16. Mencari Galoeh

Baru kali ini Weda melawan ibunya. Ia marah. Tapi ia tak tahu untuk apa ia marah karena seharusnya ia lega Galoeh dengan kesadaran hati, menyingkir dari hidupnya. Namun, tindakannya justru membuat Ibu Lastri semakin naik pitam

"Terserah apa anggapanmu. Di mata Ibu, Galoeh adalah istri putra Ibu. Menantu Ibu! Bawa Galoeh pulang. Walau keinginan Ibu agar kalian melakukan permberkatan kandas, tapi Ibu ndak mau Galoeh pergi dari sini."

Weda meremas kertas itu. Galoeh selalu menyulitkannya. Kalau sampai mereka bertemu, Weda akan memberinya pelajaran agar tidak berbuat semaunya. Di saat seperti ini, Weda tak ingin memikirkan hal lain selain berjuang membela bangsa dan negara dari belenggu kekejaman Dai Nippon.

Namun, ultimatum Ibu Lastri, tak bisa Weda tampik. Ia harus mencari Galoeh dan membawanya pulang. Dan, Weda berpikir hanya satu tempat yang akan Galoeh tuju. Mertojoedan.

Mau tidak mau, sampailah Weda di sini. Di sebuah desa di Magelang-Ken yang terlihat damai di tengah pergolakan perang di seluruh bagian dunia. Berbekal ancar-ancar dari Tika, ia lalu bergegas ke kediaman Hadinata dengan menggunakan delman dari Stasiun Mertojoedan.

"Semua orang tahu Raden Tjokro. Beliau orang baik. Sayang putra beliau meninggal tujuh tahun lalu." Kusir itu bercerita panjang lebar sepanjang perjalanan menuju ke kediaman Hadinata.

"Meninggal karena apa?" Weda terpukau dengan ketenaran keluarga Romo Tjokro. Sepertinya memang figur romonya Galoeh begitu dihormati penduduk setempat.

"Ditabrak mobil. Konon kabarnya, menurut cerita yang beredar, kecelakaan yang terjadi tujuh tahun lalu itu sepertinya disengaja." Pak Kusir berdecak membimbing kudanya berada pada jalur yang tepat. "Saya heran, Ndoro. Kenapa ada yang membenci Raden Tjokro sehingga tega berbuat jahat seperti itu. Padahal beliau itu orang yang baik. Desa kami makmur ya karena dipimpin beliau."

Weda mengangguk-angguk, mengingat kembali cerita Galoeh beberapa waktu lalu.

"Sejak ada kejadian itu, Ndoro Galoeh dimasukkan ke Sekolah Putri Mendoet," sambung sang kusir. "Nah, itu dia rumahnya." Laki-laki berbeskap lurik itu menunjuk ke arah rumah bergaya kolonial dengan banyak jendela dan atap yang tinggi. Di depan rumah terdapat halaman yang luas.

Setelah membayar dan turun dari delman, Weda melangkahkan kaki masuk ke pekarangan yang tampak tak terawat. Ini kali pertama ia datang ke tempat ini. Walau baru sekali, pemandangan ini tidak asing karena Tika pernah mengirimkan foto ia bermain ayunan dengan riangnya bersama Galoeh di bawah pohon sawo yang sedang berbuah banyak.

Kini Weda sudah berada di depan pintu kaca. Ia mendekatkan wajahnya ke kaca untuk melihat apakah ada kehidupan di dalam. Suasana sepi tak terlihat ada siapapun di sana. Hanya tampak sofa kayu jati berukir yang terlihat berdebu di permukaannya. Ia lalu mencoba memutar handel pintu namun terkunci.

Diketuknya sekali lagi, tapi tak ada jawaban. Weda kemudian berjalan mengelilingi rumah dan mendapati pintu dapur yang bagian atasnya terbuka sedikit. Ia lalu memperlebar daun pintu atas dengan mendorong sepelan mungkin agar tidak meninggalkan derik yang akan mengundang perhatian orang yang ada di dalam dan melongok ke dalam untuk mengamati apakah ada jejak manusia di sana. Seketika ia tersenyum, karena mendapati kepulan asap dari tungku pawon. Wangi sangit kayu bakar khas pawon menyeruak penciumannya. Melihat ada sisa bara di dalam tungku, ia yakin ada seseorang di rumah ini.

