18 (b). Perasaan Aneh
Malam itu, mereka kembali berkumpul di kamar Weda untuk mendiskusikan langkah mereka untuk membuat Dai Nippon kalang kabut. Namun, perkembangan situasi membuat keempat pemuda itu tegang. Apalagi Gala kembali memberitakan kabar buruk bahwa Kempetai dan tentara militer yang lain sedang giat melakukan penangkapan pada semua pihak yang dianggap pemberontak. “Mas Raka ditangkap sewaktu menerobos barak militer kediaman Sato untuk mencari Ibu dan adiknya. Ia juga membebaskan para perempuan yang mau dijadikan jugun ianfu.”
Weda menepuk dahinya. “Bagaimana ini? Kita ndak akan dapat pasokan senjata.”
“Seharusnya Mas Raka ndak nekat seperti itu.” Gala mengerang kesal. “Sama seperti kamu yang nekat menonjok putra Komandan Kempetai!”
“Bagaimana ndak marah kalau dia menyinggung istriku?” Nada Weda meninggi.
Seketika beberapa pemuda yang ada di situ saling pandang. Mereka melipat bibir, menahan tawa melihat ekspresi Weda yang tak pernah ditunjukkan. Tentu saja kecuali Irawan yang berwajah seperti tembok dingin.
“Berarti kamu sudah bisa menerima pernikahanmu?” Gala menyampaikan rasa ingin tahu teman-temannya.
“Aku …” Weda gelagapan. “Ya terpaksa. Mau bagaimana lagi?”
“Trus adikku?” Kakak tiri Harti terlihat tak terima. Nada Irawan meninggi.
“Itu … kami masih berhubungan baik.” Weda tahu Irawan sangat peduli pada adiknya.
“Tapi, Dokter sudah jadi suami lho?” Celetukan polos Pantja membuat batin Weda tercubit.
Weda mengambil bantalnya dan melempar ke arah Pantja. “Bisa kembali ke topik?”
Irawan berdeham. Melirik Weda tajam tapi akhirnya memutuskan melanjutkan diskusi malam itu. “Orang-orang Jepang itu tahu kelemahan kita. Ibu atau adik perempuan!” Irawan menyimpulkan.
“Betul! Kita berjuang juga untuk memberi kebebasan pada orang-orang yang kita sayangi.” Gala mendengkus. “Masalahnya, hanya Mas Raka pemimpin kelompok yang mempunyai banyak senjata.”
“Sebaiknya kita pikirkan cara lain.” Pantja menengahi. Anggota yang paling muda diantara mereka berempat itu selalu berpikir dengan lebih tenang.
“Weda, Galoeh masih di Magelang?” Irawan tiba-tiba menyinggung Galoeh.
“Masih. Kenapa tiba-tiba nanya Galoeh?” tanya Weda kemudian.
“Ibu Letnan Raka berasal dari Magelang,” sahut Pantja, sang informan.
“Itu artinya Magelang pasti memperoleh perhatian khusus dari pihak Dai Nippon,” imbuh Irawan. “Aku berpikir, bisa jadi rumah-rumah pemberontak yang pernah dieksekusi itu kembali didatangi.”
Jakun Weda naik turun. “Dia sendiri yang ndak mau pulang ke sini!” gumam Weda kesal.
“Sebaiknya kita amankan orang-orang terdekat kita sebelum kita bertindak. Jaga-jaga kalau gagal, mereka ndak terkena imbas,” kata Irawan kemudian. “Dan kamu Weda, sejak Galoeh datang kamu jadi ndak fokus dengan pergerakan kita. Ini ndak main-main! Sebaiknya kamu amankan Galoeh dulu saja daripada ia membuat onar.”
Ucapan Komandan Daidan Manahan itu mengusik hati Weda. Semalaman ia tidak bisa tidur, dan hari ini tepat hari ketujuh, Galoeh mengusik malamnya.
Weda memilih tak pulang akhir pekan ini. Selain ada beberapa pembicaraan penting yang terkadang harus dilakukan mendadak, Minggu pagi ini ia harus memenuhi janjinya bertemu dengan Harti di Malangdjiwan.
Namun, saat ia akan berangkat, lagi-lagi Tika menghampirinya. “Mas, Ibu ke Magelang Jumat lalu. Baru saja ada telegram, katanya Galoeh ndak ada di rumah!”
“Apa?” Jantung Weda seketika berdetak kencang.
“Ibu dan Romo masih di Magelang nunggu sudah dua hari ini.” Tika juga tampak cemas.
“Koncomu loh, Dik! Nyusahke saja!”
“Mas kok bisa bilang begitu? Selama ini keluarga Galoeh yang nampung aku karena di rumah ndak ada orang. Mas di Djakarta, Romo bertugas di luar kota hingga batas waktu yang ndak ditentukan, dan Ibu setia mengikuti Romo. Mereka sudah seperti keluargaku!” Suara Tika meninggi, tak melihat situasi. Walau terlihat lembut di luar, adiknya ini persis ibunya yang suka memerintah.
