Chapter 18
🍬Menang itu ketika puasa wajib kita kurup, tarawih dan salat malam tidak terputus, zakat fitrah terbayarkan serta lailatul qodr-nya sempurna.🍬
-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara
Kemenangan seluruh mukmin di dunia setelah bulan Ramadan. Mungkin bagi sebagian besar orang berpendapat bahwa Idul Fitri itu adalah hari kemenangan karena telah terbebas dari puasa wajib selama sebulan penuh. Namun, bagi sebagian orang justru ada yang merasa sangat sedih ketika harus berpisah dengan bulan Ramadan.
Ramadan yang dibaratkan sebagai ladang amalan terbesar selama setahun harus berakhir. Itu artinya semua harus menunggu 11 bulan lagi untuk bertemu Ramadan kembali.
Meski merasa sedih, tapi ada kebahagiaan baru yang kini sedang meliputi hati Asmara. Hari raya ini, dia diundang kembali untuk datang ke rumah mama Subuh. Tentu saja Asmara tidak akan datang sendiri. Rubina dan Subuh akan tetap membersamainya bertemu dengan sang calon ibu mertua.
"Rencananya memang Mama ingin berkunjung kemari hari raya ketujuh Pak Bani. Namun sebelum itu, Mama ingin Asmara ke rumah. Nanti saya akan mengajak Rubina serta bersama kami." Subuh meminta izin Rabani sehari menjelang Idul Fitri tiba.
Sebelum Subuh datang, sebenarnya Estini lebih dulu menelepon Asmara dan Rabani sempat bicara dengannya. Saat itulah mama Subuh itu mengatakan mengapa alasannya dia baru bisa datang ke rumah Rabani hari raya ketujuh dan sekaligus Estini meminta izin Rabani untuk membolehkan Asmara berkunjung kembali ke rumahnya ketika hari raya tiba. Estini ingin bisa merasakan senyum Subuh benar-benar kembali di hari raya. Karena dunia putranya kini tidak pernah lepas dari Asmara.
Rabani juga sangat mengerti kesibukan Estini, dia pasti menerima banyak tamu dari berbagai kolega. Sehingga tidak mungkin meninggalkan rumah saat hari raya tiba.
"Mara bersyukur sama Allah, Yah. Sedikit ketakutan Mara akhirnya terbantahkan dengan sikap luar biasa Tante Esti," puji Asmara ketika takbir Idul Fitri berkumandang.
Rabani mengusap kepala putrinya. Tidak pernah terpikir dalam benaknya untuk melepas putrinya kepada laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya secepat ini. Semuanya masih terasa seperti mimpi.
"Jaga diri baik-baik. Meski Mas Azlul sudah melamarmu tapi tetap saja kalian masih belum halal untuk bersama. Sebagai wanita kamu harus bisa menjaga marwahmu dengan baik sampai kapan pun, Mara. Itu saja pesan Ayah. Nanti di akhirat Ayah ingin bertemu denganmu lagi sebagai anak dan juga istri yang saleha untuk suamimu." Rabani menahan haru dan air mata yang sudah ada di pelupuk matanya.
"Ayah—"
Tak perlu menunggu waktu lama untuk Asmara menumpahkan air matanya. Harta paling berharga yang dia miliki selama ini, kasih sayang dari ayahnya yang tanpa batas.
"Maafin Mara, Ayah. Mara masih belum bisa menjadi anak yang baik untuk Ayah." Asmara bersimpuh di depan ayahnya dan memeluk tubuh Rabani dengan erat.
"Jangan pernah sebut Mara sebagai anak yang durhaka, Ayah. Mara mulai belajar menjadi anak yang baik. Maafin kesalahan Mara selama ini." Asmara semakin erat memeluk ayahnya.
Ramadan kali ini merupakan titik balik Asmara. Di mana Allah menunjukkan kuasanya tanpa perlu penjelasan yang banyak dari mulut Rabani. Di Ramadan ini pula Allah menghadiahkan kepadanya calon suami yang insyaAllah bisa selalu mengingatkannya untuk menjadi orang yang baik.
