Chapter 24
🍬Pernikahan itu adalah mengawinkan dua keluarga bukan hanya dua hati yang saling mencinta.🍬
-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara
Keluarga Subuh telah bersiap, acara yang molor dua hari itu akhirnya bisa terlaksana juga. Meski tidak semua anggota keluarga yang bisa turut hadir serta tapi Subuh sudah sangat bahagia dan berterima kasih kepada semuanya. Senyum yang menghias bibirnya tidak pernah luntur, bayangan masa depannya kini terpampang jelas di depan mata bersama wanita yang telah membuatnya jatuh cinta dan berjuang dengan cara yang baik dan benar.
Semua orang lahir dalam ketidaksempurnaan dan dengan menikah mereka menyempurnakan segala sesuatu yang dianggap tidak sempurna. Dari semalam para tetua dalam keluarganya telah menyampaikan nasihat pernikahan yang harus Subuh jalankan ketika sudah menjadi sumi kelak. Intinya dia sangat dekat dengan contoh pernikahan yang tidak sehat dan itu harus dijadikan pelajaran paling berharga agar tidak terulang lagi.
"Sudah siap, Lul?" tanya Estini.
"Sudah, Ma. Kita berangkat sekarang? Asmara juga sedang bersiap-siap, insyaAllah kita sampai di sana juga sudah siap menerima kedatangan keluarga kita."
Estini ikut tersenyum melihat raut bahagia di wajah putranya. Tidak pernah menyangka, dia akan mengantarkan putranya secepat ini menuju hari bahagianya bersama wanita yang dicintainya.
"Sampai kapan pun pesan Mama hanya satu, Lul."
Subuh mengangguk meski mamanya belum mengatakan apa yang harus Subuh lakukan dalam pernikahannya nanti bersama Asmara.
"Apa pun keadaannya, jangan sekali-kali kamu membuat Asmara menitikkan air mata karena sedih. Jika suatu saat nanti ada selisih paham antara Mama dan dia, sebagai suami sekaligus anak Mama, kamu harus bisa menjadi penengah yang baik untuk kami. Kamu harus bisa jadi pelindung sekaligus pengayom untuk keluargamu nanti."
"Ma—" Subuh memeluk Estini dengan erat. "Terima kasih telah melahirkan dan menjadi mama terbaik untuk Alul," bisiknya lirih.
Satu jam berlalu rombongan keluarga Subuh telah tiba di kediaman Rabani. Berita tentang lamaran Subuh hari ini telah menjadi topik hangat pembicaraan ibu-ibu yang ada di Banyumenik. Meski banyak yang menduga-duga sebelumnya karena keakraban mereka tapi tidak ada yang menyangka jika lamaran akan dilangsungkan secepat ini. Tidak lebih dari tiga bulan dari warga mengenal Subuh sebagai ustaz muda di desa mereka.
"Jangan-jangan memang kepindahan Ustaz Azlul ke Banyumenik itu memang karena sudah ada kesepakatan dengan keluarga Pak Bani," kata Bu RT.
"Benar, karena kalau dilihat dari dulu Asmara juga tidak pernah dekat dengan laki-laki. Berarti memang sudah lama mereka berhubungan. Katanya malah dari SMA."
"Memangnya mereka sudah kenal dari SMA?" tanya Bu Ali sambil memilih sayuran yang akan dia masak hari ini.
"Lho memangnya Bu Ali belum dengar kalau Asmara itu satu SMA dengan Ustaz Azlul?" jawab Andrea.
"Benar-benar ekspres, sat set, sat set."
"Eh, tapi dengar-dengar laki-laki yang menjadi idaman lain mamanya Asmara itu papanya Ustaz Azlul."
"Ah, Bu Rina jangan menyebarkan fitnah," kata Bu Ali.
"Bukan menyebarkan, Bu. Tapi kemarin waktu rumah Jeng Andrea kebakaran kan ada yang melihat Bu Nurita ke rumah Pak Bani dan Bu Joko mendengar pertengkaran antara Bu Nurita dengan Asmara karena dia melarang putrinya menikah dengan Ustaz Azlul karena alasan itu," jelas Rina.
"Ya sudah, biarkan saja. Kita doakan saja yang terbaik. Toh hari ini menurut cerita Bu Rustam mereka memang akan melamar Asmara untuk Ustaz Azlul. Berarti semua sudah bisa menerima, termasuk dengan Pak Bani. Kita urusi makanan untuk keluarga saja nggak usah ikut pusing dengan urusan mereka," lerai Bu RT.
Tanpa mereka sadari di antara mereka ada orang yang menjadi bahan obrolan. Nurita yang hari ini berniat untuk kembali mengunjungi putrinya justru mendapatkan kenyataan bahwa putrinya akan dilamar hari ini. Padahal beberapa hari yang lalu dia sudah memperingati Asmara untuk melupakan acara yang tidak masuk akal itu. Nurita bisa memastikan bahwa putrinya nanti akan menjadi bulan-bulanan ibu mertuanya.
