2 : Aku yang Kasmaran

Special part for syahaz, subekti2109krisslyd,kudanilbiru, dan najingga

Saya tunggu kritik kalian .... pasti dibaca dan dipertimbangkan meski saya tak menjawab komentarnya.

So, happy reading ...


Raf PoV

Senin yang ceria tentu saja. Aku memasuki kantorku, atau tepatnya kantor ayahku dengan berbagai macam senyum manis dan sapa genit pegawai-pegawai Ayah yang meskipun cantik, tapi mereka sama sekali tak mengundang minatku.

Memasuki ruanganku, aku telah ditunggu oleh berkas-berkas kerjasama yang harus aku pelajari apakah layak untuk dikabulkan atau tidak. Untuk yang satu ini, aku tetap harus berkonsultasi dengan Ayahku, mengingat bagaimana tajamnya instink bisnis beliau.

Tapi sekelebat wajah seorang perempuan, mampu menghentikan aktifitasku kali ini. Ya, perempuan yang pagi ini sangat aku rindu.

Setelah hampir 9 tahun aku menuntut ilmu di luar negeri, kini kurasakan kembali segarnya udara Indonesiaku. Ya, setelah gelar impian itu kusandang, Ayah memintaku untuk kembali dan membantunya mengurus perusahaan ekspor minyak mentah yang telah dirintis beliau semenjak masih muda dulu.

Dan sepertinya aku wajib mensyukuri kegigihan Ayahku dalam menjalankan usahanya, karena setelah bergabung dengan perusahaan Ayah, tak sengaja perusahaan kami menjalin kerjasama dengan perusahaan yang bergerak di berbagai bidang milik temanku semasa sekolah menengah atas di luar negeri dulu.

Namanya Adam.

Sebagai seorang putra tunggal pemilik perusahaan, tentu saja dia menjadi pewaris tunggal kerajaan bisnis ayahnya. Nasib yang baik, sangat baik bahkan jika dibandingkan dengan kegilaannya semasa sekolah dulu.

Dan ketika tanpa sengaja aku berkunjung ke salah satu anak perusahaan yang kebetulan berada di bawah manajemennya langsung, aku bertemu dengan dia, perempuan yang akhir-akhir ini menjadi obsesi hati bahkan obsesi seksualku.

Tanteku ! Tante Sinta. Adik perempuan Ayah satu-satunya, karena adik ayah yang lain adalah Oom Danu, seorang laki-laki tentu saja.

Gila !!!

Aku bahkan mempertanyakan kewarasanku sendiri.

Flash Back ...

Sore ini Mama menyuruhku untuk sowan ke rumah Eyang, karena memang sejak kepulanganku ke tanah air seminggu lalu, aku sama sekali belum sowan ke rumah eyang.

"Makin ganteng kamu, Raf ?", sapa ramah Eyang putriku ini membuatku tersenyum.

Tentu saja bukan hanya Eyang Putri yang mengatakannya, karena semua teman wanitaku yang juga teman tidurku, mengatakan bahwa aku memang tampan.

"Eyang juga masih cantik", jawabku membuat beliau terkekeh.

"Bagaimana sekolahmu, Raf ?"

"Lulus dengan memuaskan, Eyang ... "

"Syukurlah. Tante mu juga kemarin pas lulus nilainya sangat memuaskan", Eyang berkata dengan penuh kebanggaan.

Tanteku ?

Ah, ya ... aku lupa bahwa aku memiliki seorang tante yang dulu, 9 tahun lalu, terlihat cantik dan sangat luwes. Usianya tiga tahun di atasku usianya. Tapi posturnya yang cenderung kecil dibandingkan denganku yang bongsor ini, dia akan terkesan seperti adikku.

Namanya Sinta, Sinta Amsawirdja lengkapnya. Dia adik Ayahku yang paling kecil. Perempuan satu-satunya. Setahuku, Ayah dan Oom Danu kurang begitu sayang dengan Tante Sinta. Alasannya apa, aku tak pernah bertanya. Padahal setahuku dia adalah perempuan satu-satunya, yang manis, penurut, cerdas, dan cantik tentu saja.

Wajahnya yang ayu dan lembut terkesan sangat keibuan, bahkan ketika masih belia dulu, aku merasakan bagaimana bijaknya Tante Sinta menghadapi kami, keponakan-keponakannya yang bandel.

Usia kami yang tak terpaut jauh membuat aku, tante Sinta, Voni adik perempuanku, Lilva dan Denis yang anak Oom Danu seperti teman sebaya. Kami sering menghabiskan waktu liburan sekolah bersama, di rumah Eyang dulu.

Pernah suatu kali, ketika kami bermain liburan di rumah Eyang, ada beberapa tetangga eyang yang suka menggoda tante Sinta sampai tante Sinta menangis. Dan aku dengan begitu saja menghibur dan memeluknya.

