17 (a). Ngeyel

Galoeh menggigit bibir menahan isak. Tak hanya badannya yang hangat ketika menyantap nasi sop ayam buatan Weda itu, tapi juga hatinya ikut lumer. Kesendirian dan kesepian yang ia rasakan sirna disisihkan oleh perhatian Weda.

Galoeh tak pernah menyangka Weda akan datang ke rumah ini. Bahkan lelaki itu memasak untuknya. Padahal pawon identik dengan perempuan. Meracik bumbu adalah tugas wanita. Tapi, Weda melakukannya dengan sangat baik sehingga rasa sop ini pun terasa pas di lidah Galoeh yang terasa pahit. Sepahit hidupnya.

Dan, kini kedatangan laki-laki itu berhasil mengobrak-abrik batin yang ingin ia tata. Pertanyaan demi pertanyaan menyusup pikirannya tentang kedatangan Weda. Tidak mungkin Weda datang ke sini tanpa diminta Ibu Lastri. Apakah ia meminta Galoeh pulang? Lantas kalau benar, apa yang harus Galoeh lakukan?

Galoeh meringis, kembali merasakan denyut di pelipis. Ia tak boleh lengah. Ia harus kuat menghadapi cobaan hidupnya sendiri tanpa harus merepotkan orang lain. Bukankah badai pasti akan berlalu? Galoeh harus bertahan hingga pelangi tiba. Saat di mana Nippon tak lagi menginjak-injak negeri ini.

Sesegera mungkin Galoeh menepis asa yang terselip. Ia tak ingin egois. Demi kenyamanannya, ia merampas Weda dari perempuan yang dicintai Weda. Ia tak mungkin merusak kebahagiaan Weda yang begitu baik padanya karena mengutamakan rasa kemanusiaan. Oleh karena itu, Galoeh harus bertahan pada pilihannya.

Menjelang malam, Weda masuk kembali ke dalam kamarnya dengan membawa lilin untuk menyalakan dian yang ada di meja tulis. Cahaya api yang menari menyinari wajah tirus berkulit sawo matang, memantulkan kharisma laki-laki dewasa yang membuat mata Galoeh tak bisa berkedip.

"Loeh, kamu belum tidur?" Sinar lilin yang menerangi ruangan akhirnya menerpa wajah Galoeh yang masih terjaga dan duduk di tepi kasur.

"Belum," cicitnya.

"Ada yang ndak nyaman?" tanya Weda sambil melepas semprong untuk menyalakan sumbu lampu minyak.

"Sedikit pusing. Pinggang saya juga nyeri." Galoeh lalu bangkit dari duduknya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Weda menahan tubuh sempoyongan Galoeh.

"Mau pipis. Mandi. Ganti kain pembalut."

"Masih datang bulan?"

Galoeh mengangguk. Pipinya memerah. Malu. Walau ia anak kedokteran, mengakui ada tamu bulanan di depan Weda rasanya canggung sekali.

"Aku masakkan air?" tanya Weda.

"Ndak usah, Mas. Keburu malam." Mau tak mau Weda menuruti Galoeh.

Sekembalinya Galoeh dari mandi, ia mendapati sprei di kasurnya sudah berganti. Tak lusuh dan tak ada noda seperti sewaktu ia tinggalkan. Gadis itu pun mencari Weda yang ia tahu tadi sedang menimba air untuk mengisi bak mandi di luar. Namun, sepertinya Weda sudah masuk ke kamar mandi. Padahal di dalam ada baju-baju yang sudah ia rendam sejak pagi dan baju tidurnya tadi yang terdapat noda darah di bagian belakang yang belum sempat dicuci.

Galoeh memutuskan kembali ke dalam kamar. Hampir satu jam ia menanti, akhirnya ia keluar lagi dan mendapati Weda menjemur sprei, jarik, gaun, kebaya, kutang, dan ... celana dalam? Parahnya kain pembalutnya pun ikut dijemur yang berarti Weda mencucinya.

"Mas!" Galoeh berlari menarik celana dalam basah yang akan dijereng Weda. Bisa-bisanya laki-laki itu mencuci bajunya yang terkena darah haidnya!

"Kenapa kamu keluar?"

"Mas sedang apa?" sergah Galoeh dengan wajah memerah. Untungnya di halaman cukup gelap untuk menyembunyikan wajah malunya.

"Cuci baju?" Alis Weda mengerut.

"Iya, tahu! Tapi kenapa mencuci baju saya?" Galoeh heran kenapa Weda bersikap biasa. Mereka hanya suami istri di atas kertas! Lagipula, mana ada suami-suami yang mencucikan baju istrinya. Setahu Galoeh, laki-laki hanya akan ongkang-ongkang ketika para istri mencuci. Dan setelah itu para istri diminta ngangkang untuk melayani hasrat biologis sang suami. Tapi, kenapa Weda berlaku aneh? Memasak bahkan mencuci? Apa dia kerasukan hantu para abdi yang ikut dieksekusi?

"Kamu sakit. Aku lihat bajumu numpuk. Sekalian-"

"Ndak usah sok perhatian sama aku!" Galoeh melupakan bahasa formalnya.

"Kok sok perhatian?" Weda menarik celana dalam yang dipegang Galoeh. "Sewaktu bertugas di Belanda aku sering disuruh mencuci kain-kain yang penuh darah. Jadi, kamu ndak usah malu. Kalau kamu pegang terus, celanamu ndak akan kering." Ia lalu mengibaskannya agar tidak kusut sebelum menjereng di atas bilah bambu.

