1. Mencari Sahabat
Galoeh perlahan mengetuk pintu kayu jati berukir di rumah joglo yang tertutup rapat. Pandangannya mengedar ke segala arah, memastikan tak ada orang yang mengenalnya. Karena tak mendapati jawaban dari pemilik rumah, ia lalu mengetuk sekali lagi, berharap kali ini ada yang membukakan.
“Cari siapa?” Seruan suara berat dan serak dari balik tubuhnya membuat Galoehasri tersentak. Dia menoleh ke belakang dan mendapati laki-laki setinggi kira-kira 170 cm dengan kulit sawo matang turun dari sepeda yang rodanya masih berputar mendekat hingga decitan rem menghentikan laju sepeda tepat di depan undakan serambi rumah.
“Saya Galoeh. Galoehasri. Teman Kartika dari Magelang,” jawab Galoeh sambil memperhatikan gerak-gerik pemuda berbaju luar drill hijau yang melapisi kemeja putih. Setelah laki-laki itu menarik besi penopang agar sepeda berdiri di halaman berumput hijau, ia naik sua undakan sekaligus dan berdiri satu langkah di depan Galoeh.
Laki-laki itu tak segera menjawab. Matanya memindai Galoeh dari atas sampai bawah, kembali lagi ke atas. Suatu tindakan yang sangat tidak pantas dilakukan oleh pria priyayi yang berpendidikan tinggi, mengingat Tika adalah gadis lembut yang tidak suka memicu pertengkaran.
“Tika masih mengajar,” jawab lelaki itu kemudian.
Galoeh menghindari tatapan menyelidik laki-laki itu. Ia melempar pandangan ke halaman yang ditumbuhi buah manggis dan buah rambutan dengan hamparan rumput hijau yang tetap saja tak bisa menyejukkan hatinya.
“Mbak Galoeh dari Mendoet juga?” tanya laki-laki itu memecah kebisuan yang sempat menjeda.
Galoeh hanya mengangguk.
“Kalau begitu, silakan tunggu di dalam. Biasanya sebentar lagi Tika datang.” Laki-laki itu membuka pintu dan dengan gerakan tangannya mempersilakan Galoeh untuk masuk. Saat Galoeh membungkuk untuk menenteng tasnya, tiba-tiba laki-laki itu meraih tasnya. Tangan berjari panjang itu menyentuh tangan Galoeh yang sudah mencengkeram gagang tas koper. “Biar saya bawakan.”
Buru-buru Galoeh melepas pegangan tangannya dan membiarkan laki-laki itu membawakan tasnya masuk ke dalam. Setelah mempersilakan duduk dan meminta seorang pelayan yang ia panggil untuk membuatkan teh, laki-laki yang Galoeh taksir usianya sudah dua puluh lima tahun itu duduk di depannya.
“Saya masnya Tika.”
Galoeh lagi-lagi mengangguk. Baru kali ini Galoeh bertemu dengan kakak laki-laki yang sangat diagung-agungkan Tika. Namun, sekarang lidahnya kaku, tak bisa memberi reaksi yang pas. Ia tak nyaman bertemu dengan orang lain selain Tika. Hanya Tika satu-satunya orang yang ia percaya di dunia ini.
“Jadi, ada acara apa jauh-jauh ke sini dari Magelang? Tika ndak cerita apa-apa kalau bakal ada tamu dari jauh.” Sepertinya masnya Tika ini suka sekali mengobrol. Laki-laki itu tak membiarkan ada kesunyian panjang di antara mereka.
“Saya ….” Galoeh menggigit bibir. Otaknya menimbang lanjutan kalimatnya. Bagaimana kalau ia diusir lagi seperti ketika ia menemui keluarga besar dari Romo Tjokro dan Ibu Marti saat memberitahu niatnya meminta perlindungan karena romo dan ibunya ditangkap Kempetai dengan tuduhan menyembunyikan hasil panen yang tak hanya seberuk tapi lebih dari sebojog? Gadis bergaun cokelat tua dengan motif bunga itu menggigit bibir mencari siasat. Ia lelah ditolak dan diusir lagi. “Saya hanya ingin berlibur beberapa hari. Kangen!” Galoeh mengangguk-angguk untuk meyakinkan kebohongan yang ia buat. Ia terpaksa berdusta karena hanya di tempat Tika-lah ia bisa berlindung. Tak mungkin ia kembali ke rumah, karena bisa jadi serdadu itu datang lagi ke rumah entah untuk mencari barang bukti atau menangkap orang lain yang dianggap terlibat.
“Berbahaya sekali perempuan muda seperti kamu melakukan perjalanan jauh,” komentar laki-laki yang seingat Galoeh, dipanggil Tika dengan nama ‘Mas Weda’.
Kalau ndak terpaksa, aku juga pasti ndak akan diperbolehkan Romo ke luar kota sendirian. Galoeh hanya membatin.
