11. Kamar Pengantin

Selepas mandi, Galoeh menatap bayangan diri yang terpantul di cermin di depan lemari di kamar Weda. Pria yang menjadi suaminya itu tak ada di kamar seolah sengaja memberi Galoeh ruang untuk menata diri. Gara-gara keputusan sepihak Ibu, ia seolah mengusir pemilik kamar ini. 

Mengingat hari yang panjang yang telah Galoeh lalui, ia tak percaya telah menantang perwira Kempetai yang sangat ditakuti, Souta Sato. Ternyata memang tak semudah itu memperdaya laki-laki itu. Selain sebagai pengeruk informasi yang bekerja seperti angin yang tak kasat mata, nyatanya Souta juga dikenal sebagai penyidik lihai yang selalu bisa mengorek keterangan apapun dari para saksi dan tersangka. Tak mudah luput dari genggaman Souta bila sudah terjaring. Walau Weda bisa selamat, tapi rupanya Souta masih berusaha mencari celah untuk menumpas pemberontak sampai ke akar-akarnya.

Ingatan Galoeh kembali memutar kejadian siang tadi saat Souta menghampirinya. Saat itu Galoeh sedang duduk berjongkok sambil mencorat-coret tanah dengan ranting. Tiba-tiba sinar matahari terhalang sesuatu. Saat mendapati sepatu lars yang biasa digunakan perwira Dai Nippon, jantung Galoeh seketika berhenti sesaat. Ia tetap mendongak dengan tenang dan mendapati laki-laki bermata sipit serta berwajah kuning pucat.

“Sedang apa kamu di sini?” Suara berat itu menggelegar. 

Rasanya Galoeh ingin mengambil langkah seribu. Tapi, bukannya ia sudah dinyatakan tidak bersalah? Galoeh tersenyum, menyimpan rapat gentar lalu berdiri. Tubuhnya membungkuk, memberi salam khas orang Jepang. Rupanya betul kata Weda kalau ia sedang diawasi.

“Selamat siang, Tuan. Saya di sini menunggu suami saya.”

Souta mendengkus dengan senyum miring mengerikan. “Suamimu pergi bersama kekasihnya bukan?”

Susah payah Galoeh menelan kembali ekspresi terkejutnya yang tak perlu. Seharusnya ia sadar, kejadian sekecil apapun di setiap jengkal tanah ini Kepala Intelijen Kempetai pasti tahu. Lalu, kenapa Weda sengaja pergi bersama Harti padahal ada banyak mata dan telinga sehingga kabar remeh itu bisa diembuskan angin dan tertangkap di pendengaran sang intel?

“Kekasih? Apa maksud Tuan Souta?”

Souta membungkuk. Wajahnya berada dalam jarak satu jengkal di depan Galoeh. “Jangan kamu pikir kalian bisa membodohiku, Nona!”

Walau jantung Galoeh bergemuruh bagaikan genderang perang, tapi ia berusaha menguasai keadaan. “Seperti yang Tuan ketahui, saya sudah resmi menjadi istri Dokter Weda.”

“Putri pemberontak memang pemberani!” Souta mencengkeram dagu Galoeh hingga bibirnya maju membentuk huruf ‘O’. “Pantas ibu Weda Sensei ingin menjadikanmu istri anaknya!”

Galoeh menepis kasar tangan Souta dan membuang muka, menghindari tatapan tajam yang membuat kuduknya merinding. 

“Seandainya aku tidak berhutang nyawa, aku akan remukkan keluarga pemberontak dan semua orang yang menyembunyikannya!” desis Souta tepat di telinga Galoeh.

“Tuan ndak akan mendapatkan apa yang Tuan inginkan. Tuan sendiri taju saya dan keluarga suami saya ndak terlibat.”

“Suami?” Tawa Souta menggelegar. “Aku ingin tertawa kalian masih seniat itu bersandiwara.”

