26. Slup-slupan
Siang ini Galoeh sengaja pulang lebih cepat untuk berbelanja sayuran ke Pasar Gede. Karena Weda sudah berpesan akan mengadakan slup-slupan, maka ia berinisiatif untuk membuat sayur urap dan telur. Menurutnya, makanan ini cukup mudah dibuat hanya dengan merebus sayuran dan telur. Untuk sambal kelapanya, ia bisa meminta Tika untuk meracik bumbunya agar rasanya pas.
Sebenarnya Galoeh tak terbiasa memasak. Selama ini ia lebih memilih berkutat dengan buku daripada harus berjibaku dengan asap pawon. Namun, takdir berkata lain sehingga detik ini ia harus berkutat dengan kepulan uap di pawon yang baunya sangit.
“Loeh, kamu ndak mau sisan melakukan pemberkatan saja?” tanya Tika sambil memarut kelapa yang masih muda di dapur rumah itu. “Kalian sudah tidur sama-sama bukan?”
Galoeh menggeleng, masih setia mengaduk beras yang diaron. “Kami tidur ya ndak ngopo-ngopo. Masmu itu laki-laki terhormat yang ndak mau menggauli sembarang perempuan.”
“Lha terus nasib pernikahan kalian bagaimana?” Tika melirik sambil mengunyah sisa kepala yang sudah tidak bisa lagi diparut.
“Ya ndak piye-piye.” Hati Galloeh sebenarnya nyeri. Setelah mengenal Weda, untuk pertama kalinya ia tahu rasanya rindu dan juga cemburu. Ia mengalami detakan jantung memburu saat bertemu. “Aku pengin sekolah lagi. Trus, aku mau mengembalikan masmu ke Mbak Harti. Tapi kamu ndak usah bilang Ibu ya, Tik.”
Tika mengambil satu potongan kelapa yang masih empuk dan sudah dikupas. “Loeh, masku ki bukan barang ya! Enak saja kamu pinjam terus dikembalikan.”
“Masalahnya, Tik … Hatine masmu buat Mbak—”
“Sini, Ti.” Suara Weda tiba-tiba menyeruak dari arah dalam rumah. Ucapan Galoeh terjeda. Kedua sahabat itu seketika bungkam. Bahkan Tika pun berhenti memarut. Keduanya memalingkan wajah ke arah ambang pintu dapur dan ruang tengah. Tak lama kemudian mendapati yang dibicarakan muncul dari dalam. “Lho, Tika ternyata ada di sini. Malah kebeneran.”
Galoeh buru-buru bangkit dan mengelap tangannya pada kain. Ia tak kemudian menghampiri Weda karena lebih tertegun melihat Weda yang mengulurkan keranjang yang berisi ayam jago kepada Harti. Gadis di sebelah Weda itu memakai kebaya janggan berwarna hitam yang terlihat apik membungkus badan langsing dengan kult sawo matang yang begitu eksotis. Sangat cocok bersanding dengan suaminya.
Seketika hati Galoeh tercabik-cabik. Baru saja dibicarakan orangnya sudah ada di depan mata. Ia masih belum pulih dari keterkejutannya. Tadi, Weda berkata akan masak bersama ternyata maksudnya masak bersama Hati. Rupanya Galoeh terlalu berharap banyak, sehingga kekecewaan besar-lah ia raih.
“Eh, ada Mbak Harti.” Tika seperti biasa bisa cepat sekali akrab dengan orang lain. Sedang Galoeh masih diam terpaku dengan memberikan senyuman tanggung yang membuat aneh ekspresinya.
“Ayamnya buat apa, Mas?” Galoeh masih menatap nanar ayam yang sekarang dikeluarkan Harti.
“Mau dibuat ingkung.” Hartilah yang menjawab ketika pertanyaan itu diajukan untuk Weda seolah gadis itu nyonya rumah ini.
