23. Hari Baru
Di sisi lain, Weda tak bisa berhenti tersenyum mengingat apa yang terjadi pagi tadi. Semalam saat melihat Galoeh terlelap hingga tak sadar bersandar di bahunya, Weda sengaja memindahkan posisinya agar tidur lebih nyaman dengan memangku kepala Galoeh. Dalam keremangan cahaya, Weda mampu memindai sosok mungil yang berbaring di pahanya. Wajah Galoeh yang tertidur tampak damai seolah tak ada prahara di dunia ini.
Weda tak pernah menyangka, ia akan menjadi suami sahabat adiknya. Mereka tak pernah bertemu, hanya saling mengenal nama. Foto yang ditunjukkan Tika pun ternyata tak sama dengan aslinya karena ternyata Galoeh jauh lebih manis dari yang ditangkap lensa kamera. Dari jarak tiga jengkal saat Galoeh tidur berbantal pahanya ia bisa memindai wajah kuning tanpa jerawat. Bulu matanya lentik berjajar di tepian kelopak mata dengan rambut hitam yang lebat.
“Dok, ada Shodanco Pantja,” kata Darso membuyarkan lamunan Weda.
Weda terkesiap, dan segera meraih stetoskopnya. Ia lalu menemui seorang laki-laki yang berpangkat Shodanco atau komandan peleton yang pura-pura terluka saat berlatih. Weda paham dan mengikuti sandiwara Pantja seolah mengorek informasi tentang keluhan dan riwayat kesehatannya.
Setelah sepi, Weda lalu bertanya, “Ada apa?”
“Kapan Dokter akan meninggalkan markas? Kita harus melanjutkan rencana kita ini.”
“Belum tahu. Beberapa waktu ini aku masih harus tugas luar. Memangnya ada apa?” Weda melirik ke kanan kiri memastikan tak ada orang di sekitar mereka.
“Saya punya kabar penting.”
Alis Weda mengerut. Ia menengok ke kanan kiri memastikan tidak ada ada orang lain selain mereka. “Kabar apa?”
“Jadinya bulan Februari besok akan diadakan latihan perang 10 daidan Jawa Timur di Tuban.” Pantja mengangkat kedua tangannya dengan merentangkan kesepuluh jarinya.
“Oh, ya?” Mata Weda membulat. Weda kadang heran dari mana Pantja mendapat berbagai informasi dari berbagai batalyon PETA di daerah lain.
“Jepang sudah bertindak terlalu kejam. Kemarin saja, saya mendengar petani berteriak minta dikasihani saat Kumiai merebut panenan. Dan, Dokter tahu yang terjadi?” Wajah Weda semakin tegang menunggu kelanjutan cerita Pantja. “Tembak di tempat!”
“Bangsat!” Weda ikut merutuk. Amarahnya menggelegak mendengar cerita Pantja.
“Saya akan mengumpulkan teman-teman. Saya sudah ndak tahan lagi sama Nippon Asu itu.” Rahang Pantja beroklusi erat.
“Hati-hati bertindak! Kabari aku informasi selanjutnya.”
“Sebaiknya kita segera mengadakan pertemuan lanjutan.” Pantja menimpali. “Kalau berlama-lama, rakyat Indonesia bakal remuk!” Sorot mata Pantja berbinar, penuh semangat.
“Kita memang harus menumpas fasisme Jepang dari negeri ini. Sesegera mungkin tapi juga dengan persiapan matang.”
“Jadi kapan rencananya kita berkumpul lagi?”
“Bagaimana kalau malam ini kita adakan pertemuan lanjutan?” celetuk Weda begitu saja. Sepertinya sekarang ini Weda harus fokus pada tujuan utama yang ingin dicapai. Mengusir penjajah Dai Nippon.
Malam itu Weda tak pulang karena harus mengadakan pertemuan untuk membahas perkembangan kabar dari Pantja. Dengan secangkir kopi yang dibawa masing-masing orang, keempat petinggi PETA itu berkumpul di kamar Weda.
