Chapter 16
-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara
Belajar mengerti dan mencoba menjelaskan. Mengurai satu demi satu masalah untuk sebuah pandangan yang akhirnya membuat pengertian baru yang jauh lebih sempurna dari beberapa sangkaan atas sesuatu yang terlah terjadi dahulu. Apa yang tampak sempurna di mata tidak selamanya membahagiakan. Setidaknya demikianlah perjuangan Subuh sebelum akhirnya kalimat terakhir diucapkan, menyerah atas takdir.
"Aku tidak akan pernah memaksakan sesuatu atas sesuatu yang memang tidak dikehendaki untuk dilakukan dua belah pihak," kata Subuh.
"Jika aku tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanku, mungkin aku tidak akan mengejar sampai di titik ini," lanjutnya.
Mata Subuh dan Asmara bertemu pada satu titik.
"Bagiku, alasan penolakanmu itu tidak masuk akal." Subuh menundukkan kepalanya.
"Bukankah Allah menciptakan hamba-Nya untuk saling melengkapkan? Sebenarnya harta itu hanyalah ukuran titipan, seberapa mampu kita yang sedang berada di atas memanfaatkan fasilitas lebih dari Allah itu untuk membantu sesama."
Rabani masih diam mendengar uraian Subuh untuk putrinya.
"Tapi perbedaan kita terlalu mencolok mata, Buh," pungkas Asmara. "Biar bagaimanapun timbangan itu harus seimbang."
Subuh menatap Asmara tidak percaya. Jika pernikahan itu adalah bagian daripada ibadah dan sunah nabi, mengapa justru harta dan kekayaan yang dijadikan topik utama dalam rumusan masalah menggenapkan setengah agama ini?
"Itu tidak ada hubungannya, mamaku tidak pernah menilai seseorang dari kacamata yang kamu khawatirkan, Mara," bantah Subuh.
"Mamamu tidak, tapi belum tentu dengan papamu, kan?"
Subuh menatap Asmara tanpa jawaban. Menyinggung nama papanya, rasanya tidak ada yang perlu lagi dibagi Subuh atas kebahagiaan yang kini sedang dipilihnya. Dia tidak perlu meminta persetujuan papanya karena dulu Gunawan juga tidak pernah menghargai perasaannya dan perasaan mamanya ketika memutuskan untuk melakukan sesuatu yang dia anggap membahagiakan hati.
Subuh tersenyum menertawakan dirinya sendiri.
"Kita itu sama, Mara. Kalau kamu tidak punya Mama yang hidup bersama dalam sebuah keluarga, aku pun tidak memiliki Papa. Jadi apa lagi yang kamu anggap tidak seimbang?" kata Subuh yang menyedot perhatian Asmara dan Rabani di waktu yang bersamaan.
"Maksud Mas Azlul bagaimana?" tanya Rabani tanpa menunggu waktu terjeda.
"Sejak sebelas tahun yang lalu, saya hanya hidup berdua dengan Mama. Jadi rasanya sudah tidak asing lagi dengan keadaan itu, karena dunia ini hanya sementara yang kalau sewaktu-waktu Allah ambil apa yang kita miliki itu bukanlah sesungguhnya bukan kita yang kehilangan, tetapi karena Allah telah mengambil milik-Nya yang dititipkan kepada kita." Subuh menatap Rabani dan Asmara bergantian.
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun," ucap Rabani dan Asmara bersamaan.
"Sebentar-sebentar, maaf kalau Ayah menengahi pembicaraan kalian. Tapi apa yang dikatakan oleh Mas Azlul itu benar, Mara. Ayah setuju, kekhawatiran itu mendekatkan kita pada sifat angkuh karena takabur atas ketentuan Allah," kata Rabani.
"Tapi Ayah—"
"Aku tidak akan memaksakan diri untuk sebuah penerimaan, Mara. Tapi sebelum kamu putuskan, aku harus menjawab semua keresahan dari pertanyaan-pertanyaan itu. Aku harap kamu mengerti apa yang aku maksudkan," pungkas Subuh.
