Chapter 07

🍬Terlanjur basah, sekalian mandi supaya badan bugar dan pikiran segar🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Tidak harus menginap bukan berarti Asmara bisa langsung berjalan normal. Kaki kanannya yang banyak luka terbuka masih harus diperban. Sementara kaki kirinya masih terasa ngilu jika dipakai berjalan tanpa penyangga. Akhirnya Asmara bersedia duduk di kursi roda ketika kembali dari rumah sakit menuju ke mobil.

"Maaf, Pak Bani. Biar saya yang mendorong kursi rodanya." Subuh mengambil alih pegangannya dari tangan Rabani.

"Ini jadi merepotkan Ustaz Azlul jadinya, mana tadi belum sempat buka puasa, ya Allah," kata Rabani.

"Saya sudah berbuka tadi dengan kurma dan air mineral, Pak." Subuh tersenyum sembari mendorong Asmara yang duduk dengan tenang di kursinya.

"Maaf ya, Buh, dan terima kasih untuk ini," kata Asmara lirih ketika dia dipindahkan ke mobil oleh Rabani.

Dalam hati Asmara merasa sangat bersalah, harusnya ayahnya dan Subuh bisa menjalankan ibadah malam selama Ramadan dengan baik. Namun, sepertinya malam ini tidak bisa sempurna karena kecelakaan yang menimpanya dan mereka berdua harus menolong Asmara sampai menjelang larut malam baru pulang.

"Pak Bani, maaf, sepertinya saya besok tidak bisa mengisi pengajian di masjid karena harus ke kota dan mungkin pulangnya akan malam. Jadi—" Subuh bingung harus bagaimana.

"Memang besok jadwal saya yang ngisi, kan, Ustaz?" jawab Rabani sambil tertawa lirih.

"Tapi Mara kan sedang sakit, Pak. Saya hanya khawatir saja kalau nanti dia butuh apa-apa," kata Subuh.

Mendengar ucapan Subuh, Asmara menjadi semakin merasa bersalah. Harusnya sekarang dia tidak lagi merepotkan ayahnya, tetapi dengan kecelakaan ini Asmara pasti akan banyak merepotkan Bani. Terlebih agendanya bulan ini sangat padat.

"Aku minta maaf pada kalian, gara-gara aku, kalian berdua jadi repot begini." Asmara meringis setelahnya.

"Nggak ada yang merasa kamu repoti, Mara. Tapi besok aku memang harus berada di kantor. Selain itu, ada sesuatu yang harus aku ambil di rumah Mama."

Benar, Subuh memang harus membicarakan perihal renovasi rumahnya yang ada di desa untuk dijadikan toko pertanian sekaligus toko bangunan seperti yang pernah disampaikan kepada Estini beberapa hari yang lalu.

Rabani hanya diam menyaksikan interaksi putrinya dengan ustaz baru di kampung yang begitu dihormati warganya. Entah hanya perasaannya saja atau meman karena keduanya sudah kenal sejak dulu yang membuat hingga membuat Asmara tidak canggung berdebat, lalu merajuk kepada Subuh di depannya.

"Bukan begitu, Buh. Tapi kami hanya berdua di rumah, dan jelasnya aku belum bisa berjalan normal. Mana ujian skripsi di depan mata juga kegiatan bersama Kementan dan Kementrian Agraria dan Tata Letak Ruang yang diajukan acaranya sebelum hari raya tiba," jelas Asmara meski dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

"Iya nanti aku dampingi."

Ucapan Subuh yang sejatinya membuat Asmara tersentak kaget. Bukan hanya Asmara, Rabani pun sedikit lama mencerna maksud kalimat lirih yang diucapkan Subuh. Sampai kedua bibir mereka berdua terbuka untuk menyampaikan pertanyaan yang sama.

"Maksudnya?" Kata Asmara.

Subuh menolehkan kepala kepada Rabani sesaat sebelum dia fokus pada kemudinya kembali. Otak cerdasnya segera memutar jawaban yang pas untuk disampaikan kepada keduanya karena ucapan yang mungkin mengundang ambiguitas.

"Pak Bani masih harus mengajar bukan? maksudnya, kalau kamu butuh mobilisasi seperti ini, aku siap membantu."