“Jadi, bagaimana selanjutnya?” tanya Gala bersemangat.
Pantja lantas menceritakan apa yang ia dengar dengan mata yang berbinar. Semua mata tertuju ke arahnya dan mendengar dengan saksama.
“Kalau Februari nanti, berarti kurang lima bulan lagi? Kita bisa bantu apa?’ tanya Gala.
“Apa kamu sudah bisa melacak Letnan Raka?” Weda tiba-tiba teringat Raka yang selamat.
“Belum. Saya juga tak bisa melacak lagi kelompoknya.” Pantja mengabarkan dengan kecewa.
Bibir Weda mengerucut, dengan tautan alis. “Aku akan mencari info dari Galoeh. Siapa tahu ia bisa memberi petunjuk.”
“Ah, ya! Dia kan sepupunya Galoeh?” Bibir Gala tertarik lebar. “Bagaimana Daidanco?”
Irawan sedari tadi diam tak berkomentar dalam pertemuan itu. Wajahnya datar menatap Weda. “Lakukan saja yang terbaik. Oh, ya … kapan slup-slupan rumah barumu?”
Weda menggaruk tengkuknya. “Besok baru mau pindahan.”
“Ya sudah. Besok saja kita kumpul. Bagaimana?” Gala menimpali. “Pastikan siapkan makanan enak. Kebetulan sepupuku pulang. Dia mau mampir.”
“Mas Daru?” tanya Irawan.
“Betul. Dia juga sedang meminta dukungan pembesar untuk melakukan pemberontakan di Djakarta. Tapi karena sepertinya niatnya ndak ditanggapi, sepertinya ia mau meminta pindah di Blitar untuk membantu rencana pemberontakan di Tuban.” Gala meraih kue jahe yang dibuat Harti.
“Nekat juga, Mas Daru.” Weda menggeleng-geleng takjub.
“Jadi pastikan makanannya banyak ya!” Gala meringis sambil menelan kue jahe yang lumer di mulut.
Seusai pertemuan rahasia itu, Irawan sengaja keluar paling akhir. Ia mendekati Weda dan berkata, “Weda, aku dengar Mbok Tarni gerah.” Mbok Tarni adalah ibu kandung Harti. “Harti sekarang ada di Malangdjiwan. Kalau sempat, kamu ke sana gih.”
Weda hanya mengangguk, menyanggupi permintaan Irawan. “Besok coba aku ke sana.”
“Oh, ya, hubunganmu sama Harti piye? Apa kamu dan Galoeh itu benar-benar menikah atau hanya status?” tanya Irawan dengan wajah serius.
Sejujurnya Weda canggung membicarakan masalah Galoeh dengan Irawan mengingat komandan daidan itu adalah kakak tiri Harti yang sangat menyayangi adiknya. Namun, sepertinya Irawan menanti jawabnya.
“Hubungan kami baik-baik saja. Sama seperti dulu.” Weda menepuk pundak sahabatnya.
***
Hari ini, bertepatan dengan hari Minggu, Galoeh diantar Ibu Lastri ke rumah yang akan ditempatinya. Berhubung Ibu Lastri masih sangat memegang teguh adat, wanita paruh baya itu sudah mempersiapkan sapu lidi, lampu minyak, dan tempat air untuk melakukan ritual slup-slupan dengan harapan rumah yang akan ditempati bida memberikan kenyamanan dan ketenteraman.
Dalam perjalanan menggunakan naik delman langganan keluarga mereka, Ibu Lastri tak berhenti bercakap menceritakan masa kecil Weda. “Weda itu sebenarnya baik. Cuma kadang ngomongnya nylekit dan canggung sama perempuan.”
Galoeh hanya bisa mengangguk saja sementara badannya meliuk-liuk mengikuti laju delman.
“Perasaanku, Mas Weda pasti sudah melupakan Mbak Harti.” Tika menimpali.