"Perempuan terlebih seorang istri itu sudah seharusnya nurut apa kata suami. Namun, bukan lantas suami sebagai orang laki-laki mentang-mentang. Istri juga wajib mengingatkan kalau suaminya salah." Rabani menambahkan wejangannya.
"Ayah yakin, Mas Azlul telah paham akan hal itu. Dia juga pasti bisa membedakan apa itu nafkah dan uang belanja." Tatapan Rabani menerawang jauh.
"Ayah—" Asmara mengusap air matanya. Sepertinya dia baru mendengar dua istilah yang dianggapnya sama tapi ternyata berbeda.
"Apa bedanya nafkah dengan uang belanja, Yah?" tanya Asmara.
"Ya jelas beda, nafkah itu uang jajan istri. Sedangkan uang belanja ya uang yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari dalam rumah tangga itu," jelas Rabani.
"Jadi jika nanti kamu sudah memperoleh dua hakmu tapi tetap merasa kurang, kembalilah berkaca untuk mengembalikan rasa syukurmu, Mara. Hidup itu bukan uang yang menjadi bahasan utama meski sejatinya untuk hidup kita juga butuh uang, tapi kesederhanaan dalam hidup itu jauh lebih membuat kita tenang." Rabani tersenyum menatap wajah putrinya yang masih mencerna kalimat yang baru saja dia ucapkan.
"Nanti kalau belum jelas, minta dijelaskan lebih dalam lagi pada suamimu."
"Ayah, ih—" Mendengar kata suami masih terasa asing di telinga Asmara. Dia mendadak malu sendiri di depan laki-laki yang telah merawat dan membesarkannya.
фф
Hari pertama Idul Fitri, seperti biasa Asmara pergi ke rumah orang tua mamanya, satu-satunya nenek yang dia miliki karena kedua orang tua ayahnya sudah lama tiada.
"Ayah ikut, kan, seperti lebaran biasanya ke rumah Nini?" tanya Asmara.
Rabani pun mengangguk. Tidak ada yang berubah selama sepuluh tahun ini. Rabani tetap menganggap Nini sebagai orang tuanya meski dia telah berpisah dengan anaknya. Selama itu pula Nini tidak pernah lagi bertemu dengan Nurita sehingga kedatangan Rabani dan Asmara merupakan suplemen penambah kesehatannya.
"Ibu tinggal bersama kami saja, Bani akan merawat Ibu walau telah pisah dengan Nur. Selamanya Bani akan tetap menjadi anak Ibu," kata Rabani sambil memijit kaki Nini yang selonjor di ranjang tidurnya.
"Ibu tetap senang tinggal di rumah ini. Ada Narni yang menjaga Ibu di sini."
"Kan kasihan Dik Narni, Bu. Dia juga memiliki suami dan keluarga yang membutuhkannya di rumah. Kalau di rumah, ada Bani yang akan menemani Ibu nanti setelah selesai mengajar di sekolah. Lagi pula sebentar lagi Bani juga tinggal sendiri."
"Lho memangnya Mara akan ke mana? Apa dia harus bekerja di luar kota?" tanya Nini.
Asmara memeluk neneknya dan membisikkan sesuatu yang membuat wanita tua itu tersenyum dan membulatkan mata.
"Mengapa tidak diajak kemari calon suamimu, supaya Nini bisa berkenalan dengannya."
"Iya nanti kalau sudah pasti tanggalnya, Ni. Doakan semuanya berjalan dengan lancar."
Di tempat yang berbeda, euforia Idul Fitri sangat terasa di keluarga Subuh. Saudara-saudara Estini berkumpul di rumah besarnya. Jadwal open house Idul Fitri keluarga besar Estini kali ini memang di rumahnya. Sehingga seluruh keluarga tanpa terkecuali berkumpul di sana.
