13. Penculikan
Di sisi lain, Galoeh sangat menyadari betapa Ibu Lastri sangat peduli padanya. Namun, ia memilih mundur daripada harus terjebak dalam pernikahan yang dipaksakan. Sayangnya. tak semudah itu memberi pengertian pada Ibu Lastri Selama beberapa hari sejak pembicaraan pagi itu, wanita paruh baya itu mengurung diri di kamar dan enggan makan.
Tika mulai kelabakan karena sudah dua hari ini ibunya tampak lemah. Gadis itu masuk begitu saja ke kamar Weda untuk mencari Galoeh yang sedang bersiap berangkat ke sekolah. "Loeh, piye iki? Ibu gerah (sakit). Beliau benar-benar ingin kamu melangsungkan pemberkatan nikah sama masku biar pernikahan kalian ndak cuma basa-basi di atas kertas."
"Aku ora iso, Tik. Ndak bisa!" ujar Galoeh tegas. Kini Tika mulai turun tangan untuk membujuknya.
"Ibuku sakit gara-gara mikir ...." Tika berdecak. "Ah, sudahlah! Aku hari ini izin. Tolong pegang dulu kelasku." Kartika berlalu begitu saja.
Galoeh sebenarnya tak sampai hati melihat kondisi Ibu Lastri. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tak ingin menodai sakralnya pernikahan suci dengan janji yang hanya diucap di mulut saja. Bagi Galoeh, pernikahan yang diberkati di gereja itu hanya satu, utuh, dan tak terceraikan. Bila pemberkatan itu sampai berlangsung, tentu saja akan menghancurkan kebahagiaan Weda dan dirinya. Galoeh tak ingin menjadi istri dari laki-laki yang mencintai perempuan lain.
Gara-gara aduan Tika, sepanjang hari kepala Galoeh dipenuhi akan kecemasannya terhadap kondisi kesehatan Ibu Lastri. Ia ingin membantu, tapi di sisi lain ia enggan mengikat Weda yang jelas-jelas punya kekasih. Di saat otak Galoeh dibisingkan oleh pikiran-pikiran yang semrawut, tiba-tiba dehaman berat yang sangat ia kenal, membuatnya terlonjak. "Sato-Sensei ...." Buru-buru Galoeh berdiri dan menbungkuk memberi hormat. Bila di sekolah, Souta memang disebut 'sensei' untuk panggilan pada guru.
"Saya perhatikan, Galoeh-Sensei terlihat muram." Souta memancing percakapan.
Galoeh masih membisu. Ia hanya melirik Souta dengan waspada. Ia tak bisa menolak untuk tidak bertemu dengan laki-laki itu karena memang Souta mengajar sejarah Jepang. Kadang Galoeh berpikir, Souta seperti punya kepribadian ganda. Saat mengajar, ia terlihat santai dan bersahabat, tak semenakutkan seperti ketika sedang bertugas sebagai Kempetai, walau laki-laki itu menggunakan seragam yang sama.
"Sakit?" tanya Souta lagi tak terpengaruh dengan diamnya Galoeh.
"Saya baik-baik saja, Sensei." Galoeh tersenyum tipis.
"Kamu terlihat kurus sejak terakhir kali bertemu di Panti Rogo," komentar Souta. "Apa keluarga Danoe-Sensei kekurangan beras?"
"Sepertinya bukan hanya kami saja yang kekurangan beras, Sato-Sensei." Suasana hati Galoeh sedang tidak baik. Ia tak lagi peduli, Souta mau menangkap atau membunuhnya. Kengerian, kecemasan, dan ketakutan yang menggerus batin, lama kelamaan telah membuatnya mati rasa.
Souta mendengkus. "Apa kamu bertengkar dengan Weda-Sensei?"
"Kalaupun kami bertengkar, apakah penting untuk Dai Nippon?"
Souta mendekat, mencengkeram tangan Galoeh. "Ikut aku!"
"Lepas!" Galoeh mendesis. Walau di situ ada beberapa orang guru, tapi mereka hanya bergeming menatap Souta menarik atau lebih pas disebut menyeret Galoeh.
Galoeh tak bisa melawan. Ia dimasukkan begitu saja ke dalam mobil dan dibawa ke tempat yang tak pernah ia lewati sebelumnya.
***
Sementara itu di markas PETA di Manahan, Weda dan teman-temannya sedang bercakap sambil menikmati makanan ala kadarnya yang menurut Weda tidak banyak mengandung nilai gizi seimbang. Mengingat krisis pangan semakin memburuk, mau tidak mau ia pun harus mengganjal perut dengan Bubur Asia Raja yang selalu dipropagandakan Jepang untuk menggantikan nasi.
