Chapter 32

Prasangka itu adalah bentuk pemikiran manusia yang belum diketahui kebenarannya. Jika Allah memberikan kebebasan berprasangka, kenapa tidak memilih prasangka yang baik? Setidaknya sebuah kalimat tanya yang bisa menjadi benteng pertahanan hati bersahabat dengan setan yang akhirnya akan merugikan diri sendiri.

Beberapa kali bibir Subuh mengucapkan kalimat istigfar, hatinya boleh kecewa karena kenyataan yang ada di depan matanya masih jauh dari harapan yang selama ini dia impikan. Wanita yang ingin dia sanding justru memilih menjauhinya.

Mara, kamu masih menjadi subyek utama perbincanganku dengan semesta. Aku nggak tahu sampai kapan kemungkinan itu membersamaiku. Karena kepastian hadirmu akan tetap menjadi rahasia antara kamu dan Allah. Namun, aku bersyukur. Setidaknya posisi ini jauh lebih baik daripada harus kehilanganmu. Doaku masih sama dan selamanya akan tetap menjadi milikmu. Semoga sang pemilik semesta masih berpihak pada asaku untuk membuat kita menjadi satu.

Subuh meremas kertas yang ada di tangannya. Dalam bekerja pun ingatannya hanya ada Asmara. Sejak gadis yang dia cintai itu meninggalkan rumahnya tanpa kabar, jujur produktivitas kerjanya menurun drastis. Beberapa pekerjaan bahkan tidak terpegang sampai menjelang deadline penyelesaian. Beberapa rekan kerja juga mengeluhkan kinerjanya, hingga sampai ke telinga Estini.

"Mama paham apa yang kamu rasakan, tapi ketidakkompakan bekerja dalam sebuah tim itu akan mempengaruhi kinerja yang lainnya, Lul. Kamu harus bisa kembali fokus, meski kita belum bisa menemukan Mara, tapi Allah tahu seberapa tulus niat kita untuk mencarinya," nasihat Estini.

"Ma, masalahnya Mara pernah menemui Ayah tapi dia nggak ingin bertemu dengan Alul Padahal--" Subuh meremas rambutnya sampai acak-acakan.

"Berbaik sangkalah, Allah sedang menguji kesabaran kita sekali lagi. Kalau kamu lulus ujian ini, insyaAllah hidup kalian nanti akan dekat dengan kebahagiaan."

"Aamiin," Subuh menatap wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Semua yang dikatakan Estini tidak ada yang keliru. Hidupnya harus tetap melaju.

"Tunjukkan kepada keluarga Mara kalau kamu memang bersungguh-sungguh untuk meminangnya menjadi pasangan sehidup sesurgamu." Estini mengusap pundak putranya.

"Terima kasih, Ma. Mama adalah orang yang selalu mendukung Alul sampai detik ini."

"Karena Mama mengenal karaktermu dari kecil, Sayang." Estini membuka kedua tangannya, meminta Subuh mendekat dan memeluknya. "Pulanglah, Ayahmu pasti sangat membutuhkanmu sekarang. Ambil libur beberapa hari supaya kamu bisa rehat dari pekerjaan dan fokus merawat ayahmu."

Subuh mengangguk kemudian merapikan barang-barangnya dan segera kembali ke rumah sakit. Hari ini dia harus bertemu dengan dokter untuk membicarakan operasi pemasangan ring jantung Rabani.

"Doakan Ayah bisa sehat kembali, Ma." Subuh mencium tangan kanan Estini lalu segera meninggalkan ruang kerjanya.

Dalam perjalanannya kembali ke rumah sakit, Subuh menimbang semua saran dokter tentang tindakan yang harus dilakukan untuk Rabani di percakapannya terakhir mereka. Pemasangan ring jantung adalah opsi terakhir yang harus dilakukan mengingat kondisi Rabani sekarang. Semula Subuh meminta waktu supaya bisa berkomunikasi dengan Asmara terlebih dulu, tapi setelah Asmara diketahui menghindarinya, lalu bagaimana caranya bisa menyampaikan tentang kondisi ayahnya?

"Lakukan yang terbaik untuk Ayah saya, Dokter. Jika memang sudah bisa dijadwalkan saya akan menandatangani persetujuan operasinya," kata Subuh setelah bertemu dengan Dokter Rega--spesialis jantung--yang merawat Rabani.

Tampak Rega melihat rekam medis Rabani lalu tatapannya beralih pada kalender yang ada di meja kerjanya.

"Hari Kamis, jam 10.00. Saya buatkan advice untuk perawat supaya mempersiapkan semuanya, nanti segera diantar ke ruang rawat Bapak Rabani."

"Terima kasih, Dokter Rega."

Anggukan dan senyuman Rega menjadi akhir pertemuan mereka. Subuh segera menemui Rabani di ruang rawatnya. Seolah tidak terjadi pergolakan di hatinya, pemuda itu memasang wajah tenang ketika bersama dengan sang calon ayah mertua.

