Chapter 09

🍬Tidak masalah mau air mata bahagia atau kesedihan, yang jelas kelenjar lakrimal itu tercipta karena kita terlalu sayang dengan apa yang ada di depan mata. 🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Pada akhirnya Asmara tahu di mana rumah orang tua Subuh setelah dia merengek kepadanya untuk memberitahukan ketika pulang dari kampus.

"Aku lulus, Buh." Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Asmara ketika salah satu dosennya membawanya keluar dari ruangan.

"Alhamdulillah," kata Subuh mengusap mukanya dengan kedua tangan.

"Tapi kita harus kembali ke Gedung B untuk mendaftarkan diri ikut wisuda periode ini. Sekalian bertemu dengan teman-teman yang lain. Kamu tidak apa-apa kan mendorong—"

"Sesuai janjiku, Mara." Subuh menggendong ransel Asmara yang terasa lebih berat karena 4 tumpukan file skripsi dari dosen penguji yang dikembalikan untuk revisi.

Euforia kelulusan tampak jelas terlihat di depan mata. Subuh tersenyum kemudian berjalan menjauh dari sisi Asmara. Memberikan ruang pada Asmara untuk bisa bercengkerama bersama teman-temannya tanpa merasa sungkan karena keberadaannya.

Hal yang sama dilakukan Subuh pada waktu hari kelulusan SMA mereka. Entahlah, sejak tahu bagaimana Asmara tumbuh menjadi gadis yang tidak bisa menerima keadaannya atas perceraian kedua orang tuanya, sejak itu pula Subuh berjanji dalam hati untuk selalu menjaganya.

'Aku tidak bisa membencimu, Mara. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa. Karena kamu tidak pernah tahu apa yang telah membuat mamaku menangis setiap malam untuk menguatkan hatinya. Justru aku ingin melindungimu karena aku tahu kita berdua adalah korban.' Subuh menghela napasnya dalam-dalam.

Hari ini setidaknya dia telah melaksanakan satu janjinya untuk melihat senyum Asmara karena bahagia.

"Mas Azlul, sepertinya saya tidak bisa pulang dengan kalian." Rengganis tersenyum manis kepada Asmara.

Bersamaan dengan itu, hadir di antara mereka seorang laki-laki yang tersenyum tak kalah manis dengan senyum yang Rengganis tunjukkan. Sampil menyerahkan sebuah amplop kepada Asmara, Rengganis memperkenalkan laki-laki yang kini berdiri di sampingnya.

"Mara, kenalkan ini Mas Ubbay. Kamu datang dengan Mas Azlul ya?"

Asmara masih belum mengerti ke mana arah ucapan Rengganis sampai kedua matanya menjadi saksi atas sesuatu yang tersembunyi di dalam amplop cokelat itu.

"MasyaAllah, aku tidak pernah mendengar cerita proses kalian sampai ke titik ini." Air mata Asmara mengalir deras sambil merentangkan kedua tangannya meminta Rengganis mendekat untuk memeluknya.

"Barrakallah, ya shohibatin. Semoga Allah memberikan kelancaran sampai hari pernikahan kalian nanti."

"Syukraan, Mara. Semoga Allah menghadirkan laki-laki terbaik juga untukmu nanti. Semangat berhijrah, ingat pesanku, minta dipermudah sama Allah. Dia kan mendekatkan apa yang akan menjadi milik kita dan akan menjauhkan apa yang tidak pantas untuk kita miliki."

Asmara dan Subuh menatap kepergian Rengganis dan Ubbay dengan perasaan haru.

Di dalam mobil pun Asmara masih belum bisa percaya. Air matanya masih mengalir deras. Tidak menyangka Rengganis menyembunyikan semua darinya. Padahal mereka telah bersahabat sejak pertama kali menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian.

"Sahabatku sudah sold out, Buh. Rasanya masih seperti mimpi," kata Asmara menghapus air matanya sambil memandangi undangan pernikahan Rengganis dan Ubbay.

"Sebentar lagi Allah pasti memberikan giliran itu untukmu, Mara. Perbanyak munajatmu kepada-Nya," jawab Subuh yang tetap fokus dengan jalanan di depannya.

"Aku sendiri saja belum tahu siapa yang nanti akan Allah kasih untuk aku miliki." Asmara kembali menunduk.