"Mau sampai kapan kita makan bubur seperti ini? Sawah banyak, tapi ndak bisa kita nikmati." Weda mulai mengeluh. Kebiasaannya selalu muncul bila ada hal yang tidak mengenakkan terjadi. Terlebih beberapa hari ini para tentara yang bertugas menjaga keamanan daerah di negeri ini hanya diberi makan bubur yang tidak bisa mengisi cukup lambung. Yang ada perutnya akan terus berbunyi karena tidak ada yang bisa dicerna maksimal. Walau semalam ia sempat makan nasi, tetap saja rasanya hanya nylilit karena tidak bisa banyak.
"Sudah. Masih bagus kita bisa makan." Pantja menimpali sambil melahap bubur yang terbuat dari ubi, singkong, dan katul. Bubur yang terlalu sederhana ini menjadi makanan wajib rakyat di negeri yang gemah ripah loh jinawi.
"Persetan dengan Bubur Perjuangan! Seharusnya kita memperjuangkan nasib di negeri sendiri." Gala memang selalu mudah tersulut amarahnya bila memperbincangkan soal Dai Nippon yang seolah ingin mengeruk kekayaan tanah negeri ini.
"Ngomong-ngomong tentang perjuangan, bagaimana rencana kita untuk-" Pertanyaan Weda terpotong oleh isyarat Pantja.
"Ssstt," Pantja mendekatkan telunjuknya di depan bibir yang mengerucut. Ia menggeleng sambil menoleh ke kanan kiri, lalu berkata, "Hati-hati. Sekarang pohon juga bisa mendengar."
"Rencana apa?" tanya Gala yang telah lebih dulu menghabiskan buburnya hingga tak tersisa.
Weda berdeham, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka. "Tentang ... pem-be-ron-tak-an." Weda berkecumik, hampir tak mengeluarkan suara. Namun, gerakan bibir itu bisa dimengerti Gala.
Mata Gala membeliak. Senyumnya terurai. Darah mudanya mendidih dibakar kata tak bersuara Weda. "Jadi?"
Pantja memajukan badannya dan berbisik pelan. Semua orang menunggu perkataan tentara paling muda di antara mereka. "Saya sudah rasan ke Daidancho Irawan. Beliau akan membantu."
"Kapan mulai pembicaraannya?" tanya Gala dengan antusiasme yang tinggi.
"Bagaimana kalau besok malam?" kata Pantja setelah menelan suapan bubur terakhir.
"Boleh. Di kamar saya?" tanya Weda melupakan rasa bubur yang tak ada rasanya di lidah.
Belum sempat mendapat kesepakatan, pembicaraan mereka terdistraksi saat laki-laki berpangkat giyuhei mendatangi mereka mengabarkan seseorang mencari Weda. Setelah berpamitan dengan kedua temannya, Weda menemui anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun.
"Ono opo, Le?" tanya Weda. "Ibumu sakit lagi?"
"Loh, Paklik kan dokter yang mengobati Simbok toh?"
Alis Weda mengernyit. Paklik? Ada rasa tidak terima dipanggil seperti itu oleh anak kecil berambut jagung di depannya. Sejak berkenalan pertama di rumahnya saat mengobati Mbok Panti, ia selalu memanggil seperti itu seolah ia orang tua. "Iya. Ada apa? Ibumu sakit lagi?"
"Mboten. Paklik garwane Galoeh-Sensei to? Saya lihat tadi di sekolah, Galoeh-Sensei ditarik paksa Sato-Sensei." Anak itu terlihat khawatir.
"Ditarik?" Weda membeliak. "Siapa yang menyuruhmu ke mari?"
"Saya sendiri! Saya lihat Sensei berontak dan teringat cerita Galoeh Sensei kalau suaminya dokter dan tentara di sini. Eh, malah ternyata Paklik Dokter Weda."
Weda terperangah mendengar pengakuan anak itu. Galoeh memperkenalkan diri sebagai istrinya? Namun, sepertinya ada yang lebih pelik yang harus ia selesaikan.
"Kamu tahu gurumu dibawa ke mana?" tanya Weda.
"Ndak tahu, Pak-"
"Panggil saja Mas," potong Weda cepat.
"Ndak tahu, Mas. Tapi sepedanya masih ada di sekolah."
Tanpa berpikir panjang, ia berbalik. Tapi, Djono meraih ujung kemejanya. "Ada apa?" Weda menggeram, menatap laki-laki dekil bercelana pendek dan berkemeja putih kecokelatan, tanpa alas kaki.
"Pak, eh, Mas, kula ikut cari Galoeh Sensei."
"Ndak usah! Kamu pulang saja," kata Weda dengan buru-buru hingga terdengar menyergah.
