Chapter 15

🍬Hati adalah sesuatu yang tak mungkin berbohong pada diri sendiri.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Mengempaskan sebuah kata pupus, karena sekali kaki melangkah maju tidak terbersit ada istilah mundur lagi bagi Subuh. Kebungkaman dan air mata Asmara tidak serta merta membuatnya putus asa lalu selesai dan balik kanan tanpa sebuah kepastian. Banyak kemungkinan yang harus dipastikan. Mungkin beriak yang tampak adalah wujud keterkejutan hati atas ketidaksiapan sebuah jawaban. Subuh yakin hatinya tidak bertepuk sebelah tangan. Asmara hanya butuh waktu untuk berpikir jernih untuk bicara.

Namun, tetap saja menunggu dalam ketidakpastian itu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Tidak cukup sebuah kata sabar untuk menetralkan hati agar terlihat baik-baik saja.

"Mas Alul, melamun saja. Ditanya Abi tuh, kapan Bude Esti diajak ke rumah Mbak Mara?" kata Rubina.

"Lah iya lho, Lul. Bulik juga tidak mengerti mengapa kami harus merahasiakan kalau kamu ini keponakan sendiri," kata Hasna.

"Untung Bina nggak pernah salah sebut dia di depan orang-orang, Mi," sewot Rubina.

Rustam hanya tersenyum melihat keluarganya sedang mencerca Subuh ketika mereka sedang berkumpul untuk buka bersama di rumahnya. Apalagi terlihat keponakannya sedang melamun.

"Asmara masih belum memberikan jawaban, Lul?" tanya Rustam.

Gelengan kepala Subuh mewakili jawaban apa yang harusnya disuarakan.

"Apa perlu bantuan Rubina? Biasanya karena sesama wanita, mereka akan jauh lebih enak untuk bicara," usul Hasna.

"Sebenarnya Alul masih takut, Bulik."

"Takut apa kamu?" tanya Rustam.

"Paklik kan tahu jelasnya bagaimana hubungan antara keluarga Alul dan Mara. Dan sampai sekarang Mara sepertinya belum tahu siapa Alul sebenarnya, mungkin juga dengan ayahnya." Tatapan Subuh menerawang jauh ke belakang.

"Bin, temani adikmu ke masjid dulu." Melihat putrinya telah menyelesaikan makannya Rustam segera memberikan perintah untuknya agar segera meninggalkan meja makan karena dia akan bicara lebih serius dengan Subuh bersama istrinya.

Hening beberapa saat sampai Rubina meninggalkan meja makan dan mengajak sang adik berangkat ke masjid untuk persiapan melaksanakan salat Isya dan tarawih di sana.

"Sekarang Paklik tanya, motifmu melamar Asmara apa?" tanya Rustam.

Subuh menatap adik mamanya ini dalam-dalam. Tak lama kemudian pandangan Subuh beralih kepada bibinya.

Desahan napas seolah mengartikan bahwa Subuh memilih diksi yang pas untuk disampaikan kepada pamannya.

"Alul tahu Mara berbeda, Paklik. Dan yang pasti Pak Bani berhasil mendidiknya menjadi wanita yang baik tanpa harus membuka aib di masa lalunya. Sampai akhirnya takdir mengembuskan perasaan lebih di hati Alul untuk mulai mencintai Mara."

"Kamu mencintainya?" tanya Rustam.

Tidak ada jawaban yang terdengar. Lagi-lagi gerak tubuh Subuh yang menjawab pertanyaan itu dengan pasti.

"Tidak ada alasan Alul membenci Mara. Kami ada dengan hati dan kehidupan yang berbeda. Mungkin dulu iya, tapi setelah Alul mengenal Mara, rasanya terlalu naif kata benci itu tersemat," jelas Subuh.

"Lalu, tanggapan mamamu bagaimana?" tanya Hasna.

"Awalnya Mama juga ragu, takut Alul hanya ingin membalaskan semuanya pada Mara," jawab Subuh.

"Dosa besar kalau sampai kamu melakukan itu, Lul. Dosa itu tidak bisa diwariskan, setiap orang membawa amal ibadahnya sendiri-sendiri di akhirat nanti." Rustam menuangkan kolak ke dalam mangkoknya lagi.