"Lho jam segini kok sudah ke sini, Mas Alul? memang pekerjaannya bisa ditinggal?" tanya Rabani ketika Subuh masuk ke ruangannya.

Senyuman manis nan menenangkan hati itu menjadi penghias wajah Subuh. Walau untuk itu dia harus berjuang sekuat tenaga membohongi perasaannya yang sedang gundah gulana.

"Gimana, Yah? Napasnya sudah bisa lega, barusan saya menemui Dokter Rega," kata Subuh.

Rabani menepuk tempat tidur di sampingnya, meminta Subuh mendekat. "Ayah ingin bicara."

Subuh menatap Rabani dengan saksama. Melihat wajah calon mertuanya tentu Subuh bisa menebak bahwa apa yang ingin disampaikan Rabani sangat serius.

"Mas, jika memang dokter harus memasang ring jantung, insyaAllah Ayah sudah siap. Nggak usah nunggu Mara," kata Rabani.

Tampak wajah kecewa dari raut muka Rabani yang terbaca Subuh. Namun, ayah Asmara itu bersikap sangat bijaksana menanggapi segala sesuatunya.

"Ayah nggak ingin juga nanti malah merepotkan Mas Alul."

"Kok Ayah bicara seperti itu, apakah Ayah tidak lagi menganggap saya sebagai putra Ayah sampai-sampai kata merepotkan itu harus terucap?" Subuh duduk sambil mengusap punggung telapak tangan Rabani.

Bukan jawaban yang keluar dari bibir Rabani, tapi air matanya yang kini mulai berjatuhan satu persatu hingga membuat Subuh tidak sampai hati membiarkannya. Subuh segera beringsut dan memeluk Rabani.

"Sungguh, niat Ayah menutup semuanya agar nggak lagi ada kebencian dan nggak ingin menumbuhkan itu di hati Mara. Nggak pernah terlintas jika akhirnya akan seperti ini, maaf jika keputusan Ayah salah dan sekarang justru membuat Mas Alul dan keluarga--"

"Ayah tolong--" Subuh menghapus air mata Rabani. "Kita tidak pernah tahu hikmah apa yang Allah tunjukkan setelah ini. Kami tidak pernah ada masalah dengan Ayah dan Mara. Jadi, tentang lamaran saya, insyaAllah selama Allah masih memercayakan waktu--" Subuh menggenggam kembali jemari tangan Rabani.

"Tidak akan ada yang berubah dalam hati saya, Yah, jadi Ayah jangan khawatir. Sekarang yang terpenting adalah kesehatan Ayah." Senyum Subuh kembali terbit untuk mengenyahkan suasana sedih antara mereka.

Rabani mengangguk setuju. Dia kemudian menarik Subuh kembali ke pelukannya.

"Semoga rencana Allah masih berpihak dengan harapan Ayah," kata Rabani.

"Harapan saya juga, Yah," balas Subuh.

Rabani melepaskan pelukannya lalu merangkum wajah Subuh dan mencium pemuda itu layaknya seorang ayah kepada putranya. Hal yang selama ini hanya ada dalam mimpi Subuh kini diwujudkan oleh Rabani tanpa dia minta. Jika sebelumnya buliran air mata itu jatuh deras membasahi belah pipi Rabani, kini menular dan Subuh terguguk dalam rasa haru yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Estini mendidiknya menjadi laki-laki yang kuat, tapi ketika ada tangan seorang Ayah yang dengan tulus memeluk dan menyayanginya tanpa menginginkan balasan rasanya itu sudah melebihi semua doa-doa yang selalu dilangitkannya.

фф

Sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh Rega akhirnya Rabani melakukan operasi pemasangan ring jantung. Tidak ada keluarga yang lain yang ada di sisinya sebelum dia memasuki ruang operasi kecuali Subuh. 

"Semangat, Ayah. Allah menitipkan obat untuk kesembuhan Ayah melalui operasi ini."

Belum sampai Rabani menjawabnya, tiba-tiba Estini datang tergopoh menemui putranya di rumah sakit.

"Mama ...."

Estini menyapa calon besannya dan tak lupa turut mendoakan semoga operasinya berjalan lancar dan Rabani kembali sehat seperti sedia kala.

"Sebelumnya saya minta maaf, Pak Bani. Tapi saya benar-benar harus bicara dengan Alul sekarang karena handphone-nya dari tadi tidak bisa saya hubungi," kata Estini.

Subuh baru teringat bahwa gawainya mati dari semalam dan terlupa tidak menambah daya hingga sekarang masih ada di saku celananya. 

"Astagfirullah, Ma, Alul benar-benar lupa."

"Bisa kita bicara di luar, Lul?" Estini kemudian menatap Rabani dan kembali bersuara. "Pak Bani kami tinggal dulu sebentar."

Setelah melihat anggukan kepala Rabani, Subuh dan Estini keluar ruangan.

