3. Calon Istri?
Tanpa sadar Galoeh membalas rangkulan Weda seolah enggan melepasnya. Ia tahu, bila seseorang ditangkap Kempetai, bisa jadi ia akan pulang dalam keadaan remuk atau tak bernyawa. “Mas, jangan pergi.” Galoeh terisak.
Weda menepuk punggung Galoeh dan mengecup pucuk kepala gadis itu seperti yang dilakukan Romo Tjokro saat Ibu Marti gelisah. “Sudah. Kamu tenang saja.” Weda mengurai pelukan kuat Galoeh. Senyumannya mengembang di wajah tirus dengan alis lebat itu.
Laki-laki itu lantas berkata, “Baik, saya akan ikut Sato-Shoi ke markas. Silakan dinikmati dulu tehnya.” Weda ikut mengambil cangkir dan menyesapnya.
Sementara itu, Galoeh semakin merasa bersalah. Seandainya dia tak ke rumah ini, tentunya ia tak perlu mencelakakan keluarga yang begitu baik menerimanya. Sampai-sampai demi melindunginya Ibu Lastri mengakui Galoeh sebagai anak mantunya.
Begitu percakapan basa-basi selesai, dua laki-laki itu bangkit. Sekali lagi, Galoeh menggapai tangan Weda dan mencengkeramnya kuat. Weda pun menoleh dan melempar lengkungan senyum yang mencabik hatinya.
“Mas, jangan … biar aku.”
“Nduk, sudah. Manuto.” Ibu Lastri merangkul dan menarik Galoeh sementara Weda melepaskan diri dari cengkeraman gadis itu.
Isakan Galoeh semakin keras ketika kaki Weda mulai melangkah menjauh. Ia tak bisa melakukan apapun selain menangis di pelukan Ibu Lastri sambil mengantar kepergiaan Weda.
Bak suaminya, Weda melambaikan tangan ketika mobil memutar arah, sambil mengembangkan senyum.
Galoeh meronta, dan berlari mengejar mobil yang rodanya berputar makin cepat menggilas halaman berumput. “Mas Weda!” Ia berseru hingga urat di lehernya menonjol.
“Tunggu aku di rumah!” Dan sedetik kemudian, mobil itu menghilang ketika berbelok dan perlahan derunya pun lenyap ditelan keheningan.
“Nduk!” Ibu Lastri menghampiri Galoeh, kembali memeluknya.
Galoeh sesenggukan, tak bisa berkata-kata. Bukan ini yang ia mau. Ia terlalu egois tetap tinggal di sini. Seandainya ia jujur, tentu peristiwa ini tak akan terjadi. Weda tak akan pulang. Ia tak akan mengantar ke depan hingga bertemu dengan perwira Kempetai itu.
“Bu, Mas Weda bagaimana? Harusnya saya yang dibawa.”
“Sudah … semua akan baik-baik saja.” Ibu Lastri mengelus punggung Galoeh seolah ingin mengusir kecemasannya. Walau dari bibir tak berucap, Galoeh tahu Ibu Lastri pasti lebih khawatir akan keselamatan sang putra.
***
Akhirnya Galoeh bisa tenang setelah beristirahat di kamar tamu di gandok kanan. Di sampingnya ada Tika yang masih setia menemaninya.
“Kamu sudah baikan, Loeh?” Tika membantu Galoeh untuk menegakkan tubuh.
“Mas Weda?” Galoeh celingak-celinguk.
“Mas Weda belum balik dari markas Kempetai. Kamu tenang saja. Semua bakal baik-baik saja.” Sepertinya Tika sudah mengetahui semuanya dari Ibu Lastri.
Galoeh menunduk dengan bahu yang kembali bergetar. “Ndak seharusnya aku ke sini. Aku sudah melibatkan kalian.”
Kartika meraih tangan Galoeh dan mengelus punggung tangannya. “Kamu tahu, dulu … sewaktu romoku harus berpindah-pindah mengabdi untuk mengatasi wabah pes dan kholera di berbagai daerah, keluargamu mau menampungku. Jadi, sudah selayaknya kami juga menampungmu.”
“Tapi kondisiku lain. Dulu Romo Danoe adalah pahlawan penyelamat rakyat yang terkena wabah. Lha aku ...”
“Romo Tjokro juga pahlawan. Beliau pasti sampai masuk daftar hitam Kempetai karena memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Bukan sekedar menyimpan beras saja.” Tika tersenyum sambil mengusap pipi Galoeh. “Lagi pula aku kaget mendengar cerita Ibu yang mengatakan kalau Mas Weda ikut mengakui kamu calon istrinya. Padahal setahuku, Mas Weda itu kekasihnya Mbak Harti.”