Untuk saat ini, ia enggan bercakap lebih jauh karena takut akan terjebak dengan kebohongannya sendiri. Untungnya, matanya langsung menangkap sosok Tika yang bersepeda memasuki pekarangan. “Itu Tika!”
Galoeh bangkit, lalu berlari ke depan untuk menyongsong sahabatnya. “Tika!” seru Galoeh di ambang undakan.
Mata Tika membeliak lebar. Senyumnya merekah di wajah berpeluh. Buru-buru ia turun dari sepeda dan menurunkan besi samping penopang sepeda. “Galoeh? Kok ada di sini?”
Galoeh meloncat menuruni tangga, hingga akhirnya kakinya memijak halaman berumput subur. Lalu ia segera memeluk sahabatnya. “Tika!”
“Kenapa tiba-tiba ke sini ndak memberi kabar?” tanya Tika setelah pelukan mereka terurai.
“Aku ….” Galoeh menggigit bibir. Ia tak berani berterus terang pada Tika. Bisa saja Tika setuju menampung, tapi mungkin kakak laki-laki yang berbaju PETA itu melarangnya tinggal. Bagaimanapun kangmas Tika adalah anggota tentara bentukan Dai Nippon yang bertugas untuk menjaga keamanan di daerah Indonesia. Tidak mungkin laki-laki itu memperbolehkan bila di keluarga ini ada anggota keluarga yang masuk dalam daftar hitam Kempetai. “aku pengin liburan di sini.”
Tika mengernyit, tapi tak bertanya lebih lanjut. Ia kemudian merangkul Galoeh dan menuntunnya ke dalam. Saat mereka masuk ke ruang tamu di pendapa itu, kangmas Tika masih ada di situ. Duduk di tempat yang sama, membaca surat kabar yang tadi tergeletak di meja.
“Mas Weda kok sudah pulang?” tanya Tika.
“Iya. Tadi habis ke tempat anak Pak Lik Karto.” Weda lantas melipat koran.
“Ada apa sama Pak Lik Karto?” tanya Tika duduk di kursi yang tadi Galoeh duduki.
“Dia dihajar Kempetai gara-gara menyembunyikan sepuluh beruk beras untuk cucunya yang sakit.”
Galoeh meremang. Seketika telinganya panas dan berdenging. Rona wajahnya memudar mendengar percakapan kakak dan adik itu.
“Jepang semakin ganas dan ndak berperikemanusiaan saja. Sepertinya mereka mau menekan kita karena kabar yang Mas dengar, Jepang sudah mulai terdesak di Pasifik.”
“Oh, ya?” Mata Galoeh membulat, mengikuti perbincangan itu. “Dari mana Mas dengar berita itu?”
“Dari seorang kawan terpercaya,” kata Weda bersikap sok misterius.
“Souta?” tebak Tika.
“Sebaiknya kita harus hati-hati. Walau Souta selama ini baik, tapi perang bisa mengubah semuanya. Tetap saja dia juga orang Jepang. Bisa sama ngadi-adinya dengan yang lain.”
Galoeh masih menyimak percakapan yang membuatnya hanya bisa meremas kain gaun yang ia kenakan. Dalam hati ia membenarkan omongan Weda. Dai Nippon ini semakin lama, semakin ketahuan boroknya. Jahat. Bengis. Sadis.
“Galoeh, kalau kamu ada rencana pulang, kabari Mas. Biar Mas antar. Bahaya sekali perempuan muda seperti kamu jalan sendiri.”
Galoeh hanya mengangguk dan selanjutnya Tika menyambung dengan obrolan ringan seputar apa yang ia kerjakan. Sementara itu, Weda beranjak untuk memberi ruang pada dua sahabat itu.
“Jadi kamu calon dokter?”
Galoeh menelan ludah kasar. Ia tak tahu lagi nasibnya. Apakah ia bisa lanjut belajar di Ika Daigaku sementara keluarganya sudah masuk dalam jajaran pembangkang aturan pemerintah? Namun, ia hanya mengangguk sambil meneguk teh yang menguarkan harum melati yang menenangkan.
“Bagaimana kabar Romo Danoe dan Ibu Marti?” tanya Tika kemudian.
Galoeh seketika tersedak. Jelas kondisi Romo Tjokro dan Ibu Marti tidak baik-baik saja sehingga membuatnya terdampar di kota ini. Namun, ia menghirup napas panjang, menguatkan hati agar suaranya tak bergetar saat memelintir fakta. “Romo dan Ibu sehat.”
“Syukurlah. Lama ndak ketemu mereka. Teringat dulu waktu di Mendoet, aku sering menginap di rumahmu.’’