"Mas Weda!" Mata Galoeh membeliak. Ia menghentakkan kaki. Rasanya ia ingin meleleh dari bumi ini saking malunya. Apa Weda tidak jijik dengan bau anyir dan noda darah dari hasil peluruhan sel telurnya yang tidak dibuahi sperma? Walau Weda pernah disuruh mencuci kain-kain linen rumah sakit, tapi sekarang kasusnya berbeda.

Kepala Galoeh semakin berdenyut. Ia lalu berlari masuk dan membaringkan diri menghadap tembok. Beberapa menit kemudian, derak kasar tempat tidur besi berkelambu menguasai seisi ruangan. Weda duduk di sisi ranjang, dan menempelkan tangannya di dahi Galoeh. Decakan terdengar sesudahnya.

"Ngeyel! Disuruh mandi pakai air hangat nekat mandi air dingin. Kalau ndak nyusahi sepertinya bukan Galoeh namanya."

"Ya sudah, Mas pulang sana! Saya juga ndak minta Mas di sini!" Galoeh jengkel mendengar gumaman Weda. Kuduknya berdiri merasakan dingin di tubuhnya yang tiba-tiba kembali terbakar.

"Kompres lagi ya?"

Galoeh pasrah. Kepalanya terlampau pusing sehingga hanya bisa menurut dan memilih memijat pelipisnya. Akhirnya sapu tangan Weda kembali mendarat di keningnya. Tak hanya itu, Weda menggantikan tangannya memberikan pijatan yang terasa nyaman di kepalanya hingga gadis itu tak mampu menampik. Ia membutuhkan tangan kuat yang bisa meringankan nyeri kepalanya.

"Nyaman?"

Galoeh diam tak mengakui. Tiba-tiba pijatan itu berhenti. Ia seketika membuka mata dan menatap wajah jail Weda seolah berseru pada laki-laki itu 'kenapa berhenti?'

Kedua alis Weda terangkat dan tersenyum nakal. Ah, ini dia wajah yang sering dikeluhkan Tika. Weda sering menggoda adiknya. Dan katanya laki-laki itu baru akan berhenti mengerjai kalau Tika sudah menangis. "Kenapa? Mau lanjut?" tanya Weda dengan senyum jailnya.

Galoeh berdecak kencang, menutup matanya dan tak menjawab pertanyaan. Namun tawa Weda mengisi sunyi dan tangan itu kini kembali memijat pelipisnya.

Nyaman ... sangat nyaman. Dan Galoeh pun terlelap.

Galoeh terjaga saat cahaya matahari menyapa wajahnya. Ia enggan membuka mata kala merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuh. Ketika ia ingin kembali tidur, ia menangkap dengkur halus.

Perlahan ia membuka mata, dan mendapati seseorang bertelanjang dada mendekapnya. Seketika Galoeh mendorong orang itu dan erangan disertai umpatan keras terdengar!

Apa yang terjadi?

Weda merintih ketika tubuh kekarnya jatuh. Tidur nyenyaknya terganggu ketika tubuhnya mendarat di lantai dingin diiringi pekikan Galoeh.

"Mas sedang apa di sini?" Galoeh menutup tubuhnya dengan selimut sambil menatapnya nyalang.

"Kamu kenapa, bangun-bangun dorong aku?" tanya Weda gusar.

"Justru saya yang harusnya tanya, kenapa Mas tidur di kamar saya? Trus itu ...." Galoeh menunjuk dirinya dengan memalingkan muka ke arah lain.

Weda mengurut arah telunjuk Galoeh dan mendapati dirinya bertelanjang dada. "Ah, itu ... semalam kamu menggigil. Aku khawatir kalau diselimuti tebal, kamu bisa kejang. Jadinya aku ...." Weda meringis dan menggaruk kepalanya. "peluk kamu saja. Cuma aku ketiduran semalam, aku jadi kepanasan trus ... lepas baju begitu saja."

Galoeh mengambil bantal dan melempar ke muka Weda. "Siapa suruh Mas peluk saya? Mas bukan siapa-siapa saya!" Tangis Galoeh pecah.

"Kok kamu marah? Aku hanya mau bantu supaya kamu hangat." Weda tak terima disalahkan. "Lagipula sewaktu tidur sepertinya memang suka peluk-peluk orang. Dulu juga kamu nemplek aku terus. Waktu kita tidur pertama kalinya."

Alih-alih menerima penjelasan Weda, Galoeh melingkupi tubuhnya dengan selimut. Ia tahu, Tika sering sekali mengeluh kalau tidur bersamanya. Rupanya ide menghalangi dengan guling waktu itu tidak berhasil dan kebiasaannya juga kumat tak pada tempat. "Pergi! Saya ndak mau lihat Mas Weda!"

"Loeh, aku disuruh bawa kamu pu-"

"Ini rumah saya! Saya sudah pulang! Pergi sekarang!" Rasanya Galoeh ingin diserap bumi bila mengingat pagi pertamanya waktu itu bangun di samping Weda. Kenapa Weda harus menyinggungnya sekarang?

"Ya sudah, aku pulang!"

Galoeh mengerjap. Seharusnya Weda membujuknya lebih keras. Lalu kenapa malah pulang? Apa semua ini hanya karena titah Ibu Lastri?

💕Dee_ane💕

Yang mau lanjutannya lebih cepat hingga part 20, silakan dukung ke KK. Tapi aku bikin paket yak.
Terima kasih udah baca cerita ini dan silakan kasih tanda cinta ke Weda-Galoeh sebanyak-banyaknya😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top