18 (a). Perasaan Aneh

Alih-alih tenang, keputusan Weda meninggalkan Galoeh sendiri di Mertojoedan justru membuatnya tak bisa tidur nyenyak. Beberapa kali ia terbangun karena bayangan sahabat adiknya itu muncul menjadi bunga tidurnya. 

“Sial!” Weda merutuk sekali lagi dalam malam ketiga setelah meninggalkan Galoeh.   

Tentu saja istirahat yang kurang membuat badannya loyo. Beberapa kali ia mendapat hukuman saat latihan militer hari ini karena tak mendengarkan instruksi. Gara-gara kedatangan Galoeh di kediaman Tirtonagoro, hidup Weda menjadi tak tenang dan diliputi kecemasan akan keselamatan gadis itu.

Di sisi lain, harga diri Weda terluka dengan pengusiran Galoeh. Sepertinya ia sudah berbuat banyak untuk gadis itu, tapi sama sekali tak dihargai. Ia masih bisa menerima omelan Ibu Lastri sampai-sampai laki-laki itu merasa wanita yang melahirkannya itu memperlakukannya seperti anak tiri. Tapi, kalau Galoeh sudah mengusik pikirannya, itu yang tidak bisa Weda tolerir. Saat makan, ia teringat apakah Galoeh sudah makan. Bahkan saat tidur pun bayangan Galoeh tinggal di rumah sendiri menyusup bunga tidurnya. 

“Cudanco Weda!”

Weda berdecak mendengar panggilan Gala yang sangat lengkap. Ia tak tertarik dengan gelar yang tersemat sejak kenaikan pangkatnya bulan lalu. “Kalau ngobrol biasa, bisa ndak panggil nama saja?” Perasaannya sedang tak nyaman. Hari ini mimpi Galoeh diruda paksa Souta, membuatnya tak bisa tidur.

Alis Gala mengerut. “Aku perhatikan sejak pulang kemarin kamu terlihat kusut? Kata Tika kamu ke Magelang buat jemput Galoeh?”

Suasana hati Weda semakin tak nyaman saat Manggala justru membahas Galoeh. “Ndak usah bahas Galoeh.”

Manggala menatap Weda dengan heran. “Kamu mirip suami yang bertengkar dengan istrinya.”

“Gala ….” Weda menggeram.

Tawa Gala meledak keras. “Tahu ndak, selama sama Harti ndak pernah seburuk ini suasana hatimu.”

“Harti ndak merepotkan seperti Galoeh,” ucapnya datar. Bahkan bila ia lapar, Harti selalu menyediakan makanan. Sangat berkebalikan dengan Galoeh yang membuatmya berkali-kali masuk pawon.

“Tapi, justru kamu kepikiran gara-gara Galoeh,” tebak Gala langsung ke sasaran.

Weda mengacak rambutnya yang basah karena keringat. “Keterlaluan sekali dia! Bukannya terima kasih, malah mengusirku. Mana begitu sampai rumah Ibu langsung memarahiku.” 

Mata Gala menyipit. “Keterlaluan karena istrimu ndak menanggapi kekuatiranmu?”

Weda meniupkan udara kasar melalui mulut. “Kamu ngomong apa?”

“Kamu … sudah ndak hubungan sama Harti lagi?” Gala semakin menginterogasinya.

“Masihlah!” Weda mencabut rumput yang ada di depannya. “Aku pusing selalu didesak Ibu untuk menikah. Waktu itu memang pernah Romo rasan Ibu ingin melamar Galoeh saat aku pulang ke Indonesia dua tahun lalu. Tapi Galoeh menolak karena ingin bersekolah sehingga Ibu akhirnya mencarikan aku gadis priyayi lain.” Weda merebahkan punggungnya di atas rumput di bawah pohon kersen yang lebat. Kedua tangannya diangkat untuk sandaran kepala. “Aku mumet harus dikenal-kenalkan. Aku pikir setelah bersama Harti, Ibu akan diam saja. Tapi, nyatanya Ibu justru membuat aku terjebak dalam pernikahan ini yang bikin aku tambah mumet!”

Gala menyangga badannya dengan kedua tangan yang sedikit ditarik ke belakang. “Ibumu benar-benar keras ya? Sama kayak Tika.”

“Lupakan Tika! Dia ndak bakal suka sama laki-laki yang suka main perempuan macam kamu!”

“Aku ndak main perempuan. Aku hanya lebih sering mengagumi kaum Hawa.” Gala tak terima. Sejak bertemu Tika selepas pendidikan di CORO, Manggala jatuh cinta pada adik sahabatnya. Sayang Tika tak punya perasaan yang sama dan selalu bersikap ketus yang justru membuatnya gemas.

“Oh, ya … ngomong-ngomong bagaimana rencana mau menemui Mas Raka itu?” tanya Weda mengalihkan topik pembicaraan.

“Ah, Mas Raka? Aku sudah mengirim surat ke Ambarawa lewat temanku.” Gala menepuk kedua tangannya untuk menepis tanah yang lengket di telapak tangannya. “Hanya saja kemarin aku dengar, Mas Raka masih buronan sejak ia dan kelompoknya berusaha menyusup ke kediaman Sato di Ungaran. Yang aku dengar sekarang malah Keita Sato mengambil ibu dan adik Mas Raka sebagai sandera. Ndak tahu apa Mas Raka sudah mendengar kabar itu.”

“Sato Setan! Bikin ulah apa lagi keluarga itu?” Tiba-tiba Weda teringat Souta yang juga bermarga Sato, mencari Galoeh yang merupakan anak pemberontak.

