Chapter 02
Puasa kedua masih aman?
.
.
.
🍬Tidak perlu menyalahkan orang lain untuk melihat seberapa besar pengaruh kita di lingkungan.🍬
-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara
Perkumpulan yang awalnya membuat Asmara bosan tetapi lama kelamaan dia bisa menikmati juga. Sudah empat tahun ini Asmara ikut bergabung dalam perkumpulan kelompok tani. Dia bahkan telah akrab dengan para penyuluh pertanian lapangan dari dinas terkait di kabupatennya. Itu sebabnya di kampus Asmara sangat dipercaya oleh teman-temannya dalam banyak kegiatan yang membuat namanya cukup dikenal di fakultas.
Seperti malam ini, Asmara ada di barisan terdepan. Berkumpul dengan para petani, mendengarkan keluhan mereka tentang musim yang sulit diprediksi sedangkan mereka terlanjur menanam jagung. Curah hujan yang tinggi akhir-akhir ini banyak membuat petani menangis karena jelas akan membuat mereka gagal panen.
"Jadi bagaimana, Pak? Kami sudah mengikuti arahan dari Disper," kata salah ketua perkumpulan saat petugas telah siap dengan banyaknya jawaban.
"Kami telah menanam jagung karena tidak mendapatkan jatah air sesuai dengan keputusan Hippa. Tiba-tiba curah hujan tinggi padahal musimnya kemarau, apakah dinas tidak berkoordinasi dengan BMKG untuk memperoleh informasi ini setidaknya sampai dua bulan yang akan datang?"
"Benar, Pak. Terus terang sebagai petani kecil kami sudah rugi di benih dan juga pupuk. Apa tidak ada kebijakan dari pemerintah?" tambah yang lainnya.
"Karena kejadian semacam ini tidak satu atau dua kali terjadi."
Masalah klise yang membuat Asmara mengurut keningnya. Dia sendiri juga mengalami hal tersebut. Sawah milik ayahnya yang terlanjur ditanami jagung terancam gagal panen. Jangankan untuk panen, muncul buahnya saja untung-untungan.
"Belum lagi masalah tikus yang semakin hari semakin meresahkan para petani."
Hewan pengerat yang menjadi musuh petani dari jaman mulai bercocok tanam hingga panen tiba tidak pernah ada habis ceritanya.
Di tengah musyawarah sekaligus penyuluhan tentang bagaimana caranya mengatasi masalah-masalah. Mata Asmara tersangkut pada pandangan yang membuatnya belingsatan seketika karena pemilik mata orang yang dia perhatikan juga memperhatikannya.
'Sejak kapan Subuh, ikut dalam acara seperti ini,' kata Asmara dalam hati. Perasaan saat dia masuk tadi tidak melihat sosoknya berada di antara mereka.
Lagi-lagi senyum Subuh yang ditolaknya membuat perasaan Asmara semakin tidak menentu. Dia bahkan beberapa kali menunduk atau memutus pandangan saat ketahuan Subuh sedang memperhatikannya.
'Mata nggak tahu diri banget!' kesal Asmara dalam hati.
Satu jam berikutnya, seorang PPL sedang berbincang santai dengan Subuh, padahal Asmara hendak menyampaikan kegiatan yang akan membuatnya terlibat banyak beberapa minggu ke depan.
"Nah ini Mas Azlul, Mbak Mara ini sudah lama ikut kami, bahkan kami juga sering melakukan diskusi. Meski masih berstatus sebagai mahasiswa tapi dedikasinya terhadap para petani harus diacungi banyak jempol." Subuh kembali memperhatikan Asmara. Dengan terpaksa Asmara membalasnya meski dengan degup jantung yang tak lagi berirama.
"Asmara ini teman SMA saya, Pak Sanusi," cerita Subuh.
"Wah kalau begitu akan lebih mudah urusannya, Mas Azlul," jawab Sanusi yang membuat Asmara bengong.
"Maaf, Pak--?" kata Asmara.