"Wah, harusnya calon mantu diundang juga dong, Mbak. Biar kami bisa kenalan. Masa hanya Mas Rustam dan Mbak Hasna saja yang sudah kenal."
Topik percakapan tidak jauh dari rencana lamaran dan pernikahan Subuh dengan Asmara setelah Estini menyampaikan kabar gembira itu kepada saudara-saudaranya.
"Eit, tapi tunggu dulu. Calon Alul itu satu desa dengan Mas Rustam? Jangan sampai anak dari wanita itu ya, Mbak." Adik bungsu Estini langsung memperlihatkan wajah tidak suka.
"Benar, Mbak. Kami tidak ingin Mbak Esti terluka setiap melihat dia. Kalau tidak salah wanita itu meninggalkan suami dan satu anak perempuan seusia dengan Alul, kan?" ujar yang lain.
Tiba-tiba Rustam duduk di antara saudaranya.
"Saya yang menjamin, kalau calonnya Alul dididik dengan baik oleh ayahnya. Dia pula gadis yang baik meski terkadang bicaranya sedikit frontal," ucapnya.
"Jadi, benar anak wanita itu, Mas?" tanya Esrini—adik bungsu Estini.
"Rasanya tidak patut kalau anak yang tidak tahu menahu disangkut-pautkan dengan kesalahan ibunya di masa lalu."
"Mbak, tapi menikah itu harus memilih bibit-bebet-bobot, Mbak Esti ini orang terpandang lho, jangan sampai kesalahan yang lalu justru semakin menjadi duri dalam daging di keluarga Mbak Esti. Terlebih untuk Alul yang masih belum memiliki pengalaman."
Estini terlihat mendesah perlahan. Jika harus berkata jujur, hatinya juga masih sangat kecewa dengan apa yang pernah dilakukan oleh wanita yang dimaksud saudaranya adalah mama Asmara.
"Mbak, dia yang dulu mengambil Mas Gun dari Mbak Esti. Sekarang Mbak Esti merelakan Alul menikah dengan anaknya? Yang benar saja, Mbak. Buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jika mamanya saja seperti itu, anaknya juga tidak akan jauh dari itu."
"Rini, tolong jaga bicaramu. Kita tidak berhak menghakimi Asmara dengan apa yang telah dilakukan mamanya dulu." Estini mengusap pundak adiknya perlahan.
"Tapi, Mbak—"
Esti terlihat menggelengkan kepalanya.
"Kalau kamu berkata demikian, sama saja kamu mengatakan Alul juga akan mengikuti sikap papanya. Tidak, Rin. Aku tidak pernah rela sampai kapan pun."
"Mbak tapi ini tentang mama, ibu, bukan ayahnya. Ibunya demikian—"
"Kamu jangan salah Rini, dari banyak penelitian menjelaskan bahwa sifat anak itu mengikuti sifat ayah dan kecerdasan anak itu menurun dari gen ibu. Jadi kalau harus khawatir, harusnya kita mengkhawatirkan Alul supaya tidak terjerumus seperti yang dulu pernah papanya lakukan," ujar Estini.
Rustam ikut menjadi penengah yang akhirnya mengakhiri perbedaan pendapat di antara mereka sebelum anak-anak mereka ikut berkumpul dan bersenda gurau.
Meski tidak secara jelas mendengarkan, tapi Subuh tahu saudara mamanya keberatan dengan keputusannya untuk menyunting Asmara. Satu-satunya orang yang mendukungnya adalah Rustam.
"Lul, apa tidak ada perempuan yang lain sampai harus membuat luka hati mamamu terbuka lagi?" tanya Esrini.
"Kita tidak pernah bisa menolak takdir, Tante. Seperti halnya Mama yang tidak bisa mempertahankan Papa meski Mama memilih mengalah untuk semuanya kecuali satu, tidak ingin dipoligami," kata Subuh.
Semuanya terdiam mendengar penuturan Subuh.