Mata Subuh menatap jam yang menggantung di dinding ruang tamu. Sepertinya dia sudah terlalu lama duduk dan banyak bicara di depan Asmara. Meskipun enggan, Subuh tahu etika yang memintanya harus segera pamit mundur.
"Saya pamit dulu, Pak Bani, Terima kasih untuk jawabannya, Mara." Subuh berdiri lalu mengulurkan tangan kepada ayah Asmara.
Sebelum kakinya benar-benar melangkah pergi mata Subuh menatap Asmara, bibirnya bergerak untuk berucap lirih. "InsyaAllah aku dan Mama bukanlah orang seperti yang ada dalam kekhawatiranmu, Mara. Sebagaimana kamu melihat Paklik Rustam dan Bulik Hasna, tidak jauh seperti itulah wujud kakak beliau."
Keterkejutan kembali tampak di wajah Rabani dan Asmara mendengar kalimat yang keluar dari bibir Subuh.
"Paklik Rustam? Apakah itu artinya—?" kata Rabani spontan.
"Paklik Rustam itu adiknya Mama," jelas Subuh.
"MasyaAllah—" desis Rabani.
"Berarti kamu dan Rubina saudara sepupu?" tanya Asmara.
Anggukan kepala Subuh mengakhirnya percakapan mereka. Meski dengan nyeri di hatinya dia berusaha untuk tetap legawa menerima semuanya.
"Asalamualaikum," pamit Subuh.
"Waalaikumsalam," jawab Asmara dan Rabani bersamaan. Namun, tak lama dari itu suara Asmara kembali terdengar.
"Buh, tunggu."
Subuh kembali menengokkan kepala dan membalikkan badannya. Menunggu suara Asmara kembali menyapa perungunya.
"Kembalilah besok pagi, aku akan memberikan jawaban pastinya. Malam ini aku ingin membicarakan semuanya dengan Ayah."
Helaan napas lega terlihat diembuskan Subuh seketika itu. Masih ada harapan, hatinya bersorak. Berharap bahwa takdir baik masih bersedia untuk menyapa mereka dalam kehalalan hidup.
"Aku pamit." Setelah mengucapkan kalimat itu, Subuh menghilang di antara temaramnya lampu malam. Sepertinya dia harus kembali ke masjid karena sepeda motornya masih diparkir di sana sebelum salat tarawih dilaksanakan.
Selanjutnya, Asmara memilih untuk mendatangi kamar ayahnya setelah dia memastikan untuk mengunci seluruh pintu dan rumahnya.
"Ayah, Mara bisa bicara?" kata Mara sambil mengetuk pintu kamar ayahnya.
Rabani muncul dari balik pintu. Senyumnya merekah meski wajahnya terlihat sangat lelah.
"Kamu ingin bicara apa lagi, Mara?" tanya Rabani.
"Mengenai Subuh."
"Bukankah kamu sudah memutuskan. Lalu mengapa besok pagi kamu meminta Subuh untuk datang ke rumah kita lagi? Apa kamu berubah pikiran?" kata Rabani.
"Menurut Ayah, aku harus menjawab apa?"
Rabani tersenyum. Untuk pertama kalinya sang putri bingung dan khawatir berlebihan di waktu yang sama.
"Jawabannya ada di dalam hati kamu, kalau kamu mencintainya mengapa harus menolaknya, Mara? Padahal di belakang kamu mungkin banyak wanita yang antri bisa diperistri oleh Mas Azlul." Rabani mendesah tipis. "Terlepas dari kenyataan bahwa Mas Azlul terlahir dari keluarga kaya."
Asmara menunduk, pikirannya masih kalut begitu pun logikanya juga ikut terkontaminasi kegamangan. Padahal seluruh ruangan di dalam hatinya menginginkan kehadiran Subuh menjadi sesuatu yang bisa untuk dia miliki seutuhnya.
Rabani mengusap lengan Asmara. Biar bagaimanapun putrinya tetap butuh bimbingan untuk memilih sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya.
