20. Keputusan Galoeh
Galoeh terengah saat kembali menimba air untuk membilas baju yang beberapa hari belum ia sempat ia cuci. Ia kembali teringat abdi-abdi setia keluarganya yang tak lelah menimba air untuk mengisi bak mandi, gentong air di dapur, dan untuk mencuci baju satu keluarga. Di tempat ini selalu ada riuh tawa bujang-bujang yang melayani keluarga ini. Terkadang Romo Tjokro menawarkan para bujang itu untuk bersekolah agar bisa memperbaiki nasib. Dan, sebagai balasannya, mereka rela membantu pekerjaan rumah tangga tanpa diminta di sela waktu belajar mereka. Seperti Sarju dulu.
Kini, semua tiada. Para abdi yang bertahan dieksekusi. Hanya Mbok Peni yang bisa selamat. Para bujang yang kini sudah memiliki hidup yang lebih baik, tak terlihat batang hidungnya untuk memberi uluran tangan. Di saat seperti ini, Galoeh merasa sendiri.
Dalam lamunannya seorang diri, lengan kurusnya tetap berusaha menarik tali yang terpancang di katrol. Baru kali ini ia merasakan berat mengisi air bak mandi sehingga tak heran, Ibu Marti meminta ia berhemat agar tak memperberat pekerjaan para abdi. Di saat Galoeh meringis saat ototnya berkontraksi menarik ember yang hanya berisi setengah air, tiba-tiba tangannya digenggam seseorang dari belakang. Seketika Galoeh memekik.
“Tangan kurus begini, mau sampai kapan selesai nimbanya?” Suara serak itu menyapa Galoeh. “Bisa-bisa lenganmu patah.”
Galoeh mendongak, menatap Weda yang menjulang di atasnya. Saat ini Weda seperti memeluknya dari belakang. “Mas ….” Jantung Galoeh seketika berdetak kencang. Ia bisa merasakan punggungnya bersentuhan dengan dada kekar Weda.
“Kamu masih mau pegang talinya?” Weda menunduk, membalas tatapan Galoeh.
Gadis itu terkesiap dan menarik tangannya, serta membebaskan diri dari kungkungan Weda. “Mas Weda ganggu saja!” Wajah Galoeh merah padam karena gemuruh jantung di dadanya berhasil memompa darah ke pipi hingga seperti kepiting rebus
“Kalau kamu ke Sala, kamu ndak perlu menimba air,” Weda melirik jail ke arah Galoeh.
Galoeh mencibir, lalu duduk di dingklik kecil, melanjutkan membilas baju.
“Kamu juga ndak perlu mencuci baju, masak, bahkan bersih-bersih rumah.” Weda mengiming-imingi Galoeh.
“Saya ndak semanja itu, Mas.” Galoeh mengucek jarik yang ia cuci dengan lerak. Tiba-tiba gadis itu kembali memekik saat percikan air dari ember timba mengenai badannya. “Mas!”
Tawa Weda menggelegar. Sepertinya memang laki-laki itu punya hobi baru mengganggunya selain menjaili Tika. Weda lantas membungkuk dan menarik sembarang kain yang terendam di bak air yang terbuat dari kayu.
“Dari pada kamu sengsara di sini sendirian, lebih baik ikut ke Sala.” Weda mengerjap saat menyadari yang ditariknya adalah kutang berukuran 34B.
Sementara itu mata Galoeh membulat mendapati Weda memegang kutangnya. Ia pun segera menarik baju dalamnya dan menyelipkannya di dasar bak. “Mas Weda ndak usah di sini! Ganggu saja.”
Weda berdiri, mengelap tangan basahnya di kain celana bagian pantat. “Ya … ya sudah. Aku isi air mandi saja. Habis itu aku masak.”
Derak katrol yang mengangkat air mengisi kebisuan di antara mereka. Kebekuan menyergap padahal matahari mulai terik ketika hari menginjak siang. Beberapa waktu kemudian, akhirnya Weda berdeham. “Loeh, aku ….”
“Mas, terima kasih perhatian Mas Weda. Aku bakal sering mengunjungi Romo, Ibu, dan Tika. Mas tenang saja.”
“Kok kamu ndak nyebut aku?” Gerakan tangan Weda terhenti saat ember berada di tengah sumur. Suara gemericik air yang jatuh dari ember yang terombang-ambing separuh tinggi sumur itu menggaung jelas hingga ke permukaan.
“Malas! Yang ada bikin makan hati,” ujar Galoeh memelintir isi hatinya. “Mas jangan sampai terlambat ke stasiun. Sebaiknya Mas tinggal saja. Aku sudah terbiasa melakukannya sendiri.” Galoeh sengaja memunggungi Weda untuk menyembunyikan ekspresi sendunya.
“Aku ndak akan ke mana-mana. Sampai kamu ikut pulang. Kalau kamu pengin aku dihukum, berarti aku harus lebih lama di sini.”
Galoeh bingung dengan sikap Weda. Ia memutuskan pergi agar Weda bisa bahagia bersama Harti. “Mas urusi saja kekasih Mas.”
“Harti lebih dewasa dan bisa mengurus dirinya sendiri.”
