19. Kecelakaan
Sejak menerima berita penangkapan Raka, Galoeh menjadi tahu jaringan gerakan bawah tanah yang ada di daerahnya. Adi, teman baik Raka, menjadi koordinator bagian Kedu-Ken. Rumah keluarga Adi digunakan sebagai markas untuk membicarakan strategi mengacaukan pemerintahan militer Dai Nippon. Penyerangan ke markas tentara Dai Nippon biasa mereka lakukan untuk mendistraksi maksud mereka sebenarnya. Mengambil persediaan senjata di gudang setiap markas.
Karena kondisi yang genting, maka Adi meminta Sarju dan Mbok Peni untuk menjaga Galoeh di kediaman Hadinata. Awalnya Galoeh menolak tapi Adi memaksa karena tidak mau kejadian hilangnya Keinan dan Budhe Lestari kembali terjadi pada Galoeh.
Berinteraksi lagi dengan Sarju dan Mbok Peni, sebenarnya membuat Galoeh tak nyaman. Ia masih saja teringat bagaimana Mbok Peni mendalami perannya menuduh Romo Tjokro hingga semua anggota keluarga dan para abdi ditangkap dan dieksekusi.
“Sarju!” Akhirnya ia tak bisa lagi menahan diri. Berulang kali Galoeh dihalangi untuk keluar.
“Saya, Ndoro Galoeh.” Sarju masih berdiri di ambang pintu depan.
“Kupikir kamu guru, tapi ternyata kamu ndak bisa menangkap maksud kata-kataku!” Galoeh tak bisa menyembunyikan rasa sengitnya.
“Saya diminta Mas Adi menjaga Ndoro Putri. Kalau Ndoro ndak berkenan, silakan marah pada Mas Adi.” Sarju tetap menghadang pintu depan.
Galoeh mendengkus. Ia memutar tubuh dan dengan mudah disusul Sarju. “Bisa tidak Ndoro Putri ndak mempersulit saya?”
Mata Galoeh membeliak. “Mempersulit? Kamu sama mbokmu yang bikin hidupku seperti ini!” Galoeh memukul dada Sarju berulang kali dengan telunjuknya.
“Soal Simbok … saya ….”
Galoeh mendesah. “Ndak usah dibahas, Ju. Urip iku akeh pilihan. Dan simbokmu milih mengorbankan keluargaku demi anak satu-satunya.” Jelas Galoeh tahu bagaimana sayangnya Mbok Peni pada anak tunggalnya. Dan, sejak Galih meninggal, Romo Tjokro pun menaruh perhatian besar pada Sarju hingga disekolahkan di sekolah guru.
“Ndoro, jangan salahkan Simbok! Dia menyesal karena ndak menyangka semua berakhir seperti ini.” Sarju menunduk dengan bahu bergetar. “Saya … saya rela mati demi menjaga rahasia pergerakan ini. Tapi, Simbok saya ….”
Baru saja Galoeh akan membuka mulut, Adi datang dengan tergopoh. Wajahnya terlihat pucat. Percakapan Galoeh dan Sarju pun terjeda.
“Ada apa, Mas?” tanya Galoeh.
Adi terengah, menyeka keringat. “Letnan Raka kecelakaan saat akan dibawa ke Semarang setelah ditangkap Keita Sato.”
“Kecelakaan?” Seketika lengan Galoeh terkulai.
“Truk yang dikendarainya meledak.” Adi menggeleng-gelengkan kepala dengan pandangan nanar.
Mata Galoeh perlahan panas. Setelah ia kehilangan keluarganya, kenapa Raka juga diambil? “Lalu Budhe Sri dan Keinan?”
“Mereka belum ditemukan. Kabarnya, intel kami melihat gadis Jawa muda di kediaman Sato di paviliun,” terang Adi. “Sebaiknya Mbak tetap di sini. Sampai suasana tenang.”
Mendengar berita buruk dari Adi, Galoeh meraung sekencang-kencangnya. Mbok Peni bergegas datang dari pawon menghampiri mereka. “Ada apa, Ndoro?”
“Pergi! Pergi dari rumah ini!” Galoeh mendorong Mbok Peni.
“Mbak, jangan seperti ini.” Adi berusaha menenangkan Galoeh.
Galoeh menggeleng dengan mata merah. “Pergi kalian! Pergi! Jangan ganggu aku!” Ia mendorong Mbok Peni keluar.
