Chapter 20

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Rumah tinggal Asmara selamat dari amukan api. Pagi ini seluruh warga bergotong royong untuk membantu Andrea dan keluarganya membersihkan sisa kebakaran kemarin. Bersyukur tidak sampai merembet ke seluruh rumah. Hanya dapur yang terlihat paling parah karena asal muasal api dari sana. Andrea lupa mematikan kompor saat meninggalkan rumah.

Dan saat semua orang sedang sibuk membereskan puing-puing kebakaran itu, rumah Rabani kedatangan tamu tak diundang. Asmara yang berada di rumah sendiri hanya mematung saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu.

"Mama boleh masuk, Mara?" tanya Nurita.

Asmara harus meminta izin ayahnya, tetapi Nurita justru memilih menerobos masuk lalu mendekap Asmara dengan erat. Luapan rindu seorang ibu yang telah bertahun-tahun tidak bertemu.

"Mama sangat merindukanmu," bisik Nurita.

Asmara berusaha melepaskan diri tapi Nurita masih memeluknya sampai membuat putrinya tidak nyaman. Entahlah, sejak tahu apa yang menjadi alasan mamanya meninggalkan sang ayah, Asmara seperti kehilangan rasa percaya, mungkin juga rasa hormat. Namun, biar bagaimanapun seperti yang telah dipesankan Rabani kepadanya wanita yang kini tengah memeluknya ini adalah orang yang telah melahirkannya ke dunia.

"Ma, Mara tidak bisa bernapas," Asmara menggeliat dan setelah mendengar kalimat putrinya barulah Nurita melepaskan pelukannya.

"Untuk apa Mama datang kemari?" Asmara menatap mamanya dengan tajam.

"Mara, apa kamu tidak kangen dengan Mama?" Nurita sedikit terkejut dengan reaksi putrinya.

"Ma ... kalau Mama kembali hanya untuk menyakiti hati Ayah, sebaiknya—"

"Mengapa kamu bicara seperti itu kepada mamamu? Aku ini yang melahirkanmu ke dunia, kamu jangan pernah lupa itu." Nurita mendesah kecewa.

"Pasti ayahmu telah banyak cerita hoaks tentang Mama padamu," lanjutnya.

Asmara tersenyum kecut. Dia menggeleng perlahan. Hidup sepuluh tahun tanpa mama membuatnya bisa membedakan bagaimana cara keduanya mendidik dan mengajari anaknya. Rabani selalu mencontohkan sebelum memberitahukan pada Asmara tanpa perlu menjelekkan orang lain, tapi berbeda dengan Nurita. Dua kali Asmara bertemu dengan mamanya, sebanyak itu pula sang mama bersuuzan dengan mantan suaminya.

"Mama kalau hanya ingin menyalahkan Ayah, lebih baik tidak usah datang kemari. Berburuk sangka seperti yang Mama lakukan dari kemarin ini telah melukai banyak pihak. Dan Mara sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak." Asmara bergerak meninggalkan Nurita tetapi sang ibu lebih dulu mencekal lengannya hingga dia tidak bisa meninggalkan Nurita.

Nurita menatap putrinya dengan penuh harapan. Ada hal yang harus dijelaskan kepada Asmara supaya dia tahu bahwa berita yang selama ini beredar adalah tidak benar.

"Mara, Mama memang pernah menuntut diberikan kemewahan oleh ayahmu karena itu adalah janji yang dulu diberikan ayahmu ketika meminta Mama pada Aki dulu." Nurita kembali menguak luka lamanya.

Asmara masih bergeming tidak ingin menanggapi apa yang ingin disampaikan oleh mamanya.

"Karena Mama butuh sesuatu yang harus Mama penuhi dan uang yang diberikan ayahmu kurang, akhirnya Mama memutuskan untuk bekerja di perusahaan Konco Lawas Group. Di sana Mama dipercaya sebagai kepala keuangan." Nurita menjeda kalimatnya. Dia berusaha membuat Asmara percaya.

"Waktu itu Aki sedang sakit dan butuh perawatan intensif di rumah sakit yang membutuhkan biaya yang sangat besar. Mama tahu, Sayang, sebagai PNS gaji ayahmu tidak akan cukup untuk biaya itu. Tapi mau bagaimana lagi?" Nurita menghela napasnya.

"Sampai Mama harus pinjam uang di kantor dalam jumlah yang cukup besar." Nurita menghapus bulir air mata yang mengalir di pipinya.

Asmara menatap tak percaya, rasanya jika hanya sebuah kesalahpahaman belaka tidak mungkin orang tuanya sampai bercerai. Ayahnya bukanlah tipe orang yang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Pasti ada yang salah dari cerita mamanya.

"Sampai akhirnya Mama bertemu dengan Gunawan Wibisono. Mantan suami dari calon mama tirimu."