Telinga Galoeh seketika berdenging. “Lalu kenapa Mas repot ngurus saya? Saya juga ndak minta!”
“Seharusnya kamu bersyukur ada yang mengurus! Kenapa malah sewot?” Weda tak ingin kalah berdebat.
“Menyebalkan!” Galoeh berdiri menghentak kakinya. “Sana jauh-jauh dari saya! Kalau perlu pulang saja.” Gadis itu mendorong Weda, hingga tali timba merosot ke bawah, menggesek kulitnya.
“Ibumu dulu ngidam batu apa ya?” Tangan Weda berkacak pinggang. “Bocah kok keras kepala banget!”
“Jangan-jangan Ibu Lastri juga ngidam kroto! Anak lanange cerewet kaya wadon (perempuan)!”
Mulut Weda menganga lebar mendengar Galoeh mengatainya seperti perempuan. Namun, ia menghela napas panjang untuk mengusir kejengkelannya. “Sepertinya aku harus masak supaya kita bisa berpikir jernih setelah makan.”
Saat Galoeh melihat Mbok Peni datang tergopoh. Begitu wanita gemuk itu sudah ada di dekatnya, ia lalu berkata, “Mas tenang saja.” Galoeh mengeratkan rahangnya. “Saya akan dijaga abdi … setia keluarga ini. Bukan begitu Mbok Peni?” tanya Galoeh pada Mbok Peni.
Mbok Peni ndlongop. Bingung karena begitu datang ditanyai yang tak tahu arah pembicaraannya. Sementara Weda menatap wanita itu.
“Loh, njenengan kan perempuan yang dulu itu?”
“Ah, garwane Ndoro Galoeh to? Kenalkan saya Mbok Peni.” Mbok Peni memperkenalkan diri.
“Jadi, Mas ndak perlu repot dan bikin ribut di sini.”
Sejurus kemudian, tumis kangkung dan ikan asin goreng masakan Mbok Peni terhidang di meja. Hanya melihatnya saja, hati Galoeh terasa hangat. Uap yang mengepul itu langsung membuat perutnya keroncongan karena semalam ia tak makan.
Makan pagi kali ini pun masih diisi dengan kebisuan. Setiap Galoeh melahap makanan yang dimasak Weda, keinginan untuk memiliki Weda seutuhnya mulai meraja. Tidak! Galoeh tak boleh terbawa perasaan. Ia tak boleh menjajah kebahagiaan Weda demi mendapatkan kenyamanan.
Pada akhirnya, ia memilih tak memedulikan Weda dan hanya berkutat dengan mesin jahitnya. Ia akan membuat Weda yang datang ke sini karena permintaan ibunya dengan cepat menyerah. Namun, Weda tak terpengaruh. Laki-laki itu justru bercakap renyah dengan Mbok Peni yang sedang mencabuti rumput tinggi hingga kemudian halaman depan terlihat asri dan bersih.
Karena Galoeh sudah terlanjur mengatakan Mbok Peni abdinya, maka ia terpaksa memperbolehkan wanita itu tinggal di rumah ini. Dan, parahnya, wanita itu justru menjadi teman berbincang Weda.
“Ndoro tahu ndak? Dulu Ndoro Putri itu nangis waktu datang bulan perta—”
“Mbok Peni!” sergah Galoeh kesal. Sekarang cerita masa kecilnya sudah beranjak ke masa remaja. Untuk apa ia menceritakan tentang haid pertamanya yang konyol. Waktu itu ia berpikir terkena penyakit hingga nangis sesenggukan tiada henti.
“Ndak pa-pa! Aku pengin tahu tentang kamu sewaktu kecil!” Weda menyambung. “Ayo, teruskan, Mbok!”
Galoeh memggeram, melirik sengit dua orang itu, lalu masuk ke kamarnya. Setelah mulai merasa mengantuk, bertepatan dengan suara ‘kuku’ burung hantu di luar sana, Galoeh mengganti gaunnya dengan gaun tidur putih sebelum naik ke ranjang. Ketika ia baru menyisir rambutnya, ketukan pintu terdengar. Gerakan sisir Galoeh terjeda di tengah rambut panjangnya. Ia melirik jam meja yang menunjukkan pukul delapan malam. Awalnya Galoeh tak mengacuhkan, tapi ketukan pintu kembali terdengar. “Siapa?”
“Aku. Buka pintu atau aku masuk sendiri.”
Gara-gara ancaman Weda, mau tak mau Galoeh bangkit dari duduknya untuk membuka pintu. “Ada apa?” tanya Galoeh dengan rambut panjang lurus yang sudah tergerai.
Weda mengerjap. Seketika ia membuang muka dan berdeham sebelum berbicara. “Besok aku harus pulang. Kamu yakin ndak mau ikut?”
“Ndak, Mas. Mas saja yang berangkat,” kata Galoeh tenang.
