25. Sentuhan Weda
“Kamu kenapa duduk di sini!” Weda akhirnya menemukan gadis yang duduk berjongkok di tepi jalan setelah mencarinya ke sana ke mari.
Galoeh mendongak. Matanya menyipit saat cahaya senter menerpa wajah. Gadis itu lalu mengangkat tangan, menepis sinar senter yang sengaja Weda arahkan padanya. “Mas Weda?”
Embusan kasar terdengar keras meluncur dari hidung mancung Weda. Ia ikut berjongkok dengan lutut kanan menumpu tanah sambil melepas baju luarnya dan menyelubungkan pada tubuh yang bergetar. “Selalu bikin cemas saja! Bisa ndak sekali-kali kamu—” Belum selesai Weda mengomel, tubuh Galoeh menghambur memeluknya. Karena gerakan tiba-tiba itu, Weda tak siap. Tubuhnya tak seimbang dan terdorong ke belakang. Beruntung kedua tangannya sigap menumpu ke belakang hingga mereka tak jatuh. “Loeh, kamu kenapa—”
“Bisa ndak kalau Mas ngomong sama saya ndak usah pakai marah?” Suara Galoeh teredam.
“Bagaimana ndak ma—” Mendapati pukulan Galoeh, bibir Weda terkunci. Ia mengembuskan napas kasar karena harus menahan untuk tidak menjewer Galoeh seperti yang ia lakukan pada Tika. Weda mengangkat tangannya dan mengusap sebentar tangan berdebu itu di celananya sebelum mengusap kepala Galoeh. “Kamu mau sampai kapan di sini? Mau kita berdua ditangkap Kempetai dan kuku jariku yang mau tumbuh ini dilepas lagi?”
Buru-buru Galoeh melerai pelukannya. Bibir mencebiknya terlihat menggemaskan, alih-alih menjengkelkan. Gadis itu lalu mengambil sapu tangan merah marun dan mengusap pipinya.
Seketika Weda menarik sapu tangan itu karena sangat mengenalnya. “Ini … punya Souta?” Tenggorokan Weda tercekat. Ia hafal sekali barang yang selalu dikeluarkan Souta saat mencuci tangan atau mengusap peluh. Apalagi di ujungnya ada sulaman nama dalam huruf Jepang.
Weda berdiri dan memasukkan sapu tangan itu ke dalam tas. Rasanya ia ingin mencecar Galoeh dengan banyak pertanyaan. Tapi ia menahan diri. Ia lalu merogoh sapu tangan biru muda yang senada dengan gaun yang dipakai Galoeh saat ini. “Ini pakai punyaku!” Weda mengulurkan sapu tangan itu.
Galoeh hanya melongo dengan mata merah dan pipi basah.
Weda berdecak lalu mengangkat tangannya untuk mengusap mata sembab itu dengan sangat lembut. “Jangan nangis. Kamu bahkan lebih jelek dari orang-orangan sawah. Kalau dilihat orang, dipikir nanti hantu berkeliaran.” Sekuat tenaga Weda ingin menghibur tapi kenapa ia tak bisa berkata manis seperti saat menghibur Harti kemarin. Yang terlontar selalu kalimat penghiburan aneh.
Galoeh menepuk dada Weda manja. Gadis itu terkekeh sengau. “Bisa ndak ngomong manis sedikit saja?”
“Bisa.” Weda meringis. “Manis sedikit saja.”
“Bukan begitu juga, Mas!”
“Lho katanya ngomong ‘manis sedikit saja’.” Namun, kemudian Weda mengerang karena Galoeh mencubit lengannya kuat.
“Mas Weda ndak peka!” Galoeh menghentakkan kakinya kasar.
Laki-laki itu terkekeh sambil mengusap lengannya. “Aku sengaja ndak ngomong manis. Nanti kamu sakit gula.”
“Kenapa?” Alis Galoeh mengernyit.
