28. Ciuman Pertama
Sepertinya Galoeh terlalu banyak membaca novel roman picisan di mana tokoh prianya begitu sempurna. Nyatanya, mulut Weda selalu mengatakan kebenaran tanpa memedulikan perasaannya. Apa tidak bisa mencari kata yang bagus? Atau setidaknya berterima kasih dulu karena Galoeh sudah membuatkan makanan dengan susah payah.
Tak ingin berdebat. Galoeh lalu membereskan alat makan yang sudah kosong dan bergegas ke dapur untuk mencuci. Ia berdiri di depan bak cuci dengan kran yang menyala mengisi bak kayu. Pikirannya melayang pada ekspresi Weda yang terlihat sangat memaksakan diri melahap semua makanan yang ada di meja. Wajah yang memerah saat menelan makanan sehingga harus dibantu dengan gelontoran air hingga menghabiskan setengah kendi, membuat hati Galoeh sempat bergetar. Sayangnya, getaran itu berubah menjadi riak kekesalan karena ucapan Weda yang mengkritisi masakannya seolah ia sedang mengikuti kejuaran memasak.
Bibir Galoeh merengut, meredam kejengkelannya. Namun, saat ia akan mengambil sabut kelapa untuk mencuci alat makan dan alat masak, pergelangan tangannya ditahan Weda.
“Kamu sudah tahu bukan tanganmu terkena luka bakar? Apa kamu mau terkena infeksi?” Weda membungkuk di samping kanan belakang Galoeh. “Bisa ndak kamu janji ndak bikin aku cemas?”
Galoeh mendongak. “Saya ndak pa-pa, Mas!” Ia berusaha menarik tangannya.
“Loeh, manut!” sergah Weda yang ikut berdiri di sisi kanan Galoeh. “Cuci tanganmu, kita obati dulu lukanya.”
Galoeh kemudian mengikuti Weda menuju kamar. Ia lalu duduk di tepi ranjang sementara Weda mengambil salep obat dalam cepuk kecil dan duduk di sebelah kanan gadis itu.
Laki-laki itu kemudian menarik tangan Galoeh dan memeriksa telapaknya. “Tangan itu sangat berharga untuk dokter. Melalui tangan ini kamu bisa menyelamatkan nyawa manusia.”
“Aku bukan dokter, Mas.” Galoeh semakin teriris ketika Weda mengingatkan lagi cita-citanya.
“Suatu saat … kamu akan jadi dokter, Loeh. Aku pastikan itu.” Weda mengoles krim itu ke telapak tangan Galoeh.
Galoeh meringis. Bukan karena nyeri di telapaknya tapi hatinya yang perih. Ia merasa tak berguna. Tak hanya gagal meraih cita-citanya, Galoeh pun tak bisa menjadi istri yang baik yang setidaknya bisa menyajikan makanan lezat di meja makan.
“Sakit?”
Gadis itu mengangguk, untuk menutupi batinnya yang terluka. Ia jadi punya alasan untuk meneteskan air mata.
“Loeh, aku tahu kamu pasti sulit menjalani pernikahan ini.” Weda masih mengolesi telapak tangannya yang memerah sambil sesekali meniupkan udara untuk mengurangi perih.
Galoeh hanya bisa membisu.
Weda masih membungkuk, sambil melirik ekspresi Galoeh. “Kamu pandai sekali membuat aku khawatir.”
“Mas ndak perlu khawatir.”
Sejenak mereka terdiam. Pandangan mereka masih bertemu, hingga Weda kembali membuka suara. “Kamu paling pinter bikin aku merasa berdosa. Kamu selalu sok kuat.” Weda menatap sendu Galoeh, sambil membungkus tangannya dengan sapu tangan bersih.
“Justru saya yang berdosa sudah menjebak Mas dalam pernikahan ini. Seharusnya Mas bisa dikenyangkan sama masakan enak Mbak Harti bukan masakan yang rasanya ngalor ngidul.” Batin Galoeh tercubit mengatakannya. Dalam hati kecilnya mulai ada rasa ingin memiliki Weda.
Weda mendongakkan dagu Galoeh. “Kalau begitu, kamu harus tanggung jawab karena sudah menjebak hidupku.”
“Tanggung jawab?” cicit Galoeh. Dan, setelahnya bibir Weda mendarat di bibir Galoeh, dan menggetarkan getaran seperti setruman listrik di sekujur tulang belakangnya. Namun, Galoeh berusaha memancang nalar. Ia mendorong kuat dada lelaki itu.
Galoeh melengos dengan pipi yang merah. Ia menggigit kuku jempolnya sambil mengusap bibirnya. Debaran jantungnya semakin kuat hingga dadanya kembang kempis mengatus napas.
“Ma-maaf ….” Suara serak Weda menyapa kembali.