Niatnya ingin menyapa Andrea menjadi urung, Nurita segera menghindari kerumunan ibu-ibu yang sedang membicarakannya. Langkah Nurita dengan pasti menuju ke kediaman mantan suaminya. Dia harus bicara kepada mereka.
Tepat bersamaan dengan keluarga Subuh yang tiba dengan berbagai macam hantaran di tangan. Nurita masuk ke rumah melalui pintu belakang. Tidak ada yang tahu, bahkan Rabani dan Asmara juga tidak tahu karena mereka telah berada di ruang tamu untuk menyambut keluarga Subuh.
Nurita bisa dengan leluasa menguping dari ruang tengah apa yang mereka bicarakan di ruang tamu. Sampai dengan Asmara ke belakang untuk mengambilkan minuman, barulah dia bisa bicara dengan putrinya.
"Mara!" panggil Nurita sambil menarik lengan putrinya.
"Mama—?" Mata Asmara membulat. Dia terkejut tiba-tiba Nurita ada di dalam rumahnya.
"Lepaskan tangan Mara, Ma."
"Kemarin Mama sudah peringatkan kamu untuk menolak lamaran anak perempuan itu. Mengapa sekarang dia datang bersama keluarganya. Ingat, Mara. Kamu akan menjadi bulan-bulanan mamanya!"
Asmara menatap mamanya tajam. Entah kekuatan dari mana hingga bibirnya bergetar untuk menyuarakan isi hati. Semoga dia tidak termasuk dalam golongan anak durhaka karena sudah berani bicara dengan nada yang cukup keras meski tidak dengan suara yang lantang.
"Kalau Mama yang melakukan kesalahan, mengapa harus Asmara dan Ayah yang menanggung semua akibat dari apa yang telah Mama tabur? Tuai sendiri benih yang telah Mama sebar, Mara memang anak Mama tapi Mara punya masa depan sendiri. Lagi pula Ayah telah memberikan restunya. Itu cukup bagi Mara melangkah bersama suami pilihan Mara."
Asmara mengempaskan cekalan tangan Nurita di lengannya. Dia bergegas mengambilkan minuman dan kembali ke ruang tamu.
Acara inti pun dimulai setelah percakapan basa-basi dan pengenalan keluarga selesai dilakukan. Rabani ditemani oleh beberapa saudara yang dituakan dan Asmara.
"Mohon maaf jika penyambutan kami kurang berkenan di hati keluarga Mas Azlul. Seperti yang telah kita ketahui bersama, sebelumnya memang ada sedikit kesalahpahaman tapi hari ini kita semua bertemu dengan niatan yang baik." Senyum Rabani mengembang, sebelum dia menanyakan jawaban Asmara tentang lamaran Subuh kepadanya.
"Lugas dan jelas tersampai kepada kami bagaimana niat Mas Azlul untuk meminang putri saya. Rasanya sebagai orang tua, saya juga harus mendengarkan pendapat Asmara yang nantinya akan menjalani kehidupan itu." Rabani menatap putrinya dan memberinya isyarat untuk bersuara.
"Bagaimana, Mara? Tentang pinangan Mas Azlul diterima atau diterima?" Rabani berkelakar yang membuat suasana tegang itu berubah menjadi semburat tawa.
Asmara masih menunduk, jantungnya berdetak tidak karuan. Menikmati senyuman Subuh hari ini seolah membawanya menuju ke masa depan. Senyum manis itu nantinya akan dia lihat setiap hari mulai membuka mata hingga menutupnya lagi.
"Asmara—" Suara Rabani kembali menggema membuatnya terhentak meski hanya sejenak tapi cukup membuat mata yang melihatnya menyadari perubahan rona di wajahnya.
"Anak gadis yang sebentar lagi tidak gadis lagi, semua orang menunggu jawaban kamu, Sayang. Ini malah melamun," gurau bibi Asmara lirih.
"InsyaAllah, Ayah. Mara menerima pinangan dari Azlul Subuh."
Debaran di hati Asmara bercampur rasa lega akhirnya membuat air mata haru di pelupuk mata Subuh terjatuh juga bersamaan dengan rasa syukur yang langsung terucap dari bibirnya.
Namun, belum juga hilang senyum bahagia itu menghias wajah calon pengantin, tiba-tiba dari ruang tengah Nurita keluar dan mengatakan keberatannya sang putri dinikahi oleh anggota keluarga Gunawan Wibisono.
"Tidak, tidak akan ada pernikahan dengan anggota keluarga Gunawan Wibisono.
Bak mencorengkan arang ke muka keluarganya sendiri, Rabani mengepalkan tangannya. Tidak ada yang mengundang mantan istrinya itu untuk datang ke acara lamaran Asmara dan Subuh. Mengapa tiba-tiba dia ada di rumahnya. Sejak kapan dia ada di sana?
Mata Rabani menatap Asmara sejenak. Putrinya itu menggigit bibir dan menunjukkan raut muka bersalah. Rabani mengira Asmara yang mengundang mamanya datang tapi dalam hati Asmara menyesal mengapa tadi dia tidak mengusir dan memastikan sang mama keluar dari rumahnya. Hingga sekarang harus merusak acaranya seperti ini.