Galoeh melongo. Ia tak bermaksud membuat menu ayam ingkung untuk acara malam ini. Tapi, kenapa Weda tiba-tiba membawa ayam, padahal ia tidak ahli memasak ayam.
“Kamu tenang saja. Nanti Mbak yang masak.” Harti seolah paham isi otaknya.
Tenggorokan Galoeh tercekat mendengar jawaban Harti yang memperlakukannya seolah ia adalah adik Weda. Ia hanya menatap kosong ke arah Harti yang tangkas mengeluarkan ayam itu. Wanita itu malah memberi instruksi pada Tika untuk memberi pisau yang tajam dan kepada Galoeh untuk memasak air panas. Jelas Galoeh hanya bisa melongo. Soeharti benar-benar seperti penguasa pawon ini. Bagian dalam rumah yang seharusnya dikuasai oleh istri dari tuan rumah itu justru seolah dikendalikan putri Sala yang begitu luwes dan anggun.
Sementara itu Weda meninggalkan para perempuan. Saat Galoeh fokus memperhatikan Harti yang sedang menyembelih ayam jago besar, ia melupakan beras yang diaron sehingga mengeluarkan bau hangus. “Gusti, aku lu—aarrghh!” Galoeh memekik ketika ia dengan cerobohnya mengangkat tangkai periuk yang panas.
Galoeh meniup tangannya yang memerah. Ia yakin setelah itu akan melepuh. Dalam hati ia merutuk demi siapa ia melakukan semua ini kalau bukan demi laki-laki yang melindunginya. Walaupun romonya tertangkap gara-gara menyembunyikan beras dan malah mengirim ke Sala, tetap saja ia tak bisa menyalahkan keluarga Tirtonagoro karena tak hanya keluarga ini saja yang mendapat kiriman beras dari romonya. Lagipula ia tak pula alasan menyalahkan keluarga ini karena ia tahu pengorbanan Weda untuk menutupi kebohongan Ibu yang mau menyelamatkannya. Justru Galoeh menjadi menyalahkan dirinya, karena telah merusak hubungan Weda dan Harti yang harmonis.
“Kamu ndak pa-pa, Dik?” Bukannya Tika yang datang, tapi Harti justru yang tampak mengkhawatirkannya.
Galoeh menggeleng. “Ndak pa-pa, Mbak. Tenang saja.” Hatinya perih. Harti semakin terlihat sempurna di mata Galoeh. Tidak bisa dibandingkan dengan Galoeh yang hanya anak priyayi kecil sehingga tak lagi punya gelar kebangsawanan walau romonya seorang petinggi desa yang mempunyai abdi dan sawah. Berbeda dengan Soeharti yang masih menyandang gelar Raden Soeharti walau terlahir dari seorang gundik.
“Biar Mbak lihat.”
“Ndak. Ndak pa-pa! Mbak Harti bantu saja Tika. Kalau soal masak nasi saya masih bisa.” Ya, walaupun nasi hari ini akan sedikit gosong karena pikiran Galoeh melalang buana.
“Ya sudah. Kalau begitu jangan lupa masak air di tungku sebelahnya ya?” Harti kembali lagi ke pekerjaannya. “Jangan gosong.”
Dada Galoeh kembang kempis. Candaan Harti membuat darahnya mendidih. Namun, ia hanya bisa menelan kembali kekesalannya dan melanjutkan merebus air untuk ayam dan untuk mengukus nasi.
Sepertinya tanpa bantuan Galoeh dan Tika, Harti sangat ahli memasak. Mulai dari menyembelih ayam, mencabuti bulu, dan membersihkan organ dalamnya tanpa rasa jijik, lalu mengecek kematangan nasi, hingga meracik bumbu untuk sambal urapnya. Tika dan Galoeh hanya melakukan saja apa yang dititahkan putri bangsawan itu seperti seorang bujang yang bekerja pada tuannya.
Setelah berkutat di dapur selama tiga jam, akhirnya ketiga perempuan itu berhasil menyajikan nasi, urap, ayam ingkung, dan tempe bacem yang dibawa Harti sebagai buah tangan. Harti meminta izin mandi duluan sehingga Galoeh memilih memasak air untuk membuat teh.