"Kalau kamu tidak ingin kehilangan sosok suami sebaik Mas Azlul, jangan pernah melepaskan hanya karena insecure dengan keadaan kita. Maaf kalau Ayah belum bisa menjadi orang tua yang bisa melimpahimu dengan banyak hal yang mungkin kamu inginkan di dunia." Rabani menarik Asmara ke dalam pelukannya.
"Tidak ada jaminan untuk kita hidup di dunia, Mara. Ayah pun juga tidak bisa menjamin Mas Azlul itu calon suami yang baik atau tidak untukmu. Tapi Allah tahu, berbaik sangkalah dengan semua petunjuk-Nya."
Asmara kembali menelaah nasihat ayahnya dan bertanya pada hati kecilnya. Malam ini mungkin akan menjadi malam yang sangat panjang bagi Asmara sebelum akhirnya besok dia akan mengatakan iya atau bahkan tidak.
Tidak usah sombong untuk berkata tidak, Mara. Hatimu menginginkan kehadirannya.
фф
Embusan udara pagi membawa langkah kaki Asmara memenuhi ingin untuk memasok oksigen sebanyak-banyaknya. Kembali menikmati pemandangan asmara subuh tanpa berniat ikut menyemarakkan euforia Ramadan di pagi hari ini. Namun, rasa itu menguap setelah matanya melihat pasangan muda yang sedang mendorong stroller sepeda sambil menjelaskan beberapa hal yang menarik pemandangan mereka. lengkungan senyum di bibir Asmara tiba-tiba tercipta.
"Hannah?" ucap Asmara spontan ketika matanya mengenali siapa wanita yang sedang bersama gadis kecil yang duduk di sepedanya.
"Mara?" mata Hannah membulat melihat teman SMA yang sudah lama tidak bertemu.
"Kamu di sini? Kapan balik ke Banyumenik? Bukannya sekarang tinggal di Jakarta ya?" tanya Asmara setelah mengangguk kepada suami teman SMAnya.
"Benar, setelah kami menikah, aku memang mengikuti Mas Irfan ke Jakarta. Bagaimana lagi, Mar, sawahnya ada di sana? Kamu apa kabar?"
"Alhamdulillah baik, ini siapa namanya gadis cantik?" Asmara mengulurkan tangan kepada gadis kecil yang memperhatikan interaksi mereka.
"Heppy, Aunty," jawab Hannah.
Senyuman Hannah dan Asmara menular pada Heppy yang ikut tertawa bersama mereka.
Selanjutnya percakapan mereka kembali ke masa lampau saat keduanya masih di SMA, beberapa kali Irfan pun menimpali dan bertanya kepada Asmara bagaimana perangai istrinya dulu.
"Tahu nggak sih, Yang, dulu kita berdua itu langganan dapat ceramah dari anak baru yang bernama Subuh karena nggak pakai jilbab," kata Hannah tertawa.
"Subuh? Namanya lucu banget, jarang-jarang lho ada yang pakai nama itu," tanggap Irfan.
Tiba-tiba Hannah menatap Asmara kemudian mengernyitkan keningnya.
"Ngomong-ngomong tentang Subuh, kata Bapak dia sekarang tinggal di Banyumenik ya, Mar?"
"Iya, sudah beberapa bulan terakhir ini," jawab Asmara datar.
"Dan dia beneran jadi ustaz sekarang?" Hannah tersenyum.
Tidak ada jawaban yang terlontar dari bibir Asmara. Dia hanya mengangkat kedua bahunya dan mengalihkan topik percakapan mereka. Asmara hanya takut Hannah membaca perubahan di wajahnya ketika mereka terlalu banyak berbicara tentang Subuh.
Sayangnya, malang tak bisa ditolak, mujur tak dapat diraih. Ingin hati Asmara menghindar, justru mata Hannah menangkap kelebatan Subuh yang sedang lari pagi di antara lalu lalang orang-orang yang melintas.
"Nah itu, bukannya Subuh?" kata Hannah.