"Jadi begini, Mbak. Mas Azlul ini terpilih sebagai agen penyalur pupuk bersubsidi dari pemerintah untuk seluruh petani di Kabupaten Serah ini. Itu sebabnya beliau pun akan sering ikut kegiatan penyuluhan untuk memberikan informasi kepada petani-petani bagaimana caranya mereka memperoleh pupuk-pupuk itu," jawab Sanusi.
Kemarin Asmara kaget saar Subuh disebut sebagai ustaz sekarang dia lebih kaget lagi karena Subuhlah pemenang tander sebagai penyuplai pupuk sekabupaten. Itu bukan lagi berbicara tentang uang ratusan juta tetapi milyaran rupiah. Apakah Subuh sekaya itu? Padahal jaman SMA yang Asmara tahu, Subuh ini ke sekolah hanya dengan sepeda bututnya.
Sampai Asmara selesai mengatakan apa keperluannya dengan Pak Sanusi, Subuh masih tetap bersama mereka. Hingga Pak Sanusi harus pamit karena masih ada kegiatan yang lainnya, Asmara juga berniat meninggalkan Subuh yang masih betah duduk di kursinya.
"Terkadang untuk menjadi pohon itu tidak perlu menjadi pusat perhatian karena untuk menjadi kuat dan kaya itu tidak butuh pengakuan dari orang lain." Asmara menatap mata Subuh beberapa saat. Memastikan bahwa kalimat yang baru saja dia dengarkan itu benar-benar diucapkan oleh bibir Subuh.
Senyum Subuh kembali hadir, tangan kanannya menunjuk dada kirinya. "Kekayaan yang sesungguhnya itu ada di sini, jika kamu tidak mengkhianati apa katanya, kamu tidak akan terbelenggu oleh perputaran peradaban dunia dan seisinya."
Asmara bergeming, bibirnya tercekat untuk memberikan tanggapan. Sedangkan Subuh lebih dulu berjalan meninggalkannya tanpa kata perpisahan.
"Menyebalkan!" Asmara menunjuk dirinya sendiri. Demi apa dia mendengarkan ucapan Subuh yang justru semakin membuatnya sakit hati karena merasa terabaikan.
Kekesalan Asmara semakin memuncak ketika telepon genggamnya berdering. Nama Rubina menjadi tersangka yang membuat Asmara semakin membenci Subuh.
"Mengapa tidak menyampaikan secara langsung saja sih, Bin? Baru saja aku bertemu dengan Subuh--!" sewot Asmara.
"Subuh? Maksud Mbak Mara, Ustaz Azlul?" tanya Rubina.
"Iya siapa lagi yang punya nama Subuh selain dia!" terdengar kekehan suara Rubina dari ujung telepon Asmara.
"Hati-hati, Mbak Mar. Benci itu ada titik mula cinta yang tiada bertepi. Jangan sampai nanti sampean malah bucin akut sama Ustaz Azlul seperti remaja di desa kita loh." Rubina masih tertawa lirih setelah mengucapkan itu.
"Yang jelas, Mbak Mara masuk dalam kepanitiaan Remas Ussisalitaqwa. Nanti sore bakda asar kita kumpul untuk membuat jadwal kegiatan Ramadan termasuk ikhtikaf, buka bersama dan sahur bersama di masjid."
Tidak ada kesempatan untuk menolak, Rubina telah menutup panggilan setelah mengucapkan salam dan Asmara hanya bisa mendesah pasrah.
Sore harinya, saat Asmara tiba di masjid ketika azan asar berkumandang, belum ada satu orang pun yang tampak hadir kecuali melihat Subuh yang tengah berdiri di belakang muazin menunggunya selesai azan dan melaksanakan salat sunah.
Sekepala batunya Asmara, baginya sebuah amanat itu wajib dilaksanakan meski dia tidak ingin melakukannya. Tidak ada orang lain yang bisa dia mintai pertanggungjawaban kecuali sang ayah. Asmara yakin semua ini pasti karena permintaan ayahnya.