Galoeh membeliak lebar menanggapi Tika. “Masmu punya kekasih?”
“Iya. Tapi, Ibu ndak setuju. Mbak Harti itu anak selir priyayi.”
Galoeh menatap nanar sahabatnya. “Gara-gara itu masmu terjebak dalam kebohongan Ibu,” sanggah Galoeh. Ia sungguh tak mau membebani keluarga ini yang terpaksa menerimanya sebagai mantu. Awalnya Galoeh memang menolak usul Ibu Lastri. Namun, ketika melihat Weda kelabakan mencari alasan menutupi kebohongan, mau tidak mau ia harus berani maju. Tanpa tahu Weda punya kekasih karena Ibu berkata seolah-olah Weda susah berinteraksi dengan perempuan.
“Aku jadi ndak enak sama masmu.”
“Ndak usah ndak enak. Lagian ati-ati, nanti kamu bisa-bisa suka sama masku,” kata Tika sambil tersenyum nakal.
“Suka?” Selama ini yang ada di pikiran Galoeh hanya belajar, belajar, dan belajar agar bisa menjadi dokter.
“Masku ngganteng loh,” kata Tika.
“Tapi dia masmu, Tik. Seperti kamu nganggep Mas Galih seperti masmu sendiri, aku juga mikir gitu. Lagian dia sudah punya kekasih,” jawab Galoeh jujur. Ia memang hanya merasa nyaman saja dengan Weda seperti bertemu kembali kakak laki-lakinya yang sudah tiada.
“Betul juga. Kita sudah seperti keluarga.” Tika manggut-manggut. “Yang penting sekarang, kita berdoa saja semoga hasil sidang hari ini bisa membebaskan Romo dari jeratan hukuman.”
Galoeh juga berharap demikian. Ia ingin semua kembali seperti sedia kala sehingga bisa kembali mengejar cita-citanya menjadi dokter dan keluarga ini juga tidak akan terkena imbasnya.
Namun, hingga malam tiba, Weda belum tiba di rumah. Kecemasan Galoeh semakin tak terbendung. Kedua orang tua Weda dan Tika pun juga tak kalah khawatir. Hingga jam dinding di ruang tamu berdentang delapan kali yang menjadi batas jam malam yang ditetapkan, batang hidung Weda belum tampak.
“Sebaiknya kita tidur. Weda akan baik-baik saja.”
“Tapi, Mo. Mas Weda sedang diinterogasi di markas Kempetai. Bagaimana kalau dia disiksa?” Kecemasan Ibu Lastri tak bisa disembunyikan dari raut wajahnya.
“Lha ini kan karena….” Ucapan Romo Danoe terjeda mendapati Galoeh di samping kanan istrinya. “Sudah … dia pasti bisa bertahan. Seperti Ibu ndak kenal Weda saja? Bukankah dia selalu cari masalah sejak sekolah dan bisa mengatasinya?” Romo Danoe berusaha menenangkan.
“Tapi iki Kempetai loh, Mo?” Ibu Lastri mendengkus pelan. Rasa penyesalan dalam nada suara Ibu Lastri. “Ibu pikir, semua akan baik-baik saja kalau mengakui Galoeh sebagai istri Weda. Ibu anggap Galoeh akan terbebas karena dianggap masuk ke keluarga kita,” ujar Ibu Lastri dengan sesenggukan.
“Romo tahu Ibu kepepet. Ibu terlalu polos. Naif. Ndak segampang itu membohongi Kempetai. Kepala intel pula.” Suara berat Romo Danoe menggelegar. “Romo tadi sudah mengirim pesan ke Manggala untuk disebar ke seluruh anggota PETA. Romo yakin, Sato Setan itu akan mencari beberapa saksi. Masalahnya, Romo juga yakin Sato itu tahu Weda punya kekasih.”
“Itu dia. Tuan Sato juga sepertinya menyadari hal itu.” Ibu Lastri bergumam.
“Tapi sebenarnya Ibu juga salah. Weda sudah punya kekasih. Kenapa Ibu malah bilang Galoeh istri Weda?” komentar Romo Danoe.
“Romo ini! Romo sudah tahu Ibu ndak merestui mereka. Bobot, bibit, bebetnya—”
Romo berdeham keras menjeda ucapan Ibu Lastri. Wanita berusia empat puluh delapan tahunan itu mencebik sambil melirik tak senang.
“Romo, maafkan saya karena sudah melibatkan keluarga ini. Besok saya akan ke markas—”
“Nduk, untuk sementara jangan berbuat macam-macam. Salah langkah sedikit, semua bisa menjadi kacau. Sekarang kita tunggu saja kabar selanjutnya. Baik dari romomu dan Weda.” Romo Danoe tampak tenang di saat ketiga perempuan di depannya tak bisa menyembunyikan kecemasan mereka.