“Sepertinya adik Mas Raka sengaja ditangkap karena Mas Raka adalah gembong gerilyawan yang suka mengacau markas-markas Jepang.” Gala menatap lurus ke arah sekelompok tentara PETA yang sedang bercakap dengan riang seolah dunia tidak sedang bergolak. “Kita harus hati-hati. Aku ndak pengin Tika terkena imbas karena pergerakan kita.”

Weda buru-buru menegakkan tubuh. Seketika ia teringat Tika yang ceria dan lembut itu tiba-tiba mengalami hal yang menyedihkan seperti Galoeh. Pikirannya akhirnya hinggap lagi ke Galoeh. Bagaimana kalau kemungkinan buruk terjadi padanya dan Galoeh mengalami hal yang sama? Dituduh terlibat pergerakan bawah tanah, dan mendapat hukuman berat. Padahal gadis itu tak tahu apa-apa. Namun, kalau terus memikirkan hal itu, Weda yakin perjuangan mereka akan terhambat.

“Kamu tenang saja. Kita akan benar-benar mempersiapkan diri agar semuanya berjalan lancar,” hibur Weda pada akhirnya.

“Kempetai!” Weda dan Gala lalu bangkit berdiri melihat seragam Kempetai mendekat. Ia memberi hormat kepada Kepala Kempetai Soerakarta dengan rutukan dalam hati. Terlebih ada Souta yang ternyata ikut dalam rombongan itu.

Alih-alih melewatinya, Souta berhenti di depan Weda. “Aku mendapat laporan kalau Galoeh-san pulang ke Mertojoedan.”

Rahang Weda mengerat. Namun, ia membalas tatapan Weda. “Saya ndak mengira Sato-shoi begitu perhatian pada istri saya.”

Souta terkekeh. “Tiap kalian menyebut istri atau suami, aku selalu geli sendiri. Mana ada suami yang membiarkan istrinya pergi ke rumah keluarganya seorang diri?”

Tangan Weda meremas erat. “Sepertinya itu bukan urusan Anda!”

Tawa Souta meledak. “Apa kamu penasaran dari mana aku tahu ukiran cantik punggung Galoeh-san?”

Kali ini Weda tak bisa menahan diri. Tangan yang sudah mengepal erat itu akhirnya melayang di pipi Souta hingga laki-laki Jepang itu terhuyung. Ia tak suka bila ada orang yang mengganggunya. Kalau perempuan, ia akan menghindar daripada nanti bersikap tak jantan bila melampiaskan kemarahan dengan tangan. Tapi kalau laki-laki, jangan harap akan selamat dari pukulan tangannya.

Namun, Souta pun tak mengalah. Ia lantas menyeruduk Weda seperti banteng dan menghempaskan badan kekar itu ke tanah. Dentuman sekaligus erangan Weda menyambut. Lelaki kurus berotot itu menduduki perut Weda dan memberondongi dengan pukulan.

Weda tak ingin kalah. Ia menangkis dan menarik kerah Souta lalu membalikkan keadaan. “Jangan pernah mengganggu Galoeh!”

Seketika Souta mengangkat tangan sambil tertawa. Sedangkan tentara Kempetai yang langsung datang mengerubungi sudah menodongkan senjatanya ke arah Weda.

“Turunkan senjata kalian! Kami hanya bermain-main saja!” seru Souta. 

Gala buru-buru mengangkat Weda untuk mencegah perkelahian lagi. Weda menepuk dada Gala meyakinkan ia baik-baik saja lalu mengulurkan tangan ke arah Souta.

Souta menyambutnya. Tubuhnya terangkat saat Weda menariknya. Ia tahu, keputusannya memukul Souta bisa saja membuatnya diganjar hukuman karena memukul lebih dulu kepala intel Kempetai.

“Nan desuka (Ada apa ini)?” Koichi Sato-Tai’i yang merupakan Komandan Kempetai Soerakarta dan tak lain adalah ayah dari Souta, datang menghampiri.

“Tidak. Hanya bercanda saja. Kami lama tidak bertemu.” Souta lantas menepuk pundak Weda seolah sedang menepis debu. Ia mendekatkan kepalanya ke samping telinga Weda. “Kali ini aku maafkan. Aku tidak ingin Galoeh-san sedih, suaminya terluka.” 

Bibir Souta tertarik ke samping kiri memperlihatkan senyum yang menyebalkan. Alih-alih tenang, hati Weda semakin terbakar. 

“Ada apa dengan kalian, Bung?” Gala dan Pantja bergegas menarik Weda agar tidak menarik perhatian.

Dada Weda masih kembang kempis. Tatapannya nyalang tertuju ke arah Souta. “Kurang ajar!”

Weda tak bisa memahami Souta. Kenapa laki-laki itu masih saja mengorek informasi tentang Galoeh, padahal gadis itu dinyatakan tak bersalah? Apakah Souta sebenarnya membebaskan Galoeh karena hasil interogasi yang tak mendapatkan keterlibatan gadis itu, atau karena niat Souta mengabulkan permintaannya untuk membayar hutang budinya? 

“Kenapa Dokter mengusik keluarga Sato? Mereka orang-orang berbahaya!” Pantja mengingatkan.

“Aku tahu!” jawab Weda gusar.

“Dia tadi menyinggung Galoeh. Apa Kempetai itu tertarik dengan istrimu?” Gala ikut mematap punggung Souta yang akhirny menghilang ketika masuk ke ruangan Irawan.

Weda seketika menoleh dengan kernyitan alis. “Tertarik?”

💕Dee_ane💕

Hai, Galoeh dan Weda datang lagi. Part ini ada dua bagian yak. Di KK sudah sampai part 27. Terima kasih buat dukungan kalian semua😘😘
Kasih jejaknya yak🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top