“Karena kamu sudah … manis …” Ucapan Weda membuat Galoeh melongo. Pipinya perlahan memerah. “Kalau aku lihat dari ujung Gunung Merapi.” Weda menjulurkan lidah dan sudah mengantisipasi Galoeh akan melawannya seperti Tika. Dan betul perkiraannya, saat gadis itu mengangkat tangannya Weda langsung menangkap. Ia menatap tajam ke arah bola mata hitam yang berkaca-kaca itu. “Kamu kebiasaan ringan tangan kayak Tika. Aku bukan masmu! Aku suamimu, Loeh.”
Galoeh mengerjap. Rahang bawahnya turun seperti tertarik gravitasi bumi.
Melihat wajah polos Galoeh, jantung Weda berdetak kencang. Ingin rasanya ia mendekap tubuh mungil gadis yang selalu membuatnya cemas karena sering menghilang. “Ayo, pulang.”
Kali ini Galoeh menurut. Saat ia akan duduk di belakang, Weda menarik tubuhnya. “Duduk di sini. Takutnya kamu digondol gendruwo.”
“Mas Weda!” Bibir tipis itu mencebik lagi.
“Sudah dibilang, kamu itu jelek kalau merengut begini.” Weda menarik bibir Galoeh, menepis pikiran aneh yang tiba-tiba melintas. Sepertinya ia harus segera pergi dari tempat ini. Laki-laki itu merasa tidak menjadi seperti dirinya karena setiap kali melihat bibir Galoeh yang maju, ia ingin mendaratkan bibirnya di sana.
Akhirnya Galoeh duduk menyamping di depan seperti saat mereka berangkat mendaftarkan pernikahan. Weda tak ingin Galoeh merasa ngeri bila berada di belakangnya karena suasana sangat gelap. Setelah posisi Galoeh terlihat nyaman, ia lalu mengayuh pedal hingga roda kembali menggelinding melintasi jalan sepi dengan sawah di kanan kirinya.
“Mas ….”
Weda berdeham melajukan sepedanya.
“Matur nuwun.”
“Buat apa?” tanya Weda.
“Sudah menemukan aku,” katanya.
“Kata orang, kalau sudah menikah kita akan punya garwa.” Weda terengah ketika sepeda mereka melaju pelan. “Garwa itu dari kerata basa yang artinya sigaraning nyawa. Jadi, setiap kamu tersesat, aku akan bisa menemukanmu karena kamu sudah menjadi belahan jiwaku.”
Tak ada jawaban dari Galoeh. Weda mengernyit lalu menoleh sedikit ke kiri mendapati profil wajah Galoeh yang ideal. “Loeh?”
“Ini bukan gendruwo nyamar jadi Mas Weda kan?”
Weda tertawa mendapati semburat kemerahan di pipi Galoeh. Ia kembali memperhatikan jalanan yang hanya disinari lampu dinamo sambil mengulum senyum. Namun, pipi merona itu begitu menggoda. Entah karena dorongan apa, Weda mengecup pipi Galoeh dengan mudah mengingat jarak pipi mereka hampir menempel. “Mulai sekarang kamu sudah distempel. Jadi, kamu ndak bisa pergi ke mana-mana.”
Namun, Galoeh justru mendorongnya hingga laju sepeda oleng. Bila Weda tidak segera menurunkan kakinya, bisa dipastikan mereka akan jatuh.
“Kenapa malah dorong aku?” Suara Weda tak sengaja meninggi.
Galoeh menangkup pipinya. Membuang muka. Sekarang Weda semakin bingung. Biasanya Ibu Lastri akan melunak saat merajuk kalau Romo Danoe mengecup pipinya. Tapi gadis di depannya itu malah menutup muka seolah melihat hantu! Weda kini semakin bingung menghadapi perempuan. Sikap Galoeh semakin mengukuhkan, perempuan benar-benar susah dimengerti. Diketusi salah, diberi kata manis sedikit saja seolah tak mendengar, dicium malah pucat seperti digigit vampir. Sepertinya ia harus belajar pada Romo Danoe untuk bisa menaklukkan Galoeh yang telah menjadi istrinya agar tidak menyusahkan.