“Lha terus aku kudu piye (harus bagaimana)?” Weda tak kalah geram dengan adiknya.
“Susul gih ke Magelang.” Tika lalu melunak.
“Eh, kamu ndak dengar aku cerita apa? Sahabatmu itu ngusir aku, Dik!” Weda menunjuk dirinya sendiri.
Tika memukul keras lengan kakaknya. “Mas ini … dia itu ngusir Mas karena ndak mau ganggu Mas. Dia menghargai hubungan Mas sama Mbak Harti.” Matanya membulat lebar, menatap Weda lekat. “Mas ini benar-benar ndak pengertian sama perempuan! Jujur, aku lebih suka Mas sama Galoeh, daripada sama Mbak Harti!”
Rahang Weda mengerat. Belum sempat ia membalas, Tika sudah pergi begitu saja. Namun, ia tetap berangkat ke Malangdjiwan walau pikirannya tertuju ke balik Gunung Merapi. Ia sudah terlanjur berjanji membawakan obat untuk Ibu Harti.
Menjelang tengah hari, akhirnya Weda tiba di pondok tempat ibu kandung Harti tinggal. Saat Weda datang, Harti sudah tiba di sana.
Harti menyambut Weda dengan senyuman hangat. Gadis itu sudah kembali ceria seperti biasa. “Kenapa minggu lalu ndak datang, Mas? Aku cemas. Waktu aku tanya Dokter Danoe, katanya Mas ke Magelang menjemput Galoeh, tapi dia ndak mau ikut ke sini.”
Weda mengalihkan pandangannya. Ia seperti laki-laki selingkuh yang menemui gundiknya. Padahal Galoeh-lah yang terakhir datang dalam hubungan mereka.
“Bagaimana kabar Galoeh?” Pertanyaan Harti tak juga terputus.
“Galoeh sakit. Tapi waktu aku tinggal sudah baikan.”
Alis Harti mengernyit. Paandangannya menyelidik. “Mas ninggal begitu saja?”
“Mau bagaimana lagi? Dia ndak mau kok diajak pulang,” keluh Weda.
Harti mengembuskan napas panjang. “Mas ini ndak peka. Seharusnya Mas bujuk dia.”
“Dia bukan anak kecil, Ti! Lagian kenapa kita jadi bahas dia?” Weda mukai gusar.
Keheningan kembali menyergap. Seharusnya Weda tak menyergah Harti. Ia hanya terlalu baik menanyakan Galoeh. “Harti, maaf ….”
Harti menggeleng. “Ndak pa-pa. Mas Weda kalau cemas bawaannya marah. Persis sama reaksinya waktu Tika diajak jalan-jalan sama Sato-Shoi.” Harti lalu mencari bahan pembicaraan lain. Ia mengelus pipi Weda. “Kok tambah kurus? Apa Mas sakit?”
“Ndak, Ti. Aku baik-baik saja. Cuma susah tidur saja akhir-akhir ini.” Weda menangkup tangan Harti.
Weda benar-benar merasa bersalah dengan Harti. Karena kedatangan Galoeh, ia terpaksa menjadi suami perempuan lain. Padahal selama ini Harti selalu mengusahakan yang terbaik untuk hubungan mereka walau tahu Weda memintanya menjadi kekasih karena banyak alasan terselubung. Di sisi lain, saat ini Weda merasa badannya saja yang ada di sebelah Harti yang bersemangat berceloteh tentang banyak hal. Sementara hatinya merasa gelisah karena cerita Tika. Ia cemas bila ada sesuatu akan terjadi dengan Galoeh mengingat ia tinggal sendiri di Magelang.
“Mas kok diam saja? Apa memikirkan Galoeh?” Pertanyaan Harti yang diajukan sambil menatap intens kedua matanya, langsung membuyarkan lamunanmya.
Lidah Weda seketika kaku. Percuma membohongi Harti. Gadis itu seolah tahu isi otaknya. “Anak itu benar-benar menyusahkan. Tadi Tika datang, ngabari dapat telegram dari Romo dan Ibu kalau Galoeh ndak di rumah. Trus aku disuruh nyusul ke sana. Mau lapor ke petugas juga ndak bisa, karena takut memperkeruh masalah.” Weda menatap Harti sambil menggigit bibir.
Gadis itu menunduk. Ia tersenyum dengan mata memerah. “Secepat itu Mas menyukai gadis itu ya? Baru ditanya-tanya sedikit, Mas bersemangat sekali jawabnya.”
💕Dee_ane💕
Hai, Deers, gimana puasanya? Semoga lancar. Mas Weda dan Galoeh udah datang lagi. Silakan diberi jejaknya. Kalau mau dukung ke KK, udah sampai part 30 di sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top