Entahlah, bahkan aku berlagak jadi pahlawan kesiangan. Menggelikan .

"Melamun, Raf ?", Eyang mengagetkanku dengan sapaannya.

Aku tergagap dan tersenyum.

"Di mana Tante Sinta sekarang, Eyang ?"

"Tantemu sekarang sudah kerja jadi akuntan di perusahaan asing"

"Kok jam segini belum pulang ?"

Eyang terkekeh. Sambil menuang teh untukku, beliau berkata dengan bangganya.

"Meskipun dia perempuan satu-satunya, tetapi tantemu bukan perempuan manja"

"Maksud Eyang ?"

"Dia sekarang tinggal di apartemen yang dibelinya dengan cicilan hasil uang gajinya"

Aku terdiam.

Bagaimana mungkin dia malah tinggal di apartemen, sementara rumah Eyang demikian luas dan besar ? Dan bekerja sebagai akuntan perusahaan asing ? Bukankah Ayahku punya perusahaan ? Mengapa tak bekerja saja di sana ?

"Apa dia jarang mengunjungi Eyang ?"

Eyang menggeleng sedikit sendu, yang aku tak tahu sendu karena apa, tapi yang pasti aku menangkap ada kesedihan di mata tua beliau.

"Dia pasti akan segera datang jika Eyang menelepon dan memintanya datang. Karena Eyang masih suka kangen dengannya, meskipun dia sudah dewasa", kudengar suara Eyang serak.

Aku yakin, ada seulas air mata bening yang mengambang di sana.

"Tapi tunggulah beberapa saat. Dia pasti akan datang sore ini, karena tadi sudah telepon hendak menginap malam ini", nada suara Eyang berubah menjadi riang.

Aku hanya mengangguk untuk kemudian menyesap teh rebus dengan aromanya yang wangi dan khas. Lalu bermacam bayangan berkelebat di mataku, bayangan masa kecilku saat kami liburan di sini, bersama sepupu-sepupuku, anak Oom Danu. Lalu melintas bayangan seorang gadis cantik yang jelas saja dia adalah tante Sinta.

"Itu dia datang, Raf", Eyang menatapku dengan mata berbinar ketika terdengar derum mobil berhenti di depan rumah.

Sorot keceriaan dapat kurasakan dari wajah Eyang.

"Ayo, Raf !", Eyang mengajakku ke depan.

Aku mengangguk dan melangkah membuntuti langkah Eyang. Tapi ... entah mengapa aku merasa bahwa dadaku berdesir seakan ada sesuatu yang akan kutemui. Denyar aneh yang sudah sangat lama tak lagi kurasakan.

Aku dan Eyang berdiri di depan pintu ketika kulihat sebuah mobil yang cukup mewah terparkir di halaman rumah ini. Memang cukup mewah, meski tak semewah mobil keluarga kami.

Tapi tentu saja bukan kemewahan mobil itu yang membuat dadaku semakin berdesir dengan rasa familiar yang mulai bergerak menggeliat di tubuhku. Karena ada yang membuatku kehilangan orientasiku saat aku melihat siapa yang keluar dari dalamnya.

Ya, seorang laki-laki gagah dan tampan dengan pakaian kerja kantornya, masih lengkap dengan dasi dan jas kerja warna hitam, dan seorang .... seorang perempuan.

Ya, seorang perempuan bertubuh sedikit mungil namun sintal, dengan pakaian kerja yang sangat modis, dan juga .... sangat cantik alami, turun bersama si lelaki tampan itu.

Dadaku langsung berdegup di luar normal ketika mataku dan mata perempuan yang berbinar itu bersirobok pandang. Dan senyumnya ? Ya, Tuhan ... sebegitu sempurnanya Engkau mengukir seorang perempuan di hadapanku ini ?

"Ibu ....", sapa perempuan cantik itu yang kemudian menjabat tangan Eyang, menciumnya dengan takzim, kemudian memeluk Eyang.

Ibu ? Dia memanggil Eyang dengan sebutan Ibu ? Berarti dia .... ah, itu bisa ku tanyakan nanti ...

Dan kemudian aku meliaht ada banyak kerinduan yang menguar dari kedua perempuan beda usia itu. Ada banyak kasih yang tak terungkap diantaranya.

"Kamu baik-baik saja ?" tanya Eyang masih dengan pelukannya.

Perempuan itu mengangguk lembut.

Tapi kemudian mereka seperti tersentak, seolah ingat bahwa ada aku dan laki-laki tampan itu di sini, diantara mereka.

"Oh, ya .. Bu, kenalkan, ini Rama. Rekan kerja Sinta di kantor", kata perempuan itu mengenalkan temannya.

Sinta ?