***
Setibanya di rumah, Galoeh segera mandi. Saat ia keluar dari kamar mandi, Weda sudah membuatkan jagung bakar. “Makan dulu. Dari tadi perutmu bunyi.”
Galoeh lalu duduk di salah satu kursi yang mengeliling meja di ruang tengah, dan memakan jagung bakar beroles margarin yang dibuat Weda.
“Kamu kenapa selalu berbuat sesukamu?” tanya Weda. “Suka datang dan pergi sesuka hati dan bikin aku kebingungan cari.”
“Kupikir Mas Weda ndak cari aku,” jawab Galoeh santai.
“Bagaimana ndak cari? Kalau kamu hilang, aku juga yang pusing kena marah Ibu!” Weda tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
“Saya ndak minta Mas cari saya.”
Weda mendesah. “Loeh, Ibu selalu bilang aku ndak peka. Tapi sejujurnya, aku bingung menghadapi perempuan. Tiba-tiba merajuk, tiba-tiba menghilang, tiba-tiba marah-marah, maunya dimengerti tapi ndak pernah bilang apa yang dirasakan. Aku ndak bisa kalau harus nebak-nebak begitu. Ngomong saja kalau kamu butuh sesuatu atau ada sikapku yang ndak kamu suka. Dari pada tiba-tiba kamu ngilang dan nangis di jalan nyumpahi aku.”
“Mas ndak tahu salahnya Mas?” Galoeh mengerjap. Wajahnya tertutup sebagian dengan jagung yang sedang ia kerat.
“Memang aku salah apa? Kamu ketus sewaktu kita ketemu di rumah Mbok Panti tadi.”
Tiba-tiba Galoeh berdiri. Ia meletakkan bonggol jagung yang sudah bersih dari biji-bijinya. Bagaimana bisa Weda tidak menyadari kesalahannya? Ia kemarin tidak pulang dan justru bersama Harti. Lalu ia bertemu Weda keesokan harinya dan masih bersama Harti. Apakah gadis itu harus mengatakan kalau ia cemburu pada kekasih Weda?
Cemburu?
Buru-buru Galoeh berbalik dan masuk ke dalam kamar. Jantungnya berdebar keras menyadari apa yang hatinya rasakan. Jatuh cinta? Ya, ini rasanya apa yang diceritakan Tika. Bila bersama berdebar-debar dan bila berpisah ingin segera bertemu. Tak hanya itu, Galoeh enggan melihat Weda bersama perempuan lain.
Lalu ia teringat kecupan di pipinya. Walau sekilas, kelembutannya masih menempel. Galoeh mengelus pelan pipinya sambil memejamkan mata, mengingat kembali ciuman kilat yang berhasil membuat dadanya berdegup cepat. Namun, kesadarannya tiba-tiba tersentak saat mengingat Harti ada di rumah Mbok Panti.
Galoeh meremas bajunya dengan gelengan kepala berulang. Bagaimana bisa ia mencintai suaminya yang mencintai perempuan lain? Dalam hati Galoeh berjanji, ia tak akan memberitahu Weda tentang apa yang ia rasakan. Ia takut terhadap penolakan yang membuatnya semakin patah hati.
Di sisi lain, suara hatinya berkata, “Kamu istrinya. Kamu berhak atas Weda. Jadikan dia suamimu seutuhnya sehingga tak ada sisa ruang lagi di hatinya untuk perempuan lain.”
Namun, bisikan yang lebih waras terdengar. “Loeh, buat apa kami mengemis cinta? Kamu terlalu berharga untuk menjadi yang kedua.”
Galoeh menggeleng, mengusir pergulatan batinnya. Akhirnya Galoeh memilih tidur di sisi dalam, menghadap tembok, dari pada memusingkan sikap Weda. Ia berusaha memejamkan mata, tapi tetap saja gadis itu tak bisa terlelap.