Pelan-pelan Weda menarik gerendel pintu, untuk membuka bagian bawah pintu yang sengaja dibelah dua. Ia lalu masuk. Berjingkat pelan layaknya pencuri berjalan ke dalam rumah.

Begitu masuk ke dalam, Weda disambut bonggol jagung dan jagung rebus di sana. Weda mendekati meja makan dan menyentuh jagung yang ternyata masih hangat. Lalu ia memeriksa setiap kamar mulai dari yang di belakang.

Tak ada orang di kamar yang pertama ia masuki. Ia pun masuk ke kamar lain dan masih tak mendapati siapapun. Sampai akhirnya ia mendengar rintihan pelan dari kamar paling depan.

Weda melangkah seperti kucing berjalan. Ia mendorong pintu yang terbuka separuh dan mendapati Galoeh bergelung dengan wajah yang sudah memudar ronanya.

"Galoeh!" Antara lega dan cemas, Weda menghampiri ranjang dan duduk di tepiannya. Ia menarik tubuh Galoeh dan mendapati telapak tangannya seperti terbakar kala bersinggungan dengan kulit Galoeh. Bibir gadis itu kering dan terdengar gemeletuk gigi.

"Galoeh!" Weda menepuk pipi Galoeh.

Kelopak mata sembab itu terbuka pelan. Gadis itu mengangkat tangannya, menangkup pipi Weda. "Mas Galih, maaf. Mas Galih, maaf ...." Galoeh kemudian mengerang.

Jakun Weda naik turun. Sepertinya kesadaran Galoeh menurun karena panas yang sudah terlalu tinggi. Tubuh mungil itu bergetar karena menggigil. "Galoeh, Galoeh." Weda masih menepuk pipi gadis itu.

Isakan Galoeh terdengar lirih disertai bulir bening yang menetes. Ia menunduk, mengusap dahi panas gadis itu.

"Maaf ...." Masih saja kata maaf terlontar dari bibir kering itu.

Rasa ingin tahu terselip di batinnya. Apakah Galoeh merasa sangat berdosa pada Galih karena sampai terbawa dalam igauannya?

Galoeh kemudian mengerang dan semakin menggelung badannya.

"Loeh, mana yang sakit?"

Galoeh meringis berusaha memancang nalarnya sambil menunjuk kepala serta perutnya. Weda menggigit bibir, berpikir sejenak. Ia berharap Galoeh hanya flu saja, tanpa disertai penyakit yang serius.

Weda lalu bergegas ke belakang mencari air untuk mengompres dahi Galoeh. Namun, ia tak mendapati air di gentong. Terpaksa ia keluar untuk mengambil air di kamar mandi yang ternyata cukup banyak airnya.

Sejurus kemudian Weda kembali ke kamar mendapati Galoeh. Ia mengambil sapu tangan yang ada di saku untuk digunakan sebagai kompres dan meletakkan di kening Galoeh.

"Dingin!" Suara kertuk gigi Galoeh semakin keras. Ia menepis sapu tangan itu.

"Dikompres dulu. Panasmu terlalu tinggi." Weda kembali menaruh sapu tangan biru yang basah itu di kening Galoeh.

"Emoh! Mas Galih ... ada yang nakali Galoeh." Gadis itu lalu menangis seperti anak kecil dalam kesadaran yang menipis.

"Loeh! Sadar. Ini aku. Weda." Weda menepuk pelan pipi Galoeh.

Mata itu kembali terbuka. "Mas Weda ndak mungkin ke sini! Mas Weda ... Mas Weda." Kini Galoeh meraung.

Weda meniupkan udara kasar ke atas dari bibirnya. Ia jengah karena ada sedikit kebenaran yang diucapkan Galoeh. Kalau seandainya Ibu Lastri tidak memaksanya mencari Galoeh, pasti Weda tidak akan berada di sini detik ini.

