22. Malam Pertama

Galoeh akhirnya memutuskan untuk manut. Lagipula ia tak punya tempat lagi untuk berlindung. Mendapati Weda yang rela melindunginya hingga mencarinya sampai dua kali, ia pun berubah pikiran. Gadis itu merasa, mungkin menikah dengan Weda bukan sesuatu yang buruk karena Weda begitu baik. Laki-laki ini sangat langka karena di masa laki-laki berkuasa dengan egonya, Weda tak segan melakukan pekerjaan yang begitu melekat sebagai pekerjaan perempuan. 

Sesaat mereka diam. Weda duduk dengan gelisah. Ia lalu berdeham dan akhirnya membuka suara. “Oh, ya, aku punya sesuatu.” Weda merogoh tasnya lalu mengeluarkan jagung. “Ini masih hangat. Aku kekep (peluk) dari tadi.”

Galoeh mengerjap menatap jagung itu berganti ke arah Weda. 

“Aku kebetulan melewati orang jualan jagung rebus. Karena mesake aku beli banyak buat satu keluarga. Itu … makan saja. Aku pilihkan paling besar biar badanmu montok.” Weda berusaha mencari alasan lain supaya tidak terlihat aneh. Berhadapan dengan Galoeh selalu membuatnya serba salah.

“Heh?” Galoeh melongo. 

Tapi, Weda sudah buru-buru bangkit dan berlalu begitu saja dari kamar. Tingkah Weda begitu canggung dan membuat Galoeh tersenyum geli. 

Galoeh masih mendekap jagung rebus hangat yang diberikan Weda sebelum ke luar kamar lagi untuk mandi. Ia tak menyangka Weda akan membalas perbuatan kecilnya. 

Selepas mandi, Galoeh dipanggil untuk makan malam. Ia tak menyangka bisa kembali ke rumah ini. Beberapa hari kesepian di Mertojoedan, malam-malamnya selalu merindukan keramahan keluarga Tirtonagoro yang selalu menganggap seperti putri sendiri.

Namun, di tengah percakapan mereka sesudah makan, Lik Min datang tergopoh. “Ndoro, di luar ada orang yang minta tolong lahiran.”

Semua orang yang ada di situ melirik ke jam yang menggantung di dinding ruang makan. 19.30. Itu artinya setengah jam lagi diberlakukan jam malam.

“Dari mana?” tanya Romo Danoe.

“Dari Bandjarsari. Sudah ditolong ke dukun beranak dan katanya ari-arinya ndak keluar.”

Weda mendesah sambil mengelap mulutnya. “Biar saya yang berangkat. Kalau ndak segera ditolong, ibunya bisa ndak selamat, Bu,” ujar Weda.

“Mas, saya ikut boleh?” tanya Galoeh.

“Ini sudah hampir jam malam. Bahaya,” larang Weda. Biasanya kalau jam malam diberlakukan, listrik akan dimatikan dan suasana pun gelap gulita.

Galoeh menggeleng. “Meski saya ndak belajar di Ika Daigaku lagi, saya pengin belajar langsung dari dokter lulusan Belanda, Mas.”

“Yo wes. Siap-siap sana. Tapi kamu harus kuat lari.”

Galoeh mengangguk dengan senyum lebar. Ia lantas mengikuti Weda  ke kamar untuk mengambil peralatan dan beberapa obat. “Untuk kasus ini, kita bawa set persalinan dan obat untuk merangsang kontraksi plasentanya.”

Galoeh terpukau dengan cara Weda menjelaskan tanpa ia minta. Selanjutnya, mereka bergegas ke ruang tamu di mana seorang laki-laki muda yang berusia sekitar dua puluh tahun menanti. 

“Kamu di depan ya, Mas. Kami ikuti dari belakang. Usahakan tanpa senter,” titah Weda.

