21. Memanfaatkan Bencana

Walau berusaha tak khawatir, tetap saja pikiran Weda tertinggal di Kediaman Hadinata. Apalagi ia sekarang mengetahui Galoeh adalah sepupu Raka. Pantas saja Souta masih memantaunya. Sejujurnya, ini kali pertama otaknya dipenuhi tentang sosok gadis. Selama bersama Harti, ia tak pernah sekalut ini. Ia juga tak pernah emosi karena berselisih paham. Bagi Weda, Harti adalah orang yang paling mengerti dirinya. Bahkan saat ia dipusingkan menghadapi tekanan Ibu Lastri yang memaksanya menikah, Harti pun mau menjadi kekasihnya untuk dijadikan tameng agar ibunya tak mengenalkannya pada gadis-gadis asing.  

Weda sengaja berangkat lebih pagi untuk menanti kereta yang akan datang pukul sepuluh nanti. Ia duduk di kursi kayu usang, sambil menatap kosong rel yang ada di depannya.

“Mas!” Suara Galoeh membuatnya tersentak. 

“Galoeh? Kenapa kamu ….” Weda tak percaya ada Galoeh di situ. Gadis itu bahkan sudah duduk di sampingnya.

“Saya berubah pikiran.” Galoeh tersenyum lebar.

Weda mengernyit. “Kenapa?” Tidak mungkin Galoeh berubah pikiran secepat itu. 

“Mas Raka … selamat. Sekarang dia diburu dan saya harus jaga-jaga biar ndak terlihat pernah berhubungan sama Mas Raka.” Galoeh meringis sambil meremas lututnya yang bergetar. 

Weda berdecak dengan senyuman miring. Gadis yang sok kuat itu pada akhirnya menyerah. Melihat dari penampakannya tak sempat bersiap dan sepertinya Galoeh berlari ke sini. Gadis itu memakai gaun sederhana yang ia kenakan semalam. Melihat Galoeh dibanjiri peluh, Weda mengambil sapu tangan dan menyerahkannya pada gadis itu. Sementara Galoeh sibuk menyeka keringat, ia melepas jas luarnya dan menyelubungkan ke tubuh Galoeh. “Hawanya dingin. Pakai jaketku.”

Tatapan mereka bersirobok. Bibir Galoeh bergetar. “Kenapa Mas Weda baik sama saya?”

Weda menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan melempar pandangan ke depan. “Karena aku harus bertanggung jawab sama kamu.”

“Kenapa?” tuntut Galoeh.

Weda melirik ke arah gadis yang menuntut jawabannya. “Karena keluargaku yang menyebabkan tragedi di keluargamu.” Perasaan bersalah masih saja bercokol di batinnya. Dan kenyataan itu akan terus menghantui Weda. 

Galoeh hanya mengangguk dengan kepala menunduk, menyembunyikan ekspresinya di balik anak rambut yang kusut masai.

“Kamu tahu itu?” tanya Weda mendapati Galoeh tak terkejut.

“Mas, sejak awal saya tahu bahwa tindakan Romo beresiko. Dan, Romo selalu berkata agar saya tetap kuat dan ndak goyah.” Suara Galoeh bergetar. Ia mendongak, menatap Weda dengan mata berkaca-kaca tersorot sinar matahari menjelang siang. “Sejak awal Romo sudah mendukung pergerakan Mas Raka. Memberi beras untuk para anggota atau kolega dan juga memberi dukungan dana.”

Weda mengangkat tangannya dan mengusap pipi basah ketika mata berbulu lentik itu mengerjap. “Tapi, kamu marah sama Mbok Peni.”

“Itu lain. Seandainya Mbok Peni ndak buka suara pasti ya ndak bakal ketahuan.”

Weda mengembuskan napas pelan. “Syukurlah kamu ndak marah ….” Weda mengelus kepala Galoeh. “Kamu tenang saja, sekuat tenaga aku akan melindungimu. Seperti romomu yang menutupi kenyataan romoku yang meminta kiriman beras itu.” Galoeh hanya membisu. “Mulai besok kamu harus tinggal di rumah dinas. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan bersama teman-teman sehingga aku ndak bisa sering pulang. Aku ndak pengin Nippon curiga kalau kita hidup terpisah.” 

“Saya manut, Mas. Saya yakin Mas memikirkan yang terbaik untuk saya.”

***

Begitu Weda sampai markas setelah mengantar Galoeh ke rumah, ia menyampaikan fakta hubungan Galoeh-Raka pada teman-temannya pada pertemuan rahasia mereka.

