24. Curiga

Malam ini Galoeh benar-benar sendiri. Jarum jam saku yang nemani sepi dalam genggamannya itu sudah menunjukkan waktu lewat tengah malam. Sebenarnya Galoeh tak berharap banyak ketika Weda tak kunjung datang sebelum jam malam. Namun, tetap saja Galoeh duduk di meja makan dengan penerangan lilin kecil agar tidak menarik perhatian Kempetai yang berkeliling.

Galoeh geli sendiri dengan apa yang ia lakukan sore tadi. Selama ini ia tak pernah sengaja berdandan. Memakai bedak hanya ia lakukan untuk acara khusus saja. Tapi tadi sore, Galoeh berlama-lama di depan cermin sebelum ke markas, berharap Weda akan terkesima.

Hingga hari berganti, Weda tetap tak datang. Nasi gurih yang ia sisakan semalam sama sekali tak termakan dan terpaksa ia buang dengan perasaan bersalah karena masih banyak orang yang tak bisa makan. Pagi ini, Galoeh hanya membakar ubi jalar yang ditinggalkan Ibu Lastri. Ia sengaja membakar empat karena akan ia berikan pada keluarga Djono. 

Gara-gara ‘Ibu sudah mengatur’, pagi ini Galoeh kebingungan berangkat ke sekolah. Ibu Lastri sengaja tidak memperbolehkan Harti membawa sepeda yang ada di rumah supaya Weda bisa mengantar dan menjemput sehingga mereka bisa semakin dekat. Nyatanya, apa yang diatur ibu mertuanya itu membuat Galoeh sudah merutuk pagi-pagi. Ia terpaksa bergegas berangkat mengejar trem dan masih harus berlari untuk mencapai gedung sekolah di daerah Pasar Kliwon.

Namun, ketika gadis itu terengah melangkahkan kaki secepat yang ia bisa begitu turun dari trem, suara klakson mobil menjeda larinya.

“Galoeh-san, ayo naik. Sebentar lagi masuk. Kamu akan terlambat.” Kepala Souta melongok saat berseru dari jendela mobil yang terbuka

Sial! Ia ingin menolak. Tapi mengingat waktu semakin mepet, akhirnya ia menerima tawaran Souta. 

“Ini ….” Souta mengulurkan sapu tangan merah marun ke hadapan Galoeh yang masih menata napasnya. Ia menghentikan gerakan tangannya yang mengusap peluh dengan kain lengan gaunnya.

Sekali lagi, Souta tahu yang ia butuhkan. Galoeh mengambil sapu tangan merah marun itu dan menyeka keringatnya kasar karena kali ini ia tak lagi memakai bedak. Setibanya di sekolah, sudah bisa dipastikan semua mata tertuju ke arahnya. Tak terkecuali Tika. 

Saat Galoeh masuk ke ruang guru, Tika segera mendekati Galoeh. “Loeh, kamu kenapa bareng Sato-Sensei?”

“Lha ini. Gara-gara Ibu yang ngatur, terus masmu pergi entah ke mana, jadinya aku berpapasan dengan dia.” Galoeh tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.

“Pergi?”

Bibir Galoeh mengerucut. “Ini yang ndak aku mau, Tik. Gitu kok mau diresmikan!” Kali ini Galoeh tak bisa menahan kekehan mirisnya, menertawakan nasib mengenaskannya. Sudah kehilangan keluarga, kehilangan cita-cita dan berakhir menjadi istri laki-laki yang punya kekasih. Waktu itu ia tak ada pilihan karena Galoeh terpaksa harus pergi saat mendengar kabar Raka selamat dan sekarang kembali diburu. 

“Berarti semalam Mas Weda ndak pulang?” tanya Tika prihatin.

Galoeh mengangguk. Lesu. “Dia ke Malangdjiwan katanya. Ke tempat Mbak Harti.” Ia lalu menghela napas panjang dan mengembuskan udara untuk membuang nyeri di hati. Sayangnya, percakapan mereka berakhir bertepatan dengan dentang bel yang berbunyi.

Karena semalam tak tidur, badan Galoeh rasanya nyeri. Ia tetap harus bertahan mengajar anak-anak yang bersemangat menuntut ilmu. 

“Djono ndak masuk lagi?” tanya Galoeh saat mengabsen.

“Ndak, Sensei,” kata Rohajati yang duduk di sebelah Djono.

“Kalian tahu Djono ke mana?” Galoeh khawatir karena Djono tak terlihat sejak kemarin.

“Katanya Djono sekarang milih kerja,” celetuk yang lain.