Jadi perempuan cantik ini benar tante Sinta ?

Eyang tersenyum kemudian menjabat tangan Rama, lelaki tampan itu.

"Rama ...", laki-laki itu memperkenalkan diri pada Eyang.

"Saya Ibunya Sinta. Dan ini, Rafael ... cucu saya sekaligus keponakan Sinta", tiba-tiba Eyang memperkenalkan aku pada laki-laki itu.

Terpaksa aku menyambut uluran tangan persahabatan itu, sambil menyebutkan namaku. Rafael.

"Ini Rafael ?', tante Sinta pun tak mengira kelihatannya.

Aku tersenyum dan mengangguk. Lalu tiba-tiba dia menjabat tanganku dan memelukku. Dan demi segala kegilaan yang pernah aku lakukan, aku merasakan denyar itu menggila seiring pelukannya. Oke, mungkin dia memelukku karena aku keponakannya, tapi aku bahkan tak merasakan bahwa ini pelukan biasa. Aku menafsirkan ini pelukan lain.

"Sudah dewasa sekali kamu, Raf ?"

Aku hanya tersenyum. Lalu suara deheman Rama membuat tante Sinta menoleh padanya dengan pandangan meminta maaf karena melupakannya sejenak.

"Sin, aku pulang dulu. Senin aku akan menjemputmu jika kamu masih menginap di sini", kata Rama.

"Maaf, tak perlu repot menjemput tante Sinta, karena saya yang akan mengantar beliau ke kantor", kataku dengan spontan mengungkapkan ide yang tiba-tiba saja ada di otakku.

Rama dan tante Sinta saling berpandangan. Sementara Eyang hanya menatap lembut tante Sinta dan mengangguk.

"Nggak apa-apa, Ram. Aku bisa diantar Rafael ke kantor"

"Oke, kalau begitu aku pulang sekarang", Rama berkata santun meski aku tahu ada nada geram dalam suaranya, karena aku mencegahnya menjemput tante Sinta.

Kulihat tante Sinta mengangguk dan tersenyum lembut pada Rama. Sial, seketika aku merasa ingin menonjok mukanya yang entah karena apa malah mendapat senyum manis dari tante Sinta. Oke, mereka memang sepasang kekasih kurasa, tapi satu yang aku tahu pasti, aku tak suka dengan hal ini.

Kenapa ? Entahlah !!

Lantas Eyang menggiring kami masuk ke dalam rumah ketika Rama pulang dengan kesal dari rumah Eyang. Dalam hati aku tersenyum miring melihat kekalahan pertamanya ini.

Kalah ?

Oke, ini buka sebuah kompetisi. Tapi aku merasa dia adalah pesaingku yang tangguh. Tangguh ? Tak ada yang tangguh bagiku. Dan aku yakin, aku mampu mengalahkan laki-laki itu.

Tunggu ! Mengalahkan ?

Aku harus mengolah ulang otakku ketika aku merasa bahwa aku harus bersaing dengan Rama.

"Kamu bisa mandi sebelum makan malam, Sin. Ibu sudah menyiapkan makan malam untuk kita"

Tante Sinta mengangguk.

Dan sesi berikutnya, adalah aku menunggu makan malam di rumah Eyang. Sembari menunggu tante Sinta mandi dan Eyang menyiapkan makan malam dibantu bu Imah, aku memainkan gadget ku. Padahal yang ada di otakku bukan gadget yang kupegang, tapi tante Sinta.

Sial !!!

Katakan aku keponakan paling brengsek yang pernah ada, tapi sungguh, melihatnya kembali setelah sekian lama tak pernah bertemu, dalam keadaan sama-sama dewasa, sudah menumbuhkan perasaan lain di hatiku. Gelenyar indah yang bahkan tak pernah kurasakan meskipun aku bersama dengan teman-teman perempuanku, teman berbagi ranjang dalam balutan nafsu.

Dan feelingku sewaktu kecil ternyata benar, bahwa tante Sinta akan menjadi perempuan dengan kecantikan yang menakjubkan. Perempuan yang meski dulu masih kecil, tapi sudah sangat bijak dalam bertutur kata.

Dan aku suka itu.

Perempuan bijak.

"Hei, Raf ? Melamun ? Kapan kamu datang dari luar negeri ? Kok tante sampai nggak tahu ?", tepukan lembut dari tante Sinta yang mendarat sambil lalu di bahuku mengagetkan lamunanku tentangnya.

"Sudah hampir tiga minggu", jawabku datar.

"Tiga minggu ? Kok Eyang juga nggak ngasih tahu ya ?", kata tante Sinta seolah berkata pada diri sendiri.

Dan demi apapun, sungguh ... suaranya yang lembut membuatku terpesona.

