2. Buronan dari Mertojoedan
Kepala Desa di Magelang jang bernama Raden Tjokrohadinata akan diadili karena menjeloendoepkan beras! Pemerintah Dai Nippon tidak segan menghoekoem berat sebagai peringatan bagi rakjat!
Weda mengernyit membaca tajuk berita hari ini. Ia lalu menyimak setiap paragraf kabar yang berasal dari daerah di bagian barat Gunung Merapi. "Semua keluarga Hadinata diduga juga ikut terlibat dalam penimbunan beras. Mereka akan menjual ke pasar gelap untuk meraup keuntungan sementara semua rakyat Indonesia bahu-membahu menjaga keutuhan negeri dari sergapan Sekutu. Hari Senin, tanggal 14 Agustus 1944 lalu mereka ditangkap kecuali sang putri yang kini menjadi buronan."
"Menimbun beras untuk dijual lagi?" Alis Weda semakin mengerut.
Bahaya! Kalau memang Galoeh adalah putri kepala desa yang hari ini diadili berarti keluarganya sekarang sedang menyembunyikan seorang anak pemberontak.
"Sedang baca apa? Mukanya serius sekali?" tanya Manggala, seorang perwira muda PETA berpangkat shodanco.
"Ini, Bung. Ada kepala desa di Magelang yang diadili. Tuduhannya menimbun beras untuk dijual ke pasar gelap."
Gala menarik kursi dan duduk di depan meja Weda. "Bukan berita baru, bukan? Sekarang memang banyak orang yang tertangkap hanya karena menyembunyikan beras saja. Bagaimana bisa menjual beras di pasar gelap, lha wong banyak petani gagal panen." Gala masih mengamati gambar laki-laki yang ditutup wajahnya dengan kantong kain hitam. "Sekarang ini situasi memang sedang kacau. Kita, manusia, butuh makan. Orang-orang akan melakukan apapun untuk mengisi perutnya agar bertahan hidup. Termasuk menyembunyikan beras, atau menjadi pengkhianat bangsa ini demi bisa mengisi perut."
Mulut Weda menggelembung, mengembuskan napas kasar. Ia bersedekap, menatap kosong deretan huruf yang tertoreh di lembaran surat kabar Sinar Baroe, terbitan Semarang yang memberitakan kabar di seluruh pelosok Jawa. Wajah tirus Galoehasri kemudian terngiang di otaknya. Tidak mungkin ini sebuah kebetulan. Ada perempuan dari Magelang dan romonya juga bernama Tjokro. Kalau memang benar, pemberontak yang dibicarakan di surat kabar ini ada romonya sahabat Tika, maka di rumahnya sekarang ada anak pemberontak. Gawat kalau sampai berkeliaran!
Buru-buru Weda bangkit dari duduknya hingga terdengar derak kasar kaki kursi yang terseret di lantai.
"Mau ke mana?" tanya Gala.
"Pulang. Sebentar saja." Weda mengayunkan langkah cepat setelah memberitahu seorang mantri kesehatan, Darso, untuk menangani dulu bila ada pasien. Begitu sampai di halaman parkiran sepeda, ia mengambil sepedanya dan memutar kayuh sepeda secepat mungkin.
Sejurus kemudian, ia tiba di rumah dan bergegas lari ke dalam untuk mencari Galoeh. "Galoeh di mana, Bu?" tanya Weda saat mendapati ibunya sedang membatik di serambi gandok kanan. Di saat kebutuhan sandang langka, Ibu Lastri masih saja mempunyai pasokan kain mori untuk dibatik. Padahal di luar sana, banyak orang yang tidak bisa berpakaian karena tidak punya jatah kain sehingga terpaksa memakai karung goni bekas beras untuk menutup tubuhnya hingga kasus penyakit kulit karena kutu melonjak.
"Ada di belakang. Kenapa, Mas?"
Tak menjawab ibunya, Weda mempercepat langkah ke pawon. Di sana hanya ada wanita berkebaya lusuh sedang menggoreng pisang. "Galoeh mana, Mbok?"
"Menjemur baju, Ndoro"
Weda akhirnya menemukan Galoeh sedang menjereng kutang pada sebilah bambu yang membentang di antara dua tonggak bambu. Ketika dehaman meluncur dari bibirnya, gadis itu terlonjak dan berbalik.