“Telat! Kami sudah tahu!” sahut Gala sambil mengunyah kue mochinya.

“Dari?”

Gala menggerakkan dagu ke arah Pantja yang cengar-cengir dengan mulut belepotan. 

“Kamu tahu dari mana?” Weda keheranan sendiri dengan kemampuan intelijen Pantja.

“Saya punya jaringan yang luas. Kemarin saya ketemu Adi, teman gerakan bawah tanah daerah Magelang, yang memberitahu kalau sepupu Letnan Raka adalah putri kepala desa yang kemarin dieksekusi. Nah, siapa lagi kalau bukan Mbak Galoeh.”

“Tapi, Letnan Raka dikabarkan mengalami kecelakaan waktu dikirim ke Semarang.” Irawan menggeleng berulang. “Truknya kan terbakar?”

“Siapa bilang? Yang saya dengar kemarin, Letnan Raka selamat dari kecelakaan. Jadi, kita masih ada harapan. Saya pikir tentunya beliau pasti akan membantu suami sepupunya. Dan itu bakal menguntungkan kita. Iya to?” Weda meminta dukungan dan menatap satu per satu temannya dengan wajah cerah. 

“Letnan Raka selamat? Tahu dari mana?” Gala menyahut. 

“Dari Galoeh. Dia … terpaksa ikut aku begitu mendengar berita itu,” terang Weda sambil menyeruput kopinya. Tapi kini pikiran Weda semakin kusut. Kalau Raka selamat, bisa jadi Raka akan semakin diburu karena dianggap mempermainkan pemerintah militer. Galoeh akan kembali dipantau dan tentu saja akan memperlambat gerak langkah pergerakan bersama teman-temannya.

Sepertinya yang mengetahui kegelisahannya hanya Irawan. Laki-laki itu sengaja tak segera ke luar dari kamar begitu pertemuan usai.

“Weda, aku mau bicara. Soal Galoeh.” 

Weda berusaha bersikap tenang walau ia tahu ke mana arah pembicaraan Irawan. “Galoeh? Memangnya ada apa?” Weda duduk di depan Irawan yang masih bersila di lantai.

“Apa kamu ndak gegabah mengambil Galoeh setelah mendengar berita itu?” tanya Irawan menatap lurus mata Weda yang gelisah.

“Aku tahu. Tapi, kamu tahu sendiri aku ndak bisa meninggalkan dia.” Hanya itu jawaban terbaiknya.

“Kamu sudah berkorban banyak buat dia, Wed.” Irawan mengingatkan dengan nada tegas. Mata dengan sorot tajam itu menatapnya lurus. “Ndak hanya jarimu, tapi kamu juga mengorbankan adikku!”

“Tenang, justru keberadaan Galoeh di sini akan menguntungkan kita.”  Weda membalik situasi. “Raka pasti akan membantu kita, mengetahui adik misannya di sini. Bukankah ini bagus?”

Bibir Irawan mengerucut dengan kernyitan alis. “Kamu mau memanfaatkan dia?”

Weda hanya mengangguk. “Oleh karena itu, aku mau mengajukan rumah dinas sehingga kita bisa bebas dari mata-mata di markas ini.”

“Weda, ada sesuatu yang lebih besar yang ingin kita perjuangkan. Kemerdekaan bangsa ini! Jadi, aku ndak pengin kita bergerak setengah-setengah!” Irawan lalu berdiri dan saat ia akan melangkah keluar, ia berbalik sejenak. “Besok berikan surat permohonan pengajuan rumah dinas, aku akan mencarikan tempat yang dekat dengan markas dan cukup strategis untuk kita berdiskusi.”

***

Besok siangnya, Weda sengaja pulang ke rumah sesuai janjinya pada Ibu Lastri kemarin. Ia segera pulang tepat waktu begitu setelah membereskan pekerjaannya dan mendapatkan persetujuan rumah dinas. Saat di jalan, Weda melihat ada wanita berkebaya yang menggendong tenggok berisi jagung rebus yang masih hangat. Teringat Galoeh yang pernah membelikannya jagung, ia pun membeli sebanyak sepuluh biji untuk satu keluarganya.

Jelas perempuan tadi menangis penuh haru karena barang dagangan langsung laku terjual hampir separuh dan mengurangi beban di pundaknya. “Mbok, apa jagungmu selalu laku?”