Ini kali pertama, Galoeh mengikuti Weda mendapat panggilan tugas dari masyarakat yang membutuhkan. Selama ia di situ, rumah ini memang dipenuhi orang sakit yang dilayani cuma-cuma oleh Romo Danoe bergantian dengan Weda bila ada waktu senggang. Tapi, baru sekarang ada panggilan persalinan sehingga Galoeh tertarik untuk membantu.

Dalam perjalanan menembus gelap malam, Galoeh melangkahkan kaki secepat mungkin untuk menyeimbangkan ritme jalan Weda. Bila terdengar derik kayuhan sepeda tentara Jepang yang berjaga atau suara percakapan bahasa Jepang di kejauhan, mereka harus bersembunyi sebelum melanjutkan perjalanan kembali. 

“Galoeh, kita harus cepat. Sepertinya tentara yang berjaga malam ini lebih banyak.” Weda meraih tangan Galoeh dan menariknya.

Galoeh terkesiap. Tangan besar itu menggandeng dan menarik tubuhnya. Mereka berlari bersama dalam gelap mengikuti arahan pemuda yang memberi kabar hingga satu jam kemudian mereka sampai di sebuah rumah berdinding anyaman bambu.

“Niki Dokter. Ari-arinya ndak bisa lepas.” Dukun beranak itu tampak pucat. Ekspresi leganya tampak ketika melihat Weda masuk.

“Sudah berapa lama?” tanya Weda dengan napas tersengal dan wajah berlumuran keringat. 

“Dua jam ini.”

Weda lalu mencuci tangan dan mengenakan sarung tangan. “Galoeh, kamu bisa tata alat-alat di meja situ. Aku mau masukkan obat dulu.”

Galoeh sigap melakukan perintah Weda. Sembari membantunya, ia memperhatikan gerak-gerik Weda saat melakukan pemasangan infus untuk memberikan obat yang bisa memicu kontraksi rahim. Setelah menunggu beberapa waktu dan plasenta tak juga terlepas, akhirnya Weda memutuskan untuk melakukan tindakan mengambil plasenta yang tertinggal di rahim wanita berumur delapan belas tahun. 

“Loeh, aku mau melakukan tindakan manual plasenta. Kamu ….” Weda menunjuk ke sisi kanan pasien. “pegangi diannya.” 

Dengan penerangan seadanya, tangan Weda masuk ke liang peranakan ibu muda itu. “Tangan kiri harus menahan fundus uteri,” terang Weda dengan wajah berkeringat. 

Galoeh hanya manggut-manggut mendapati arahan Weda. Sejujurnya, Galoeh ngilu melihat tangan besar Weda mengobok-obok lubang sempit itu. 

Peluh merembes deras di wajah sang dokter. Untuk kesekian kali, Galoeh menyeka keringat Weda. Ia semakin kagum pada ketangkasan Weda saat menangani pasien. Seandainya ia bisa belajar kedokteran lagi, ia pasti bisa membantu Weda.

“Sabar ya, Nduk.” Weda membesarkan hati pasien. Wanita muda yang disumpal mulutnya agar tak berteriak itu menggeleng dengan wajah bersimbah air mata dan keringat. 

“Iya. Sakit. Tahan sedikit lagi …,” hibur Galoeh.

Wanita itu mengerang. Galoeh meringis ikut seolah merasakan ngilu di bawah sana. 

“Lahir!” Weda tersenyum puas ketika mendapati plasenta itu meluncur dari tubuh sang ibu muda. Setelah memeriksa kelengkapan plasenta, Weda lalu melakukan masase pada fundus.

“Tak jahit dulu. Biar keset lagi. Kalau dipakai suamimu biar kenceng.” Weda terkekeh sementara tangannya sibuk menyiapkan pinset bedah dan penjepit jarum. 

“Dokter ini ada-ada saja.” Dukun beranak itu menepuk pundak Weda. Sepertinya hubungan mereka sudah cukup dekat sehingga wanita berambut putih itu tak sungkan dengan Weda.