"Mungkin Mama mempunyai alasan yang berbeda, tapi jujur Alul mengenal Mara sebagai gadis yang baik. Dia memiliki ayah yang luar biasa. Melihat Pak Bani membuat Alul ingin mengulurkan tangan menggapai Mara yang sama-sama menjadi korban hingga akhirnya perasaan sayang dan cinta itu tumbuh." Subuh menjeda kalimatnya.
"InsyaAllah, belajar dari pengalaman akan membuat kami mengerti dan selalu bercermin bahwa apa yang mereka lakukan itu keliru dan kami tidak akan mengulanginya lagi," pungkasnya.
"Rin, kalau sekilas kita lihat Begonia maculata itu seperti kotor karena bercak-bercak kemerahan di atas daunnya. Tapi ternyata di situlah keindahannya. Jangan memandang rata semua begonia. Karena setiap jenis pasti memiliki kekhasan yang membuat mereka tampak menawan di mata."
фф
Seperti yang dijanjikan, Asmara kembali datang ke rumah Estini. Kali ini tidak terlalu formal. Estini juga tidak tampak menyambut di ruang tamu seperti sebelumnya. Subuh justru mengajak Asmara dan Rubina langsung ke belakang rumah. Sepertinya mamanya sedang di taman untuk merawat tanaman.
Benar dugaan Subuh, mamanya sedang bermanja dengan begonia-begonia kesayangannya.
"Asalamualaikum, Tante Esti," sapa Mara.
"Eh, Mara sudah datang. Waalaikumsalam."
Saling bermaafan dan percakapan ringan mengawali pertemuan mereka. Estini juga masih tetap asyik merawat tanaman kesayangannya sebelum mengatakan apa maksudnya mengundang calon menantu ke rumah.
"Tante ternyata mengerti sekali tentang cara merawat begonia ya?" tanya Asmara.
"Kalau kita cinta pasti kita akan mencari tahu apa saja tentang sesuatu yang kita cintai, Mara."
Asmara tersenyum tetapi matanya berpindah fokus kepada laki-laki yang duduk tak jauh dari tempatnya bercakap dengan Estini.
"Alul mencintaimu, Mara. Dari dulu dia suka kepadamu. Titip jaga hati anak Mama selamanya ya?"
Asmara mengangguk dan tersipu malu.
"Sebenarnya hari ini Mama ingin mengajakmu ke suatu tempat." Estini meletakkan peralatan berkebunnya. Dia juga melepas apron dan mencuci tangannya.
"Tante ingin kita pergi ke mana?" tanya Asmara pelan.
"Mau sampai kapan kamu memanggil Mama dengan panggilan Tante?"
"Eh--" Asmara menutup bibirnya lalu mereka tersenyum bersama.
"Mama ingin mengajak Mara ke makam papanya Alul?" tanya Asmara lagi.
Gelengan kepala Esti membuat Asmara mengurungkan niatnya untuk kembali bertanya.
"Tunggu sebentar, Mama ganti baju dulu. Setelah ini kita keluar bersama. Mama sudah janji dengan pemiliknya."
Setengah jam berikutnya, Asmara hampir pingsan menerima kejutan dari Estini. Dia tidak menyangka jika hari itu mereka bertemu dengan wedding organizer yang akan mengurus pesta pernikahannya dengan Subuh. Termasuk mengukur pakaian dan memesan perhiasan seperti yang diinginkan Asmara.
Entah untuk kali ke berapa Subuh melihat air matanya keluar. Asmara tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk mengungkapkan rasa bahagia dan syukurnya. Semua seolah terwakili oleh buliran air mata haru yang terus mengalir di belah pipinya.
"Terima kasih untuk semuanya, Ma. Mara janji untuk selalu membahagiakan Mama dan Alul till jannah." Asmara terguguk di pelukan Estini.
Pelukan hangat seorang ibu yang selama ini dirindukannya.ф
19 Ramadan 1444H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top