"Mas Weda?" Pipi gadis berambut lurus yang dikuncir ekor kuda itu memerah. Ia buru-buru mengelap tangannya di kain rok.
"Aku mau bicara," kata Weda datar dan meraih lengan Galoeh menepi di balik pohon durian. Laki-laki berseragam itu lalu melepas cengkeraman pada lengan Galoeh, tapi tak kunjung buka suara dan hanya menatapnya dengan lekat.
"Mas Weda mau bicara apa?" tanya Galoeh kemudian.
"Apa yang terjadi di Magelang?" Mata Weda menyipit tajam.
Alis Galoeh mengernyit. Tampak keterkejutan dari ekspresinya. "Maksud Mas apa?"
"Apa yang terjadi sama keluargamu?"
Galoeh memutar tubuh ke samping, menghindari pandangan Weda. "Da-dari mana Mas tahu?"
"Beritanya ada di koran. Nama romomu Raden Tjokrohadinata bukan? Semua orang di rumahmu ditangkap, kecuali kamu."
Perempuan setinggi dada Weda itu menggigil mendengar setiap kata yang meluncur dari bibir Weda. "Secepatnya saya akan pergi. Saya ndak akan membuat keluarga ini terlibat."
"Apa rencanamu?" tanya Weda sedikit melunak. Hatinya tersentil mendengar suara yang seperti cicitan itu.
Galoeh menggeleng dan berbalik menghadap Weda. Ia memeluk tubuhnya ketika angin berembus kencang, menerbangkan roknya. "Jangan bilang Tika ya, Mas. Besok saya akan pergi kok. Seperti saya katakan kemarin, saya hanya dua hari ini di sini."
"Lalu apa rencanamu? Pulang ke Magelang dan ikut diadili?" tanya Weda.
"Diadili?" Mata belok Galoeh membeliak dan perlahan memerah. "Romo masih hidup?"
Weda membungkuk. Ia menangkup kedua tangan Galoeh. "Hari ini beliau diadili dengan dakwaan penyelundupan beras ke pasar gelap."
Galoeh mengerjap. "Penyelundupan? Pasar gelap? Romo ndak pernah-"
"Aku percaya romomu bukan orang sedangkal itu. Tapi kalau memang dakwaan itu terbukti maka keluargamu ndak akan selamat."
"Bagaimana bisa terbukti? Itu bohong." Galoeh mulai terisak. Wajah yang berada di depan Weda dalam jarak sejengkal itu mulai bersimbah air mata. "Romo saya pasti melakukan dengan alasan lain. Bahkan saya juga ndak tahu apapun."
"Kamu ndak tahu?" tanya Weda heran.
Galoeh menggeleng lemah. "Selama ini saya di Djakarta. Romo ndak pernah ngendikan apapun. Yang saya tahu selama ini selalu ada beras untuk kami makan di rumah. Dan, terkadang Ibu memasak nasi bungkus untuk dibagikan." Tiba-tiba gadis itu mengurai tangkupan tangan Weda. "Saya harus pulang. Saya mau bersak-"
Namun, Weda menarik tangannya hingga tubuh mungil Galoeh hampir menabrak dada kekar lelaki itu. "Kamu mau cari mati?"
"Lalu saya harus bagaimana? Mau lari pun saya juga akan ditemukan Kempetai!" Galoeh menekan suaranya yang frustasi. "Bukannya Mas Weda mencari saya menyuruh saya pergi?"
"Aku ... maksudku ...." Weda tak bisa berkata-kata. Ia datang karena khawatir akan nasib keluarga Tirtonagoro. Bukan, lebih tepatnya ia kaget karena mengetahui kenyataan gadis yang hanya ia kenal melalui cerita Kartika itu ternyata adalah anak pemberontak.
"Tenang saja. Sebaiknya hari ini saya pergi."
"Ke mana? Kamu mau Tika cemas?" sahut Weda.
Galoeh membisu. Otaknya buntu.
"Dengar," Weda menyetarakan pandangannya lurus dengan mata berbulu lentik itu. "aku datang untuk memberitahu kamu supaya jangan berkeliaran di luar. Intel Dai Nippon begitu jeli. Mata-mata mereka tersebar di mana-mana. Untuk sementara, kamu diam di sini. Jangan ke mana-mana. Jangan sampai terlihat ada penghuni tambahan di rumah ini. Aku akan membicarakannya dengan Romo Danoe," kata Weda kemudian.