“Mbak Galoeh!” Adi terdengar tak sabar.
“Ini rumahku, Mas! Kalau memang waktunya aku mati, mau dilindungi atau pergi ke mana pun aku tetap akan mati! Jadi, kalian keluar dari rumah ini!”
Begitu tjga orang itu keluar, Galoeh membanting pintu hingga kaca-kacanya bergetar. Ia menarik tirai seolah ingin menyembunyikan kesedihannya dari dunia. Tragedi yang dialami Raka kali ini mampu membuat asanya menguap. Apakah tidak ada kedamaian di dunia ini? Kenapa manusia harus berperang demi sejengkal tanah? “Kami pergi. Tapi Sarju akan tetap sesekali memeriksa kondisimu. Kalau ada yang mengetuk, jangan dibukakan. Kalau ada apa-apa, segera ke tempat Mbok Peni.”
Walau suara Adi pelan, Galoeh tetap masih bisa mendengar. Ia tak merespon dan makin tergugu, sambil menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. Perlahan tubuhnya melorot hingga ia terduduk di lantai dingin dengan kaki tertekuk seolah ada beban yang menimpanya. Dan, kali ini Galoeh tak bisa lagi menutupi isakan kesedihannya.
Entah berapa lama Galoeh meratapi nasibnya hingga ia kelelahan dan tertidur di lantai ruang depan. Setidaknya ia bisa melampiaskan perasaan yang menumpuk. Kekecewaan, kesedihan, kesendirian. Dalam keputus asaannya, tiba-tiba wajah Weda menyusup di otaknya. Seandainya Weda tak mau mengikuti kebohongan Ibu Lastri saat Souta memergokinya di rumah, mungkin ia telah mati dan berkumpul bersama keluarganya. Namun, apa yang dilakukan Weda berhasil memancang sukmanya sehingga Galoeh harus merasakan lagi perihnya kehilangan yang berulang. Lagi dan lagi ….
Setelah menumpahkan air mata semalaman, Galoeh terpaksa menghabiskan waktu di rumah seperti titah Adi. Maka, untuk membunuh kebosanan, ia memilih merombak baju bekas Ibu Marti, Romo Tjokro, dan Galih untuk dijadikan baju anak-anak dan sebagian ia sumbangkan ke orang yang membutuhkan. Ia teringat dengan anak-anak yang berlarian tanpa penutup badan atau beberapa orang yang menjadikan goni sebagai baju.
Nyatanya, apa yang ia lakukan tak bisa menyembuhkan batin yang nyeri. Setiap injakan pada pedal mesin jahit, seolah ikut menginjak hatinya. Jarum yang berulang menusuk kain pun ikut menusuk batin yang didera duka. “Mas Raka pergi? Setelah Mas Galih, Romo dan Ibu, Gusti ambil Mas Raka?” gumam Galoeh dengan mata sembab yang kembali basah.
Galoeh memekik, saat jarum jahit mengenai tangannya. Bahkan jarum pun kini ikut menusuknya untuk menambah kesengsaraannya. Air mata yang ia pikir telah kering itu semakin mengalir deras. “Gusti, kapan Nippon pergi?”
Namun, saat ia tersedu sedan, ketukan pintu terdengar nyaring dari luar. Seketika isakannya terhenti, dan ia menoleh ke arah depan dengan degupan jantung yang bertalu-talu.
Galoeh membeku dengan dada yang kembang kempis. Ketukan itu akhirnya lenyap. Ia teringat pesan Adi untuk tidak membukakan pintu bagi orang lain dan diminta untuk segera pergi melalui pintu belakang.
Namun, saat ia akan melangkahkan kaki ke pawon, terdengar suara langkah kaki. Ia berdecak dalam hati karena teringat setelah mencuci baju tadi, ia membiarkan pintu bagian atas terbuka untuk mengeluarkan asap di pawon.
Buru-buru Galoeh mengambil sapu yang ada di sana dan bersembunyi di balik bufet. Tangan Galoeh bergetar menanti langkah yang semakin lama terdengar keras jejaknya. Dadanya serasa ingin meledak dihantam ngeri dan kalut. Ia benar-benar terjepit. Bagaimana kalau ia lari ke depan dan disergap orang yang menunggu di sana?
Melawan lebih bijak daripada tertangkap dengan mudah, sehingga Galoeh pun akan memukul orang itu dan lari melalui pintu belakang. Ya, sepertinya itu ide yang bagus.