"Alul tidak segila itu untuk bisa melakukan perbuatan tak beradab pada Asmara. Alul mencintainya, Paklik." Wajah Subuh berubah merona ketika bibirnya menyuarakan isi hatinya yang terdalam.

Rustam dan istrinya yang melihat semua itu hanya tersenyum. Mereka tahu persis bagaimana keponakannya, meski dia memiliki darah Gunawan Wibisono tetapi kakaknya telah mendidik dan menitipkan ilmu agama yang cukup baik untuk putra semata wayang mereka.

"Tapi kamu harus segera menanyakan kepastian itu kepada Asmara, Lul. Setidaknya kalau memang dia tidak bersedia, kalian tidak terikat khitbah yang masih menggantung." Rustam berdiri kemudian menepuk bahu keponakannya.

"Iya, Paklik. Nanti coba Alul bicara dengan Pak Bani terlebih dulu."

Rustam dan istrinya mendesah perlahan lalu mengangguk. Dia segera membantu Hasna mengemasi piring dan peralatan kotor di atas meja untuk dibawa ke cucian.

"Kita bersiap-siap ke masjid. Kok ya katon ra wangun yen imam e telatan." Rustam mencuci tangannya. --Kelihatan tidak pantas jika imam salatnya selalu telat datang--

"Abi berangkat dengan Alul saja dulu. Umi menyusul setelah membereskan cucian piringnya. Sekalian dampingi dia untuk bertanya kepada Pak Bani, Bi," kata Hasna.

"Yowes, Abi mangkat sih. Hati-hati nanti di jalan." --Abi berangkat dulu--

"Abi juga, orang jatuh cinta biasanya suka melamun dan oleng. Jadi baiknya Abi saja yang setir motornya Alul."

"Bulik ini meledeknya pasti nggak tanggung-tanggung, seperti Rubina." Subuh terbahak lalu mengajak pamannya segera berangkat ke masjid.

фф

Tidak ada yang ganjil saat Subuh tiba bersama Rustam di masjid. Yang menjadi perhatian orang-orang yang lebih dulu tiba di sana adalah ketika Rustam tanpa canggung memanggil Subuh tanpa ada embel-embel Ustaz seperti biasanya.

"Tidak ada yang baik atas sebuah kebohongan, kita tidak perlu bersandiwara untuk menjadi orang lain. Menjadi diri sendiri akan jauh lebih menyenangkan dan menentramkan," nasihat Rustam yang diiyakan oleh Subuh ketika mereka di jalan.

Dari sanalah, Rustam pun akhirnya melepaskan sandiwara tidak mengenal Subuh sebelumnya. Panggilan pun berubah seperti layaknya seorang paman kepada keponakannya.

"Oh iya, Lul. Kemarin Paklik sempat ngobrol sama Pak Ali mengenai distribusi pupuk subsidi di desa ini."

"Mengenai pupuk, Alul sudah sampaikan kepada para ketua kelompok tani periode tanam pertama akan mendapatkan barangnya satu minggu setelah lebaran, Paklik. Jadi, ditunggu saja. Pasti barangnya datang, Alul sudah pastikan ke pabrik." Subuh menjawabnya tanpa gengsi memanggil Rustam dengan sebutan Paklik.

Beberapa pasang mata terkesan bertanya-tanya melalui isyarat mata. Tapi belum sampai menyebar, Subuh segera meredamnya dengan memberikan penjelasan yang membuat semuanya manggut-manggut tanda mengerti.

"Pantes saja sepertinya Ustaz Azlul sangat dekat dengan Pak Rustam, ternyata memang keponakannya sendiri," sela Hanafi.

"Biasa, Pak Hanafi, anak muda ingin dikenal sebagai dirinya sendiri," kelah Rustam

Subuh tersenyum, "Tapi akhirnya menjadi diri sendiri lebih nyaman dan menentramkan," ucapnya untuk memungkas obrolan dan bersiap untuk melaksanakan panggilan keimanan.