Keterkejutan Galoeh belum reda. Jantungnya masih berdetak kencang. Ia masih tak menyangka Weda tiba-tiba menciumnya. “Mas, jangan begini. Saya ndak bisa.” Galoeh menggeleng berulang. Ia takut terjebak pada naluri purba Weda yang didasari bukan karena cinta.
Weda tersenyum tipis. “Aku ngerti.” Tangan mengelus kepala Galoeh. “Oh, ya, untuk sementara, lukanya aku tutup dengan sapu tangan. Besok aku bawakan kasa dari klinik markas. Kamu istirahat saja dulu.”
***
Weda merutuki perbuatannya. Ia tak habis pikir kenapa bibirnya seolah ditarik oleh pesona wajah ayu itu. Dari jarak dua jengkal, ia bisa memindai hidung mancung menjulang dengan mata berbulu lentik. Bibir tipis merahnya seperti kelopak bunga yang ingin dikecup sang kumbang untuk merasakan manisnya madu yang memabukkan.
Alih-alih madu, yang didapat Weda hanyalah malu. Weda seperti laki-laki hidung belang yang ingin memanfaatkan perempuan.
“Mas ….” Galoeh terlihat bimbang.
“Maaf ….” Tenggorokan Weda tercekat. Hatinya merutuki Gala karena mengusulkan ide gila untuk mencium Galoeh agar hubungan mereka meningkat. Tentu saja Galoeh tak akan mau karena memang gadis itu tak mempunyai perasaan padanya
Weda akhirnya menarik diri, menjaga jarak. Wajahnya berpaling dari Galoeh saking malunya. Ia tak pernah sedekat itu dengan perempuan. Paling-paling ia hanya berpegangan tangan dengan Harti. Itu pun tidak sering. Baru kali ini bibir Weda menyentuh bibir perempuan dan sensasinya berhasil membuat dada Weda bergemuruh.Lebih dahsyat dari saat ia mencium pipi gadis itu.
Susah payah Weda menelan kembali kekecewaannya karena tak berhasil mengorek perasaan Galoeh. “Ayo, sekarang tidur.” Weda lalu bangkit dan keluar dari kamar yang hawanya begitu gerah. Ia pikir, ia bisa meningkatkan kualitas hubungannya dengan Galoeh di pernikahan ini, tapi nyatanya Galoeh menolak.
Keesokan harinya, Gala dan Pantja tergelak mendengar cerita Weda. Bagi Weda yang tak berpengalaman dengan perempuan, sikap Galoeh sungguh membingungkan. “Jatah garwa gundulmu! Baru juga cium sudah ditolak! Sesat kowe! Setan tenan!”
Tawa Gala tak bisa berhenti. “Jadi kamu ditolak? Udah ‘begitu’ belum ...” Telunjuk Gala tiba-tiba mengacung memberi peragaan sesuatu bagian lain tubuh yang berdiri. Mata jail itu menatap nakal ke arah pangkal pahanya sambil terkekeh geli. “‘itumu’?”
Weda berdecak. “Aku masih normal! Ndak pernah cium perempuan seperti itu ya langsung tubuhku panas dingin.”
Tawa Pantja juga tak bisa berhenti. “Lalu?”
“Ya sudah. Aku push up sendiri supaya aku lelah dan akhirnya mengantuk “
Gala semakin tergelak. “Kasihan. Harusnya push up di atasnya Galoeh malah sama lantai!”
“Sudah! Menyesal aku tanya kamu!” Weda memakan mochi dengan geram.
“Tanya Daidancho Irawan saja. Dia kan sudah menikah.” Pantja menanggapi.
“Bisa dicincang aku tanya dia!” Weda akhirnya paham kalau selama ini ia salah meminta pendapat pada dua perjaka yang nyatanya sama-sama tidak berpengalaman.
“Tapi kenapa Dokter kok sampai melakukan ide gila Shodanco Gala? Apa pernikahan Dokter ini benar-benar sudah serius?” Tiba-tiba Pantja melontarkan pertanyaan yang membuat Weda dan Gala saling melempar pandang.
“Entahlah. Tapi, Galoeh sepertinya ndak berpikir demikian,” kata Weda lesu. “Padahal sebentar lagi kami akan melakukan pemberkatan.”
“Berarti Dokter serius?” Pantja sekarang bertindak seperti penyidik yang mencari fakta.
“Apa aku terlihat sedang bermain rumah-rumahan?” Weda mulai jengkel.
Pantja melipat bibirnya menahan tawa yang hendak menyembur mendapati reaksi Weda. Sementara Gala seperti biasa tidak bisa mengkondisikan tawanya hingga suaranya melebar ke mana-mana. Bagi Weda, walau pernikahan mereka hanya dicatatkan secara hukum, ia merasa bertanggung jawab atas hidup Galoeh. Tapi, ketika Harti mengatakan Galoeh pernikahan mereka hanya pura-pura, terselip kejengkelan di batinnya. Ia sudah mengusahakan segalanya, tapi Galoeh tetap saja bersikap kekanak-kanakan dan menganggap semuanya hanya pura-pura. Sialnya, gara-gara Gala yang mencetuskan ide ‘jatah garwa’ tipis-tipis untuk meningkatkan kualitas hubungan mereka, sekarang Weda tak tahu lagi bagaimana harus menghadapi Galoeh.