“Ya, kadang laku, Ndoro. Sering tidak.” Wanita itu mengeluarkan pundi uangnya untuk memberikan kembalian.

“Kalau ndak laku terus bagaimana?” 

“Ya, dimakan sendiri.” Wanita itu mengulurkan uang kembalian pada Weda. 

Hati Weda tercubit. Belum tentu satu keranjang jagung itu bisa untuk membeli beras satu keluarga. Ia lalu tersenyum dan mendorong uang itu. “Simpan saja kembaliannya.”

Wanita itu menerima uang dari Weda dengan penuh haru bahkan sampai menciumi tangannya. Air mata wanita yang menjadi salah satu penduduk negeri ini menenggalamkan Weda pada amarah pada Dai Nippon yang menginjak-injak bangsanya. Membuat bangsanya yang dulu dibuat bodoh Belanda kini merasakan penderitaan lahir dan batin. Sekarang Weda yang merasa cukup beruntung masih bisa mendapat kesempatan sekolah, sehingga tak perlu berjalan jauh demi mendapatkan upah untuk membeli sesuap nasi, benar-benar harus berjuang agar bisa mengusir Dai Nippon dari negeri ini agar orang seperti wanita penjual jagung, Mbok Panti, dan juga Galoeh pun bisa mendapatkan kehidupan yang layak. 

Dada Weda bergemuruh oleh amarah setiap ia bertemu dengan tentara Jepang. Walau ia berpangkat perwira di PETA, tetap saja di hadapan tentara rendahan Dai Nippon ia harus memberi penghormatan. Tentu saja aturan itu membuat Weda muak dan semakin menyadari bahwa ia harus fokus berjuang demi bisa menyingkirkan penjajahan di negeri ini bersama para pemuda yang lain.

Sesampainya di rumah, ia segera mengeluarkan jagung yang masih hangat dari dalam tasnya kepada Mbok Mi. Tapi, ia sengaja menyisakan satu untuk ia berikan sendiri pada Galoeh. “Mbok, Galoeh mana?” 

“Galoeh istirahat, Mas. Jangan diganggu.” Alih-alih Mbok Mi, Ibu Lastri yang menjawab. Wanita itu menahan langkahnya dan menarik Weda dengan wajah lesu untuk duduk di kursi yang melingkari meja. “Sini Mas, Ibu mau bicara.” Ibu menepuk permukan kursi di sebelahnya.

“Ada apa, Bu?” Weda lantas duduk di kursi di sebelah Ibu Lastri.

“Kemarin, Galoeh cerita, sepupunya ternyata orang yang dicari Kempetai. Waktu mau dikirim ke Semarang, truk yang digunakan untuk mengantar mengalami kebakaran. Tapi waktu diperiksa, ndak ada jasad sepupu Galoeh di sana.” Ibu Lastri menyeka matanya yang berair. “Ibunya Raka itu, orang Magelang. Trus ibunya Galoeh kan adiknya Letkol Soejanto. Keluarga dekat seperti ini pasti akan diminta keterangan. Jelas saja rumah Mertojoedan akan menjadi tempat yang akan digrebek.”

“Ibu tenang saja. Galoeh sudah menjadi istri saya. Soal dia ke Mertojoedan, saya sudah mendapat alibi. Dua kali saya datang untuk menengoknya bukan?”

“Iya. Tapi Ibu yang ketar-ketir. Bagaimana kalau dia tetap dituduh terlibat? Selama di Magelang, ternyata Galoeh sempet berhubungan dengan pergerakan bawah tanah milik Raka.” Ibu Lastri mengembuskan napas panjang. 

“Ndak usah khawatir, Bu. Yang penting, Galoeh sudah aman di sini,” kata Weda meraih tangan Ibu Lastri dan menepuk punggung tangannya seolah ingin mengusir kegelisahan sang ibu. Weda sangat tahu, Ibu Lastri yang mbingungi itu sangat menyayangi Galoeh sehingga sekarang wanita paruh baya itu mulai cemas mendapati kenyataan yang dialami Galoeh.

“Mas, urusannya semakin pelik. Galoeh jangan sampai pergi dari kota ini,” sambung Romo Danoe.

“Betul. Bahaya sekali!” Ibu Lastri menimpali. “Ibu sampai ndak bisa tidur semalam.”

“Wes to, Romo sama Ibu tenang saja. Saya sudah mengantongi persetujuan rumah dinas. Besok saya akan boyong Galoeh ke rumah dinas.”