"Ada apa, Ma? Sepertinya penting banget sampai nyusulin Alul ke rumah sakit?" tanya Subuh tidak sabar. Padahal mereka belum menemukan tempat duduk.

Estini menatap putranya sesaat lalu memperlihatkan sebuah alamat yang ada di sebuah pesan yang tertulis dalam pesan singkat antara mamanya dengan seseorang bernama Utami.

"Zulkarnain Hamzah, siapa dia, Ma?" tanya Subuh bingung.

"Tadi pagi Mama dapat telepon dari Mbak Utami. Katanya kemarin dia baru saja dia didatangi keluarganya Lulu. Zulkarnain Hamzah ini adalah papanya Lulu." Estini mengawali ceritanya.

"Lalu apa hubungannya dengan Alul, Ma?"

"Lulu ini adalah gadis kecil yang dulu pernah diajak Mara ke rumah kanker kita. Mungkin kamu bisa menemui orang tua Lulu atau jangan-jangan Mara memang tinggal di sana."

Subuh mengerti setelah Estini menjelaskan secara panjang lebar. Namun, keningnya tiba-tiba mengkerut. Sepertinya ada yang kurang dengan pesan yang berulang kali dia baca dari layar gawai milik mamanya.

"Kamu kenapa, Lul?" tanya Estini.

"Mbak Utami nggak menyertakan nomer telepon papanya Lulu, Ma?" Subuh menatap Estini yang menggelengkan kepalanya.

"Nah itu dia masalahnya, Mbak Utami lupa nggak meminta nomer teleponnya. Jadi mau nggak mau kamu memang harus ke Jakarta secepatnya."

Subuh mengurut keningnya. Tidak mungkin meninggalkan Rabani sendiri pascaoperasi.

"Atau Mama tinggalkan Arif di sini untuk menemani ayahmu?" Estini menawarkan sopir yang biasa menemaninya ke mana-mana.

"Ma--" Subuh terlihat keberatan. Bukan karena dia tidak ingin berangkat ke Jakarta sekarang, tapi mengingat janjinya sebelum sang mama tiba bahwa dia akan menunggu operasi Rabani sampai dengan selesai. Dia tidak ingin mengingkarinya.

"Ayah itu adalah orang yang nggak mau nyusahin orang lain, jangankan Arif, sama Alul saja kadang nggak mau, Ma. Alul khawatir nanti malah membahayakan. Karena rasa sungkan Ayah yang nggak mau minta tolong padahal beliau belum boleh melakukan sendiri ...."

Estini paham dengan apa yang dimaksudkan putranya, hingga dia menyerahkan semuanya kepada Subuh.

"Kalau begitu, Mama pulang dulu. Jangan lupa charge handphone-mu! Biar nggak susah menghubungi."

"Iya, Ma. Nanti Alul omongin ini dengan Ayah baiknya bagaimana."

Estini menepuk pundak Subuh sebelum dia benar-benar meninggalkan putranya. "Sampaikan pamit Mama pada ayahmu."

Tentang rindu, ranting cemara di kutub utara pun mengerti seberapa besar Subuh menyimpannya dalam hati untuk Asmara. Namun, lagi-lagi keadaan yang memaksanya untuk bertahan dan bersabar.

"Jangan pernah mengkhawatirkan sesuatu yang sudah dijamin kepastiannya oleh Allah, Mas," kata Rabani ketika Subuh kembali ke kamarnya dengan wajah yang sangat berbeda dengan sebelumnya.

Subuh menatap Rabani untuk meminta penjelasan dari kalimat yang baru saja diucapkan oleh ayah Asmara itu.

"Kalau memang ada pekerjaan yang harus diselesaikan sekarang, sebaiknya Mas Alul kembali ke kantor."

Subuh tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya.

"Mama kemari karena ada seorang teman yang memberikan alamat kepada beliau, dan kemungkinan itu adalah tempat tinggal Mara saat ini, Yah."

Rabani terbelalak tidak percaya mendengarnya. Namun, belum sampai Subuh memberikan penjelasan lebih. Tiga orang perawat masuk dan meminta izin membawa Rabani ke ruang operasi sekarang juga.

"Ayah harus sembuh dan jangan berpikiran hanya sendirian karena Mara tidak ada di sini." Subuh mengantarkan Rabani sampai di depan pintu operasi.

"Saya akan menunggu di sini sampai operasinya selesai," kata Subuh sebelum mereka berpisah.

Rabani menatap langit-langit saat hospital bed miliknya di dorong menuju meja di mana dia akan berada di antara dua fase dalam kehidupan manusia, hidup dan mati.

Allah, jika memang waktuku tiba hari ini, aku ikhlas menghadap-Mu, karena aku telah yakin memilihkan laki-laki terbaik untuk mendampingi putriku. Rabani menutup matanya setelah menyelesaikan doanya dalam hati.ф

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top