"Tapi ...."
"Kalian bicara apa di situ?" Ibu Lastri menghampiri mereka karena penasaran dengan raut tegang Weda sewaktu datang.
Weda dan Galoeh saling berpandangan, sampai akhirnya laki-laki itu mengembuskan napas panjang. Ia menuntun ibunya untuk duduk di bangku kayu panjang yang sudah usang di bawah pohon kapuk.
"Ono opo to, Le?" tanya Ibu Lastri penasaran.
Akhirnya Weda terpaksa menceritakan apa yang dialami Galoeh, dan kenapa ia sampai di sini.
"Gusti Allah, begitu toh ceritanya?" Mata Ibu Lastri berkaca-kaca mendapati perjuangan Galoeh sampai di rumah ini dengan selamat tanpa ditangkap Kempetai mengingat Dai Nippon memberlakukan jam malam dari jam delapan malam sampai enam pagi. "Terus piye nasibmu, Nduk?"
Sepertinya Ibu Lastri belum menangkap peliknya masalah Galoeh ada di rumah ini. Ia berpikir dari sisi ketragisan hidup Galoeh yang sudah dianggap seperti anaknya, mengingat orang tua Galoeh-lah yang menampung Kartika sewaktu liburan di saat Romo Danoe harus mendapat tugas ke luar kota, dan Ibu Lastri harus menemani suaminya. Sementara Weda masih berada di Djakarta.
"Bu, ndak cuma nasib Galoeh. Nasib kita juga terancam. Galoeh itu anak orang yang dianggap pemberontak loh. Seluruh keluarganya pasti masuk daftar hitam. Bahkan orang luar yang berhubungan pun akan dicurigai."
Seketika Ibu Lastri memukul lengan atas kanan putranya cukup keras. Weda sampai meringis menerima pukulan ibunya. "Ngawur! Kamu ini ndak punya hati! Pantes sampai sekarang ndak nikah-nikah! Ojo peh kamu ikut Nippon, jadi sesadis mereka."
"Bu, bukan begitu!" Weda berdecak. Sudah menjadi kebiasaan, ibunya berpikir dari sisi yang tak pernah Weda pahami. Lagipula apa hubungannya dia belum menikah dengan masalah ini?
"Ya sudah. Nanti kita rembuk sama-sama dengan Romo. Kamu jangan pergi-pergi ya, Loeh!" Weda mengacungkan jari telunjuk di depan hidung mancung Galoeh hingga kedua bola mata gadis itu menjuling.
Ibu Lastri menepis kasar tangan Weda. "Hush! Ora pareng ngono (Ndak boleh begitu)." Lantas ia merangkul Galoeh tak memedulikan reaksi Weda yang kaget. "Jangan dimasukkan ke hati, ya? Weda itu kurang bisa bergaul sama perempuan. Makanya ndak dapat-dapat jodoh. Wajahnya saja kelihatan muda. Padahal umurnya sudah dua puluh tujuh loh."
Weda berdecak. "Ya sudah, saya mau balik, Bu." Daripada mendengarkan curahan hati Ibu Lastri tentang nasibnya yang masih membujang, lebih baik Weda kembali ke markas. Yang penting, ia sudah mengingatkan Galoeh agar tidak berkeliaran.
Ibu Lastri dan Galoeh kemudian mengantar Weda ke depan rumah. Sekali lagi Weda memberi pesan agar Galoeh waspada dan tak memperlihatkan batang hidungnya ke luar. Tapi, langkahnya terhenti di serambi saat melihat mobil kap yang masuk dan berhenti di halaman. Sejurus kemudian turunlah seorang tentara Jepang dengan perawakan tegap berseragam drill cokelat.
Seketika Galoeh beringsut di belakang Weda, mencengkeram kemejanya dengan kuat. "Masuk ke rumah!" sergahnya pelan.
Weda lalu mengembangkan senyuman dan menghampiri perwira yang bernama Souta Sato, kepala intelijen Kempetai di Soerakarta. "Ada perlu apa Sato-Shoi sampai datang ke sini?" Weda menjabat tangan Souta dengan erat dan mempersilakan tamunya masuk.
