Chapter 34
Luaskanlah sabarmu dan lebihkanlah syukurmu. Kalimat yang harusnya menjadi pegangan setiap hamba agar bisa menikmati hidup dengan nyaman dan jauh dari kekufuran atas semua nikmat yang Allah berikan padanya. Setidaknya tidak selalu memandang ke atas karena sesungguhnya filosofi kehidupan itu juga memerlukan manusia untuk menundukkan kepalanya sejenak untuk sebuah kesantunan dalam bersikap.
Subuh melihat bangunan minimalis yang telah sempurna di depan matanya. Rumah dan toko bangunan yang selama ini menjadi mimpinya telah selesai dibangun. Harusnya dia bisa tersenyum bahagia dan menikmati hasil kerjanya, tapi seolah sekarang angin sedang berbalik arah. Tidak ada senyum kebahagiaan yang tampak dari wajah Subuh.
"Kamu tahu persis alasannya, Mara, mengapa aku terobsesi untuk menyelesaikan bangunan ini dalam jangka waktu yang cepat." Subuh mendesah lalu masuk ke rumah barunya.
Kedua tangan Subuh terangkat untuk membaca doa saat kaki kanannya melangkah pertama kali melewati pintu utama. Walau rasa kecewa itu lebih tampak dibandingkan dengan rasa bahagianya, tapi sebagai seorang mukmin dia tidak pernah lupa mensyukuri apa yang telah dia miliki saat ini.
"Tidak ada hal baik yang percuma kita lakukan di dunia ini, Lul." Rustam menepuk pundak Subuh sampai membuatnya terkejut.
"Paklik, nggak ada suaranya tiba-tiba nongol. Sendirian saja?" tanya Subuh celingukan mencari orang lain di belakang Rustam.
"Iya, tadi dari toko ketemu Mbak Esti terus cerita kalau hari ini ada serah terima kunci dari kontraktor." Rustam melihat rumah Subuh secara mendetail.
"Sudah bagus ini, kapan mau diisi?" tanya Rustam.
Subuh hanya tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya.
"Entahlah, Paklik. Alul belum bisa pastikan kapan." Subuh menghela napasnya.
Rustam menatap keponakannya lekat-lekat. Sudah hampir satu tahun ke belakang ini Subuh terlihat tidak bersemangat, seolah nyawanya telah hilang dari raga yang menaunginya.
Rustam menepuk pundak Subuh sekali lagi. Tanpa perlu ditanyakan apa sebab dari mendung yang menggelayung di wajah keponakannya, Rustam pasti sangat tahu alasan yang mendasarinya.
"Percaya bahwa nggak akan ada yang keliru dengan ketetapan Allah," kata Rustam.
"Terkadang masih banyak pertanyaan mengapa, Paklik. Padahal selama menuntut ilmu di Yaman dulu Alul juga selalu diingatkan untuk menghilangkan kata itu ketika sudah membicarakan perihal takdir. Rasanya ikhlas itu sangat mudah diucapkan tapi terlalu sulit dijalankan," Subuh menundukkan kepalanya.
"Memangnya Pak Bani sudah nggak pernah menerima kabar dari Mara lagi, Lul?" tanya Rustam.
"Sesekali, tapi dia selalu mengelak ketika ditanya sekarang ada di mana," jawab Subuh.
"Kalian juga masih berkomunikasi, kan?"
Subuh menggelengkan kepalanya. Pertanyaan yang langsung membuat nyalinya menciut seketika karena lebih dari setahun dia tidak mendapatkan satu pun informasi tentang Asmara. Bukan hanya perihal rindu, tingkatan ingin bertemunya dengan Asmara pasti jauh lebih tinggi dari sekadar rasa itu.
"Sampai sekarang Alul masih belum bisa mengerti, rasa malu seperti apa yang membuat Mara menghilang seperti ini, Paklik?" Subuh menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sampai kapan pun jejak Papa dan mamanya memang tidak mungkin bisa dihilangkan. Namun, bukan berarti sebagai anak mereka kita harus menghukum diri seperti ini."
Sepertinya titik kecewa di hati Subuh telah sampai pada puncaknya, tapi dia enggan untuk melangkah. Janji yang telah diucapkannya dulu pantang untuk diingkarinya.
"Kalau tentang pendamping hidup, mengapa kamu nggak mencoba untuk mencari--?"
"Nggak semudah itu, Paklik. Alul bukan orang yang bisa dengan mudah menjatuhkan pilihan, terlebih melihat latar belakang keluarga Alul, nggak akan mudah bisa diterima oleh orang lain."