Galoeh melirik sengit Souta walau terselip rasa ngeri. Mata sipit itu begitu tajam pandangannya seperti pisau yang ingin melucuti tulang-tulang dari raganya. 

“Baiklah, kita taruhan saja. Kalau sampai Weda tak menjemputmu, aku akan menangkapmu dan keluarga Weda Sensei karena telah bekerja sama membohongi pemerintah militer!” Souta mengacungkan jari tepat di depan ujung hidung Galoeh. 

“Bagaimana kalau dia menjemputku?” Dagu Galoeh naik ke atas, menantang sang perwira.

“Aku percaya kalian suami istri!”

Untungnya, Weda datang tepat sebelum jam malam tiba. Bila tidak, Galoeh tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya kalau Weda tak menjemput. Ia sendiri sebenarnya tak berharap banyak. Ia juga tak percaya Weda akan datang padanya sehingga ia bisa membuktikan pada Souta bahwa ia tak membual. Dan, ketika Weda datang, hatinya menghangat. Ia takut, ketika menunggu, orang itu tak akan kembali apapun alasannya. Seperti dulu ….

Sekuat tenaga, Galoeh menarik otot pipinya membentuk lengkung bibir lebar. “Galoeh, kamu harus kuat. Kamu hanya bisa bergantung pada dirimu.” Galoeh memyemangati diri sendiei, menepis kenangannya siang tadi.

Derik pintu kamar lalu terdengar saat ia baru saja selesai menyisir rambut basahnya selepas mandi. Galoeh mengerjap menatap Weda yang berjalan masuk sambil membawa nampan berisi dua piring nasi goreng yang menggelitik kelenjar ludahnya dan dua gelas air putih. Aroma gurih nasi goreng seketika menyebar di ruangan ini. 

“Ayo, makan. Aku membuat nasi goreng.” 

Susah payah Galoeh menelan ludahnya. Mencium uapnya saja berhasil membuat perutnya seketika bergemuruh keras.

Seketika Galoeh mencengkeram perut, menahan agar suara itu tak lagi terdengar. 

“Sepertinya kamu lapar. Ayo makan, mumpung nasi gorengnya masih hangat,” kata Weda kikuk sambil mengulum senyum.

“Ah ….” Tenggorokan Galoeh tercekat. Otaknya tiba-tiba tak mengingat satu katapun. Ia merasa canggung berada di dalam kamar malam-malam begini bersama laki-laki yang bukan romonya. Tapi, untuk apa Galoeh tak nyaman? Bukankah Weda sekarang ‘suami’-nya? 

Galoeh menggeleng. Tak selayaknya ia menganggap demikian karena jelas-jelas ia adalah duri dalam hubungan Weda dan kekasihnya. 

“Ayo, duduk. Kita makan. Yang lain sudah makan.” Weda mempersilakan Galoeh.

Galoeh menurut dan duduk di kursi sementara Weda duduk di tepian ranjang. Entah kenapa hati Galoeh rasanya menghangat. Gara-gara Weda menjemputnya, hati Galoeh bergetar. Ia seperti melihat bayang-bayang Galih dalam diri Weda yang membuatnya nyaman.

“Loeh, ada yang mau aku bicarakan.” Weda mulai membuka suara saat Galoeh hendak menyuapkan nasi goreng yang masih menguarkan uap. 

Saat nasi goreng itu menyapa lidahnya seketika buncahan kebahagiaan yang lama tak ia cecap menyusup di kalbu. Kesendiriannya menjalani hidup tak ia rasakan karena ada seseorang yang memberinya makan ketika ia lapar.

“Enak?”

Gadis itu hanya mengangguk, lalu menunduk untuk menyembunyikan mata yang memerah. Susah payah ia mengunyah makanannya untuk meredam isakan yang ingin terlontar.

Selanjutnya Weda memberi waktu Galoeh mengisi perut, hingga akhirnya ia kembali membuka suara. “Loeh …”

Galoeh mendongak, siap mendengarkan lelaki yang usianya tujuh tahun lebih tua darinya.