"Kamu ini kalau nyusahke ndak tanggung-tanggung, ya?" gumam Weda sambil menahan tangan Galoeh yang berusaha menepis sapu tangan basah itu.

"Romo ... Ibu ... sakit ...."

Weda mengembuskan napas pasrah. Percuma saja marah pada Galoeh. Ia menatap wajah yang semakin tirus sejak mereka bertemu dua hari lalu. Baru kali ini Weda bisa mengamati detail wajah Galoeh yang kecil. Bentuknya oval dengan hidung menjulang. Bibir tipis yang biasa lembab itu mengelupas. Dan baru ia sadari alis kanan Galoeh terbelah. Kini ia kembali terusik oleh rasa penasaran. Apakah Galoeh benar-benar mempunyai hubungan spesial dengan Souta?

Entah kenapa memikirkan hal itu Weda menjadi jengkel. Ia seolah dikhianati. Tapi untuk apa ia merasa seperti itu karena ia hanya menjadi suami di atas kertas tanpa ada cinta. Namun, di lubuk terdalam hati Weda, ia tak rela Galoeh dekat dengan Souta. Walau dulu ia juga melarang Tika dekat dengan Souta, tapi rasa jengkelnya tak seperti sekarang. Dan Weda sendiri tak bisa menerangkannya.

Akhirnya Galoeh bisa tenang. Sepertinya hari ini, ia harus mencari beras atau bahan lain untuk mengolah makanan yang lebih bergizi. Maka, ia pun meninggalkan Galoeh sendiri dan bergegas keluar melalui pintu depan. Untungnya di ruang tamu ada sepeda sehingga ia tak perlu berjalan kaki.

Saat ia baru saja keluar dari rumah, seorang perempuan bertubuh gempal berdiri di depan pintu masuk pekarangan. Awalnya Weda tak menggubris. Namun, wanita itu memanggilnya.

"Njenengan sinten (Anda siapa)?"

Weda gelagapan. Tanpa berpikir panjang, seketika ia menjawab, "Kulo garwane Galoeh." Weda kembali terkesiap dengan jawabannya sendiri. Hanya itu jawaban terbaiknya keluar dari rumah itu, karena tak ingin disangka hendak mencuri sepeda. "Pripun (Bagaimana)?"

Wanita itu mengernyit. "Garwa? Kapan Ndoro Galoeh menikah?" Mata wanita berpipi gembil itu menyipit. "Tunggu, kamu mau ambil sepeda-"

Jakun Weda naik turun. "Mbokde, saya ini suami Galoeh dari Soerakarta! Lha njenengan sinten (Anda siapa)?" Dagu Weda terangkat tak ingin dituduh.

"Kulo (Saya)? Saya ... saya abdi rumah ini."

Weda mengernyit. "Abdi?" Kini justru Weda yang curiga. "Setahu saya semua abdi dihukum mati, tapi kenapa njenengan bisa ... bebas?"

Ganti perempuan itu megap-megap seperti ikan terdampar. "Ah, ya sudah kalau njenengan garwane." Dan wanita itu pergi begitu saja dan Weda hanya bisa menatap punggung berbalut kebaya lusuh itu menjauh dengan penuh tanda tanya kenapa dia malah langsung pergi.

***

Akhirnya Weda berhasil membawa pulang beras yang harganya selangit, bersama satu ekor ayam hidup. Untungnya kemarin ia mendapat gaji yang lumayan sebagai tentara PETA sehingga bisa membeli bahan-bahan itu. Rencananya, ia hendak membuat sop pecok yang ia pelajari dari Ibu Lastri saat akan berangkat ke negeri Belanda. Selama berada di Belanda, bertepatan saat negara itu dikuasai Nazi-Jerman, pada akhirnya Weda bisa melakukan pekerjaan domestik yang sering dikerjakan perempuan. Tak hanya memasak, bahkan Weda juga bisa mencuci dan beberes karena harus hidup mandiri di negeri Kincir Angin. Menurut Ibu Lastri, kemampuan memasak Weda patut diacungi jempol karena rasa masakannya mampu menggoyang lidah.