Satu jam berlalu, salat tarawih pun telah selesai dilaksanakan. Beberapa bapak-bapak yang tergabung dalam kelompok tani sengaja ngobrol di beranda masjid sebelum pulang ke rumah masing-masing.

"Gimana, Pak?" tanya Ali.

"Jangan sampai gagal lagi seperti kemarin. Katanya jagung eh ternyata setelah diikuti justru gagal panen total," lanjutnya.

"Namanya juga musim tidak menentu, Pak Ali. Njenengan mboten ngijeni, semua petani merasakan gagal panen. Kita berdoa saja, semoga padi yang kita tanam membuahkan hasil," kata yang lainnya. --Kamu tidak sendiri--

"Harusnya bulan ini sudah panen jagung kita yang gagal kemarin, hasilnya bisa dipakai untuk lebaran. Ini malah lahan nganggur dua setengah bulan tidak ada produksi," sesal Ali.

"InsyaAllah itu caranya Allah untuk mencoba kita. Apakah kita masih tetap bersyukur atau justru mulai kufur atas nikmat yang Dia berikan," Rabani yang bergabung terakhir menanggapi sambil tersenyum.

"Nah ini baru benar yang disampaikan Pak Bani, lebih menentramkan di hati. Lagi pula semua juga merasakan. Kita terima, rezeki nggak bakal ketukar kok," ujar Hanafi.

Semuanya tertawa dan mengangguk setuju termasuk Ali. Pada dasarnya semua juga mengerti mereka hanya mengeluhkan dan mencari tema pembicaraan saja setelah masalah pupuk yang menjadi pertanyaan sudah dijawab Subuh sebelum salat Isya tadi.

Rabani mengajak semua pulang ke rumah masih-masing jika tidak mengikuti agenda tadarus yang sepertinya malam ini diisi oleh anak-anak remas. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan beranda masjid Subuh memanggil Rabani dan berjalan ke arahnya.

"Pak Bani bisa bicara sebentar? Ada yang ingin saya tanyakan kepada Bapak," kata Subuh.

Rabani tersenyum lalu menyilakan dengan tangannya, "Kita bicara di rumah saja, Mas, mari."

"Mas Azlul tidak ikut tadarus bersama?" tanya Rabani.

"Sudah, tadi pas dapat giliran pertama. Saya izin dulu karena ada hal yang tak kalah pentingnya untuk dibicarakan dengan Pak Bani dan Asmara."

Rabani mengerti ke mana arah percakapan mereka nantinya. Hingga sampai di depan rumah tidak ada kalimat lain yang menghias bibir mereka mereka berdua selain kalimat terakhir yang dikatakan Subuh di ujung perempatan sebelum berbelok ke rumah Rabani.

Selanjutnya tidak ada kalimat basa-basi sebagai pembuka, Subuh memang harus mendapatkan jawaban segera.

"Sebentar saya panggilkan Mara dulu. Dia pasti sudah berada di rumah." Rabani masuk meninggalkan Subuh duduk sendiri di ruang tamu.

Tak berselang lama Rabani kembali, di belakangnya ada Asmara yang membawa nampan kecil berisi cemilan dan juga minuman untuk Subuh dan ayahnya.

"Maaf jika aku menganggu kamu malam-malam begini, Mara," ucap Subuh ketika Asmara sudah duduk di samping ayahnya.

"Kamu pasti tahu apa yang menjadi alasanku kemari, kan?"

Asmara mengangguk perlahan. Suasana kembali hening, semua menunggu Asmara berbicara.

Asmara menatap Rabani sesaat kemudian menundukkan kepala bersama dengan jawaban lirihnya.

"Aku telah banyak melalui hari sendiri, Buh. Dari Ayah aku mengenal kata benci dan cinta itu seakan berjalan beriringan atau bahkan saling mengejar untuk sampai di garis finish duluan." Tampak Asmara mengangkat tangan kanannya untuk mengusap pipinya sendiri.

"Pun demikian yang aku rasakan saat bertemu denganmu dulu, aku bahkan sangat membencimu dengan sikapmu yang selalu menasihatiku. Sayangnya benci itu menguap dan aku tidak tahu perasaan apalagi yang bercokol di hatiku untukmu." Asmara mengangkat mukanya.