"Mama tiri?" Asmara bergumam lirih tidak mengerti dengan maksud mamanya.

"Gunawan itu yang merayu Mama karena dia merasa bosan dengan kehidupannya. Bekerja seperti robot yang tidak ada harganya di mata sang istri. Dia akan memberikan pinjaman lunak kepada Mama asal Mama bersedia untuk membuat laporan keuangan yang tidak sesuai fakta di lapangan. Gunawan meminta mark up laporan seperti yang dia inginkan," jelas Nurita.

Kebungkaman Asmara membuat Nurita seperti mendapatkan angin untuk memberikan penjelasan yang lebih banyak lagi. Dia berusaha mengaduk emosi dan dan menarik simpati Asmara untuk memandangnya berbeda.

"Dia tidak baik untuk ayahmu, Mara. Percayalah pada Mama. Mama tahu banyak cerita tentang Estini. Dia dulu yang pertama menuduh Mama berselingkuh dengan mantan suaminya. Padahal Mama tidak pernah melakukan itu."

"Maksud Mama menceritakan semua ini pada Mara untuk apa?" Asmara memperlihatkan wajah tidak sukanya atas cerita yang terlalu berbelit-belit.

"Langit tidak perlu menjelaskan jika dirinya tinggi, Ma. Dan bumi tidak perlu menjelaskan bahwa dia sangat berfungsi untuk kehidupan manusia. Allah menciptakan semesta sesuai dengan ketetapan-Nya." Asmara memalingkan wajahnya dari tatapan Nurita.

"Kamu tidak mau percaya dengan Mama?" tanya Nurita.

"Untuk apa Mama menjelaskannya sekarang? Bukankah Ayah yang lebih membutuhkan penjelasan ini dibandingkan dengan Mara?"

"Mama sudah menjelaskannya kepada ayahmu, tapi dia tidak pernah percaya. Dan Mama yakin jika ayahmu bercerita pasti dia akan menyalahkan Mama." Nurita berpindah duduk di samping Asmara.

"Sayangnya Ayah bukan laki-laki seperti yang Mama tuduh. Ayah bahkan tidak pernah bercerita apa pun tentang perpisahan kalian." Asmara menatap Nurita tajam.

Dia tidak ingin membenci mamanya, tapi mengapa sikap mamanya yang menyudutkan ayahnya justru membuat Asmara sebal.

"Asal Mama tahu, Ayah mendidik Mara menjadi anak yang baik, hemat, dan mempersiapkan masa depan Mara dengan ilmu yang bisa mara pakai sebagai bekal hidup nanti."

"Nah itu, sikap hemat ayahmu yang membuat Mama tidak bisa bergerak. Kamu tahu kan, Mara? Hidup itu butuh uang dan itu tidak akan cukup jika kita memberikan standar seperti ayahmu. Memang dasarnya ayahmu itu pelit!"

Asmara menggeleng pelan. Dulu dia bahkan pernah lebih dari pada mamanya mengatakan ayahnya manusia paling pelit di alam semesta. Namun, semuanya keliru. Hemat itu berbeda arti dengan pelit. Saat waktunya membutuhkan Rabani tidak sayang mengeluarkan uang. Bahkan setelah Asmara bisa menerimanya, barulah dia tahu apa yang dimaksudkan ayahnya.

"Mama keliru, Ayah tidak seburuk yang Mama pikir." Asmara masih membela ayahnya.

Butuh waktu, setidaknya seperti itulah yang Nurita pikirkan. Dia harus bisa membangun kembali bonding yang selama ini terpisahkan karena keadaan. Rabani tidak pernah mengizinkannya bertemu dengan Asmara dan bodohnya Nurita menyetujui. Bukankah dengan demikian dia justru semakin menguatkan kalau dia adalah pihak yang bersalah?

Nurita menggeleng perlahan mengingat kebodohannya. Rumah tangganya hancur, dia tidak memiliki hak asuh anak, dan yang jelas kini dia malu bertemu dengan orang-orang yang selalu menyudutkannya sebagai perebut suami orang. Termasuk untuk bertemu dengan ibunya sendiri yang jauh lebih percaya pada cerita Rabani daripada ceritanya.

"Mama hanya tidak ingin kamu memiliki mama tiri seperti Estini, Mara."

"Mama cemburu kalau Ayah menikah lagi?" Asmara justru lebih tertarik menggoda mamanya.

"Bukan, bukan seperti itu. Mama hanya tidak ingin kamu merasakan seperti apa yang Mama rasakan."

"Merasakan apa? Mara tidak ingin berbuat seperti Mama yang memilih meninggalkan Ayah dan Mara karena laki-laki lain dan uang."

"Asmara, dosa besar kamu bicara seperti itu kepada Mama."

