Chapter 22

🍬Semata Karenamu.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Wajah penuh sesal, perasaan kecewa serta ketakutan akan arti sebuah kehilangan tampak sekali jelas di wajah Subuh. Hari yang seharusnya menjadi catatan dalam sejarah hidupnya melamar Asmara kini terasa hampa karena dia hanya datang sendiri tanpa didampingi keluarga. Padahal semuanya telah dipersiapkan untuk awal hari bahagia mereka.

Lagi-lagi Rabani yang akhirnya duduk sebagai penengah antara mereka. Meskipun hanya mendengar tanpa berniat untuk mengintervensi percakapan mereka.

"Mengapa tidak pernah berkata jujur, Buh?" tanya Asmara setelah Subuh duduk dan menyampaikan tujuannya datang ke rumah kepada Rabani.

"Aku tidak pernah berbohong kepadamu, Mara."

"Kamu bilang papamu meninggal waktu aku tanya dimana beliau sekarang—"

"Mar, aku tidak pernah mengatakan Papa meninggal. Kamu yang mengambil kesimpulan seperti itu, Mama juga tidak mengiyakan ketika kamu bertanya."

"Jadi semua salahku?" tanya Asmara dengan nada sedikit tinggi.

"Tidak ada yang menyalahkanmu," jawab Subuh dengan tone yang sama seperti sebelumnya.

"Sejak kapan kamu tahu semua ini, Buh?" selidik Asmara.

"Sejak kejadian itu yang akhirnya membuatku ingin mengenalmu lebih jauh sampai aku harus pindah sekolah."

Jawaban jujur dari Subuh yang membuat Asmara semakin kecewa pada dirinya sendiri. Mengapa dia terlalu apatis dengan keadaan sampai-sampai tidak bisa mengerti kala itu ayahnya terluka hati dan menahannya seorang diri.

"Maaf kalau dulu aku beranggapan kamu juga wanita yang sama seperti mamamu. Itu sebabnya, meski sudah kelas 3 SMA aku memutuskan untuk pindah sekolah. Karena aku ingin mengenalmu dari dekat," jelas Subuh.

"Untuk apa?" Asmara menatap Subuh dengan pandangan sinis.

"Untuk membalas semua sakit hati Mama karena ulah mamamu. Untuk menebus semua air mata Mama yang telah jatuh karena perbuatan mamamu yang dengan terang-terangan menjadi duri dalam daging di keluargaku."

Subuh menatap Asmara dengan rasa bersalahnya. Kala itu dia sama sekali tidak tahu kalau wanita itu tidak pernah mengerti permasalahan yang menimpa orang tua mereka.

"Maaf, Pak Bani. Jiwa muda saya bergejolak kala itu. Saya hanya berpikir untuk menyelamatkan hati Mama tanpa tahu bagaimana perasaan Asmara dan Pak Bani kala itu."

"Jahat kamu, Buh!" bentak Asmara.

Seketika Asmara berdiri dan berniat untuk meninggalkan Subuh bicara dengan ayahnya. Baginya semua sudah jelas. Tujuan Subuh mendekatinya memang tidak baik. Namun, dia begitu sempurna membalut sandiwaranya hingga semua mata terkecoh dan menganggapnya sebagai orang baik bak malaikat yang datang sebagai penolong. Kenyataan yang terlalu menyakitkan untuk Asmara.

"Mara, kamu mau ke mana? " Rabani menerik lengan Asmara untuk tetap duduk di tempatnya.

"Ayah sudah bilang, kabur tidak akan menyelesaikan masalah," tuturnya.

"Masalah apalagi yang harus diselesaikan, Ayah? Semua sudah jelas tepat seperti apa yang Mara pikirkan selama ini." Asmara memalingkan muka. Dia sudah merasa jijik menatap laki-laki yang telah membuat hatinya bergetar beberapa minggu yang lalu.

"Subuh telah mengakui dan kita tidak perlu lagi mendengarkan sisa pengakuannya. Batalkan saja lamaran ini Ayah, Mara tidak mungkin menyerahkan diri pada laki-laki yang jelas-jelas ingin membalas semua sakit hati yang telah Mama lakukan pada keluarganya. Padahal Ayah tahu Mara tidak seperti Mama, bahkan Mara juga baru saja tahu apa yang telah terjadi sepuluh tahun yang lalu," lanjutnya.

"Mara, dengarkan dulu lanjutannya. Justru karena itu akhirnya aku tahu, aku menyadari bahwa apa yang aku lakukan adalah kesalahan. Rubina, ya adik sepupuku itu sebagai telik sandi yang selalu mengabariku tentang kamu selama aku berada di Yaman."

Mata Asmara memicing sempurna. Dia tidak percaya Subuh sampai setega itu memata-matainya.

"Ayah dengar sendiri, kan?" kata Asmara geram.

"Justru karena aku meminta Rubina itu yang membuat hatiku terbuka bahwa kamu bukanlah orang yang sama seperti mamamu, Mara. Kamu mencintai orang tuamu dengan caramu dan lebih daripada itu aku tahu dari Paklik Rustam bahwa Pak Bani tidak pernah menceritakan apa pun tentang asmara papaku dan mamamu." Hentakan emosi yang akhirnya pecah ke permukaan.

Nada bicara Subuh yang naik setengah oktaf membuat Asmara sedikit terhentak. Belum pernah dia mendengar suara Subuh sekeras itu.