“Hush! Buat apa nyebut Harti?” Ibu Lastri menepuk paha putrinya.
“Kenapa ndak boleh nyebut to, Bu? Mbak Harti kan masa lalunya Mas Weda. Masa kini dan masa depan Mas Weda itu Galoeh. Iya to?”
Tapi rupanya, ucapan Tika itu tak sesuai dengan kenyataan karena saat mereka tiba, Weda belum tiba di rumah. Padahal hari ini hari Minggu dan kata Ibu Lastri, Weda sudah meluangkan waktunya setelah latihan militer pagi hari.
Setelah menanti beberapa saat, Weda tetap tak datang. Maka Ibu Lastri dan Tika pun terpaksa pulang. “Untuk hari ini kamu ndak usah masak. Ibu sudah buatkan nasi gurih dan ayam ingkung.” Ibu Lastri memandang berkeliling, memastikan tak ada yang tertinggal. Wanita itu juga telah membawakan alat masak dan alat makan.
“Bu, sebenarnya ndak usah buat nasi gurih—” Galoeh merasa tak enak hati, mengingat di luar sana banyak yang tidak bisa makan layak.
“Harus to ya? Kita ini masih orang Jawa. Lik Min juga kemarin sudah masang ubarampe di atas atap. Biar kalian nyaman tinggal di rumah ini,” potong Ibu Lastri. “Ah, Weda ini bagaimana toh? Sudah tahu hari ini slup-slupan tapi malah ndak datang?”
“Mas Weda pasti sibuk, Bu,” ujar Galoeh yang sebenarnya memberi alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri.
“Sesibuk-sibuknya, mestinya Weda tetap harus meluangkan waktu untuk kamu.” Ibu Lastri menarik tangan Galoeh dan mengelus punggungnya. “Kamu harus kuat ya, Nduk. Walau Ibu ini hanya mertuamu, tapi anggap saja Ibu seperti ibu kandungmu.”
“Sejak dulu, Ibu selalu saya anggap ibu saya. Makanya saya juga mikir-mikir waktu disuruh nikah sama Mas Weda karena sudah saya anggap mas saya.”
Ibu mengembuskan napas panjang. “Pasti berat buat kamu untuk memasuki dunia baru setelah menikah. Tapi, begitulah perempuan. Kita harus berani melangkah untuk membina rumah tangga.”
Galoeh menelan ludah kasar. Ia tahu Ibu Lastri begitu memperhatikannya. Hanya saja, ia menikah dengan putranya. Alih-alih perhatian mertua, ia lebih membutuhkan perhatian suaminya.
“Nduk, sebenarnya Ibu pengin kamu bisa menikah dengan resmi. Ada pemberkatan dan rangkaian upacara adat.” Wajah Ibu Lastri yang terlihat awet muda itu terlihat sendu.
“Bu, saya sama Mas Weda belum terbiasa. Jadi, mungkin butuh waktu.” Galoeh berusaha mengelak dengan halus.
“Kamu tenang saja. Ibu sudah atur semuanya.”
Kalau Ibu Lastri sudah berkotbah, tak ada yang bisa melawannya. Bahkan Romo Danoe pun tak berkutik bila istrinya sudah mempunyai keinginan kuat. Maka selain ‘nggih’ tak ada jawaban lain yang bisa melegakan hati wanita paruh baya itu.
Selepas Ibu Lastri dan Tika pulang, tertinggallah Galoeh di rumah itu sendirian. Konon katanya rumah ini dulunya milik perwira KNIL yang ditangkap Dai Nippon, dan sampai sekarang masih kosong, sebelum Weda berniat untuk tinggal di rumah ini. Rumah itu bergaya arsitektur Belanda dengan jendela kaca di depan mirip yang kediaman Hadinata di Mertojoedan. Sayangnya, rumah ini begitu asing. Galoeh seperti terjebak di dunia lain tanpa Weda di sisinya.