"Dengan kata lain berarti Asmara adalah harga mati?"
"Bisa dibilang begitu."
"Lalu, jika Allah tidak membuat takdir kalian bersatu?" kejar Rustam.
Subuh hanya menatap adik dari mamanya ini tanpa kata. Dia masih belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan pamannya itu, Jangankan menyiapkan jawaban, untuk menyiapkan hati membayangkan semua itu terjadi saja dia tidak akan pernah sanggup.
"Manusia itu wajibnya berusaha setelah berencana, tapi kalau memang Allah belum menakdirkan kalian berjodoh, kamu juga harus tetap melanjutkan masa depanmu, Lul."
"Alul belum punya gambaran tentang masa depan seperti apa yang harus Alul lalui tanpa Mara."
Subuh masih tetap berharap jalan takdir masa depannya adalah bersama Asmara.
"Paklik selalu mendukung apa pun keputusanmu, tapi Paklik nggak suka sama orang yang menyia-nyiakan masa depannya hanya karena sesuatu yang nggak akan bisa dimintai kepastian. Kamu berhak bahagia, Lul, dengan atau tanpa Mara."
Subuh menghela napasnya dalam-dalam. Seluruh keluarganya memberikan nasihat, jika memang tidak bisa ditunggu mengapa Subuh harus mempersulit dirinya sendiri dengan menepati janji sementara Asmara mungkin sudah melupakannya dan hidup bahagia dengan orang lain.
фф
Acara tasyakuran rumah baru digelar secara sederhana oleh Subuh. Mengundang tetangga kanan dan kiri serta keluarganya. Estini tampak hadir mendampingi sang putra. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya itu tampil memukau mata semua tamu yang hadir di sana.
Bisik-bisik tetangga pun mulai merebak setelah hampir semua dari mereka mengetahui bagaimana cerita keluarga Asmara dan Keluarga Subuh yang sebenarnya. Tentu saja mereka mengutuk perbuatan Nurita dan Gunawan.
"Heran ya sama papanya Ustaz Alul, istri sendiri spek bidadari malah milih wanita seperti Nurita. Meski kecantikan bukanlah ukuran, tapi hanya melihat santun dan halusnya cara bicara Bu Esti kita juga tahu perbedaan keduanya," kata Bu Ali.
"Setuju. Kenapa saya jadi merasa kasihan dengan Mara dan Ustaz Alul yang harus menerima akibat dari perbuatan mereka," sambung
"Iya, mana ayahnya Mara dan mamanya Ustaz Alul sabar banget ngadepin orang-orang seperti itu. Nyesel dulu mengapa saya berburuk sangka pada pada Pak Bani," kata Andrea.
"Eh, tapi mumpung semua pada ngumpul di sini sebaiknya kita meminta maaf kepada mereka. Nggak sepatutnya juga dulu kita ikut memberikan komentar, padahal belum tahu jelasnya cerita seperti apa." Bu Ali menutup bibirnya dengan kipas yang ada ditangannya ketika berbisik pada orang yang duduk di sebelahnya.
Bumbu itu selalu ada sebagai penyedap rasa, sebagaimana suatu cerita semakin dibumbui semakin enak untuk didengarkan telinga.
"Tapi harusnya Asmara bersyukur banget dapat calon mertua seperti mamanya Ustaz Alul. Entah hatinya terbuat dari apa, kalau saya yang ada di posisi beliau tentu nggak pernah rela mereka menikah, tapi ini--"
"Sayangnya Mara justru menghilang, mana ninggalin ayahnya yang lagi sakit-sakitan. Untung ada Ustaz Alul yang selalu ada di dekat beliau," kata Andrea.
"Nah itu kurang sempurna apa sebagai calon suami. Sebenarnya Mara ini sekarang ada di mana sih, kenapa nggak datang juga saat ada momen penting seperti ini?" kata Bu Ali.
"Jangankan cuma syukuran, Bu Ali, ayahnya operasi saja dia nggak pulang. Entahlah, saya nggak habis pikir sama anak itu."
Obrolan mereka baru berhenti ketika Estini tersenyum lalu berjalan mendekati mereka. Sapaan ramah hingga akhirnya obrolan pun mengalir. Menceritakan bagaimana perjuangan Subuh untuk bisa mendapatkan rumah di Banyumenik ini.
"Wah jadi kita nggak perlu jauh-jauh ke kota kalau butuh bahan bangunan. Tokonya Ustaz Alul menyediakan, bahkan untuk obat-obat pertanian pun tersedia."