“Emoh, Dok. Kapok. Ndak mau saya diapa-apain. Sakitnya kaya remuk tulang saya.”

“Tenane? Biasane kapok lombok loh. Emoh ning nagih.” Alis Weda naik turun, menggoda pasiennya.

Galoeh yang mendengar ikut tersenyum simpul. Cara berkomunikasi Weda begitu cair tanpa batas dokter dan pasien. Bahkan ibu muda itu tak merasakan kesakitan lagi ketika jarum menusuk dagingnya saat Weda melakukan penjahitan untuk menyatukan bagian yang koyak.

Begitu tindakan selesai dan Weda serta Galoeh keluar dari kamar,  suami sang pasien menghampiri mereka. “Pak Dokter sama Ibu istirahat di sini saja. Tapi ndak ada kamar lagi. Cuma amben di depan. Sambil menunggu pagi.”

Berhubung sudah lebih tengah malam, akhirnya Weda memutuskan untuk tinggal di situ. Setelah berbenah dan meminum air putih yang disediakan tuan rumah, Galoeh duduk dengan meluruskan kaki sambil bersandar di tembok. Awalnya ia masih mendengar percakapan Weda dan beberapa orang yang ada di sana. Namun lama-kelamaan rasa lelah mendera hingga membuat matanya terpejam.

Cuitan burung menyadarkan tidur nyenyak Galoeh. Perlahan ia memutar tubuh yang kaku, membuka matanya, dan mendapati ia berbaring dengan berbantal paha seseorang. Ia bisa melihat wajah Weda dari bawah. Gadis itu mengerjap. Seingat Galoeh, semalam ia ikut Weda menolong ibu bersalin yang mengalami kendala. Setelah itu mereka bercakap menunggu pagi di tempat ini. Tapi kenapa ia berbaring berbantal paha Weda? Pantas saja ia begitu nyenyak tidur karena kepalanya berbantalkan sesuatu yang empuk dan nyaman.

Seketika jantung Galoeh berdetak kencang. Napasnya kembang kempis mendapati ia tidur di paha laki-laki. Apakah ia harus bangun sebelum Weda bangun?

Weda menggeliat. Galoeh langsung memutar tubuh. Alih-alih menghadap luar, ia justru menghadap tubuh Weda. Galoeh juga merasakan sesuatu yang keras ganjalan di pipinya. Walau ia belum menikah, ia tahu apa yang ia tindih itu. Tenggorokan Galoeh semakin tercekat. Ia memejamkan mata erat tak ingin Weda tahu ia telah terjaga. Namun, kemudian ia merasakan belaian di kepalanya. Sentuhan itu mengingatkannya pada belaian lembut Ibu Marti yang meninabobokannya.

“Loeh, mau sampai kamu berbaring? Kamu menindih adik-ku.”

Wajah Galoeh memerah. Ia segera bangun dan duduk memunggungi Weda. Suaminya ternyata benar-benar sehat karena organ reproduksinya terjaga di pagi hari. “Maaf.”

“Sudah jam lima. Sebaiknya kita pulang. Kamu hari ini mengajar bukan?”

Galoeh mengangguk saja. Lidahnya masih kaku karena pipinya masih mengingat kerasnya  batang yang ia tindih. Bila ia masih polos, mungkin ia akan menyangka menindih kayu. Seketika otak Galoeh berkelana membayangkan sesuatu yang keras akan menyusuri ceruk tubuhnya seperti alu menumbuk lesung. 

Galoeh menggeleng. Merutuk. Bagaimana bisa ia berpikir yang bukan-bukan di pagi hari?

***

Pagi ini merupakan pagi pertama  ia baru bisa masuk lagi ke sekolah sekembalinya dari Mertojoedan. Ia tak menyangka kedatangannya disambut meriah oleh murid-murid yang ia ajar. Rupanya Tika sengaja mengajukan izin untuknya agar ia masih bisa tetap kembali ke sekolah. Tak hanya para murid yang menyambutnya, guru-guru pun juga senang ia bisa datang lagi. Termasuk Souta. 