Rabani menganggukkan kepala tanda mengerti. Dia juga menghela napas lega setelah pikirannya yang jauh mengembara kembali dengan selamat.

Asmara pun juga terlihat mengembuskan napas lega. Tidak mungkin Subuh memperhatikanmu dengan perasaan lebih, Mara. Dia seorang ustaz dan Subuh lebih daripada tahu siapa dan bagaimana kamu. Tidak mungkin pula seorang ustaz memilih wanita yang pernah dengan terang-terangan menentang orang tua bahkan agamanya. Asmara menelan ludahnya atas pikiran berlebihan yang sempat singgah beberapa saat lalu.

фф

Benar, keputusan fakultas tidak bisa diganggu gugat. Tidak ikut ujian skripsi periode ini berarti Asmara juga harus siap mundur untuk lulus. Artinya dia harus bersiap mengikuti prosedural pergantian semester seperti mahasiswa-mahasiswa lain yang memang belum lulus.

"Jadi saya harus membayar SPP penuh, Bu Yuli, padahal hanya tinggal ujian skripsi saja?" tanya Asmara di telepon dengan petugas akademik yang mengatur jadwal mahasiswa untuk melakukan seminar dan ujian skripsi sekaligus komprehensif.

"Di mana-mana juga seperti itu, Mar. Kalau belum lulus ya berarti bayar SPP penuh. Kan, SPP harus lunas pada waktu daftar ulang dan itu sebelum kamu ambil KRS di fakultas," jawab Yuli.

Asmara menatap Rengganis yang pagi itu datang ke rumahnya untuk membesuk setelah menyelesaikan panggilan telepon dengan Yuli.

"Atau aku saja yang mundur ya, Ma. Biar kita bisa tetap bareng wisudanya?"

Asmara tersedak ludahnya sendiri mendengar ucapan sahabatnya.

"Kamu gila apa bagaimana, bulan depan ini ada perekrutan PNS dan jurusan kita banyak dibutuhkan, Gani. Aku pun mengejar lulus sekarang karena itu." Asmara menjawab dengan muka jutek.

"Darimana kamu tahu?" tanya Rengganis.

"Ayah, dari teman-temannya yang ada di Dinperpa," jawab Asmara.

"Tapi kamu kan—" Rengganis menatap Asmara iba.

"Doakan saja aku bisa. Ya walaupun mungkin tidak bisa sempurna." Asmara tersenyum tipis. Ada sedikit ragu, tapi saat mengingat kembali pesan Subuh ketika pulang dari rumah sakit kemarin malam, rasanya tidak pantas dia berputus asa setelah apa yang Allah berikan kepadanya selama ini.

"Mar—"

"Fa inna ma'al usri yusra, inna ma'al yusri yusra," kata Asmara masih dengan senyum yang sama.

"MasyaAllah sahabatku, sekarang sudah cosplay jadi ustazah," kata Rengganis.

"Apaan sih, Gan." Asmara melempar bantal kecil di sampingnya kepada Rengganis lalu mereka tertawa bersama.

Senyum menggoda Rengganis muncul, dia tahu dengan pasti bagaimana sahabatnya ini. Perubahan Asmara terlalu instan menurutnya dan dalam perubahan itu pasti ada orang yang sangat mempengaruhi psikologisnya kecuali sang ayah.

"Aku penasaran, siapa yang berhasil membuatnya sadar dan menjadi gadis semanis ini?"

Lagi-lagi Asmara melemparkan benda yang ada di sampingnya kepada Rengganis.

"Ayah lah, siapa lagi?" jawab Rengganis.

"Tahu kok, Om Bani memang the best. Hanya heran saja, dulu waktu aku mengingatkan supaya kamu mendengarkan apa kata ayahmu, dengan tegas kamu menolaknya. Lalu sekarang tiba-tiba menyadari itu dengan cepat—"

Asmara menunduk, mungkin saatnya dia membagi perasaan tak menentunya kepada sahabat terbaiknya selama ini.

"Subuh."

Kalimat lirih ini praktis membuat Rengganis mengerutkan keningnya untuk mencerna. Hari sudah menjelang Zuhur, mengapa Asmara mengingat waktu Subuh? Apa dia terlupa belum menunaikan salat Subuh pagi hari tadi?"