“Dengar, kalau kamu tinggal sendiri, semua pintu harus dikunci. Jangan sampai ada orang yang bisa mengendap masuk. Lalu ….” Weda menjeda ucapannya. Tatapan tertuju pada Galoeh yang mengenakan baju tidur warna putih terusan. Laki-laki itu kembali berdeham agar kata-katanya lancar terlontar. “jangan menemui tamu laki-laki. Kalau membuka pintu jangan dengan baju tidur. Suruh Mbok Peni yang membukakan. Walau aku tahu lebih baik tidur tanpa kutang, tapi sebaiknya kamu ….”
Telinga Galoeh seketika berdenging. Wajahnya terasa panas. Galoeh mendorong kuat Weda dan segera menutup pintu dengan kasar. Dentumannya keras menggaung di seluruh rumah.
Napas Galoeh kembang kempis, bergegas menuju ke depan cermin. Mata Galoeh melihat dengan jelas lekuk tubuhnya. Termasuk tonjolan mungil di dada Galoeh. Wajah Galoeh merah padam. Ia menyadari beberapa saat lalu ia telah melepas kutangnya.
“Arrggh!” Galoeh mengerang, mengacak rambut. Pasti Weda bisa melihat pucuk dada yang tercetak di gaun satin itu. Yang lebih membuat Galoeh kesal, kenapa Weda memperjelas? Apakah tidak bisa ia pura-pura tidak tahu?
Gara-gara hal ini, Galoeh tidak bisa terlelap walau sudah memejamkan mata. Weda berhasil membuatnya malu berkali-kali seolah ia hanyalah anak kecil ingusan. Ketukan kencang kembali terdengar. Galoeh berdecak kesal. Baru saja terlelap, sudah ada lagi yang mengganggunya. Mau tidak mau ia bangkit dan membukakan pintu begitu saja dengan setengah nyawa yang beluk terkumpul.
“Loeh, aku pulang.” Weda sudah rapi berdiri di depan ambang pintu kamarnya. Rambutnya disisir miring dengan wajah segar yang bertolak belakang dengan Galoeh.
“Pa-pagi sekali.”
Weda lalu berbalik dan duduk di meja makan menghadap secangkir kopi. Di meja itu pula sudah tersaji ubi rebus yang masih hangat. “Oh, ya, beras yang kemarin aku beli, aku suruh simpan di kotak pawon.” Lalu Weda mengeluarkan lembaran uang tiga rupiah. “Ini … buat jaga-jaga. Jangan boros. Aku ndak bisa sering-sering ke sini.”
“Ndoro yakin mau pulang?” Mbok Peni terlihat khawatir. “Kasihan Ndoro Galoeh.”
“Titip Galoeh ya, Mbok. Dia kadang ngrepoti.” Weda laku menghampiri Mbok Peni. “Ini buat Mbok Peni. Buat beli kebutuhan Mbok. Nanti uang belanja dan lain-lain, sudah saya kasih Galoeh. Oh, ya, kalau ada yang ngetuk tolong Simbok yang bukakan.”
Batin Galoeh mencelus. Sikap Weda begitu manis hingga membuat tekadnya meleleh. Tapi, tak selayaknya Galoeh berharap banyak karena Weda memang baik. Walau hatinya mulai bergetar, Galoeh harus meredamnya.
“Uangnya ndak usah,” tolak Galoeh halus. “Saya nanti bakal cari pekerjaan.”
Setelah menghabiskan kopinya, Weda lalu berdiri, tak menggubris penolakan Galoeh. Ia mencangklong tas ranselnya dan menghampiri Galoeh. “Kediaman Tirtonagoro itu juga rumahmu. Kami akan senang hati menantimu.”
Sepeninggalan Weda, Galoeh merasa hatinya hampa. Belum apa-apa ia sudah rindu sekelebatan sosok Weda yang seharian kemarin menyibukkan diri memeriksa genting atap agar terhindar dari kebocoran bila hujan tiba.
Namun, bila mengingat Weda melakukan titah Ibu Lastri, hati Galoeh tercubit. Ia ingin semua perhatian Weda memang tertuju untuknya dan murni dari lubuk hati terdalam. Sepertinya, Galoeh harus berani menekan perasaannya. Jangan berani bermain hati pada laki-laki yang menyukai perempuan lain. Galoeh tidak ingin merasakan sakit hati. Galoeh belum siap patah hati untuk kesekian kali setelah ditinggalkan pergi orang-orang yang dia sayangi.
Selepas Galoeh mandi dan menghabiskan sarapannya, ketukan keras kembali terdengar. Ia menatap Mbok Peni yang sedang menyapu lantai.
“Mbok … siapa itu?” Wajah Galoeh seketika memutih seperti tembok rumahnya.
Mbok Peni lalu buru-buru ke ruang tamu dengan kewaspadaan tinggi dan menyibak sedikit kain tirai. Embusan napasnya terdengar jelas ketika melihat lagi Adi dengan wajah bersimbah keringat. “Mas Adi, Ndoro.”
Begitu pintu dibukakan, Adi bergegas masuk. “Mbak Galoeh harus pergi! Mas Raka ndak ditemukan jadi korban kecelakaan. Sekarang beliau diburu!”
💕Dee_ane💕
Kasih komen kuy. Di KK sudah part 30. Selamat merayakan hari kemenangan bersama keluarga🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top