Laki-laki Jepang itu sengaja masuk ke kelasnya ketika jam istirahat berlangsung. Dengan senyum lebar, ia menarik kursi dan duduk di sebelah Galoeh. 

“Bagaimana Magelang?” 

Galoeh bungkam mendengar pertanyaan retoris itu. Ia yakin Souta pasti tahu bahwa ia masih bersaudara dengan Raka yang menghilang setelah kecelakaan.

Namun, Souta justru terkekeh mendapati raut jutek Galoeh. Lelaki itu tersenyum miring sambil bersedekap dan duduk dengan kaki kanan yang menumpu di atas paha kiri. “Untuk ukuran saudara pemberontak, kamu punya cukup nyali untuk berkeliaran.” Pada akhirnya keluarlah wajah asli Souta.

“Untuk apa saya bersembunyi? Saya ndak berbuat salah.” Galoeh mengeluarkan jagung rebus dari tasnya. Namun, jagung itu direbut Souta. Lelaki itu membuka klobotnya dan membagi dua lalu menyerahkan paruhannya pada Galoeh. “Anda ndak sopan, Sensei! Apa orang Jepang suka merebut makanan kami?”

“Sepupumu sudah membuat sepupuku dihukum karena dianggap lalai!” Dengan santai Souta mulai mengerat jagung.

Galoeh menelan ludah kasar. Walau dadanya berdetak kencang terselip gentar, gadis itu berusaha menepis. Ia justru menatap nyalang laki-laki berseragam Kempetai itu yang membantu mengajar Sejarah Jepang.

Senyuman tipis tersembunyi di balik bibir merah Souta. Ia bangkit, membungkuk, dan mendekatkan wajahnya ke depan wajah Galoeh hingga kedua matanya bergerak ke tengah. Dari jarak sejengkal ia bisa melihat dengan jelas hidung mancung di bawah mata sipit yang pandangannya setajam elang yang siap menerkam mangsanya. Seandainya ia bukan orang Jepang, Galoeh akan dengan senang hati mendukung perasaan Tika yang menyukai Souta. “Jangan terlalu pelit, Galoeh-san.” Souta memegang dagu gadis itu hingga kepalanya mendongak. Mereka saling beradu pandang, lalu ia mengalihkan tatapannya sejenak, sebelum Souta semakin mendekatkan mukanya ke wajah Galoeh.

Seketika Galoeh mendorong tubuh Souta dan menamparnya. “Jangan kurang ajar, Sensei!”

Mata sipit itu membeliak. Souta menarik bibir tipis sambil menegakkan tubuhnya. Tangannya menyapu pipi kiri yang ditampar Galoeh. “Kalau kamu bersikap garang begini, justru semakin menggemaskan!” Ia melirik Galoeh yang buru-buru berdiri. “Aku pastikan kamu aman bila mau menuruti kataku!”

Menuruti kata penjajah? Jangan harap! 

Galoeh mendengkus. Ia masih ada satu kelas lagi, sehingga tak bisa langsung pulang saat ini. Untungnya, ia melihat mobil yang biasa dikendarai Souta meluncur ke luar dari halaman sekolah sehingga sisa harinya bisa tenang walau ia masih menyimpan kedongkolan. 

Sewaktu pulang sekolah, seperti biasa, Galoeh dan Tika akan mengendarai sepeda masing-masing, sambil bercakap. Udara yang terik tak mereka hiraukan, karena selalu ada saja cerita lucu sewaktu mengajar yang membuat mereka tergelak.

“Kamu tahu rumor di sekolah?” Tika memulai percakapan serius mereka setelah roda sepeda menggelinding hampir separuh perjalanan.