Galoeh berusaha mengimbangi antusiasme Tika pada pertemuan mereka setelah setahun lebih tidak bersua. Ia lantas menanyakan kenapa tiba-tiba Tika menjadi guru karena dulunya mereka sama-sama bercita-cita menjadi dokter. “Romo ndak boleh aku sekolah di Ika Daigaku. Bahaya katanya. Awalnya aku sempat marah. Tapi Romo ngendika Jepang sepertinya lebih kejam dari Belanda, terlalu riskan kalau aku berada jauh dari rumah. Dan, buktinya benar. Beberapa perempuan desa ditipu dan berakhir jadi jugun ianfu. Tapi, apa semua baik-baik saja di Magelang dan di Djakarta?”
“Ya … begitulah.” Selama ini Galoeh memang naif, menganggap semua baik-baik saja. Padahal di desanya—Mertoyudan—banyak orang desa kelaparan, laki-laki muda dibawa untuk kerja paksa dalam program romusha, dan tak jarang para gadis muda polos digiring untuk dijadikan wanita penghibur atau yang disebut jugun ianfu. Dan, ia baru tahu kenyataan itu melalui cerita orang-orang dalam perjalanan mencari tempat perlindungan dari Magelang ke Yogyakarta setelah Romo Tjokro dan Ibu Marti ditangkap.
“Jadi, kamu liburan di sini?”
Galoeh kembali mengangguk. Ia memang libur semester, tapi siapa sangka kondisi rumah Magelang tak memungkinkan untuk menghabiskan waktu bersenang-senang bersama keluarga.
“Sampai kapan?”
Sebenarnya, Galoeh belum mempunyai rencana cadangan. Namun, akhirnya ia menjawab, “Dua hari saja.”
***
Seperti yang sudah diduga, kedatangan Galoeh di rumah ini disambut hangat oleh keluarga Kartika. Romo Danoe, Ibu Lastri, dan Weda. Bahkan Ibu Lastri sengaja memasakkan pepes ikan nila untuk menyambut tamu dari balik Gunung Merapi.
“Ayo, Loeh, makan ini.” Ibu Lastri menyendokkan daging ikan dan meletakkannya ke atas nasi jagung yang menggantikan nasi dari beras.
“Matur nuwun, Bu.” Sebenarnya Galoeh sangat menyukai ikan nila. Namun, mengingat kondisi romo dan ibunya, nafsu makan Galoeh menguap begitu saja walau sepanjang hari ini belum diisi.
“Makan yang banyak seperti Tika. Mau beras mahal dan langka, dia tetap bisa makan apa saja.” Weda menimpali.
Galoeh tersenyum. “Iya. Ini juga makan banyak, Mas.” Ia menyuapkan satu pulukan nasi jagung ke mulutnya. Rasa gurih daging ikan yang menyapa lidah, berhasil menghangatkan batinnya yang hampa. Selama tiga hari ini, setelah terjadi tragedi di keluarganya, Galoeh selalu mengalami penolakan. Kini, ia merasa diterima dengan keramahan tulus yang mengingatkannya pada kedua orangtuanya.
“Selama kamu di sini, anggap rumah sendiri ya? Kami senang akhirnya kamu bisa main ke sini. Selama ini Tika yang selalu ngrepoti kamu sewaktu liburan selama sekolah di Mendoet.” Romo Danoe membuka suara.
“Mboten repot kok, Mo. Saya seneng tiap liburan Tika sempatkan main dulu ke rumah.” Hati Galoeh ngilu. Tidak seharusnya ia membohongi keluarga ini. Tapi, kalau ia mengatakan yang sesungguhnya, apakah keluarga ini akan menerimanya?
Malam ini, Galoeh tak bisa terlelap. Walau matanya terpejam dan badannya terasa ngilu karena selama beberapa hari ini ia terlantar di jalan dan tidur di langgar dengan was-was, tetap saja hati yang tak tenang karena membohongi sahabatnya membuat ia tak mampu mengistirahatkan otak.
Apa yang akan terjadi bila Kempetai menemukannya di rumah yang memberi kehangatan untuknya?
Untuk sekali ini saja, Galoeh ingin sedikit egois. Ia harus bertahan hidup dan berlindung, meski bisa saja keluarga Tika yang baik ini dihadapkan bahaya karena menyembunyikan anggota keluarga yang memberontak pada pemerintah Dai Nippon.
-----
1. Sebojog dan seberuk adalah penyebutan takaran beras oleh orang Jawa. Beruk adalah perkakas dapur tradisional terbuat dari tempurung. Sedang wadah anyaman kecil berbentuk bakul kecil disebut bojog.
💕Dee_ane💕
Start : 5 Jan 2024 (21:00)
Aku bikin cerita baru. Ups, cerita lama sebenarnya udah tamat yak di laptopku dan lapak sebelah. Tapi aku update woles di sini. Cerita ini masih bau-bau era penjajahan Jepang lagi. Semoga ndak bosen🫢
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top