btw, di KK udah banyak partnya. Jangan lupa kasih banyaaakkk jejak cinta.
Makaci, makaci ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top