“Rumor apa?” tanya Galoeh.

“Kamu selingkuh dengan Souta-kun.” Tika menjorok badan ke kiri seperti berbisik. 

Galoeh membeliak. “Mana ada?” 

“Tadi aku lihat, Souta ….” Tika menjeda ucapannya, lalu membasahi bibir lembabnya dengan lidah. “dia masuk ke kelasmu.”

“Itu ….”

“Loeh, aku percaya sama kamu. Walaupun kamu belum cinta masku, tapi setidaknya kamu bisa merasakan ketulusannya melindungi kamu.” Tika menggeleng. “Ndak, ndak. Kamu lihat saja ibuku yang berjuang mati-matian agar kamu bisa jadi menantunya.”

Susah payah Galoeh menelan ludahnya di antara napas yang tersengal saat mengayuh sepeda. “Aku tahu. Ndak mungkin aku bisa bersahabat dengan Dai Nippon.”

Tika mengembuskan napas panjang. “Souta itu aslinya baik. Kamu lihat sendiri bukan dia disayangi anak-anak?”

“Kecuali Djono.” Galoeh mendengkus. “Sepertinya dia sangat waspada dengan Souta sampai-sampai waktu lihat aku ditarik Souta Djono langsung ke markas PETA.”

“Bapak Djono ditangkap Souta. Karena dianggap memberontak.” 

“Oh, ya?” Mata Galoeh membeliak.

“Bapaknya meninggal dan ia tinggal bersama ibu yang sakit-sakitan sama adik-adiknya yang masih kecil.” Tika melanjutkan ceritanya.

Galoeh manggut-manggut paham. Pantas saja Djono sampai sehari tidak makan karena memang anak itu tidak ada uang untuk mendapatkan makanan. “Matur nuwun sudah memberitahu. Selama ini Djono hanya bilang dia sering mengantuk karena setelah sekolah bekerja jadi buruh tani.”

“Dai Nippon itu memang kejam … tapi aku tahu di balik kekejaman orang-orang itu, masih tersisa orang baik,” imbuh Tika menuntaskan obrolan hari ini, saat mereka membelokkan sepeda masuk ke halaman Kediamana Tirtonagoro. “Hanya saja, kita ndak bisa lagi berhubungan dengan Tuan Sato.”

***

Malam ini, Galoeh sudah menata barang yang akan ia bawa ke rumah dinas. Tak banyak barang yang ia bawa. Hanya satu koper yang berisi dua potong gaun, tiga kutang, empat celana dalam, satu kebaya terbaiknya dan jarik. Jangan lupakan buku yang berisi catatan kuliahnya. Rencananya ia akan membawa beberapa buku Weda yang ingin ia baca.  Ia melihat-lihat dulu buku-buku yang ditata rapi di rak dan memutuskan mengambil buku diktat fisiologi dalam bahasa Belanda. Ia belum selesai membaca buku ini karena terjeda kepulangannya ke Mertojoedan. Kalau dulu ia sembunyi-sembunyi masuk ke kamar Weda untuk membaca buku, sekarang ia bisa bebas melahap semua isi buku itu. 

Galoeh lalu membuka buku itu dan tiba-tiba selembar kertas foto hitam putih jatuh di lantai. Ia memungut, foto yang di baliknya terdapat tulisan : Ik houd van jou. Tanpa berpikir panjang ia membalik potret itu dan mendapati foto Weda memeluk Harti.

Tangan Galoeh lemas. Ia buru-buru menangkup lagi buku itu dan memasukkan ke dalam barisan buku di rak. Hati gadis itu teriris melihat kedekatan Weda dan Harti. Ia bagaikan perempuan jahat yang merebut kebahagiaan perempuan lain.

💕Dee_ane💕

Part ini panjang ya ... Jangan lupa jejaknya biar semangat update. Oh, ya, di KK sudah part 37. Silakan meluncur yang mau dukung di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top