“Kamu jangan kaget kalau Ibu ndak akan pernah puas menuntut.”

Galoeh mendengarkan sambil meletakkan gelas yang airnya sudah berhasil menyegarkan dahaganya usai makan.

“Seperti yang sudah aku duga, Ibu secara sepihak memindah kamarmu, trus Ibu juga ingin kita pemberkatan. Kamu tahu artinya?”

Tubuh Galoeh menegang. “Sekali pemberkatan kita ndak pernah bisa … cerai?”

“Kurang lebih seperti itu. Kita sudah mendaftarkan pernikahan, dan terpaksa menjalani kehidupan ini. Walau status ini hanya tameng untuk melindungimu dan keluarga ini, tapi tetap saja pernikahan ini sah. Kalau misal ada pastor di Purbayan, pasti kita langsung diseret ke gereja untuk diberkati.” Weda mengembuskan napas kasar. “Bila benar terjadi, itu artinya kamu benar-benar sudah sah secara agama dan hukum yang berlaku sebagai istriku. Kamu … bagaimana?”

Galoeh meremas pinggiran piring dengan tatapan nanar. 

“Mas ndak usah mikir saya,” kata Galoeh tenang sambil menatap Weda. Sepertinya ia patut menjadi artis karena sangat ahli berpura-pura tegar walau batinnya penuh sesak oleh kesedihan, kekecewaan, dan kecemasan. “Bagi saya, pernikahan kita cuma di atas kertas saja. Ndak usah terlalu dipikirkan. Mas jalani hidup Mas seperti biasa saja.” 

“Awalnya, aku pikir seperti itu. Lalu bagaimana dengan kamu?” Weda membalas tatapan Galoeh. 

“Sekali lagi saya katakan, Mas ndak usah pikirkan saya.”

“Bagaimana ndak mikir? Kamu tahu, sepertinya Kempetai begitu tertarik denganmu. Dari pagi, kita terus dibuntuti. Setidaknya siang tadi, orang Kempetai sudah menghilang.”

Bukan menghilang. Lebih tepatnya melapor pada atasannya dan kepala intelnya sendiri yang menyaksikan betapa mengenaskannya nasib putri pemberontak. 

“Mas tenang saja. Saya bisa jaga diri. Secara status saya memang istri, Mas. Tapi saya ndak akan melarang, Mas mencintai Mbak Harti.” Lagi-lagi hati Galoeh tercubit. Ia membuang wajahnya dengan rahang beroklusi erat. Ia benar-benar harus menjaga hati, karena tahu ada gadis lain yang bertahta di hati Weda. 

***

Jantung Galoeh bergemuruh kencang menanti Weda yang sedang mandi. Walau ia sudah merebahkan diri, tetap saja ia tak bisa terlelap. Ini kali pertama, ia tidur bersama laki-laki lain. 

Beberapa waktu kemudian, Weda masuk dengan badan yang terlihat segar. Ia hanya mengenakan celana pendek tanpa kaus sehingga menguak otot perut yang diukir indah. 

Galoeh melengos dan buru-buru memutar badan menghadap tembok. Napasnya tercekat mengetahui ada pria di kamarnya. 

“Loeh, kamu tidur saja di sini. Aku tidur di kamar tamu.” Weda mengambil baju bersih dari dalam lemari.

Galoeh bergegas bangkit. “Mas, biar saya saja.”

“Kamu manut saja. Buat nyapih hawa, daripada Ibu duka (marah).”

Selanjutnya Weda kembali ke luar dan menutup pintu kamar meninggalkan Galoeh yang masih duduk di atas ranjang seorang diri. Belum ada lima menit, daun pintu kembali terbuka. Weda lalu masuk dengan cengiran. “Kamar tamu dikunci.” 

Galoeh memberi reaksi senyum tanggung. “Ibu … benar-benar parah ya?” 

Weda melangkah masuk dengan ragu. “Ya … ya begitu Kanjeng Ibu Soelastri.”