Baru saja ia akan melangkah, gumaman pelan terdengar. "Kasihan sekali Sensei. Suaminya ternyata galak."
"Sik, sik, sik ...." Weda kembali menghadap Djono, tapi anak itu sudah lebih dulu angkat kaki dan berlari. Sebenarnya bukan maksud Weda menyergah, tapi kalau ia cemas, seringnya ia akan bertutur dengan nada tinggi.
Weda menggeleng-geleng menatap punggung Djono yang berlari menjauh. Anak itu cukup gesit untuk seusainya. Padahal saat berada di rumah Mbok Panti, Djono terlihat pendiam. Siapa sangka ia menjadi penggemar Galoeh yang baru beberapa hari mengajar di sekolah hingga rela berlari dari Pasar Kliwon ke Manahan. Namun, karena murid Galoeh itu juga, Weda menjadi tahu masalah krusial.
Berbekal informasi dari Djono, ia segera ke markas Kempetai karena berpikir Souta menangkap Galoeh dan membawanya ke sana. Sayangnya ia tak mendapati Souta. Kata petugas di sana, setiap menjelang makan siang, Souta akan pergi untuk mengajar Sejarah Jepang dan kemudian datang lagi pada pukul dua.
Weda memutuskan menunggu. Setelah hampir satu jam menanti hingga pukul dua lewat, Souta tetap tak datang. Ia akhirnya mencoba untuk ke sekolah yang ada di daerah Kampung Arab. Namun, ia hanya disambut halaman kosong tak berpenghuni. Hanya gemerisik dedaunan pohon waru yang menjadi peneduh halaman yang meriuhkan sunyi. Di sisi lain, sepeda Galoeh masih ada di sudut sekolah.
Berkali-kali Weda bangkit dari duduknya di atas kursi panjang yang terbuat dari bambu. Untuk ketiga kalinya ia melongok ke kanan kiri, memeriksa apakah Galoeh telah kembali. Ia berjanji akan menghabisi Souta bila mendapati satu goresan kecil di tubuh Galoeh.
Baru setengah jam berlalu dan tak ada tanda-tanda Galoeh kembali ke sekolah. Kesabaran Weda mulai habis. Pada menit ke lima puluh dua lepas dari pukul tiga, akhirnya deru mesin mobil terdengar semakin keras. Weda berdiri lagi untuk yang kesekian kali-saking seringnya sehingga tak terhitung-mengamati mobil yang perlahan mendekat. Dari plat mobilnya, ia yakin itu kendaraan Kepala Intelijen Kempetai.
Roda mobil itu kemudian berhenti tepat di depan sekolah tanpa gerbang. Weda melangkah mendekat dengan napas memburu karena kejengkelannya menunggu. Matanya menyipit menatap dua orang yang masih ada di dalam mobil. Kaca mobil yang tembus pandang mempermudah Weda melihat Souta mendekat ke arah Galoeh. Wajah keduanya sangat dekat dan pandangan dua orang itu saling bertemu.
Jakun Weda naik turun. Kenapa hatinya tiba-tiba tersulut amarah? Ia merasa dikhianati setelah apa yang ia lakukan demi melindungi Galoeh agar keluarganya tak terseret. Ia tak terima! Bagaimanapun, Galoeh adalah istrinya secara hukum dan sangat tidak pantas seorang istri berjalan berdua dengan laki-laki lain yang bukan suaminya.
Karena mereka tak kunjung keluar, Weda menghampiri mobil itu dengan napas memburu. Matanya menatap nyalang dipenuhi amarah. Percuma ia cemas kalau memang ternyata Galoeh bersenang-senang dengan orang Jepang yang kejam itu karena tega mencabuti setiap kuku jarinya.
"Kalau Weda-san mengabaikanmu, aku akan dengan senang hati menghiburmu." Seruan Souta cukup keras sehingga telinga Weda bisa menangkap dengan jelas ketika Galoeh turun dari mobil.
Dalam dua langkah lebar, Weda berhasil mendekat dan menahan pintu mobil. Ia lalu membungkuk di ambang pintu. "Sato-Shoi, ada perlu apa dengan istri saya?" tanya Weda ketus. Tak ada gurat ekspresi bersahabat di wajah Weda. Padahal mereka dulu berhubungan baik.
"Ah, kenapa Weda-Sensei ada di sini?" Alis kiri Souta terangkat. "Jangan marah, Weda-Sensei. Aku hanya ingin menyenangkan hati istri yang ditelantarkan." Souta mengelus setir bulat berlapis kulit dengan senyum miring menjengkelkan. "Punggung istrimu begitu cantik. Seperti pahatan elok yang mengagumkan."