Mengingat banyaknya makanan yang ada di rumah, Galoeh memutuskan mengirim makanan ke markas. Mumpung langit masih terang, maka ia pun segera mandi dan mengenakan gaun biru muda. Bedak tipis pun ia sapukan untuk menambah kesan segar di wajah.
Berbekal rantang yang berisi nasi gurih dengan suwiran ingkung di ketiga tingkatan rantang, Galoeh berangkat ke markas dengan berjalan kaki. Jarak rumah ke markas tak terlalu jauh. Hanya lima menit perjalanan dan akhirnya untuk pertama kalinya Galoeh tiba di markas tentara Pembela Tanah Air yang dibentuk pada bulan Oktober 1943 yang lalu.
Di depan gerbang ada seorang tentara yang berjaga. Galoeh pun menghampiri tentara yang berpangkat prajurit atau giyuhei untuk memberitahu maksud kedatangannya. Sambil menanti orang itu memanggilkan Weda, Galoeh duduk di bangku dekat pos penjaga. Ia sudah membayangkan ekspresi terkejut Weda saat melihat ia di sini. Hanya memikirkannya saja, Galoeh bisa senyum-senyum sendiri. Ia bahkan sudah memikirkan akan merespon seperti apa bila Weda datang nanti.
Di saat Galoeh disibukkan memikirkan tanggapan yang akan ia berikan pada Weda, pundaknya ditepuk seseorang. Galoeh seketika mendongak sambil memberikan senyum lebar. “Mas—” Tarikan bibirnya seketika pudar. Alih-alih Weda, yang datang justru Gala.
“Mbak, eh, Galoeh … Weda sudah pulang siang tadi.”
Perasaan kecewa secepat kilat menyusup batinnya. Namun, ia berusaha menguasai keadaan dan tetap melengkungkan bibirnya walau berat. Siang tadi, Galoeh ada di rumah. Namun setelah itu tak ada tanda-tanda Weda datang. Atau ia pulang ke Lawejan?
“Pulang ke mana?”
Gala mengangkat bahu. “Hanya pamit pulang begitu.”
“Oh, ini … saya cuma mau ngantar nasi gurih dan ingkung. Ada tiga porsi.” Galoeh mengulurkan rantang ke depan Gala, berusaha menepis tanda tanya ke mana Weda pulang.
“Acara apa ini?” Mata Gala berbinar cerah mendengar nama makanan yang disebut Galoeh.
“Slup-slupan rumah.” Pipi Galoeh merona. Gala adalah orang yang tahu pernikahan akal-akalan ini.
“Wah, ada siapa ini?” Decitan rem berlomba dengan suara renyah laki-laki yang tak terlalu tinggi. Sorot matanya berbinar dengan wajah yang selalu tersenyum. Laki-laki itu mengenalkan diri sebagai Pantja.
“Oh, ini istri Dokter Weda,” komentar Pantja setelah mereka berkenalan. “Tadi saya berpapasan sama Dokter Weda di jalan. Katanya ke Malangdjiwan.”
“Malangdjiwan?” Alis Galoeh mengerut.
“Iya. Tempat Dokter Har—” Pantja memekik saat sepatu lars Gala menginjak sepatu Pantja.
“Ah … itu teman dokternya.” Gala menyambut dengan terkekeh sambil memelotot pada Pantja yang kebingungan.
Galoeh mengedarkan pandangan bergantian dari Pantja ke Gala. Ucapan Pantja memang terpotong, tapi Galoeh tak sebodoh itu sehingga tak bisa menebak. Ia yakin Galoeh ke Malangdjiwan, ke tempat kekasihnya, dan meninggalkan Galoeh di sini.
💕Dee_ane💕
Ada yang nungguin?
Aku mau bikin hisfic time travel tentang anak2 Indische alias Indo-Belanda. Ada yang mau ngikuti setelah Asmaraloka berakhir?😬
Silakan kasih jejaknya, Kawans
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top