Akhirnya sepulang sekolah, ia meminta Rohayati untuk menemaninya ke rumah Djono. Ia memberi iming-iming ubi bakar sebagai upah gadis berusia 11 tahun itu mengantarnya. 

“Rumahnya di dekat Pasar Legi. Setengah jam lebih kalau berjalan.” Rohayati bersemangat berjalan di sampingnya.

“Ndak pa-pa. Yang penting Sensei tahu kondisi Djono.”

Setelah menempuh perjalanan lima puluh menit, akhirnya mereka tiba di rumah di daerah pemukiman pribumi yang sangat bertolak belakang dengan kemewahan pemukiman elit di era kolonial.

“Kata Djono, dulunya leluhurnya adalah prajurit meriam Legiun Mangkunegaran. Jadi mereka sekarang tinggal di Setabelan. Sewaktu Nippon datang, bapaknya Djono tetap dipekerjakan sebagai abdi dalem Mangkunegaran sampai waktu beliau ditangkap saat mengadakan pertemuan di Karanganyar.” Rohayati berceloteh riang tentang apa yang ia tahu dari temannya.

“Jadi, sebenarnya Djono lumayan berada ya?” tanya Galoeh.

“Ya begitulah. Sejak bapaknya meninggal saja ia seperti itu. Sebenarnya dia ndak boleh sekolah karena dianggap anak pengkhianat, tapi Sato-Sensei yang menyuruh Djono kembali sekolah.”

Alis Galoeh mengernyit. Informasi itu membuatnya heran. “Sato-Sensei?” tanya Galoeh memperjelas pendengarannya.

“Betul. Djono sebenarnya ndak mau. Dia benci sekali dengan Jepang karena Djono melihat sendiri ayahnya dieksekusi,” kata Rohayati  sambil berjalan dengan cepat. “Ah, itu rumahnya!” Rohayati menyapa anak kecil yang menggendong bayi dan memperkenalkan Galoeh.  Anak berumur tujuh tahun yang bernama Yanti itu menyalami Galoeh. 

“Mas Djono sedang bekerja. Simbok di dalam sedang diperiksa dokter,” kata Yanti. Galoeh lalu mengambil alih bayi yang kira-kira berumur sembilan bulan dan ikut berjalan mengikuti anak perempuan itu ke kamar yang tertutup tirai.

Anak itu menyibak tirai, mempersilakan Galoeh masuk. “Bu, ada Galoeh Sensei.”

Galoeh masuk. Namun, seketika senyumnya memudar ketika melihat Weda dan Harti ada di situ. 

“Galoeh.” Harti berdiri dengan senyum manis. 

Buru-buru Galoeh menguasai ekspresinya dan sekuat tenaga menarik otot bibirnya. “Dokter Harti dan Dokter Weda di sini rupanya.” 

“Sudah kenal to, Sensei?” Mbok Panti berusaha menegakkan tubuhnya.

“Iya, Mbok. Sensei Galoeh ini—” Kata-kata Harti terpotong begitu saja saat Galoeh menyahut.

“Saya sahabatnya adiknya dokter Weda. Tika.” Galoeh mengulurkan bayi itu ke Rohayati dan menghampiri Mbok Panti. 

Wanita itu menyuruh anak keduanya mempersilakan Weda dan Harti minum teh yang sudah disajikan di ruang tamu.

“Djono cerita kalau Galoeh Sensei baik sekali. Kami jadi bisa makan ubi dan jagung.” Mbok Panti terbatuk. 

“Oh, ya, saya bawa sedikit ubi. Hanya dua.” Galoeh duduk di tepi ranjang.

“Wah, kok repot-repot? Barusan Dokter Harti dan Dokter Weda bawakan garangasem.” Mbok Panti berusaha menegakkan tubuhnya dan bersandar di sandaran ranjang. 

Hati Galoeh tercubit. Buah tangan yang ia bawa terlalu sederhana dibandingkan garang asem yang dibawa Harti.

“Apa Djono ada salah sampai Sensei ke mari? Kemarin Sato-Sensei juga ke sini.” Mbok Panti tampak gugup.

“Sato-Sensei?” Galoeh mengernyitkan alis.

“Begitu tahu Djono ndak masuk, beliau ke sini, mendatangi Djono. Tadi Djono pamitnya ke sekolah, apa ndak sampai?” Mbok Panti mengangkat tangannya untuk menggelung rambut di tengkuk.

Galoeh menggeleng. “Saya ke sini karena Djono absen Sabtu kemarin dan hari ini.”