"Punggung?" Weda mengernyit. Ia tak ingin terjebak dalam permainan urat saraf Souta. Sejak dulu penjajah dikenal suka mengadu domba. Ia tak ingin menaruh curiga pada Galoeh.
"Pasti Sensei tahu bukan dengan keindahan punggung Galoeh-san? Kalian sudah menjadi suami istri."
Kepala Weda meneleng, menoleh ke Galoeh yang mengambil jarak dari dua pria itu. Tangannya semakin mencengkeram pinggiran atap mobil untuk menahan diri agar tidak meledak. Ia merasa ada sesuatu yang tak ia tahu, dan hanya Souta dan Galoeh yang tahu. Weda kemudian menegakkan tubuhnya dan menutup pintu dengan kasar. Sampai mobil berlalu dari hadapan mereka, ia masih membisu karena berusaha mencerna apa yang terjadi.
"Ada perlu apa Mas ke sini?" tanya Galoeh memecah sunyi.
"Yang perlu aku tanya, kenapa kamu bersama Souta?" Weda melempar pertanyaan yang lain. Suaranya bergetar hebat menekan gelegak amarah yang ingin membuncah.
"Dia hanya mengajak saya jalan-jalan," jawab Galoeh.
"Jalan-jalan? Di tempat di mana ia bisa mengagumi tubuhmu?" sergah Weda dengan mata membeliak
"Maksud, Mas?"
Gelegar tawa miris Weda terlontar dari mulutnya. Mereka seperti orang bodoh yang menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Rasanya percuma ia mengkhawatirkan Galoeh seperti ini! Laki-laki itu membungkuk menyetarakan wajahnya dengan wajah Galoeh. "Secara status kamu istriku! Dan kamu malah jalan dengan laki-laki lain! Orang Nippon pula!"
Galoeh membalas tatapan Weda. "Saya ndak paham maksud, Mas!"
"Kamu-" Weda berdesis, mengarahkan telunjuknya ke depan ujung hidung Galoeh. "Kita bicarakan di rumah! Ayo, naik sepedaku!"
"Saya bawa sepeda." Galoeh berkelit dengan wajah masam.
"Biar sepedanya di sini!"
"Tapi besok-"
"Besok kamu bisa bareng Tika atau kalau perlu aku antar." Weda menyahut dengan tegas tak ingin didebat.
***
Galoeh akhirnya mengalah, duduk menyamping di sadel belakang. Sebelum Weda mengayuh sepeda, lelaki itu menarik tangannya melingkari pinggang.
"Pegangan! Kalau kamu jatuh, aku bisa kena marah Kanjeng Ibu!" Walau ketus, hati Galoeh justru menghangat. Laki-laki tidak peka itu terlihat tulus mencemaskannya. Saat ia turun, Galoeh bisa melihat wajah pucatnya yang tergopoh menghampiri mereka.
Namun, saat Galoeh berusaha menarik tangannya, Weda menahan. "Kamu bisa manut endak?"
"Saya bukan anak kecil!" Galoeh membalas.
"Kalau bukan anak kecil, kenapa selalu membuat masalah?" Suara Weda tak kalah nyaring.
Galoeh mendengkus. Bukan ia tak menurut. Ia takut jantungnya semakin memburu bila didekat Weda. Selama ini, gadis itu tak pernah sedekat itu dengan laki-laki. Ia takut bila ia jatuh cinta pada kakak Tika pada akhirnya ia akan patah hati. Suatu saat Weda akan meninggalkannya seperti Galih dan kedua orangtuanya, bila waktunya tiba. Dan, akhirnya ia sendiri lagi.
"Kalau kamu lepaskan, nanti malam aku akan tidur di kamar lagi!"
Dada Galoeh berdentum. Ia tak ingin Weda tidur di kamarnya hanya karena untuk menggenapi konsekuensi dari status mereka. Ia takut nafsu yang berkuasa membutakan mata hati sehingga merusak masa depannya dan merenggut kebahagiaan gadis yang mencintai pria yang mulai mengayuh sepeda menyusuri jalanan di antara lalu lalang sepeda, mobil, dan trem. Mau tak mau, tangan Galoeh perlahan terangkat dan melingkar di perut datar Weda.
💕Dee_ane💕
Malam, Deers! Weda dan Galoeh datang lagi. Part ini lagi-lagi panjang ^.^ Kasih semangat dengan komen kalian dong 🥰
Dalam kebisuan mereka, Galoeh hanya menikmati rangkulannya di tubuh Weda. Perlahan ia meletakkan kepala di punggung laki-laki itu, dan memejamkan mata, menghirup aroma tubuh maskulin yang diembuskan angin. Aroma yang menenangkan sekaligus yang membuat dadanya berdesir nyeri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top