"Maaf, Bapak, Ibu, silakan acaranya dilanjutkan." Asmara segera berdiri dan menarik mamanya masuk ke ruang tengah lagi.
Tanpa berkedip Asmara menatap mamanya, jika mamanya memiliki rasa malu tentu saja melalui tatapan mata Asmara dia sudah menyadari apa yang membuat putrinya murka. Sayangnya rasa malu Nurita sudah menghilang sejak dia memutuskan untuk meninggalkan rumah.
"Mara benar-benar malu punya Mama seperti—" Belum selesai Asmara berbicara, telinganya sudah mendengar keributan di ruang tamu. Bukankah bramacorah keributan sudah dia amankan. Mengapa masih terdengar orang yang tidak menyetujui pernikahannya dengan Subuh dilaksanakan.
"Tidak akan ada pernikahan antara Alul dengan Asmara." Suara lantang itu jelas sekali masih diingat dengan baik oleh Nurita.
"Benar kan apa kata Mama." Nurita tidak lagi menggubris keberadaan Asmara. Dia kembali ke ruang tamu.
Keadaan semakin runyam ketika wanita itu bertemu kembali dengan Gunawan Wibisono. Adu mulut pun akhirnya tak terelakkan lagi. Gunawan tidak menginginkan putranya menikah dengan Asmara pun demikian juga Nurita yang tidak bisa mengikhlaskan putrinya diperistri oleh anak orang yang telah banyak membohonginya.
"Tidak sudi aku juga, anakku menikah dengan anak seorang begundal sepertimu. Alul, kita pulang. Tidak ada lamaran dan tidak akan ada pernikahan di antara kalian." Gunawan menatap putranya tajam.
Estini dan seluruh keluarga hanya bisa menundukkan kepala karena merasa sangat malu dengan peristiwa tak terduga yang terjadi di rumah Rabani.
"Papa sudah sampaikan kemarin padamu, Alul. Tapi kamu tetap ngotot jadi jangan halangi kalau hari ini Papa akan membuyarkan acara ini," teriak Gunawan.
Nurita pun tidak terima dikatakan seperti itu oleh Gunawan. Dulu dia memang pernah tertarik dengan laki-laki itu tapi sekarang jatuhnya lebih dari kata muak. Sekedar memandang saja Nurita menjadi enggan.
"Cuih!" ucap Nurita.
"Kamu pikir hanya kamu saja yang tidak rela anaknya menikah dengan anak seorang penjahat kelamin. Aku juga tidak sudi putriku memiliki mertua gila sepertimu."
Rabani hanya bisa mengusap dadanya sambil beristigfar. Dia meminta adiknya untuk menarik Nurita masuk sementara Rustam juga meminta Gunawan keluar dari rumah Rabani.
Acara mendadak berantakan karena ulah mereka. Asmara yang menanggung malu atas kejadian itu sampai tidak berani menampakkan dirinya. Dia langsung mengurung diri di kamar. Terlebih karena keributan itu beberapa tetangga langsung beralih profesi menjadi paparazi dadakan.
Rabani mengusap wajahnya dengan kasar. Sebagai tuan rumah dia sangat menyesalkan atas kejadian ini. Dia langsung meminta maaf kepada Estini, demikian juga dengan keluarga Subuh yang langsung meminta maaf dan pamit pulang meski acara belum sepenuhnya selesai.
Bahkan Rabani belum sempat menawarkan untuk menyantap hidangan yang telah dia siapkan. Semuanya larut dalam kesal dan pikirannya sendiri-sendiri.
Subuh meminta izin Rabani untuk pamit pada Asmara, tetapi gadis itu tidak bersedia keluar kamar. Sehingga Rabani mengiring Subuh untuk bicara di depan kamar Asmara yang tertutup rapat.
"Mara, aku minta maaf atas kejadian ini. Atas sikap Papa yang pastinya sangat menyakiti hatimu, tapi aku sudah sepakat dengan Mama untuk tetap pada keputusanku. Kita akan menikah, Mara," kata Subuh.
Beberapa detik berlalu, tidak ada suara yang terdengar. Asmara masih diam dalam rasa kecewanya.
"Aku akan kembali lagi, tapi sekarang aku antar Mama dan yang lainnya pulang ke Serah dulu."
Lagi-lagi tidak ada jawaban dari dalam kamar.
Rabani yang terlihat menahan amarah pun hanya bisa menenangkan Subuh dengan usapan di punggung laki-laki itu.
"Innallaha ma'ashobirin," kata Rabani kemudian menganggukkan kepalanya.
Sebaiknya Subuh meninggalkan rumah Rabani dan menata kembali hatinya. Di depan dia hanya melihat Estini dan beberapa paman dan bibinya. Sepertinya yang lain telah mengamankan dan mengajak Gunawan pergi dari rumah Rabani karena Subuh sudah tidak lagi melihat keberadaan papanya.
Aku tidak bisa memilih siapa yang telah menjadi orang tuaku, Mara. Tapi aku bisa memilih dan menentukan siapa yang nanti akan menjadi separuh napas dalam jiwaku. Itu adalah kamu dan hanya kamu.ф
25 Ramadan 1444H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top