"InsyaAllah, Ibu-ibu. Semoga menjadi jalan berkah untuk Alul nantinya," jawab Estini.
"Aamiin." Kompak suara ibu-ibu yang duduk mengitari Estini mengaminkan doa wanita itu untuk putranya.
Saat obrolan kembali asyik, tiba-tiba Subuh mendekati Estini untuk berbicara sesuatu. Namun, karena rasa ingin tahu mengapa Asmara tidak juga muncul ketika acara akan dimulai, bibir Bu Ali pun tergerak untuk menanyakan.
"Asmara tidak bisa datang ya Ustaz?"
Senyuman di bibir Subuh harusnya cukup menjadi sinyal jawaban bahwa dia tidak berkenan untuk menyuarakan apa yang sebenarnya, tapi Bu Ali sepertinya masih ingin melanjutkan ucapannya meskipun ujung dari ucapan itu justru membuat Estini harus mengusap air matanya.
"Entah cerita yang mana yang benar, tapi kami semua yang ada di sini sangat merasa bersalah pernah bersuuzan pada Ustaz Alul, Asmara dan keluarga kalian. Banyak juga omongan kami yang mungkin justru semakin memperkeruh suasana," lanjut Bu Ai.
"Benar kata Bu Ali, Bu Esti. Kami sangat merasa bersalah, untuk itu pada kesempatan yang baik ini, kami ingin meminta maaf kepada Ustaz Subuh, Bu Esti juga pada Pak Bani atas semua tindak tanduk dan perbuatan yang kami lakukan dulu," sambung Andrea.
Rasa haru tentu saja menyeruak tiba-tiba di benak Estini. Kebaikan yang selama ini ditanamkannya pada Subuh membuat sang putra sangat dihormati di tempat tinggalnya yang baru. Tak elak semuanya itu membuatnya semakin tenang membiarkan Subuh berkembang di lingkungan baru yang telah menjadi pilihannya.
"Ustaz, jangan sedih terus ya. Harus tetap semangat supaya Allah segera mendekatkan Ustaz dengan Mara. Ini hanya perihal waktu, kami yakin Mara juga tidak akan mengkhianati Ustaz di sana," kata Bu Ali.
"Semoga ya Bu Ali, mohon doa yang terbaik untuk kami berdua." Subuh segera berdiri dan meninggalkan mamanya bersama mereka.
Kembali mengingat Asmara itu seperti memutar lagu sedih yang membuat matanya perih karena harus menahan air matanya jatuh karena hatinya terbawa terenyuh. Subuh memang harus kuat, dia harus bertahan, walau mungkin apa yang kini telah ada di genggamannya tak lagi sama dengan apa yang akan digenggam oleh Asmara.
Jika kamu tidak mengingat, biarlah semesta yang menjadi saksi. Betapa aku berjuang sepenuh hati untuk bisa sampai berada di titik ini. Semua orang mendoakan kita, Mara, bukan hanya karena rasa kasihan, tapi karena mereka tahu bagaimana beratnya perjuanganku untuk menunggumu. Subuh mengusap mukanya dengan kedua tangan setelah semua tamu undangan meninggalkan rumahnya dan menyisakan serakan piring-piring kosong sebagai tempat jajanan untuk menjamu mereka.
"Jangan pernah menyesali atas keputusan yang telah kamu ambil, anakku," kata Estini setelah hanya tersisa mereka berdia ru rumah Subuh.
"Alul nggak pernah menyesal, Ma."
"Lalu setelah ini apa rencanamu?"
Senyum Subuh terbit, dia lalu menggenggam kedua telapak tangan mamanya dan emnciumnya sebelum memberikan jawaban.
"Alul akan menata kembali hidup Alul."
"Meski tanpa Mara?" tanya Estini.
Subuh kembali tersebyum tapi bersamaan dengan itu bibirnya bergerak untuk langsung menjawab pertanyaan mamanya. "Alul butuh waktu untuk memutuskan bisa sendiri tanpa dia. Tolong Mama jangan mendesak seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara Mama."
Anak dan ibu itu pun akhirnya menitikkan air mata dalam pelukan. Estini tahu benar bagaimana watak putranya. Dia berjanji tidak akan memaksa Subuh untuk bisa menerima sesuatu yang memang tidak diinginkan oleh putranya.
"Mama percaya kamu, Lul," bisik Estini
Selama bidadari surga Subuh percaya padanya dan bersedia menunggu, sepanjang itu pula dia tidak akan berpaling hati untuk mendapatkan cinta yang lainnya.ф
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top