Hanya meracik teh saja kemampuan yang bisa ia banggakan, sehingga mumpung Harti sedang mandi, ia pun bisa leluasa memadukan air, daun teh melati, dan gula supaya menghasilkan rasa yang mantap.
“Loeh, aku balik, ya? Udah mau maghrib.” Tika mematahkan kepala ke kanan dan ke kiri.
Galoeh buru-buru meraih tangan Tika. “Jangan, Tik. Kamu di sini saja sampai besok.”
“Aku capek ini. Ya? Mumpung belum terlalu gelap.” Tika memang terlihat lelah. “Lagian males aku ketemu temannya Mas Weda.”
Galoeh mengerut. “Siapa?”
“Manggala,” jawab Tika dengan bibir atas kiri yang sedikit tertarik ke atas. Pada akhirnya Galoeh tidak bisa memaksa. Ia pun melepas Tika dengan hati berat.
Setelah Harti mandi, maka Galoeh pun segera membasuh tubuh yang penuh peluh serta bau jelaga. Ia tak ingin mempemalukan Weda di hadapan para sahabatnya, walau ia tahu pasti teman-temannya mengetahui bahwa Galoeh hanya istri di atas kertas karena Weda ingin melindungi kebohongan ibunya.
Galoeh memantas diri dengan gaun cokelat muda bermotif bunga terbaiknya. Rambutnya dikepang dua dan saat ia akan mengambil bedak, ia urung melakukan. Ia takut berpenampilan berlebihan di acara syukuran penempatan rumah baru ini. Lagipula ia sudah mendengar suara berat beberapa yang ada di depan.
Galoeh buru-buru bangkit dan segera keluar dari kamar. Namun, kakinya urung melangkah menyambut tamu-tamu Weda.
“Loh, Nyonya Weda ayu tenan!” Salah seorang tamu memuji Harti karena memang Hartilah yang menyambut mereka.
Galoeh meremas kain gaunnya. Haruskah ia diam? Tapi ia tak rela predikat ‘Nyonya Weda’ disematkan pada Harti. Dialah Sang Nyonya di rumah ini. Namun, tetap saja, hati Weda untuk Harti sehingga Galoeh memilih mundur ke pawon karena memang seharusnya ia tidak ada dalam lingkaran kehidupan Weda.
Saat Galoeh memastikan rasa seduhan teh melati yang tadi ia buat, suara Weda membuyarkan lamunan kosongnya. “Loeh, kok di sini? Ayo, sapa dulu teman-temanku. Ada Irawan, kakaknya Harti yang belum pernah ketemu kamu. Mana Tika?”
“Tika pulang. Katanya ndak mau ketemu Mas Gala.” Galoeh masih mengaduk teh.
“Ya sudah. Ayo, ke depan.”
Galoeh meletakkan sendoknya setelah mencicipi teh yang rasanya menguarkan kenangan tentang keluarganya. Dari Ibu Marti, Galoeh belajar tentang komposisi menyeduh teh yang nikmat. Rasa manis teh dengan aroma melati itu akan selalu menemani waktu sore di rumah Mertojoedan dengan ditemani pisang goreng buatan Mbok Peni dan cerita renyah setiap anggota keluarga. Tapi, kini yang tersisa hanya kenangan saat bersama dan ingatan rasa manis teh itu akan selalu Galoeh duplikasi untuk menyingkirkan kepahitan hidupnya.
Suasana ruang tengah diliputi dengan gelak tawa Gala yang paling dominan, saat Galoeh menghampiri para tamu Weda. Namun, kedatangan Galoeh rupanya membuat percakapan renyah mereka terhenti seolah Galoeh tidak boleh mendengarkan.
“Wan, ini Galoeh.” Weda membuka suara begitu mengetahui Galoeh sudah bergabung.