Galoeh menunduk sambil meremas kain gaunnya gelisah. Otaknya memutar cara agar ia bisa tidur nyenyak. Saat ide muncul di kepalanya, senyuman Galoeh terurai lebar. “Saya tidur di tempat Tika!” Galoeh bangkit dan keluar begitu saja.

Begitu di luar, Galoeh bisa lega bernapas. Seolah paru-parunya terbebas dari bebatan yang menyesakkan dada. Ia lalu bergegas ke kamar Tika yang tertutup di sebelah kamar Weda. 

“Tik! Tika!” Galoeh mengetuk. Ia berharap kebiasaan Tika yang susah dibangunkan sudah berkurang. 

Tak ada jawaban, suara ‘tok tok’ kembali menggema lagi. Tetap saja Tika tak membukakan pintu. Seperempat jam menanti, akhirnya Galoeh menyerah. Kakinya melangkah lagi menuju ke kamar Weda. Alih-alih masuk, Galoeh masih berada di luar.  Ia menggigit bibir menatap nanar pegangan pintu berwarna kuning keemasan yang sudah pudar warnanya. Ketika pintu tiba-tiba terbuka, gadis itu terkesiap. Ia mundur satu langkah.

“Tika … ndak bangun?” Weda menatap pintu bercat hijau muda itu.

“Nggih, Mas.” Kali ini Galoeh kesal sekali. Entah kenapa Tika seolah bersengkongkol dengan Ibu Lastri untuk menjebak putra sulung keluarga ini.

“Ya … ya udah, kamu masuk.”

Galoeh menunduk, melangkah masuk melalui Weda yang memiringkan tubuh untuk memberi jalan pada gadis itu. Laki-laki itu menyusul dan segera menutup pintu. Keduanya masih berdiri dalam diam. Keheningan hanya dikuasai detik jarum jam meja yang terdengar seperti detikan bom yang siap-siap meledak.

“Loeh, kamu mau tidur, ndak?” Suara Weda terbata.

“Ah,” Galoeh menoleh, menatap Weda sekilas yang ternyata berhasil membuat peluhnya mengucur semakin deras. Benar-benar ia tak terbiasa dengan laki-laki. Sejak berumur tiga belas, Galoeh bersekolah di sekolah khusus putri walau ia sempat menuntut ilmu di Ika Daigaku, pergaulannya pun hanya sebatas berdiskusi dan belajar bersama. Tidak lebih. “Iya.” 

Kaki Galoeh terasa berat seolah ia berjalan di lumpur hisap saat melangkah ke ranjang. Ia tak langsung berbaring tapi duduk begitu saja. 

“Ka-kamu … tidur saja di situ. Aku tidur di bawah.”

Galoeh menggeleng. “Jangan! Mas bisa masuk angin.” Gadis itu semakin merasa bersalah. Weda sudah berkorban terlalu banyak untuknya. Tidak mungkin ia tega membiarkan Weda tidur di lantai dingin.

“Lha terus?”

Galoeh mengedarkan pandang. Matanya berbinar saat tercetus ide. “Saya tidur sana. Mas di sini.” Galoeh menepuk permukaan kasur di bagian luar. “Trus guling ini sebagai pembatasnya. Bagaimana?”

Weda berpikir sejenak, lalu memandang Galoeh. “Ya wes, ya wes. Udah malam ini. Lagian aku wes ngantuk.”

Napas Galoeh tercekat. Weda menyetujui ide spontannya. Maka dengan jantung bergemuruh, Galoeh merangkak menuju bagian di sebelah dalam, dan sebelum merebahkan diri, ia menyempatkan menata guling dulu sebagai pembatasnya. Sepertinya ia tak akan bisa tenang tidur malam ini!

💕Dee_ane💕

Hulla, Weda dan Galoeh datang lagi. Semoga sukak yak. Jangan lupa jejak-jejak kalian yang sangat berarti buatku😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top