"Terima kasih telah memercayakan hati untuk memilihku. Namun, dari sekian banyak wanita yang jauh lebih baik, mengapa harus aku?" Asmara kembali menatap ayahnya yang kini mulai mengulurkan tangan untuk memberikan kekuatan kepadanya.

Kemarin Asmara telah menyampaikan semuanya kepada Rabani. Ketakutan apa yang sampai sekarang membelenggu hatinya ketika dia harus menerima Subuh sebagai suaminya.

"Keluarga kami berbeda, Ayah. Mara sudah tahu bagaimana rumah mewah orang tua Subuh. Rasanya itu terlalu jomplang dengan kita, Ayah. Terlebih Subuh yang memiliki ilmu agama yang baik, apakah orang tuanya bisa menerima Mara yang masih cethek ilmu agama ini. Apalagi jika mengingat perlakuan Asmara kepada Ayah." Asmara menutup mukanya, dia mengingat kembali semua dosa yang pernah dilakukannya kepada Rabani.

"Tidak ada yang tidak pantas jika Allah telak menakdirkan dua manusia itu berjodoh. Bahagialah jika kita tidak kaya tetapi bisa cukup dalam hidup dan lebih dalam bersedekah di jalannya Allah," tutur Rabani.

"Ayah bisa, tapi belum tentu keluarga Subuh sependapat. Belum lagi tentang cerita Mama yang sekarang jauh menjadi beban hati untuk Mara. Bagaimana kalau mereka tahu Mara ini anak dari wanita yang—" kata Asmara menggantung.

"Jangan mendahului apa yang belum pernah terjadi, Sayang. Teruslah minta petunjuk pada Allah untuk memberikan jawaban yang tepat atas lamaran Mas Azlul untukmu." Rabani mengusap kedua bahu putrinya.

Rabani menggeragap ketika suara Subuh terdengar menjawab pertanyaan putrinya. Seketika keadaan menghapuskan bayangannya dan melemparkannya kembali ke masa sekarang.

"Karena hatiku memang menginginkan kamu, jadi untuk apa aku memilih yang lainnya?"

"Tapi aku bukan wanita yang baik untuk kamu, Buh. Aku bukan berasal dari keluarga yang sepertimu dan terlebih aku bukan terlahir dari seorang wanita yang—"

"Tidak ada yang salah dengan takdir, Mara. Allah lebih tahu dari apa-apa yang tidak pernah kita tahu." Rabani langsung memotong ucapan putrinya.

"Tapi Ayah—" kata Asmara.

"Jika memang hati kita terpaut pada titik yang sama, mengapa tidak kita perjuangkan bersama-sama untuk meniti di jalan Allah. Mara?" kata Subuh.

Desakan Subuh yang akhirnya membungkam logika dan nalar Asmara.

"Tentang Mama, sebagai anaknya aku telah hafal dan lebih dari sekedar tahu, wanita seperti apa yang beliau inginkan menjadi menantu. Dan semua itu ada pada kamu," kata Subuh.

"Wanita yang berani kepada ayahnya sendiri, wanita yang menyalahkan takdir atas perpisahan orang tuanya, dan wanita yang belum bisa menerima kenyataan bahwa dia tidak sempurna?" Asmara menatap Subuh meski dengan air mata tertahan.

"Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini."

"Tapi setidaknya kamu bisa memilih wanita yang mendekati sempurna, Buh. Dan wanita itu bukanlah aku."

"Maksudnya kamu menolak lamaranku?" tanya Subuh.

Apa yang harus disampaikan Asmara? Hatinya menginginkan Subuh, tetapi logikanya mengingkari. Ketakutan yang membayang dalam kehidupannya mendatang membuatnya enggan untuk melangkah maju.

Ma, sudah puas dengan pencapaian yang Mama lakukan dulu dengan menyakiti hati Ayah dan membuatku ketakutan mendekatkan diri dengan laki-laki? Mungkin bagi Mama menyenangkan tapi hidup tidak sebercanda itu.ф

16 Ramadan 1444H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top