Napas Galoeh tercekat. Detak jantungnya memburu memenuhi kepala. Namun, ia harus fokus mendengar jejak kaki melangkah di lantai. Jangan sampai ia kehilangan kesempatan dan mati dengan mengenaskan.
Dalam hati Galoeh berhitung sebelum melakukan serangan. Satu, dua … tiga!
“Aarrggh!” Galoeh keluar dari persembunyiannya di balik lemari dan menghantam orang yang menyelinap.
“Arrgghh!” Orang itu mengerang dan menangkis pukulannya dengan lengan hingga gagang sapu itu patah. Namun, selanjutnya keadaan berbalik. Tangan besar itu menangkap pergelangan tangannya. “Galoeh, ini aku! Weda!”
Galoeh terkesiap. Mengerjap. Setelah menangkap wajah yang ia kenal, barulah pegangan sapunya terlepas. Seketika ia memeluk Weda dengan erat. Tangis leganya pecah.
Weda mundur ingin melepas pelukan. Namun, gadis itu enggan melepas pelukannya dan menangis di dada bidang Weda.
“Galoeh, lepas! Kamu kenapa?”
Galoeh menggeleng. Tak peduli Weda merutuk, ia hanya ingin menghirup aroma manis yang menenangkan pikirannya meski sekejap saja.
Akhirnya Weda mengalah dan membiarkan Galoeh merengkuhnya dan menangis. “Cup, cup.” Galoeh bisa merasakan tepukan canggung laki-laki dewasa itu.
Setelah tenang, Weda mengurai pelukan Galoeh yang sudah semenit lebih menempel di tubuhnya. “Kenapa kamu pukul aku?” sergah Weda dengan nada kesal. “Lihat! Bajuku basah kena air matamu. Dasar cengeng! Begitu sok kuat! Makan itu gengsimu.”
Galoeh sesenggukan. Tak menggubris omongan Weda yang nylekit. “Lalu kenapa Mas Weda ke sini mengendap-endap seperti pencuri?” tanya Galoeh dengan suara sengau.
Weda menatap Galoeh yang matanya sembab. “Loeh, matamu kenapa bengkak begitu?” Ia mencoba memeriksa mata gadis itu, tapi Galoeh malah membuang muka.
“Ndak pa-pa. Kenapa Mas ke sini?”
“Aku?” Weda menunjuk dirinya sendiri. “Ah, aku di-diminta Ibu mencari kamu. Ibu masih marah sama aku karena ndak bawa kamu pulang. Merepotkan sekali kan?” Weda melepas baju luarnya dan melipat kemeja sebatas siku. “Kamu ini benar-benar menyusahkan. Percuma kami khawatir! Ternyata kamu punya tenaga juga buat nggebuk maling.”
“Mas—” Kata-kata Galoeh mengambang di udara saat melihat lengan kiri Weda yang merah. “Gusti, lengan Mas!”
“Ini buktinya!” Weda menunjukkan luka memarnya ke depan wajah Galoeh.
Karena merasa bersalah, Galoeh menarik Weda untuk duduk di kursi ruang makan lalu mengambil obat yang selalu disediakan ibunya. Galoeh lalu menarik kursi di sebelah Weda dan membuka kotak pertolongan pertama untuk mengobati Weda.
“Aku obati dulu.”
Dengkusan Weda membuat Galoeh menoleh saat mereka sudah duduk berdampingan. Senyuman miring itu menggetarkan hati Galoeh yang hampa. Walau menyebalkan, tapi Galoeh lega Weda-lah yang menyelinap masuk rumah.
“Kenapa?” Galoeh melirik tarikan bibir miring Weda ketika ia menyentuhkan kapas dengan antiseptik ke luka lecet itu. Ia yakin kemeja Weda pasti sobek mengingat ada goresan yang cukup panjang.
“Kamu cocok jadi dokter.” Weda tersenyum.
Galoeh berdecak pelan sambil menarik bibir. Sengaja ia tekan luka itu karena Weda sengaja menyinggungnya.
“Aaaaa ….” Lelaki itu menarik tangannya. “Kenapa kasar sekali, Loeh?”
“Kalau Mas ke sini mau membuat saya kesal lebih baik Mas pulang saja.” Galoeh menatap nyalang dengan sikap yang lebih tenang.
“Aku ke sini mau menjemputmu. Supaya aku ndak perlu ke sini buat bikin kamu jengkel.”