Seperti yang Weda perkirakan, bumbu-bumbu di dapur rumah ini cukup lengkap sehingga ia tak perlu membeli bumbu yang lain. Walau rumah ini lama kosong, rupanya tetangga setempat ikut menjaga sehingga tak ada barang-barang yang hilang. Mungkin karena kebaikan Romo Tjokro dan keluarga selama hidupnya sehingga mereka membalasnya dengan ikut menjaga milik Romo Tjokro.

Bertepatan saat langit mulai redup, kuah sop ayam pun mulai menggelegak. Uap yang menguar mengantarkan aroma rempah yang membuat perut keroncongan. Weda sengaja memotong-motong menjadi dua bagian. Satu bagian untuk dimakan malam ini bersama Galoeh dan sisanya untuk sarapan.

Dengan langkah cepat ia lalu membawa nasi panas dalam bakul kecil, dua tumpukan piring, dan kuali berisi sop ayam ke dalam kamar. Rupanya Galoeh masih terlelap dengan sapu tangan yang masih ada di dahinya. Kalau tidur begini, Galoeh terlihat rapuh dan membuat iba. Tapi kalau gadis itu terjaga dan saat mereka harus berinteraksi, yang ada sering membuat Weda kesal.

"Loeh, makan dulu." Weda menggoyang tubuh Galoeh, setelah menggeser meja kecil ke samping ranjang dan meletakkan nampannya.

Galoeh membuka matanya pelan. Badannya masih panas walau tak sepanas tadi.

"Makan dulu. Aku buatkan sop pecok. Ada nasi juga."

Galoeh hanya menatap kosong Weda. Mata merahnya perlahan meneteskan bulir bening di pelipisnya.

"Kok nangis?" Weda melirik Galoeh saat mengambil piring dan mengisinya dengan secentong nasi, kemudian membanjiri dengan kuah sop agar Galoeh mudah menelan.

Galoeh menggeleng. Menyeka air mata.

"Makan dulu." Untungnya, Weda sudah menyuwir daging seperti yang dilakukan Ibu Lastri ketika ia masih kecil untuk mempermudah saat makan. "Bisa bangun?"

"Ini betulan Mas Weda?" tanya Galoeh.

"Lha siapa lagi kalau bukan aku?"

Tangis Galoeh kembali pecah. Ia menutup mukanya dengan kedua tangan. Weda meletakkan kembali piring lalu menarik tangan itu sehingga terlihatlah wajah yang berderai air mata. "Ngopo kok nangis?"

Galoeh perlahan menegakkan tubuh dan seketika memeluk Weda dengan erat saat laki-laki itu mengambil piring.

"Loeh?" Weda tersentak. Ia tak terbiasa selengket itu dengan perempuan.

Galoeh masih terisak. Air matanya membasahi kaus putih tipis yang dikenakan Weda. Laki-laki itu berusaha menjauh karena merasa tak nyaman ada gadis yang memeluknya. Terlebih ia merasa berkeringat setelah melakukan perjalanan dari Soerakarta ke Magelang, bersepeda sewaktu berbelanja, dan memasak. "Kamu bisa pingsan mencium bau badanku loh." Weda berusaha melepaskan rengkuhan Galoeh.

Gadis itu menggeleng. "Manis. Aromanya mirip aroma Mas Galih dan Romo."

Tubuh Weda menegang. Jantungnya seketika berdetak kencang. Seperti kata Ibu Lastri, ia benar-benar tidak terbiasa dengan perempuan. Walau Harti kekasihnya, tapi mereka tak pernah berpelukan seerat ini kecuali saat berboncengan karena demi keamanan.

Tiba-tiba peluh Weda merembes di pori, walaupun ia belum menyantap makanan panas itu. Kamar itu seolah tungku raksasa yang siap memanggangnya. Perlahan-lahan ia mengurai kalungan lengan kurus itu. "Se-sekarang kamu makan dulu ya?"