"Mama masih ingat dengan dosa? Dulu waktu Mama berbuat salah apakah Mama sedang amnesia?" tanya Asmara dengan sengit.

"Mara, jaga bicaramu!"

Jika tidak malu kepada tetangga, ingin rasanya Mara berteriak supaya ayahnya segera pulang dan meminta mamanya pergi dari rumah. Kedatangan Nurita bukannya membuat hatinya tenang tapi justru semakin merasa malu pada keluarga Subuh.

"Maaf, sebaiknya Mama pulang. Mara tidak ingin nanti Mama dan Ayah bertengkar di sini dan membuat bahan ghibahan baru untuk tetangga."

"Mara, kamu harus mendengarkan kata Mama. Estini itu terlalu sadis sebagai manusia, dia tidak tanggung-tanggung jika ingin mematikan musuhnya. Tidak berperikemanusiaan. Beritahu ayahmu, kalau ingin menikah lagi. Jangan sama dia, daripada ayahmu nanti dijadikan robot yang kedua oleh wanita itu." Nurita menatap putrinya penuh harap.

"Apalagi dia memiliki anak laki-laki. Kamu pasti tidak nyaman sebagai saudara tirinya nanti."

Asmara tertawa mendengar penuturan mamanya. Saudara tiri yang Nurita maksudkan itu justru laki-laki yang membuat Asmara merasa nyaman berada di dekatnya. Wanita yang mungkin sangat dibenci ibunya sama sekali tidak pernah berkata jelek tentang orang lain.

"Mama memberanikan diri datang kemari untuk menyelamatkan kalian, Mara. Kamu jangan salah sangka dulu. Mama hanya—" Belum sampai Nurita menyelesaikan kalimatnya, Rabani tiba di rumah dan menatapnya tidak percaya.

Melihat situasi yang mungkin tidak akan lagi kondusif mengingat latar belakang perpisahan mereka, Asmara segera mendekati ayahnya dan sekali lagi meminta mamanya untuk meninggalkan rumah segera.

"Ingat pesan Mama, Mara. Wanita itu tidak baik untukmu," kata Nurita sebelum pergi.

Saat kaki Nurita melangkah di pintu rumah Rabani, bibir Asmara bergetar untuk memilih berterus terang.

"Bukan Ayah yang akan menikahi Mama Esti, Ma. Tapi Mara yang akan dinikahi oleh anaknya."

Entah apa yang terjadi setelah dengan Nurita dan Rabani, yang jelas Asmara memilih untuk masuk ke kamarnya. Bibirnya mendesah perlahan, sepertinya otaknya mulai terkontaminasi ucapan mamanya. Jika memang benar mereka tidak menyukai perangai mamanya, mengapa Estini merestui Subuh melamarnya?

Apakah akan ada cerita udang dibalik batu setelah ini? Asmara menutup mukanya dengan bantal. Rasanya tidak mungkin jika melihat ketulusan Subuh selama ini membantunya. Mamanya juga tidak menunjukkan kebencian itu di depan Asmara. Jika kemarin mata Asmara menyaksikan mereka beradu mulut, itu adalah hal yang wajar, spontanitas meluapkan apa yang ada di dalam hatinya.

Berbagai pertanyaan kini silih berganti menggelayung dalam pikirannya. Hingga Rabani datang menemuinya, Asmara masih berada dalam lamunan permainan pikirannya sendiri.

"Anggap saja ini ujian Allah untuk orang yang akan menyempurnakan ibadahnya." Rabani menepuk pundak Asmara dengan lembut.

"Pantas saja dari kemarin Ayah seperti pernah kenal dengan Bu Esti tapi di mana Ayah lupa, ternyata—" Rabani beristigfar lalu mengusap mukanya sebelum meninggalkan Asmara sendiri dalam kamarnya.

"Ayah ...." panggil Asmara sebelum Rabani menghilang di balik pintu.

"Maafin Mara jika harus membuat luka lama Ayah terbuka kembali."

Asmara memilih untuk berjalan mendekati ayahnya lalu memeluk laki-laki itu dengan penuh sayang.

"Mara harus apa, Ayah?"

"Salatlah, dan mintalah petunjuk kepada Allah. Janganlah takut, dan berkata pada Allah bahwa kita memiliki masalah besar. Tapi katakanlah kepada masalah itu bahwa kita memiliki Allah yang maha besar," bisik Rabani di dekat telinga Asmara.

Jika orang sebaik Rabani dianggap keliru, apakah bumi ini sudah salah berputar atas porosnya? Asmara menutup matanya dan menguatkan pondasi imannya. Tidak ada yang lebih baik selain percaya bahwa Allah adalah pemberi jalan terbaik untuk setiap hamba-Nya.ф

21 Ramadan 1444H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top