"Aku tadi mencarimu di markas, Sensei. Tapi ketika anak buahmu mengatakan kamu pulang, aku segera menyusul," kata Souta melangkah beriringan dengan Weda menuju ke dalam rumah. "Apa ada masalah?"
"Tidak. Hanya menjenguk Ibu sebentar." Weda terpaksa berbohong.
"Oh, ya, siapa gadis tadi?" Souta duduk tanpa perlu dipersilakan. Ia mengedarkan pandang mencari wajah baru yang baru ia lihat. Padahal seingat Weda, Galoeh hanya sempat berdiri di sebentar di serambi, tapi ternyata mata tajam Souta mampu menangkap sosoknya.
"Itu ...." Weda mulai gelagapan. Ia tahu Souta begitu jeli. Ada sedikit saja yang berubah, ia langsung menyadarinya. Termasuk keberadaan Galoeh di rumah ini.
"Itu istri Weda, Tuan." Ibu Lastri datang membawa keripik pisang yang baru matang digoreng dengan salut gula.
Seketika Weda tersentak mendengar pengakuan Ibu Lastri. Di antara semuanya, kenapa harus 'istri'? Bisa saja Galoeh diakui sebagai teman Kartika atau saudara jauh dari luar kota.
"Istri? Sejak kapan-?" Souta mengernyit.
Untuk sesaat Weda kehilangan kata-kata. Tendangan kaki Ibu Lastri dari samping begitu duduk di sebelahnya, menyadarkan bahwa akan timbul masalah baru. Ia mencoba mencerna kenapa ibunya mengatakan Galoeh adalah istrinya.
Betul juga. Kalau nanti Souta curiga dan memeriksa tanda pengenal Galoeh, bisa dipastikan Galoeh langsung ditangkap karena berhubungan dengan pemberontak. Dai Nippon tak akan mengampuni orang-orang yang sudah masuk daftar sampai ke akar-akarnya.
"Ehm, sebenarnya sudah awal tahun lalu. Hanya keluarga saja yang tahu." Weda mulai mengarang.
"Kalian belum mendaftarkan pernikahan kalian? Karena aku tak tahu ada anggota PETA yang menikah."
Weda meremas ujung penyangga lengan kursinya. "Be-belum sempat."
Sial! Weda hampir lupa kalau Souta adalah kepala intel dan sangat ulung interogasi. "Ehm, istri saya masih sekolah. Usia kami terpaut cukup jauh."
Souta mengangguk-angguk. "Coba aku lihat tanda pengenalnya."
Saat itu juga, dada Weda seperti ditumbuk palu. Ketakutannya benar-benar terjadi. Namun, ia masih berusaha mengulas senyum.
"Biar Ibu ambilkan." Ibu Lastri bergegas bangkit meninggalkan Weda yang peluhnya sudah merembes.
Rasanya jantung Weda sudah menggedor-gedor rusuknya. Seandainya diperiksa pasti sudah lebih dari 100x/menit seperti orang habis berlari. Namun, Weda harus tenang. Sekuat tenaga ia mengatur napas sambil masih mengulas senyum seolah tak terjadi sesuatu.
"Aku pikir kamu akan menikahi Soeharti, dokter Panti Rogo itu," kata Souta sambil mencomot keripik yang masih hangat.
Weda meringis. Sepertinya Souta tahu banyak tentangnya karena ia memang dekat gadis yang disebut Souta.
Sejurus kemudian, Ibu Lastri bergegas datang kembali membawa selembar kertas dengan foto hitam putih di kotak bagian kanan.
Souta menyipit membaca lembaran kertas itu dengan huruf Jepang dan ketikan nama di dalamnya.
"Galoehasri?" Kepala Souta meneleng. "Mertojoedan? Tunggu ... ini jangan-jangan ...." Mata sipit Souta membulat. Ia memandang Weda.
"Ada yang salah?" Kedua alis Ibu Lastri membulat. Wajahnya benar-benar bisa mengikuti situasi, seolah tak paham apapun.
"Lastri-san tidak tahu kalau menantu Anda adalah anak pemberontak?"
Mata bulat Ibu Lastri membulat penuh penghayatan. "Pemberontak? Bagaimana bisa? Setahu saya Raden Tjokro adalah kepala desa yang disegani dan taat aturan."