Derik pintu yang terbuka diikuti bunyi ‘klik’ masih bisa didengar Galoeh. Ia pikir Weda hanya memeriksa keadaan saja. Namun, setelahnya derak ranjang yang berbunyi diikuti guncangan kecil, membekukan tubuh Galoeh. Weda tidur di sebelahnya? Di rumah itu memang ada satu ranjang walau ada dua kamar.
Kehangatan kemudian melingkupi Galoeh ketika selimut menyelubungi badan hingga sebatas pundak. Lalu gumaman lembut terdengar. “Kamu ndak berdosa banget bisa tidur begini? Memang kamu pikir aku apa? Patung?”
Galoeh tak paham maksud ucapan Weda. Tapi setelah itu, tak ada pergerakan lagi. Hanya suara napas teratur yang tertangkap telinganya. Sepertinya percuma ia tegang karena Weda ternyata menganggap Galoeh hanya sebagai guling saja!
Galoeh, apa yang kamu harapkan?
***
Kicau burung yang bertengger di balik jendela, membuat Galoeh terjaga. Tak seperti hari yang lalu, pagi ini Galoeh tak merasakan kedinginan. Biasanya selimutnya selalu menyibak. Tapi kali ini ia merasa tubuhnya diselubungi kehangatan yang membuat batinnya nyaman.
Perlahan Galoeh membuka mata. Ia mengerjap, berusaha meraup kesadaran. Heh? Galoeh menelan ludah kasar. Pantas saja ia merasa hangat karena sekarang ia tidur di pundak Weda. Tubuhnya miring berhadapan dengan Weda, dan tangan kanan lelaki itu merengkuh raganya. Belum lagi selimut yang membungkus badan semakin menambah kenyamanannya.
Galoeh kembali mengingat apa yang terjadi semalam. Weda naik ke ranjang, dengan mudahnya laki-laki tertidur, sementara untuk beberapa saat barulah Galoeh terlelap. Ia pun bergegas menegakkan tubuh, lalu menyibak selimut dan seketika merasa lega karena pakaiannya masih lengkap.
“Kamu pikir aku mau mengambil keuntungan?” Suara serak Weda tiba-tiba memecah kesunyian. Sepertinya Weda pandai sekali tiba-tiba bersuara hingga berhasil membuat jantungnya terlonjak. Laki-laki itu lantas bangun sambil mematahkan lehernya ke kanan kiri. “Tidurmu aktif sekali, Loeh. Ketindih terus semalaman.”
“Oh, ya?” Mata besar itu mengerjap.
“Ya, sudah. Aku mau mandi dan siap berangkat lebih awal.” Weda turun dari ranjang lalu menarik tubuhnya untuk mengendorkan otot tegangnya yang tak bisa bergerak ditimpa raga Galoeh. “Kecil-kecil begitu kamu berat juga, ya?”
“Betulan Mas saya tindih semalaman?”
“Menurutmu?”
Galoeh meringis, sambil menggaruk kepala tak gatalnya. Kebiasaan tidur yang senang menempel pada tembok atau orang di sebelahnya sepertinya membuat Weda tak nyaman. Galoeh pikir Kartika hanya membual karena selalu mengeluh sakit ketika mereka tidur seranjang dan sepertinya cerita Tika benar adanya.
Weda sudah selesai mandi ketika Galoeh usai menyetrika baju yang sudah disiapkan Weda malam sebelumnya. Ia terperangah mendapati baju seragamnya licin. “Ini kamu setrika lagi?” tanya Weda saat mengambil kemeja yang masih hangat.
“Nggih, Mas. Biar rapi dan nyaman dipakai.”
Weda mengulum senyum. “Begini ternyata rasanya punya istri. Ada yang memerhatikan.” Weda mengenakan kemeja putihnya sambil tak berhenti tersenyum.
“Mas sudah melindungi saya. Sudah selayaknya saya melakukan kewajiban saya.”