"Kamu belum salat Subuh, Mar?" tanya Rengganis.

"Durung salat Subuh gundulmu kuwi! Saiki wes meh azan Zuhur." Asmara menjawab dengan nada sarkas. --Belum salat Subuh, (gundulmu=umpatan) Sekarang hampir azan Zuhur.--

"Subhanallah, ustazah kok bicaranya seperti itu. Istigfar, Mar," kata Rengganis sambil mengusap dadanya.

"Gimana sih, ini. Kamu nanya aku jawab, salah!" sewot Asmara.

"Maksud kamu Subuh?" tanya Rengganis terbata.

"Azlul Subuh, dia teman SMAku dulu, Gan." Asmara merawang. Membawa ingatannya kembali ke masa putih abu-abu saat pertama kali dia berkenalan dengan Subuh.

"Sebentar, aku loading dulu. Jadi, yang kamu maksud Subuh ini orang yang bernama Subuh, temanmu itu?" Rengganis mengartikan perlahan, kemudian menatap Asmara dengan banyak tanda tanya.

"Teman atau—?"

Asmara menggelengkan kepala.

"Teman, tapi dari dulu dia memang sangat menyebalkan seperti kamu. Selalu menasihatiku untuk mengenakan jilbab demi Ayah dan karena Allah," jelas Asmara.

"Lalu?" kata Rengganis.

Asmara menatap Rengganis dalam-dalam. Meski dia bingung harus bercerita dari mana, akhirnya Asmara memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada sahabatnya. Dari awal pertemuan mereka hingga terakhir mereka bertemu ketika Subuh membantunya ke rumah sakit dengan menggunakan mobil Rustam Efendi, ketua RW yang terkenal sangat dermawan di desanya.

"Jadi kamu dan Subuh—"

"Bukan kami, Gani. Lebih tepatnya aku. Salah nggak sih kalau aku terbawa baper? Padahal dulu aku benci banget sama dia, Gan." Asmara kembali menundukkan muka.

"Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta, tinggal bagaimana cara kita menempatkan diri sebagai pecinta tanpa harus melewati batasan yang telah Allah tentukan. Terlebih karena kita seorang wanita dengan adat ketimuran." Rengganis menggenggam tangan Asmara.

"Mintalah sama Allah yang terbaik untuk kalian, jika memang Allah jodohkan, pasti akan dipermudah jalannya untuk kalian bersatu. Namun, bila tidak, Allah akan memiliki banyak cara untuk memisahkan kalian," tambahnya.

Asmara terlihat mengangguk perlahan, dia masih menatap Rengganis dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya.

"Jangan ceritakan kepada siapa pun, Gan," pinta Asmara.

Rengganis menatapnya dengan senyum yang sama.

"Tidak ada orang lain yang tahu tentang hatiku, kecuali kamu dan Allah. Bahkan Ayah pun masih belum tahu, aku malu untuk menyampaikannya."

Asmara menutup pintanya sebelum terdengar suara salam dan pintu rumah terbuka. Rabani baru saja tiba dari tempatnya mengajar.

фф

Serendipity, menurut Asmara seperti itu. Meski menggunakan sebuah kruk di kanan dan kiri. Asmara bisa hadir ke kampus untuk mengikuti sidang skripsi. Dari semalam Rengganis menginap dan mempersiapkan diri menghadapi ujian hari ini di rumah Asmara. Sehingga pagi ini mereka berdua berangkat ke kampus dengan menggunakan jasa ojek online.

Namun, baru saja Rengganis hendak memesan melalui aplikasi. Suara salam seseorang terdengar sangat nyaring.

"Waalaikumsalam," jawab Rabani.

Asmara menatap Rengganis sembari menggigit bibir bawahnya. Dia sangat hafal siapa pemilik suara orang bertamu sepagi ini ke rumahnya. Sementara Rengganis menjawabnya dengan kata tanya melalui isyarat matanya.

"Subuh," kata Asmara lirih.

Rengganis yang dari beberapa hari lalu penasaran dengan laki-laki yang memiliki nama Subuh ini sedikit tersentak ketika bertemu langsung pagi ini tanpa sengaja di rumah Asmara.

"Ngapain kemari, Mar?" tanya Rengganis yang dibalas gelengan kepala Asmara.

