Chapter 35 (part akhir di WP)

masih ada 10 part + 1 epilog di novel cetaknya.........

Bukan sebuah keberuntungan, hasil yang dicapai itu merupakan buah dari sebuah perjuangan. Kesibukan yang akhirnya membuat luka di hati Subuh sedikit terobati, meski rindu tidak akan pernah beranjak pergi. Meski demikian, pemuda itu selalu memperhatikan Rabani setiap harinya meski kini mereka tidak lagi tinggal di rumah yang sama.

Beberapa kali kontrol kesehatan ke dokter, Subuh selalu mengantarkan Rabani. Bahkan dia yang selalu mengingatkan jadwal check up itu pada ayah Asmara.

"Ayah semakin nggak enak hati sama Mas Alul, seolah-olah memberikan harapan palsu tentang Mara yang Ayah sendiri nggak tahu di mana dia." Rabani menundukkan kepala saat pulang dari rumah sakit.

Subuh tersenyum lalu menggenggam tangan Rabani. Selama ini dia telah menganggap Rabani sebagai orang tuanya sendiri. Sehingga saat mendengar ucapan ayah seperti itu kepada anaknya, Subuh merasa menjadi orang lain bagi Rabani.

"Alul tetap menjadi putra ayah, kan?" tanya Subuh.

Anggukan kepala Rabani cukup memberinya akses untuk bisa mencurahkan sayang seorang anak kepada orang tuanya.

"Kalau begitu nggak ada alasan nggak enak hati, karena ini sudah menjadi kewajiban seorang anak untuk orang tuanya. Izinkan saya tetap melakukan itu semua, Yah."

Rabani hanya bisa menatap Subuh tanpa suara. Betapa beruntungnya orang tua yang memiliki anak seperti pemuda yang kini bersamanya.

"Kita langsung pulang atau Ayah ingin mampir ke tempat lain dulu?" tanya Subuh sebelum melajukan mobilnya.

"Kita langsung pulang saja Mas Alul," jawab Rabani.

Percakapan mereka selanjutnya lebih banyak membicarakan tentang pekerjaan Subuh juga masalah pertanian yang kini sedang dihadapi petani termasuk Rabani.

"Kalau untuk pasokan pupuk dari pemerintah masih aman, Yah. Beberapa pupuk non subsidi yang banyak dibutuhkan petani juga sudah tersedia di toko. Jadi harusnya itu tidak menjadi masalah baru bagi petani, hanya saja kalau bicara tentang cuaca yang tidak bisa diprediksi—" Subuh menatap Rabani kemudian mereka tertawa bersama.

"Ya kalau itu sudah di luar kuasa kita, Mas," kata Rabani mengakhiri.

Membicarakan masalah pertanian, tiba-tiba Subuh teringat sebuah undangan dari Dinas Pertanian yang mengundangnya hadir untuk mengikuti sarasehan yang akan didatangi oleh Bupati Semarang dan juga Gubernur Jawa Tengah.

"Oh iya, Yah. Tanggal sepuluh Alul dapat undangan dari Disper, Ayah ikut ya?" ajak Subuh.

Rabani mengingat-ingat jadwalnya sebelum menolak atau mengiyakannya. Dan setelah kegiatannya begitu padat di sekolah, ayah Asmara itu akhirnya menggelengkan kepalanya. Skala prioritas tanggung jawab menjadi pilihan di saat dia harus menjaga kesehatannya agar tidak menurun karena kecapekan.

"Maaf ya, Mas. Ayah mengajar dari pagi sampai siang full," tolak Rabani.

"Tidak apa-apa, Yah. Saya kira jadwal di sekolah tidak terlalu padat. Mungkin dengan ikut acara ini bisa mendapatkan prioritas apa gitu dari pemerintah, mumpung saya juga mendapatkan undangan untuk dua orang." Subuh tertawa lirih.

"Sebenarnya sarasehan untuk membahas apa Mas?" tanya Rabani.

Percakapan mereka pun mengalir dengan begitu sempurna sampai Subuh menghentikan mobilnya di depan rumah Rabani.

"Nggak mampir dulu, Mas?" tanya Rabani.

Subuh tersenyum lalu melepas safety belt-nya sebelum dia keluar mobil dan mengikuti langkah Rabani masuk ke rumah. Rumah yang senantiasa mengingatkan laki-laki itu pada rindunya pada seseorang yang sampai sekarang tidak diketahui rimbanya.

Life was always a matter of waiting for the right moment to act. Kalimat bijak yang dibenarkan oleh Subuh, entah kapan waktu yang tepat itu tiba hingga dia bisa menghapus kebimbangan dan meyakinkan kembali Asmara untuk menatap masa depan bersamanya.