Mata Galoeh menyipit. Apa yang ia harapkan dari masnya Tika ini? “Masih ada Tika. Mumpung dia belum menikah, Mas bisa puas-puaskan dulu membuat dia jengkel sampai nangis.” Ia lalu berdiri untuk membereskan kotak obat.
“Kita pulang, Loeh. Seminggu ini aku ndak bisa tidur gara-gara khawatir sama kamu,” kata Weda.
Hati Galoeh berdesir. Ia juga tak bisa tidur karena menyimpan pilu saat berusaha tak egois. “Untuk apa khawatir sama saya?”
“Ya, karena … karena ….” Bola mata Weda bergulir ke atas, siapa tahu mendapat ilham jawaban dari langit-langit rumah untuk pertanyaan yang dianggapnya lebih sulit dari ujian dokter.
“Sebaiknya Mas pulang.” Galoeh segera menenteng kotak kayu itu untuk dikembalikan di atas bufet.
“Ya. Karena kamu istriku.”
Galoeh terkesiap. Istri? Galoeh memejamkan mata erat berusaha bertahan untuk tidak termakan bujukan Weda. Pasti Ibu Lastri menyuruhnya untuk berbuat apapun agar ia kembali ke kediaman Tirtonagoro. “Kita cuma suami istri di atas kertas.”
“Bagaimanapun, statusmu tetap istriku. Makanya kamu pulang. Kamu itu masih dipantau terus sama Kempetai.”
Namun, kata-kata Weda itu justru membuat suara Galoeh melengking. “Aku ndak akan pulang. Titik.”
Weda pun bangkit dan meraih pergelangan Galoeh. “Kenapa kamu ngeyel?” Matanya membeliak lebar.
“Aku ndak mau mencelakakan kalian. Aku … sudah kehilangan semuanya dan hari ini juga aku mendengar sepupuku yang ditangkap Kompi Sato mengalami kecelakaan saat akan dikirim ke Semarang.” Galoeh berusaha mengurai tangan Weda.
“Sepupu? Ada lagi keluarga besarmu yang bermasalah dengan Dai Nippon?”
Galoeh mengangguk. “Dia gembong gerakan bawah tanah yang mengacau kediaman Tasuku Sato tahun lalu.”
“Raka Narayana?”
Mata Galoeh membulat. “Dari mana Mas tahu?”
“Tunggu Mas Raka meninggal?” Suara Weda meninggi, tak percaya.
“Mas juga mengenal Mas Raka?”
Weda mengangguk. “Dia kakak kelasku di Kolese Xaverius dan MULO. Aku sempat mendengar cerita penyusupan di Kediaman Sato dan penangkapan Mas Raka.”
“Mas Raka yang memimpin misi itu. Tapi celakanya temannya tertangkap dan sampai sekarang ndak tahu nasibnya.” Galoeh akhirnya berhasil melepaskan diri dari cengkeraman tangan Weda. Lalu ia duduk di kursi yang mengelilingi meja makan diikuti laki-laki yang masih berusaha mencerna informasi itu.
“Keluargamu banyak pemberontak ya?” tanya Weda kemudian.
Galoeh terkekeh. Miris. “Hanya Romo dan Mas Raka saja. Romo ikut mendanai gerakan Mas Raka. Jadi, karena dia buronan, ndak mungkin aku ke Ambarawa.”
Weda mengembuskan napas panjang. “Loeh, sebaiknya kamu benar-benar harus pulang ke Sala. Apalagi ada kasus Mas Raka yang ternyata sepupumu.” Tatapan Weda yang sendu tertuju ke arahnya.
“Mas, Mas ndak usah khawatirkan aku. Aku di sini baik-baik saja.” Galoeh membalas sorot mata Weda.
“Ibu khawatir.”
“Aku bukan lagi gadis cilik lemah seperti yang Mas pikirkan. Aku ndak ingin merepotkan keluarga kalian,” kata Galoeh.
“Kamu tahu kan Ibu sudah berjanji ndak akan mengungkit soal pemberkatan. Beliau hanya pengin kamu aman di rumah.”
Namun, Galoeh tak menggubrisnya dan masuk ke kamar begitu saja.
💕Dee_ane💕
Part panjang yak. Boleh dong minta serbuan komen dan klik votenya. Yang pengin baca Raka, silakan mampir ke cerita Kei. Oh, ya, di KK part ya sudah banyak
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top