"Mara, di ruang tamu ada Ustaz Azlul. Dua hari yang lalu waktu di masjid dia bertanya kapan kamu ujiannya, dan Ayah cerita kalau hari ini kamu akan berangkat dengan ojek online." Rabani tersenyum pada Rengganis.

"Lalu, apa hubungannya dengan Subuh, Ayah?" Asmara mengernyitkan keningnya.

"Katanya barusan, biar dia saja yang mengantarkan kalian ke kampus hari ini."

"Apa?" Asmara semakin merasa tidak enak hati.

"Ayah sudah bilang ke Pak Rustam kalau Subuh pinjam mobilnya? Kan, nggak enak Ayah merepotkan Pak Rustam terus walau beliau mengatakan tidak masalah." Asmara berdeceh. Dia bingung harus kecewa atau bahagia.

Tiba-tiba terlihat Rengganis menganggukkan kepala yang membuat kepala Asmara menoleh pada siapa sahabatnya tersenyum semanis itu jika di ruang makan rumahnya hanya ada mereka bertiga.

"Kata siapa Pak Bani merepotkan Pak Rustam?" Senyum Subuh terlihat begitu semringah di depan Asmara yang membuatnya tersipu dan langsung menundukkan pandangan.

"Aku datang bersama Rubina, mungkin nanti dia bisa membantu kamu. Kalian berdua kan harus fokus untuk ujian jadi mungkin sahabat kamu tidak bisa selalu ada untuk membantumu, Mara," kata Subuh yang membuat Asmara tak bisa berkata-kata.

Rengganis tersenyum menerima uluran tangan gadis yang disebut Subuh dengan nama Rubina. Sementara Subuh membantunya tanpa merasa canggung sedikit pun. Dia bahkan bolak-balik membawakan peralatan ujian Asmara ke mobil.

Sampai dengan Asmara melihat mobil yang akan mereka tumpangi berbeda dengan mobil milik Rustam yang dipakai untuk mengantarkannya ke rumah sakit kemarin, bibirnya seketika langsung bertanya pada Subuh.

"Ini mobil siapa, Buh?"

Tidak ada jawaban, Subuh hanya tersenyum lalu pamit dan mencium tangan Rabani sebagaimana yang dilakukan Asmara sebelumnya.

Rengganis yang menyaksikan semuanya jadi mengerti, jangankan Asmara yang diperlakukan semanis itu oleh Subuh. Dia yang baru sekali melihat dan merasakan saja langsung dibuat baper oleh ustaz muda ini.

"Sesuai aplikasi ya Bu?" Kelakar Subuh yang membuat Asmara dan Rengganis tersipu malu. Rubina juga tertawa lirih di samping kursi kemudi Subuh.

"Mas Azlul bisa saja. Terima kasih ya untuk kebaikannya hari ini," kata Rengganis memecah kebekuan di antara mereka.

"Sama-sama, Mbak. Sesama manusia memang sudah sepatutnya saling menolong."

Asmara menggenggam tangan Rengganis dengan erat. Entah apa yang akan terjadi nanti, yang jelas pagi ini rasa hatinya campur aduk menjadi satu. Antara bahagia, deg-degan menjelang ujian skripsi, baper, dan ketakutan karena pikirannya sendiri.

Kemana hilangnya perasaan benciku dulu padamu, Buh? Allah, tolong hadirkan lagi perasaan itu, supaya aku tidak menjadi manusia lemah seperti ini karena perasaanku sendiri.

"Allah maha membolak-balikkan hati manusia, Asmara." Seolah mendengar kata dalam hati Asmara, Subuh berucap disela permainan kakinya untuk menyeimbangkan pedal gas dan pedal rem.

"Hah—?" desis Asmara.

"Ternyata orang yang kamu benci sejak SMA ini berguna juga untuk mengantarkanmu ke gerbang masa depan yang kamu impikan selama ini."

Asmara tidak menjawab. Dia memilih menikmati pemandangan dari jendela yang ada di samping tempatnya duduk. Pun demikian dengan Rengganis. Kini dia mulai berpikir, semua ini bukan hanya kebaperan Asmara tetapi karena Subuh pun telah lama menyimpan rasa.ф

08 Ramadan 1444H


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top