Melihat Subuh melajukan mobil dengan cepat menuju rumahnya, Asmara melayangkan protes.

"Buh, tadi kamu bilang akan menunjukkan di mana rumahmu. Sekarang aku ingin tahu."

"Rumahku ya di Banyumenik, Mara. Kamu lupa kalau kita tinggal di desa yang sama?"

Asmara berdeceh. Bukan itu yang dimaksudkan Asmara, rumah masa kecil Subuh yang dia tinggali bersama orang tuanya.

"Rumah orang tua kamu, maksudku."

"Jadi beneran kamu ingin kenal dengan ibuku?" tanya Subuh.

"Ish, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin tahu saja. Nggak adil banget, kamu tahu rumahku tapi aku nggak tahu rumahmu."

Helaan napas yang menguar dari bibir Subuh membawanya mencari putaran arah menuju rumah mamanya. Setengah jam berikutnya, Subuh berhenti di sebuah toko bangunan yang sangat besar. Yang Asmara tahu, pemilik toko itu adalah salah satu orang terkaya di Kota Serah.

"Kamu tunggu di sini ya. Aku masuk dulu bertemu managernya sebentar."

Asmara memperhatikan dengan baik. Beberapa karyawan tampak menganggukkan kepala dengan senyum yang lebar. Dari dulu Subuh memang dikenal sebagai pribadi yang santun dan murah senyum.

Tak lama kemudian Subuh kembali dengan map di tangannya. Kemudian meletakkannya di jok belakang mobilnya.

"Kamu bekerja di sini, Buh?" tanya Asmara setelah subuh duduk di kursi pengemudi.

"Ya begitulah," jawabnya singkat.

"Lalu map itu?" tanya Asmara lagi. Rasanya masih janggal mengetahui Subuh hanya seorang karyawan toko tapi dia bisa menjadi supplier pupuk se-kabupaten Serah.

Subuh tersenyum lalu menjelaskan rencananya yang akan membangun toko bangunan dan alat-alat pertanian di Banyumenik. Dalam map itu ada beberapa penawaran yang nanti akan dia ambil untuk mengisi tokonya.

"Jadi nanti kamu ambil dari sini?" Asmara semakin penasaran.

"Ya nggaklah, rugi kalau ambil dari sini. Aku ambil dari distributor pusat. Nanti tinggal kirim barang ke Banyumenik saja."

Penggalan cerita yang membuat Asmara semakin ingin melihat bagaimana rumah tinggal Subuh dulu. Sepertinya laki-laki yang duduk di sampingnya ini memang bukan anak orang sembarangan.

Mobil yang mereka tumpangi masuk ke area perumahan elit. Hati Asmara semakin berdebar ketika semua sekuriti memberikan hormat ketika mobil Subuh melintas. Bahkan saat Subuh menurunkan sedikit jendela samping untuk menyapa mereka. Semuanya berkata sangat santun kepada laki-laki yang usianya jauh berada di bawah mereka.

"Lho, barusan mobil Ibu keluar, Mas Alul."

"Iya, mau ambil sesuatu di rumah, Pak Didik. Ada yang tertinggal tadi."

"Mangga-mangga, nderekke." Sekuriti yang bernama Didik itu mengangguk lalu membuka portal yang membuat mobil Subuh leluasa melintas.

"Jangan kaget, panggilanku di sini Alul," cerita Subuh.

Dan saat sebuah pintu gerbang rumah mewah terbuka, Subuh mengentikan mobilnya.

"Apa pun yang kamu lihat di depanmu ini hanyalah titipan, Mara. Aku tidak ingin berbohong, tapi aku juga tidak ingin dianggap pamer. Ini rumah orang tuaku."

Sebenarnya Subuh hendak memasukkan mobil ke halaman rumah mamanya. Tetapi Asmara melarang, dia hanya ingin tahu dan sepertinya pemandangan yang ada di depannya ini cukup menjawab banyaknya pertanyaan yang melintas di pikirannya.

"Dan toko yang baru saja kita datangi tadi sebenarnya adalah salah satu toko milik Mama."

Lengkap sudah penjelasan Subuh, ternyata pikiran Mara benar. Laki-laki ini adalah anak konglomerat.

Bayangan percakapan beberapa menit yang lalu itu kembali membawa kesadaran Asmara ketika bibir Subuh bergetar untuk bersuara.