“Berarti, apa Mbak Galoeh punya laki-laki lain?”
Wajah Weda seketika masam mendengar lontaran spontan dari mulut Pantja. Gala sampai harus menyikut laki-laki yang paling muda dan polos di antara mereka karena suka mengungkapkan sesuatu yang mencetuskan pemikiran baru. Dan, kini Weda semakin terusik karena percakapannya dengan dua laki-laki di depannya semakin memperkeruh otaknya.
“Omong-omong, kapan Letnan Raka ke sini?” Gala buru-buru membuka topik baru begitu mendapati ekspresi gusar Weda.
“Oh, ya, mungkin bulan depan Letnan Raka mau ke sini. Saya sudah mendapat beritanya.” Pantja menyambut topik tersebut, yang berhasil mengalihkan perhatian Weda.
“Cepat sekali kamu mendapat kabar.” Gala terlihat takjub melihat kepiawaian Pantja mengorek informasi.
“Kalau begitu, kita luangkan waktu untuk berkumpul sebentar sebelum bertemu Raka.” Weda lalu meneguk air minum dalam botolnya.
“Di rumahmu? Aku kali ini pengin mencicipi masakan Galoeh,” sahut Gala.
Seketika Weda tersedak. Ia terbatuk mendengar perkataan Gala. Ingin mencicipi makanan Galoeh? Yang ada mereka tidak ada jadi memberontak karena berakhir diare dan diinfus akibat kurang cairan. Semalam saja Weda tak bisa tidur karena perutnya melilit.
“Sebaiknya kita minta Harti masak saja seperti kemarin,” kata Weda mengambil sikap bijak agar tidak mencelakakan semuanya.
“Kamu ini ndak peka! Bisa-bisanya menyuruh Harti masak di tempatmu seperti kemarin!” Gala menepuk punggung Weda sangat keras.
Weda meringis, mengelus punggung. “Kenapa memang? Masakan Galoeh hanya untuk suaminya,” dalihnya untuk menutupi kelemahan Galoeh agar tidak menjadi ledekan sahabat-sahabatnya.
Pantja menggeleng, menatap prihatin seniornya. “Dokter apa ndak lihat? Kalau di Pasifik ada perang panas Nippon-Amerika, di rumah dinas kemarin ada perang dingin antara Dokter Harti dan Mbak Galoeh.”
Weda melongo. Kepalanya meneleng mengingat acara makan malam kemarin. Di bagian mana ada perang dingin? Mereka terlihat baik-baik saja. Namun, Weda tak terlalu menghiraukan dan selepas jam dinas di markas PETA, ia bergegas ke sekolah untuk menjemput Galoeh karena ia belum bisa mengambilkan sepeda untuk Galoeh.
Setelah mengayuh sepedanya selama setengah jam, akhirnya Weda tiba di Sekolah Rakjat. Ia lalu memanggil seorang anak yang ia kenal untuk memanggilkan Galoeh.
“Galoeh Sensei pergi bersama Sato Sensei,” kata Djono dengan napas terengah karena bermain bola dari sabut kepala.
“Pergi? Ke mana?” Alis Weda mengernyit
“Ndak tahu.” Djono memberi isyarat teman yang memanggil untuk mengajaknya bermain bentengan lagi.
Weda menahan pundak Djono yang akan berlalu. “Tika Sensei?”
“Tika Sensei sudah pulang karena ada acara fujinkai.” Djono lalu berseru pada temannya. “Dokter saya main dulu ya?”
“Eh, Jon, piye ibumu?” tanya Weda teringat pada Mbok Panti.
“Sudah baik, Dok.” Djono melambaikan tangan dan berlari begitu saja meninggalkan Weda yang masih memikirkan Galoeh sendiri.
Terpaksa ia pulang dengan hati kecewa. Ia penasaran ada urusan apa Galoeh dengan Souta. Apa gadis itu lupa kalau Souta yang mencabuti kukunya? Namun, tiba-tiba pertanyaan Gala dan Pantja kembali berkelebatan di kepala. Ia semakin penasaran ada hubungan apa Galoeh dan Souta hingga sedekat itu ,
Dengan perasaan kesal, ia lalu bergegas ke tempat Harti. Ya, Harti selalu bisa membuat hatinya tenang. Berbeda dengan Galoeh yang selalu membuat batin meradang.
💕Dee_ane💕
Seperti biasanya, di KK sudah banyak partnya. Silakan mlipir dan mampir ke sana. Dukung juga yang di sini dengam vote n komen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top