“Yang betul, Mas?” Senyum lebar Ibu Lastri terbit di wajah yang bersimbah air mata. 

“Keadaannya sudah begini, jadi saya akan melindungi Galoeh karena bagaimana pun juga romonya juga melindungi kita. Kalau di rumah dinas, saya bisa memantaunya.”

“Oh, ya … untuk pemberkatan, pagi ini ada telegram datang. Bulan sepuluh nanti, Romo Marto akan datang dan bisa memberikan pemberkatan nikah. Ibu belum memberi tahu Galoeh.”

Jakun Weda naik turun. “Ibu ndak usah berharap. Tapi, nanti saya akan tetap memberitahu Galoeh. 

Saat Weda akan bangkit dari duduknya, Ibu Lastri kembali menahannya. “Le, kalian sudah ….”

Romo Danoe berdeham, melirik istrinya di balik koran yang ia rentangkan. “Bu ….”

“Bapak ini! Ibu itu takut Weda sudah ngapa-ngapain Galoeh tapi belum perberkatan.” Ibu Lastri terlihat gusar. “Le, sudah sejauh mana hubunganmu sama Galoeh?”

“Ibu ini?” Pipi Weda memerah. Bagaimana bisa Ibu Lastri bertanya hal aneh seperti itu?

“Wes to! Jujur. Sudah sampai mana?” Ibu Lastri menatap putra sulungnya dengan pandangan berharap.

Helaan napas Weda terdengar keras berusaha mengusir rasa kesalnya pada sang Ibu yang selalu tidak sabaran. Ia lalu memegang kedua lengan ibunya dan tersenyum. “Meski Ibu meminta kami tidur berdua, tetap saja ndak akan ada sesuatu yang terjadi. Jadi, Ibu tenang saja, anakmu ini laki-laki baik-baik.”

Ibu Lastri menepuk lengan Weda hingga laki-laki itu meringis. “Baik piye! Kamu itu sudah jadi suaminya! Walau kita ndak bisa melakukan pemberkatan secepatnya karena sudah ndak ada romo Belanda yang bertugas, jadi ya terpaksa ditunda dulu. Tapi bukan berarti kamu ndak—”

“Bu, sudah to! Mereka baru saja ketemu. Butuh kenalan. Masa Ibu kaya ndak kenal Weda saja. Dia ndak akan aneh-aneh sama Galoeh.” Romo Danoe menyela ucapan istrinya.

“Bukan begitu, Mo. Romo itu ndak peka sekali! Bisa jadi Galoeh pergi karena nganggep ndak diinginkan sama Weda!” Bibir Ibu Lastri semakin memberemgut. “Tapi, Le … punya kamu bisa begitu to?” Jari Ibu Lastri mengacung.

Tawa Romo Danoe meledak mendengar istri menginterogasi Weda yang mukanya semakin kepiting rebus. Karena tak ingin terjebak pada situasi yang aneh, Weda lalu berdiri dan bergegas ke kamarnya. 

Saat ia menapak di lantai kamar itu, gadis itu sedang berbaring dengan wajah kuyu. Tak ingin mengganggu, ia pun duduk di samping ranjang sambil menatap gadis itu.

 Tanpa sadar, tangan Weda terulur menyibak anak rambut yang menutupi wajah Galoeh. Sejak pertama kali melihatnya, Weda tak bisa mengalihkan pandangan dari sosok mungil ini.  Dan seiring berjalannya waktu kepala Weda hanya dipenuhi oleh bayangan Galoeh karena selalu membuatnya cemas.

“Mas ….” Galoeh tersentak. Ia buru-buru menegakkan tubuh. Sepertinya ia tak terlalu lelap tidurnya mengingat bisa merasakan sentuhan kecil.

“Maaf, aku membangunkanmu?”

Galoeh menggeleng. “Saya ndak bisa bener-bener tidur.” Ia menyibak rambutnya ke belakang telinga. “Ada apa?”

“Loeh, aku sudah dapat rumah dinas. Besok kita pindah,” kata Weda. “Dan, Ibu sudah memperoleh kabar kalau akan ada pastor yang akan memberikan pelayanan di kota ini. Apa kamu mau meresmikan pernikahan ini?” 

Galoeh terdiam sejenak tampak berpikir dan akhirnya mengangguk. Kali ini gadis itu lebih jinak daripada sebelumnya yang seperti kuda liar. 

💕Dee_ane💕

Jangan lupa jejaknya ya ...🫰🫰
Di KK sudah sampe part 35

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top