Mata Mbok Panti memerah. Wanita berusia tiga puluh tiga tahun itu mengusap pipinya. “Maaf, Sensei. Djono terpaksa harus bekerja untuk memberi makan kami.”

Galoeh meraih tangan Mbok Panti. “Djono pinter, Mbok. Sayang kalau ndak mendapat pendidikan yang bagus. Kalau dia besar nanti pasti jadi orang sukses. Jadi, tolong beritahu ke Djono kalau mulai besok dia tetap datang ke sekolah untuk mengambil tugas. Dia tetap harus belajar setelah selesai bekerja.”

Selanjutnya Galoeh berpamitan karena sudah selesai menyampaikan maksudnya. Ia bangkit dan keluar dari kamar. Lagi-lagi dua pasang mata menatapnya. Gadis itu lalu mengedarkan pandang, menghindari tatapan pasangan kekasih itu.

“Rohayati mana, Nduk?” tanya Galoeh tak mendapati muridnya.

“Langsung pulang, Sensei.” Gadis cilik itu berdiri sambil bergerak ke kanan kiri membuai adiknya. 

Galoeh hanya mendapati dua gelas teh di situ karena tuan rumah tak sempat membuatkan. Ia tidak ada alasan lagi untuk tinggal di tempat itu. “Kalau begitu saya pulang dulu.”

“Kamu naik apa ke sini?” Akhirnya Weda membuka suara.

“Jalan kaki.” Galoeh langsung berbalik dan sebelumnya ia merogoh tasnya dan mengeluarkan cokelat yang ia beli di Magelang. “Sensei pulang dulu. Ini bagi dua sama masmu ya, Nduk.”

“Matur nuwun, Sensei.”

Saat Galoeh akan mengayunkan kaki, Weda bangkit dan memanggilnya. “Loeh, kamu tunggu—”

“Ndak perlu, Mas.” Sepertinya ia terbiasa memotong ucapan orang sejak di sini. “Saya pulang saja sebelum kesorean.”

Namun, Weda meraih pergelangan tangannya hingga Galoeh urung melangkah. “Kamu tunggu di sini. Aku antar Harti dulu mencari dokar.”

Tak ingin berdebat, Galoeh hanya diam yang dianggap persetujuan bagi Weda. Namun, ia enggan menuruti Weda. Dulu, gara-gara menunggunya, Galoeh ketakutan duduk di bawah pohon. Kini, Galoeh tak ingin terlalu bersandar pada pria yang jelas-jelas mempunyai hati dengan wanita lain.

Sayangnya keputusan  Galoeh pulang bukanlah ide yang baik. Ia tak tahu jalan ke arah rumah yang ia tempat sekarang. Ia juga tak mendapati ada delman atau becak di situ. Sekarang Galoeh hanya bisa menyesal karena tadi tak meminta Rohayati menunggunya yang berujung dia tersesat. Padahal langit semakin gelap dan azan maghrib mulai berkumandang.

Rasanya Galoeh ingin menangis. Perutnya keroncongan karena hanya diisi separuh ubi tadi pagi. Kakinya pun mulai meraung karena tak ada lagi tenaga menyangga tubuh. Untuk kesepuluh kalinya Galoeh bertanya yang selalu dijawab, “Nanti belok ke utara, trus ada perempatan belok ke timur.”

Galoeh benar-benar buta arah di tempat ini. Ia tak tahu mana arah mata angin. Semakin ia berjalan semakin ia tersesat dan tubuhnya semakin lunglai. Parahnya, ia tak juga mendapati delman yang bisa mengantarnya pulang seolah para kusir sepakat libur sore itu. Karena tak sanggup lagi berjalan, akhirnya ia memutuskan beristirahat. Beruntung masih ada beberapa butir cokelat yang bisa membantu menaikkan energinya. Setelah ini ia harus segera sampai ke rumah sebelum jam malam diberlakukan.

Langit jingga akhirnya digulung pekat malam. Sudah hampir dua jam ia berjalan dan tak bisa menemukan jalan pulang. Ia tersesat dan pada akhirnya Galoeh meraung. Seandainya ia menuruti kata Weda, ia tak akan sengsara seperti ini. Gadis itu hanya bisa berjongkok di pinggir jalan, sambil menenggelamkan wajahnya di antara lengan yang bersedekap memeluk tungkai.

💕Dee_ane💕

Deers, sory lama update. Semoga ada yang nungguin. Di KK sudah sampai part 30-an yak. Silakan mlipir ke sana kalau ga sabar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top