"Aku tidak memaksa untukmu percaya pada ucapanku. Tapi apa yang aku katakan semuanya adalah kejujuran." Air muka Subuh kemudia berganti sendu. Satu titik air matanya mulai jatuh.

"Demi Allah, sejak kejadian sebelas tahun yang lalu ketika Mama mengetahui apa yang dilakukan Papa di belakangnya, aku tahu dan mendengar sendiri pertengkaran mereka. Sejak saat itulah aku mulai mencari tahu dan yang paling menyakitkan adalah saat tahu Mama berusaha mempertahankan pernikahan mereka tetapi Papa lebih memilih mamamu hingga akhirnya mereka resmi bercerai sepuluh tahun yang lalu." Subuh menundukkan kepalanya. Menyeka bulir air mata yang jatuh semakin deras membasahi pipinya.

"Lalu untuk apa kamu melamarku sekarang? Pasti berniat untuk membalaskan dendamu yang tertunda, kan?" Asmara mendengkus kesal.

"Asal kamu tahu, Buh, meski aku anaknya Mama, tapi aku tidak pernah membenarkan apa yang dilakukannya dulu. Dan aku tidak pernah bercita-cita untuk menumpahkan sakit hati Ayah kepada keluarga laki-laki yang telah membawa pergi Mama dari pelukan ayahku."

Rabani berusaha menenangkan amarah Asmara dengan mengusap lengan dan pundak putrinya.

"Aku menyayangimu, Mara. Aku mencintaimu, dan rasa itu muncul seiring berjalannya waktu. Benci yang aku pelihara itu benar-benar telah berubah menjadi rasa cinta setelah aku tahu bahwa kita berdua sama-sama korban keserakahan mereka." Subuh kembali menatap Asmara.

"Aku belum pernah bertemu dengan Papa lagi sejak perceraiannya dengan Mama. Karena aku tidak ingin bertemu dengan pecundang yang memilih menjatuhkan air mata istrinya demi wanita lain dan membuat satu keluarga tersakiti, yaitu kamu dan ayahmu."

Subuh menautkan jemarinya kembali.

"Jika kamu dan ayahmu masih percaya dan memberikan kesempatan untuk kita, aku akan tetap mengajak Mama dan keluargaku kemari sesuai janjiku. Potong kemaluanku kalau sampai nanti aku akan menyakitimu seperti halnya yang pernah dilakukan papaku kepada Mama. Aku bersumpah atas nama Allah untuk itu." Subuh mengakhirkan penjelasannya.

Pasrah yang akhirnya membawa Subuh untuk tidak bersikap egois, karena sejatinya cinta itu bisa saling memberi dan menerima, kalaupun tidak bisa menerima setidaknya dia telah memberikan yang terbaik tepat pada tempatnya.

"Ayah—?" Asmara meminta pendapat ayahnya sesaat sebelum Subuh mengucapkan kata pamit.

Tanpa menunggu bermusyawarah dengan Asmara, Rabani mengambil sikap.

"Ajaklah keluarga Mas Azlul kemari. Masa lalu itu biarlah menjadi masa lalu." Rabani tersenyum menatap calon menantunya.

"Bukan kalian yang harus menerima balasan atas perbuatan mereka. Biarkanlah mereka sendiri yang akan mendapatkan peringatan dari Allah atas apa yang dulu pernah mereka lakukan."

"Tapi Ayah—?" kata Asmara.

"Ayah hanya kaget saja mendapati kenyataan ini, tapi benar kata Mas Azlul. Kalian sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Ambillah contoh dari kami yang baik dan tinggalkan yang buruk di kehidupan kalian nantinya."

Rabani kemudian menarik Asmara ke dalam pelukannya setelah menciumnya dengan penuh sayang. Seorang ayah yang berusaha mengikhlaskan masa lalunya untuk kebahagiaan putrinya.

Subuh pun terharu melihat sikap bijaksana Rabani, dalam hati dia berjanji tidak akan pernah menyalahgunakan kepercayaan calon mertuanya ini dengan menyakiti perasaan Asmara. Subuh akan mencintai putrinya dengan sepenuh hati dan semampu yang dia bisa lakukan untuk membahagiakan Asmara.

"Terima kasih, Pak Bani. Masih berkenan mempercayai ucapan saya. InsyaAllah nanti saya kabari kapan Mama dan keluarga bisa datang ke sini."

Subuh pulang dengan hati bahagia meskipun masih ada sedikit ganjalan di hatinya tentang keraguan Asmara. Bagaimana jika besok Asmara justru menolak lamarannya di hadapan orang tua dan keluarganya? Padahal kemarin Rustam dan Estini sudah menjelaskan meski Asmara anak dari wanita yang telah merusak keluarga Subuh tapi dia berbeda dari mamanya.

"Astagfirullah," Subuh bergumam lirih. Dia lantas menghalau pikiran kotor yang tiba-tiba singgah.

"Sebaiknya aku langsung mengabari Mama dan memintanya mereschedule jadwal pertemuan dengan keluarga Mara."

Subuh memainkan tangannya untuk segera menghubungi Estini dan mengatakan bahwa keluarga Asmara telah siap menerima kedatangan mereka.

Berdoa dalam hati, semoga kerikil-kerikil yang menjadi penghalang langkah mereka bisa diatasi karena sesungguhnya Subuh telah meletakkan niatnya untuk menikah karena dia menginginkan Asmara dalam hidupnya, bukan semata karena rasa kesalnya ingin membalas semua sakit hati mamanya terdahulu.ф

23 Ramadan 1444H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top