"Dia sudah memberitahu Ibu, Sinta. Tapi Ibu lupa memberitahumu bahwa Rafael, si anak hilang ini sudah kembali ke kandangnya", tiba-tiba Eyang datang dari pantry sambil mengusung semangkuk sup iga kegemaran tante Sinta. Tante Sinta manggut-manggut.

"Ayo makan, Raf. Kamu nggak lupa kan masakan favorit tante ? dulu bahkan kamu selalu merebut iga dari mangkuk tante", kata tante Sinta sambil menyendokkan sayur dari mangkuk besar itu ke piring Eyang.

Aku hanya tersenyum.

"Bahkan aku sudah tak ingat, Tant", jawabku dengan senyum geli.

"Tentu saja kamu tak ingat, karena di sana tentu banyak cewek-cewek bule yang membuatmu lupa dengan sup iga buatan Eyang", kata Eyang menyela.

Aku terkekeh geli.

Bagaimanapun Eyang memang benar, terlalu banyak perempuan bule yang datang dan pergi dalam hidupku. Tapi herannya tak satupun dari mereka yang mampu membuatku berdenyar seperti yang kurasakan kali ini, saat aku bertemu dengan tante Sinta.

Padahal penampilannya tidak mencolok, bahkan sangat minimalis. Seperti malam ini. Setelah mandi, dia datang ke ruang makan ini hanya dengan memakai kaos oblong putih dengan gambar kucing besar di bagian depan, dan celana katun selutut warna biru donker. Ramburnya yang lurus sebahu digerainya lepas. Pangkal rambutnya yang sedikit basah memberikan kesan segar dan manis.

Tapi aroma parfumnya yang segar aroma buah, sungguh membuatku terseret arus pesona yang tak sengaja tercipta. Ya, aku semakin terpesona sejak saat ini.

Apakah rasaku salah ?

Flashback off

Merindukannya ?

Sial ! Bahkan setelah aku bercinta sepuasnya, tak membuat aku puas sama sekali. Aku harus menemuinya, setidaknya aku tahu keadaannya setelah dia meninggalkan aku sendirian di villa, malam itu.

Aku tahu harus menghubungi siapa. Adam. Karena laki-laki itu adalah bos di kantor Sinta. Oke, tante Sinta sebenarnya. Tapi setelah malam yang luar biasa itu, aku merasa tak harus memanggilnya 'tante' lagi.

Tapi Sinta. Hanya Sinta !!

Dan aku harus menghubunginya terlebih dahulu. Siapa tahu dia masih mau bersedia mengangkat teleponku.

Tuuuttt .... ttuuutt ... ttuuutt ...

'Sial ! Lama sekali dia mengangkat teleponku ? Tak tahu kah dia bagaimana merindunya aku ?'

Tak ada sahutan. Aku resah. Kemana dia ? Apa dia marah padaku ? Ah, yaa ... tentu saja dia marah dan mungkin saja membenciku, mengingat bagaimana brengseknya aku padanya.

Kututup telepon. Aku harus mengetahui keadaan dirinya. Aku harus segera menghubungi Adam.

Terdengar nada tunggu berupa sebuah lagu melo. Diam-diam aku tersenyum mengejek. Bagaimana mungkin dia menyukai lagu-lagu melo seperti ini ?

"Ya, hallo ...", terdengar suara Adam di seberang, agak gusar nadanya.

"Hei, Dam. Aku tadi beberapa kali menghubungi Sinta, tapi tak ada jawaban sama sekali. Apa kamu mencekokinya dengan pekerjaanmu yang sialan itu ?", aku menghardik sambil tersenyum.

Kudengar Adam terkekeh.

"Itu yang membuat aku kesal hari ini, Raf. Sinta tak masuk kerja tanpa ijin. Tak biasanya gadis itu mangkir tanpa ijin seperti ini"

Aku terkejut. Dia tak masuk kerja ? Apakah dia .... apakah dia sakit ?

"Hei, Raf !!! Kok diam ?"

"Oh ... eh ... maaf ! Apa ... apa kamu sudah menghubunginya juga ?"

"Sudah berulang kali aku menghubunginya. Tapi sama sekali tak ada jawaban "

Tanpa berpikir dua kali, aku menutup sambungan telepon. Aku harus mencari tahu, apa yang terjadi dengan perempuanku itu. Perempuanku ?

Oh, shit !!!

Dia benar-benar membuatku gusar ! Aku harus menemuinya. Harus !!

Aku bergegas meninggalkan pekerjaan yang menumpuk di atas mejaku. Persetan dengan berkas-berkas itu. Dan bahkan ketika aku melewati meja Cindy, sekretarisku, aku tak menghiraukan panggilannya. Yang ada di kepalaku hanya Sinta.

Ya, hanya Sinta !!!

_ oOo _



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #cinta