Kapan kamu pulang, Mara? Hati Subuh berbisik lirih. Nyeri itu masih ada dengan porsi yang sama.

"Ayah jangan terlalu capek, obatnya harus diminum sesuai dengan anjuran dokter." Subuh meletakkan tas kresek tempat obat yang dia tebus di apotek tadi.

Lagi-lagi Rabani menatap Subuh hanya dengan senyuman tanpa jawaban. Bibirnya sudah kehabisan daya untuk memproduksi kata-kata. Dia tidak tahu bagaimana mengucapkan rasa terima kasih kepada Subuh yang telah mendampinginya selama Asmara minggat dari rumah.

"Ayah tidak perlu rikuh seperti itu. Karena saya telah menganggap Ayah sebagai orang tua, maka sudah sewajarnya jika saya memperlakukan Ayah seperti ini," kata Subuh.

"Allah yang akan membalasnya, Mas. Ayah nggak punya apa-apa lagi--"

Subuh mengambil telapak tangan Rabani lalu menggenggamnya erat. "Cukup cintai saya seperti cinta Ayah pada Mara."

"Itu kepastian yang nggak mungkin Ayah tolak. Karena Allah menganugerahkan seorang putra yang bahkan lebih peka daripada putri--"

"Tidak, Yah. Mara juga sama besarnya menyayangi dan mencintai Ayah seperti saya, hanya saja cara kami berbeda untuk menunjukkannya."

"Bahkan di saat yang harusnya kamu memprotesnya karena rasa kecewa, hal itu nggak kamu lakukan karena ingin menjaga perasaan Ayah. Terima kasih, Mas," ungkap Rabani.

Subuh langsung pamit setelah memastikan Rabani tidak membutuhkan bantuannya lagi. Dia harus kembali bekerja dan menuntaskan beberapa jadwal yang telah tertunda selain karena ingin melampiaskan rasa kecewanya.

Pekerjaan yang tidak akan pernah ada habisnya, tapi demikianlah Subuh menyenangkan hati sesaat, untuk mempercepat perputaran waktu hingga tanpa terasa tanggal sepuluh yang pernah dia ceritakan pada Rabani tiba.

Subuh datang memenuhi undangan dari Dinas Pertanian meski sedikit terlambat. Ada laporan keuangan yang harus dia audit terlebih dulu di Konco Lawas. Keterlambatan itu membuatnya harus rela mendapatkan tempat duduk di kursi paling belakang.

Bagi Subuh, kegiatan seperti ini hanyalah formalitas yang memang harus diikuti karena dia membutuhkan koneksi dalam pekerjaannya. Sehingga meski duduk di belakang, dia sudah sangat hafal apa saja yang akan disampaikan penyelenggara dalam garis besarnya.

"Mas Alul, nanti jangan pulang dulu ya setelah selesai acara, Pak Bupati dan Pak Kadisper ingin bicara."

Pesan yang disampaikan penerima tamu di samping tempat duduk Subuh hanya dijawabnya dengan anggukan kepala dan senyuman. Hal terpenting dari kegiatannya hari ini adalah mendapatkan kesempatan bertemu langsung dengan para petinggi pemegang tambuh kekuasaan. Subuh bisa bernegosiasi sambil berbincang ringan dengan mereka.

Namun, sebelum kegiatan itu berlangsung, seperti biasa Subuh selalu menyempatkan diri berbenah di restroom. Bahkan sebelum acara berakhir, dia memilih untuk keluar terlebih dulu.

Tidak ada yang ganjil dalam pandangan Subuh sampai kedua matanya menangkap sosok bayangan yang selalu melintas setiap saat dalam alam bawah sadarnya.

"Mara ....?" Subuh bergumam lirih.

Sekelebat bayangan seorang wanita berseragam dinas baru saja keluar dari restroom menuju tempat acara.

Nggak, aku pasti nggak salah lihat, itu tadi Mara. Tapi bukankah dia bekerja di Jakarta? Subuh kembali bergumam, tapi kini hanya dalam hati saja.

Arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya telah menunjukkan waktu menemui para petinggi seperti kata petugas pada Subuh sebelum acara dimulai tadi. Subuh menghalau pikirannya dan bergegas ke ruangan yang dimaksud.

Sesampai di sana, Bupati, Kadisper bahkan Gubernur Jawa Tengah telah berbincang santai sambil menikmati kudapan yang tersedia di meja.

"Mohon maaf, saya dari restroom, Pak Toha." Subuh menjabat tangan Toha–Kadisper–yang berada paling dekat dengannya.

Tidak lupa Subuh bersalaman pula dengan Bupati Semarang dan Toha pun akhirnya memperkenalkannya pada Gubernur Jawa Tengah.