Galoeh mengangguk lemah, seperti anak kecil yang tersesat. Ia mengusap air matanya bersamaan Weda mengelap keringat yang membasahi kening. Alih-alih mereda, degup jantungnya semakin memburu saat melihat ekspresi Galoeh yang lemah seperti mangsa terluka. Seketika timbul pertanyaan di batinnya, apa gadis itu juga berlaku yang sama dengan Souta. Apakah Souta juga merasakan hal sama sehingga lelaki itu nekat menerkam Galoeh dan mendapati bekas luka bakar di punggungnya?

Weda memejamkan mata erat. Darahnya tiba-tiba mendidih ketika otaknya disajikan sekelebatan bayangan imajinasi Galoeh memeluk Souta dan perkataan Souta yang menggaung lagi di kepala. Ia tak bisa mencari alasan lain kenapa Souta mengetahui bekas luka yang tertoreh di balik baju Galoeh. Susah payah ia mengendalikan napas yang memburu dan berusaha melupakan ucapan Kempetai itu.

"Ayo, makan dulu." Weda mengulurkan satu sendok nasi dan suwiran ayam di atasnya.

"Daging ayam?" Mata Galoeh menjuling.

"Iya. Biar kamu cepat sembuh." Alih-alih membuka mulut, Galoeh hanya mengamati isi sendok itu. Mata gadis itu memerah dan akhirnya sebutir air menetes lagi dari mata. "Nangis lagi!" Weda berdecak. Ia bingung menghadapi perempuan menangis. Apabila Tika menangis, semua cara akan ia gunakan untuk membuat adiknya diam. Mulai dari memeluknya erat agar tidak terdengar Ibu Lastri yang bisa saja memarahinya bila mendengar tangisan Tika, atau menggendongnya. Namun, menghadapi Galoeh yang tidak setangguh yang ia kira, Weda kelabakan. Apa perlu Weda memeluknya atau menggendongnya? Tidak, Galoeh sudah besar. Bukan seperti Tika sewaktu anak-anak.

"Ayo, Loeh. Kamu harus makan biar kuat." Hanya itu penghiburan terbaiknya karena Weda tak bisa berkata manis.

Galoeh perlahan membuka mulut memberi kesempatan Weda menyuapkan nasi sop. Gadis itu mengunyah pelan di sela isakan yang semakin keras.

"Lah, kok gembeng men to (Kok cengeng sekali sih)?" Weda judek. Semakin dihibur, Galoeh semakin menangis.

"Habis ... sopnya enak. Mirip buatan Ibu." Bahu Galoeh bergetar hebat.

Weda tersenyum. "Kalau kamu suka, aku bisa buatkan lagi." Suaranya datar, tak terdengar ramah. Ia merutuk sifat buruknya yang tak bisa berlaku manis di depan perempuan sehingga Harti sendiri mengatainya laki-laki kayu saking keras hati dan mulutnya.

"Ini Mas Weda yang masak? Mas Weda bisa masak? Kok bisa? Laki-laki mana pernah masuk dapur?" Kerjapan mata Galoeh semakin mempercepat gemuruh di dada Weda.

Weda mengangguk saja. Tenggorokannya terhimpit sensasi aneh yang tak pernah ia rasakan, sehingga ia tak menjawab berondongan pertanyaan Galoeh. "Ayo, makan yang banyak."

Suapan demi suapan akhirnya mengisi lambung gadis itu. Rupanya Galoeh memang benar-benar kelaparan. Ia menghabiskan satu centong nasi dan tiga perempat bagian sup dalam mangkuk.

Sementara itu, Weda hanya menatap Galoeh dengan sorot iba. Laki-laki itu tak tega dengan gadis ringkih yang sok kuat di depannya. Harus bagaimana ia melindungi Galoeh untuk menebus rasa bersalah keluarganya?

💕Dee_ane💕

Galoeh dan Weda datang lagi. Semoga kalian terhibur😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top