“Saya Galoeh, Pak.” Galoeh mengulurkan tangan.
Tawa Gala meledak. Sementara laki-laki yang dipanggil ‘Pak’ itu berubah kusut dan melirik Gala dengan sengit. Bahkan Harti pun melipat bibir untuk mengulum senyum.
“Ada yang salah?” tanya Galoeh.
“Kenapa kamu memanggil yang lain ‘Mas’, sementara saya ‘Pak’?” Irawan terlihat gusar.
Galoeh tak mengerti protes Irawan. Di matanya, laki-laki dengan kumis tipis di pinggir dan berambut klimis itu terlihat lebih ‘matang’ dibanding yang lain.
“Makanya to, Mas. Aku kan sudah pernah beritahu kalau kumis lelenya sebaik dicukur saja.” Harti menimpali.
Irawan berdeham sambil menatap Galoeh intens seolah memendam dendam. Untungnya Gala langsung mengubah topik yang bisa mengalihkan kekesalan Irawan.
“Trus, ini Mas Daru. Sepupunya Gala.” Weda mengenalkan pada laki-laki tinggi berkulit sawo matang yang tersenyum ramah padanya dengan sorot mata bersahabat.
“Wan, kapan sebaiknya kita ngundang Letnan Raka?” Gala kemudian memulai topik pembahasan sore itu.
Galoeh mengernyit saat mendengar nama Raka disebut. Apakah Raka yang dimaksud Gala adalah Raka sepupunya?
“Loeh, tolong sajikan teh dan kudapan,” pinta Weda seketika seolah tak ingin Galoeh tahu obrolan mereka.
Bukan Galoeh saja yang berdiri, tapi Harti juga ikut berdiri. “Aku bantu ya, Dik.”
Ingin rasanya Galoeh menolak. Namun, bibirnya hanya bungkam karena tak ingin berdebat di depan teman-teman Weda. Dua perempuan itu lalu sama-sama ke dapur dengan Harti yang berjalan di samping Galoeh dan merangkul lengan kirinya. Sejujurnya Galoeh risih. Ia tak sedekat itu dengan Harti. Tangan Harti yang melingkar di lengannya layaknya belenggu yang meremas-remas hatinya sehingga ia kesusahan bernapas.
Sesampainya di dapur, gandengan mereka terurai. Galoeh buru-buru menyibukkan diri agar tidak canggung. Sayangnya, Harti justru mendekatinya, sambil membawa baki untuk menaruh gelas yang sedang diisi Galoeh. Awalnya keheningan hanya diisi gemericik cairan merah tua saat Galoeh mengucurkan teh dari teko blirik besar ke sebuah gelas. Hingga kemudian, Harti berdeham memecah kebisuan. “Bagaimana pernikahan kalian, Dik?”
Galoeh meremas kuat gagang teko blirik yang sudah ringan karena isinya sudah berpindah di lima gelas belimbing. “Macam Mbak Harti ndak tahu saja? Pernikahan kami kan pernikahan pura-pura.” Ia meletakkan teko dan mengambil tutup gelas untuk ditempatkan pada masing-masing bibir cangkir.
“Pernikahan pura-pura piye?”
Haruskah Galoeh perjelas, bahwa pernikahan mereka hanya status? Atau memang Harti ingin memastikan Weda tak menjamahnya? Galoeh tahu, wanita manapun tak ingin diduakan. Semua perempuan ingin menjadi ratu di hati laki-laki yang mereka cintai. Begitu juga dengan Harti. Hubungan yang damai dan harmonis dengan Weda terusik akibat kedatangannya. Untuk memutus pembicaraan itu, Galoeh lalu mengangkat baki itu untuk segera disajikan. “Mbak Harti tenang saja. Mas Weda akan selalu setia pada Mbak.” Galoeh pun berlalu dari hadapan Harti.
💕Dee_ane💕
Ada yang tahu arti slup-slupan? Jangan lupa jejaknya. Di KK udah banyak partnya🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top