"Sayangnya tidak." Sambil duduk memangku kaki kanannya di paha kiri, Souta menggeleng sambil menjentikkan jari tengahnya di atas kertas identitas Galoeh.
"Kamu tahu istrimu buronan, Weda-Sensei?"
Weda menelan ludah kasar. "Saya baru tahu tadi. Di koran sewaktu ke markas. Maka dari itu saya pulang untuk memberitahu Galoeh kalau orang tuanya ditangkap.
"Dia tidak tahu?" Souta tetap memancing dengan pertanyaan.
Weda terkekeh, menepis kegelisahan. Ia harus mempertebal mental agar jalan pikirannya tidak bisa ditembus Souta yang sekarang sedang menyelisiknya. Laki-laki Jepang itu bukan lagi sahabatnya melainkan bertransformasi dengan perwira Kempetai yang disegani. "Mana mungkin tahu. Ia sudah jadi istriku. Itu artinya Galoeh sudah masuk di keluarga Tirtonagoro."
"Kartika tidak mengatakan apapun. Ia justru mengeluhkan ibunya yang selalu mengeluhkan Sensei yang tidak segera menikah."
Skakmat! Diam-diam Weda merutuk adiknya yang sembarangan bicara dengan orang seganas Souta. Nanti ... ia harus membuat perhitungan dengan adiknya yang terlewat polos di zaman perang seperti ini. Tapi, masalahnya, Weda harus mencari alibi yang tepat lebih dulu.
"Maksud Kartika itu karena dia ndak suka kami harus berpisah. Seperti bukan suami istri katanya." Galoeh keluar dari pintu samping sambil membawa nampan berisi teh yang menguarkan wangi melati.
Ketiga orang yang ada di situ memandang Galoeh yang berjalan dengan anggun seolah tak terjadi apapun pada keluarganya. Rasanya ia ingin berseru pada Galoeh agar bersembunyi. Tapi rasanya percuma. Semua sudah terjadi. Perwira Kempetai yang masih keponakan dengan Kolonel Tasuku Sato dari Kompi Sato di Semarang itu telah mengetahui anak gadis pemberontak dari Magelang itu ada di rumah ini. Detik ini.
Souta mengikut gerak-gerik Galoeh yang meletakkan ketiga cangkir yang masih mengepulkan uap panas di atas meja kayu jati bulat yang mengkilap. Begitu Galoeh duduk di sebelah Weda, ia mempersilakan tamu Jepang itu untuk minum.
Souta masih tak bereaksi. Mengamati Weda dan Galoeh yang duduk di depannya dengan dibatasi meja. Ia lalu membungkuk, meraih gagang cangkir dengan tatapan tajam tertuju ke kedua anak muda itu. "Sou desu ka (Begitu, ya)?" Sebelum menyesap cairan merah itu, Souta memejamkan mata sambil menghirup uap yang mengepul. "Tapi, sepertinya alibimu kurang kuat, Weda-Sensei. Aku khawatir istri Sensei harus ikut aku ke markas untuk interogasi lebih lanjut."
"Biar saya saja. Saya suaminya. Saya yang bertanggung jawab. Saya bisa pastikan kalau Galoeh ndak ada hubungannya dengan Raden Tjokro di Mertojoedan."
Tawa Souta mengudara begitu keras memenuhi ruangan. "Baru aku tahu sisi lain seorang Wedatama Tirtonagoro yang sangat menyayangi istrinya. Tapi, aku tidak berkepentingan dengan Anda, Sensei."
Rahang Weda mengerat. "Galoeh adalah istri saya! Langkahi dulu mayat saya kalau Sato-Shoi mau membawanya!"
Tepuk tangan Souta menyambut tawa yang terdengar seperti setan. Betul kata orang-orang. Julukan Setan Neraka pantas sekali disematkan pada Souta Sato. "Baiklah, sekarang ikut aku! Aku akan mengorek apakah alibi Anda cukup kuat!"
"Tapi-" Galoeh menyela. Tapi Weda menahan Galoeh.
Laki-laki itu lalu tersenyum. "Kamu tenang saja. Semua akan baik-baik saja." Demi sandiwara agar terlihat nyata, ia merangkul Galoeh. Dalam jarak sedekat itu, ia mendesis, "Jangan ke mana-mana. Manut sama Ibu atau semua akan celaka."
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top