Belum sampai Asmara menjawab, bibir Hannah sudah terbuka untuk memanggilnya. "Subuh!"
Tidak ada orang yang memanggil nama itu selain teman-teman SMAnya, tetapi Subuh tahu dengan pasti itu bukan suara milik Asmara. Dan ketika dia menolehkan kepalanya, pandangannya seakan tidak percaya. Ada Asmara dan Hannah yang berdiri bersama.
"Hannah, Mara?" kata Subuh kemudian berjalan mendekati keduanya.
"Panjang umur, Buh, kita baru saja ngobrolin kamu," kata Hannah.
Subuh tersipu lalu mengangguk pada Irfan dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Irfan, suaminya Hannah," sapa Irfan.
"Azlul, tapi teman-teman SMA memang sukanya panggil Subuh, Mas Irfan," jawab Subuh.
Mata Subuh kini beralih pada gadis kecil yang berharap ingin disapanya.
"Kalau yang cantik ini pasti, anak kalian ya, Han?" Subuh mengulurkan kedua tangannya. "Ikut Om, yuk?" ajaknya.
Mata Heppy mengerjap, sepertinya dia bersedia ikut Subuh karena kedua kakinya bergerak tak beraturan. Dan dalam hitungan detik, Heppy sudah berpindah dalam gendongan Subuh.
"Wah nggak mau melewatkan kesempatan sepertinya anakku, Buh." Hannah tertawa yang disetujui oleh Irfan. Sementara Asmara hanya tersenyum menyaksikan kemesraan di depan matanya.
"Sudah cocok punya sendiri, Mas Subuh," ledek Irfan.
Semuanya tertawa mendengar ucapan Irfan. Tidak ingin melewatkan kesempatan, Hannah pun ganti meledek Asmara yang diketahuinya juga masih sama belum menikah seperti halnya Subuh.
"Eh, tunggu! Kenapa kalian nggak sama-sama saja sih?" kata Hannah.
Irfan pun mulai menatap keduanya secara bergantian dan setuju dengan pendapat istrinya.
"Beneran, Mara, kalau lebaran tidak perlu mudik seperti kami karena kalian tinggal di daerah yang sama dengan orang tua. Enak deh pokoknya," tambah Hannah.
"Buh, nih ya, biar kita dulu sebal banget sama kamu, tapi aku tahu kok maksud kamu baik. Dan buktinya setelah menyadari aku justru setuju dengan pendapat kamu." Hannah memberikan dua jempolnya dan mengoda Asmara dengan gerakan kedua alis yang sengaja dinaikturunkan.
"InsyaAllah, doakan saja sebentar lagi," jawab Asmara sambil tersenyum.
Mata Hannah membulat lalu menatap Subuh yang sama terkejutnya mendengar jawaban Asmara.
"Maksudnya kalian berdua—?" kata Hannah.
Asmara justru tertawa menanggapi kekepoan teman SMAnya ini.
"Ya, nggak tahu Allah mengirimkan siapa untuk jodohku nanti, doakan saja yang terbaik, Han. Sebentar lagi kan bisa besok, bulan depan, tahun depan, lima tahun lagi—" Asmara masih dengan senyumnya pada Hannah.
"Wah, kirain kalian berdua memang berencana untuk ke sana. Huh, Nggak seru, Mara, bercandanya!" sewot Hannah.
Bersamaan dengan itu, Heppy meronta meminta turun dari gendongan Subuh. Dia ingin berjalan dengan kakinya sendiri. Ketika Hannah dan Irfan mulai memusatkan perhatiannya kepada anak tercinta, Subuh justru menatap Asmara ketika mata Asmara melihat ke arahnya.
Anggukan kepala dan senyuman Asmara telah mengisyaratkan sesuatu yang membuat hati Subuh berbunga-bunga pagi ini.
Rasanya aku tidak ingin menunggu Idul Fitri tiba untuk segera mengenalkanmu kepada Mama, Mara.ф
17 Ramadan 1444 H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top