Ibu berdecak. “Bagaimana kalau thole kenapa-napa?”
“Ibu ini ndak usah cemas. Kita berdoa saja semoga semua aman terkendali.”
“Bagaimana ndak cemas? Wong anak lanang cuma satu kok malah dibawa Kempetai.” Ibu Lastri berdiri dan sekarang berjalan hilir mudik seperti setrikaan arang.
“Lha terus, bagaimana sama nasib Galoeh, Mo?” Tika menyambung.
“Tenang saja. Galoeh bakal baik-baik saja. Tuduhan itu ndak berdasar,” ujar Romo Danoe. “Selama Romo Tjokro dibebaskan dari tuduhan, berarti Galoeh bebas.”
Percakapan itu menggelitik batin Galoeh. Gara-gara Galoeh, Romo Danoe dan istrinya jadi adu mulut. Keselamatan keluarga ini pun terancam. Dan, Weda yang punya kekasih terpaksa mengakui ia sebagai istri.
Walaupun Romo Danoe sudah menyuruh semua penghuni rumah untuk tidur dan tidak mengkhawatirkan Weda, tetap saja ia tak bisa tidur. Galoeh kembali keluar dari kamarnya dan memilih menunggu Weda di ruang tamu sambil sesekali melongok ke luar halaman yang gelap pekat dan hanya dikuasai oleh suara jangkrik.
Malam semakin larut. Hari sudah berganti bertepatan dentang jam yang berbunyi dua belas kali. Namun, Weda tak kunjung datang. Untuk kesekian kali Galoeh berdiri dan membuka sedikit pintu untuk melihat apakah ada sosok Weda yang berjalan menembus kegelapan. Sebenarnya ia tahu sekarang sudah masuk jam larangan penduduk berkeliaran, hanya saja kekhawatirannya pada Weda membuatnya berjaga di depan pintu walau ia tahu tindakannya sia-sia.
“Galoeh!” Badan Galoeh berguncang. Kebiasaannya tidur dalam kondisi waspada selama beberapa waktu ini membuatnya sigap menepis tangan itu. Namun, ketika ia menegakkan badannya siap melawan, matanya menangkap sosok yang ia kenal.
“Ibu ….” Galoeh menggosok matanya.
“Kok tidur di sini?”
Galoeh lalu menegakkan tubuhnya. Lehernya terasa nyeri karena semalam ia ketiduran di kursi. “Nunggu Mas Weda, Bu.”
Ibu Lastri sudah lebih tenang, walau matanya juga terlihat sembab dengan kantung dan lingkaran hitam di sekitar mata. “Romo pagi ini akan ke markas. Ayo, bantu Ibu dulu siapkan sarapan.”
“Bu, saya boleh ikut?” pinta Galoeh memelas.
“Kamu manut Romo dulu, Nduk. Kita jangan gegabah supaya jangan menambah masalah. Ngerti?”
Galoeh terpaksa hanya bisa menurut. Semua karena salahnya dan ia tak ingin menambah masalah lagi.
Pagi ini, sewaktu sarapan, akhirnya yang ditunggu pulang. Waktu di jam dinding ruang tamu menunjukkan pukul 07.05. Mbok Mi yang sedang menyapu halaman depan berseru memberitakan kedatangan Weda dengan seorang tentara PETA.
Galoeh yang sedang berada di dapur lebih dulu bangkit dan memelesat lari menemui Weda yang berjalan dipapah laki-laki berambut ikal. Ia berlari dan berhenti di depan Weda begitu saja. “Syukurlah Mas Weda selamat.”
“Kamu pikir aku segampang itu mati?” Weda terkekeh.
Hati Galoeh tercubit. Wajah laki-laki yang berjarak satu langkah di depannya itu terdapat beberapa memar dengan sudut mulut terluka. “Mukanya Mas Weda kenapa?”
“Salah satu bagian dari standar pemeriksaan.” Weda mengusap sudut mulutnya sambil meringis saat akan menarik bibirnya lebih lebar.
Romo Danoe dan Ibu Lastri bergantian memeluk Weda. Mereka akhirnya bisa bernapas lega melihat anak sulung keluarga itu masih bernyawa.
“Bagaimana pemeriksaannya?” tanya Romo Danoe
“Ya. Semua baik-baik saja. Paling hanya kuku yang dicabut.” Weda memperlihatkan kesepuluh kuku tangannya yang hilang.
Semua orang yang ada di situ meringis. Ngilu. Sementara itu, Galoeh tak menyangka laki-laki yang hanya ia kenal namanya saja selama ini rela menjalani siksaan demi melindunginya. “Maaf ….”