"Saya tidak meragukan kapabilitas Mas Alul, dari zaman Bu Esti dulu sudah teruji kredibilitasnya," puji Bupati Semarang menyilakan Subuh duduk.

"Pak Anwar bisa saja memujinya. Saya ini masih hijau, masih fakir ilmu dan harus banyak belajar dari para profesional. Seperti bapak-bapak ini," jawab Subuh merendah.

"Tapi kalau saya mendengar cerita Mas Alul ini luar biasa, lho. Masih muda, tapi sudah cukup cekatan menjadi konsultan pertanian. Bahkan sangat sangat dekat dengan masyarakat, karena ternyata seorang ustaz juga, ya?" sahut Gunadi–Gubernur Jawa Tengah.

Subuh tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya. Mendapatkan predikat seorang ustaz itu sangat berat, meskipun masyarakat Banyumanik menyebutnya demikian.

"Hanya kebetulan saja saya sekolah di Yaman, Pak Gun. Jadi mungkin ada beberapa hal yang bisa saya sampaikan kepada masyarakat. Tapi kalau untuk ustaz rasanya masih belum pantas," jawab Subuh.

"Wah, kalau begitu bisa nih diuji, nanti kalau ada acara keagamaan di kantor gubernur bisa mengisi siraman rohani, kan?" tawar Gunadi.

"Pas, cocok, saya sependapat dengan Pak Gun," ujar Anwar.

"Kebetulan kami sudah pernah mengaji dengan Mas Alul, dan respons pegawai pemerintah tingkat dua luar biasa. Mereka sangat menyukai cara Mas Alul menyampaikan nasihat dan pesan yang langsung menyentuh ke hati," tambah Anwar.

Lagi-lagi Subuh hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Sip, kalau begitu nanti saya agendakan di kantor kegubernuran," putus Gunadi.

Basa basi yang lumayan hangat. Sampai akhirnya mereka membahas masalah inti menghadirkan Subuh. Yang jelas ke depan akan ada beberapa kegiatan dari Dinas Pertanian yang banyak melibatkan Subuh di dalamnya.

"Saya suka lho dengan pemuda yang perhatian dengan kemajuan daerahnya, terutama faktor pertanian. Karena biar bagaimanapun Indonesia harus tetap mewujudkan swasembada pangan," kata Gunadi.

"Kalau semua ingin merantau ke luar kota, lalu siapa yang akan melanjutkan pembangunan di kota sendiri, Pak?" Subuh tersenyum tipis menanggapi ucapan Gunadi.

Rendah hati menjadi kunci yang bisa meleburkan seseorang ke semua kalangan. Tidah berbeda jauh dari prinsip Subuh yang tetap memegang teguh etika ketimuran ketika berhadapan dengan siapa pun, sehingga tidak sulit baginya bisa langsung akrab meskipun baru pertama kali bersua dan bercakap.

"Dalam bekerja itu yang terpenting adalah kejujuran dan amanah. Saya yakin kalau dua hal itu selalu kita pegang—"

Gunadi masih belum menyelesaikan kalimatnya, tapi tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dan masuk untuk memberikan informasi kepadanya. Seorang ajudan berbisik di telinga Gunadi kemudian berdiri menunggu perintah sang Gubernur.

"Coba diskusikan dengan Asmara. Sepertinya dia lebih paham tentang hal itu, setelah ini kita langsung ke lokasi," kata Gunadi sebelum ajudannya kembali meninggalkan mereka.

Mendengar nama wanita yang sangat dicintainya disebut, seketika ingatan Subuh kembali pada kejadian restroom sebelum berkumpul di ruangan itu.

Bersama kesulitan pasti akan ada kemudahan. Janji Allah yang hak, dan Subuh tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bertanya.

"Maaf, Pak Gun, kalau saya lancang bertanya," sela Subuh.

"Iya, silakan, Mas Alul," jawab Gunadi.

"Apakah Asmara yang Bapak maksud tadi itu, Sukma Asmara?" tanya Subuh perlahan.

Kening Gunadi berkerut disusul dengan senyuman dan mimik muka ingin tahu yang sengaja diperlihatkan lebih.

"Iya, dia baru dua minggu ini dinas di kantor Gubernur Jawa Tengah. Mas Alul kenal dengan Asmara?" tanya Gunadi tanpa berhenti tersenyum.

Subuh langsung meraih gawainya kemudian membuka galeri foto dan menunjukkannya pada Gunadi.

"Apakah ini orangnya, Pak?" tanya Subuh tidak sabar.

Hal yang wajar jika Subuh dan Asmara saling mengenal karena mereka berada di satu kota yang sama. Yang membuat Gunadi tertarik untuk menggoda adalah muka penuh harap yang ditunjukkan Subuh terlalu kentara memperlihatkan rindu dan cinta yang telah sampai pada puncaknya.ф

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top