Gerakan tangan Weda terhenti. Kedua bola mata hitamnya menatap sang istri dengan lekat. Lalu bibir Weda kembali mengurai senyum menguak gigi putih yang berjajar rapi. Sementara ifu Galoeh masih memperhatikan gerak-gerik Weda, dari saat Weda memakai kemeja hingga lelaki itu mengambil wadah gel yang membuat rambutnya seharian rapi dan tertata. “Mau sampai kapan kamu lihat aku terus?” Weda melirik ke arah Galoeh dengan tangan yang sibuk mengoles acak gel pada rambutnya
Galoeh terkesiap. Pipinya memerah. Bagaimana bisa ia terpesona dengan tiap gerakan yang dilakukan Weda? Buru-buru Galoeh berbalik dan melangkah keluar. Namun, baru sampai ambang pintu suara Weda kembali menggema.
“Kamu mandi sana. Aku antar ke sekolah,” titah Weda sembari menyisir rambutnya dengan belahan samping.
Sejurus kemudian, Galoeh kembali membonceng Weda. Kali ini ia duduk di boncengan belakang. Sesampainya di sekolah, Galoeh turun begitu saja. Saat Galoeh hendak berlalu, Weda memanggilnya.
Galoeh berbalik dengan kedua alis terangkat, mendapati tangan Weda terulur ke arahnya. “Ada apa?”
“Be-belum salaman,” kata Weda dengan membuang mukanya ke arah lain.
Bola mata Galoeh bergulir ke kanan kiri dengan pipi merona. Ia tak terbiasa menyalami laki-laki selain Romo Tjokro dan ayah mertuanya, tapi sekarang Weda sudah jadi suaminya sehingga ia pun akhirnya melakukan permintaan Weda.
“Nanti aku pulang cepat. Kamu belanja ya? Nanti kita masak sama-sama.”
“Ada acara apa, Mas?” tanya Galoeh heran.
“Teman-teman mau datang untuk slup-slupan.”
“Ah ….” Galoeh mengangguk-angguk, langsung memikirkan apa yang harus ia masak. “Trus mau masak apa?”
“Terserah kamu saja. Yang sederhana tapi mengenyangkan.”
Otak Galoeh seketika berpikir menu apa yang akan ia siapkan. Padahal sebenarnya ia tak terlalu bisa memasak dan kepalanya tak pernah dipusingkan dengan menu sebuah acara.
“Ya sudah, aku berangkat ya?” Weda pun berbalik dan mulai mengayuh sepedanya.
Gadis itu mengerjap berulang. Ia menatap punggung Weda yang menjauh. Selama ini, ia tak pernah memikirkan romantisme antara laki-laki dan perempuan. Tapi Weda selalu mampu membuat jantungnya menggedor rongga dada.
“Wah, ada yang cium tangan suami waktu berangkat kerja.” Kartika yang sudah tiba lebih dulu, ternyata memergoki ulah kakaknya, begitu ia masuk ke halaman sekolah.
Seketika wajah Galoeh semakin merona. Untung saja hanya Tika. “Opo toh, Tik?” Galoeh berusaha menetralkan ekspresinya.
“Kalian terlihat serasi.”
Galoeh berdecak. Diam-diam ia mengulum senyum.
“Piye semalam?” tanya Tika penasaran.
“Tikaaa!” Galoeh mencubit lengan sahabat yang suka menggodanya.
“Aku seneng kalau kalian bisa bersama, Loeh.” Tika meringis, mengelus lengannya. “Masku ketok sayang sama kamu lho, Loeh. Padahal selama ini dia ndak pernah dekat sama perempuan selain Mbak Harti,” ungkap Tika.
“Memang Mbak Harti sedekat apa sama masmu?”
“Ya sangat dekat. Mereka sering diskusi bareng karena punya pikiran yang sejalan. Aku malah menyangka, Mas Weda mau melamar Mbak Harti kalau peristiwa ini ndak terjadi.”
Galoeh melongo. Apakah sebenarnya ia duri dalam daging dalam hubungan Weda dan Harti? Kini Galoeh merasa berdosa dengan sentuhan kecil Weda yang sangat ia nikmati.
💕Dee_ane💕
Deers, di KK juga sudah nambah bab yak. Silakan kasih dukungan di sana dan jejak cintanya di sini😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top