“Bicaranya nanti saja. Kita obati dulu lukamu.” Romo Danoe menyela dan menuntun Weda ke kamarnya.
“Ibu siapkan sarapan dulu. Biarkan Romo mengobati Weda.” Ibu Lastri menggiring gadis berusia dua puluh tahun itu. Mereka pun akhirnya ke dapur untuk memanaskan lagi tiwul yang selama ini dikonsumsi karena langka dan mahalnya beras.
Ibu Lastri meminta Galoeh mengantar makanan untuk Weda karena Tika memang sudah berangkat mengajar pada pukul enam lagi tadi dan wanita itu menyiapkan sarapan untuk teman yang mengantar Weda. Saat Galoeh masuk ke kamar, Weda sudah mengganti bajunya dan kedua tangannya dibalut Romo Danoe. Seolah mengerti hati Galoeh yang merasa bersalah, Romo Danoe berkata, “Weda beruntung. Hanya kukunya yang dicabut. Bukan nyawanya.”
Galoeh menggigit bibirnya dengan perasaan berkecamuk. Seandainya tidak ada teman Weda, mungkin ia akan meraung penuh penyesalan.
“Untungnya juga ada Gala yang menjadi saksi kalau kalian menikah. Dan Harti yang menyangkal mereka kekasih.”
Pandangan Galoeh bersirobok dengan Weda. Ia lalu menunduk menghindari pandangan tajam laki-laki itu.
“Sepertinya kalian harus segera mendaftarkan pernikahan kalian supaya ndak lagi dicurigai hanya akal-akalan saja,” kata Gala setelah memperkenalkan diri pada Galoeh.
“Mendaftarkan pernikahan?” Galoeh mengerjap.
“Kita bicara nanti. Ayo, Gala, kita sarapan dulu.” Romo Danoe merangkul Gala dan mengajaknya keluar meninggalkan Weda dan Galoeh perempuan di kamar. Dengan canggung ia mendekati pemuda yang babak belur di mukanya.
Keheningan menyergap. Hanya derak ranjang yang riuh memecah sunyi saat Galoeh duduk di tepiannya.
“Maem dulu, Mas.” Galoeh mulai menyendokkan olahan singkong sebagai pengganti nasi.
Weda hanya diam, menatap lurus mata berbulu lentik itu. “Untuk sementara kita memang aman. Tapi, untuk mendaftarkan pernikahan ….” Ucapan Weda tersendat.
Galoeh menelan ludah kasar. Gerakan tangan yang terangkat, kembali diturunkan. “Maaf. Semua gara-gara saya.”
“Aku ngerti. Itu tindakan spontan Ibu. Masalahnya ….” Kembali ucapan Weda tercekat.
“Mas sudah punya kekasih,” sambung Galoeh.
“Kamu sudah tahu. Dari Tika?”
Galoeh mengangguk. “Biar saya menyerahkan diri saja.”
“Jangan! Nanti keluarga ini yang kena.”
“Tapi kenapa Ibu harus bilang saya istri Mas?” tanya Galoeh frustasi.
“Kalau kamu cuma dibilang tamu, kamu akan ditangkap.”
“Itu lebih baik daripada harus berbohong seperti ini.” Kembali Galoeh menunduk. Bahunya kita bergetar hebat. Isakan pun tak lagi bisa ia tahan.
“Ibu ndak suka aku sama Harti. Sejak kamu datang, aku lihat sepertinya dia berharap menjodohkan kita. Walau sebenarnya, aku tahu kemarin itu tindakan spontan Ibu,” ujar Weda dingin.
Galoeh mendongak. “Lantas apa yang harus kita lakukan?”
“Aku belum ada pikiran lain. Sudah untung aku bisa selamat keluar dari markas. Coba kalau Harti menyangkal ucapanku, bisa mati aku,” ujar Weda pelan. “Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini.”
“Tapi sekolah saya?” Katakan Galoeh egois. Sampai detik ini, ia masih memikirkan sekolahnya di Ika Daigaku.
Weda menggeleng. “Kamu ndak bisa sekolah lagi. Sebelum dipulangkan, aku diberitahu kalau Romo Tjokro dinyatakan bersalah. Bukan hanya karena menyembunyikan beras untuk memasok ke pasar gelap, tapi juga karena dakwaan sebagai otak pemberontakan.” Laki-laki itu menatap Galoeh sendu. “Hari ini Romo Tjokro dieksekusi bersama Ibu Marti dan semua abdi.’
Walau suara Weda begitu pelan, tapi masih bisa ditangkap oleh pendengaran gadis itu. Seketika tubuh Galoeh lemas seolah tak bertulang. Dunia tiba-tiba berputar dan perlahan memutih.
💕Dee_ane💕
Kasih jejaknya ya? Biar ndak tenggelam euy.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top