"Kamu kenapa diam saja, Mara?" tanya Subuh.

Asmara masih bergeming, dia tidak tahu harus berkata apa. Dalam bayangannya, sepertinya rasa yang tumbuh di dalam hatinya seolah tidak tahu diri. Asmara harus segera bangun untuk melepas mimpinya.

"Mar—" panggil Subuh lagi.

"Eh... iya?" jawab Asmara gugup.

"Aku dari tadi tanya kamu mengapa diam saja. Apa aku membuat salah padamu?" kata Subuh.

Seketika Asmara menggelengkan kepala dan memusatkan pikirannya lagi. Hari ini terlalu banyak kejutan yang membuatnya syok.

"Kamu mau makan apa? Kita bungkus saja nanti sekalian dimakan di rumah dengan Pak Bani," kata Subuh ketika mereka melewati jalanan pusat kuliner di kota Serah.

"Tidak usah, Buh. Tadi Ayah sudah masak kok."

Meski mendapatkan jawaban demikian tetapi Subuh tetap membelokkan mobilnya di sebuah rumah makan terkenal.

Tanpa meminta persetujuan Asmara lagi, Subuh segera keluar dan meminta Asmara untuk bersabar menunggu di mobil.

'Ayah pun mungkin tidak tahu kalau kamu anak orang kaya, Buh. Karena di desa kamu tidak pernah menunjukkan apa yang kamu miliki di depan semua orang. Entah apa yang nanti dipikirkan Ayah saat beliau tahu semua ini. Terlebih tetangga, jika mereka tahu kita dekat dan mereka menganggapku sama seperti Mama yang meninggalkan Ayah karena harta.'

Asmara menggelengkan kepala berkali-kali, dia mulai ketakutan dengan pemikirannya sendiri. Tidak pantas rasanya menjadi pungguk yang merindukan bulan.

Sampai dengan tiba di rumahnya, Asmara hanya diam. Sampai-sampai Subuh kehabisan cara untuk membuatnya bicara. Namun, semua itu berubah ketika senyuman Rabani menyambut mereka.

"Bagaimana? Anak Ayah sudah menjadi sarjana?" tanya Rabani.

Subuh membawakan peralatan Asmara masuk ke rumah.

"Maafkan Ayah, Mara, harusnya Ayah yang mendampingi ujianmu hari ini. Tapi karena Ayah juga harus melaksanakan ujian kompetensi guru."

Asmara merangkul ayahnya dengan air mata yang tertahan. Mungkin jika mamanya tidak melakukan perbuatan hina itu, hari ini kebahagiaan Asmara akan terasa lengkap.

"Maafkan Mara, Ayah. Mara belum bisa menjadi anak yang baik untuk Ayah. Semoga sedikit yang Mara peroleh hari ini bisa membuat hati Ayah gembira."

Rabani memeluk putrinya. Keduanya menangis dalam keheningan. Sudah terlalu lama Asmara mengabaikan betapa Rabani sangat menyayanginya dengan cara yang berbeda. Ayah yang sangat melindungi putrinya.

Sementara Subuh yang telah selesai melakukan tugasnya berniat untuk pamit pulang. Hatinya menjadi terenyuh melihat keharuan yang tercipta antara seorang anak gadis dengan cinta pertamanya.

"Kalau begitu saya pamit pulang dulu, Pak Bani."

Seolah baru mengingat keberadaan Subuh di antara mereka, Asmara segera menyeka air matanya. Terlalu banyak Subuh mengetahui air matanya jatuh menetes.

"Sekali lagi terima kasih, Mas Azlul." Sejak Azlul menolak Rabani memanggilnya dengan sebutan ustaz karena Subuh merasa masih harus banyak belajar dari Rabani sejak itu pula ayah Asmara ini memanggil Subuh dengan sebutan Mas Azlul.

"Mar, kalau kamu butuh mobilisasi, jangan sungkan mengontakku. InsyaAllah aku akan siap."

'Tidak, Buh. Aku tidak akan membiarkan hatiku semakin bergantung atas kebaikan budimu.'

Dengan kruk yang kembali terpasang di pangkal lengannya, Asmara meninggalkan keduanya tanpa suara. Dia ingin menangis sepuasnya di kamar.ф

10 Ramadan 1444H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top