Pada akhirnya, Asmara hanya bisa duduk diam mendengarkan beberapa panitian inti berbicara dengan jadwal acara dan PIC yang telah tertulis dengan rapi. Asmara mencari namanya, keterkejutan itu tampak jelas sekali menghiasi matanya. Dia didapuk menjadi pembawa acara kajian nuzulul qur'an yang langsung berkolaborasi dengan Ustaz Azlul Subuh, B.Sc juga acara pengajian ibu-ibu yang rutin diadakan setiap hari minggu pagi.
"Maaf, tapi bukannya ibu-ibu di desa ini sudah ada pengajian rutin setiap hari Kamis? Apakah tidak akan memberatkan jika nanti hari minggu juga diadakan?" tanya Asmara.
"Ustaz mungkin bisa menjelaskan kepada Mbak Mara?" kata Usman.
"Jadi begini, di dalam Al-Qur'an itu ada 30 juz, 114 surah, lebih dari 6.200 ayat. Tapi mengapa hanya Surah Yasin saja yang diutamakan? Semua surah dalam Al-Qur'an itu memiliki keutamaan masing-masing." Senyum Subuh terlihat begitu menyejukkan hati.
"Jadi saudara mukmin di sini, saya merasa memiliki kewajiban untuk mengajak sekaligus mengingatkan. Bahwa Islam yang kita imani ini bukanlah ajaran nenek moyang yang kalau sudah seperti itu ya sudah seperti itu tanpa ingin kita mencari tahu seperti apa dulu nabiyullah meninggalkan warisan ini untuk kita."
"Maksudnya apa yang sudah dilakukan selama ini salah, Ustaz?"
"Tidak salah, tetapi belum sepenuhnya benar." Kalimat halus yang disampaikan Subuh membuat Asmara tertarik mendengarkan.
Selama ini Asmara tidak pernah mencari tahu seperti apa benarnya, adanya seperti itu dia telan mentah-mentah semuanya.
"Bukan berarti melarang untuk membaca Surah Yasin, jangan disalahartikan. Jadi seperti ini, sesuatu pengkhususan ibadah tanpa disertai sunah nabiyullah itu sebaiknya dihindari. Bukan sesuatu yang jelek tapi jika tidak ada tuntunan dan contoh dari nabi sebaiknya tidak dilakukan. Apakah zikir itu tidak baik?" kata Subuh.
"Baik, Ustaz."
"Benar, tetapi ketika dilakukan secara bersama-sama akan beda ceritanya karena Nabi Muhammad tidak pernah mencontohkan."
"Jadi, dilarang Ustaz?" tanya Rubina.
"Saya tidak mengatakan dilarang, nanti yang ada saya di demo oleh masyarakat." Subuh tersenyum tipis. "Saya hanya mengimbau untuk tidak melakukan karena tidak ada tuntunannya," lanjutnya.
"Makanya nanti setiap minggu coba kita mulai kajian ibu-ibu, dimasukkan sedikit demi sedikit supaya tidak overdosis. Kalau memang bisa diterima nanti tetap dilanjutkan sebagai agenda rutin, jika tidak ya kita adakan bagi yang berminat mengikuti saja," kata Subuh sebelum melanjutkan kembali musyawarah mereka.
Asmara mencatat apa saja yang dia butuhkan untuk menjalankan tugasnya. Bukan sesuatu yang sulit karena sesungguhnya dia sudah terbiasa berbicara di depan masyarakat. Masalahnya adalah sekarang hatinya sulit dikondisikan ketika bersama dengan manusia bernama Subuh. Disparitas antara benci dan kagum itu mulai sulit dibedakan.
"Subuh--" panggil Asmara ketika semua panitia telah membubarkan diri.
Mendengar namanya dipanggil, Subuh menghentikan langkah. Dia membalikkan badan lalu menunggu Asmara menuntaskan kalimatnya.
"Aku hanya ingin tahu, mengapa kamu ada di desa ini? Padahal setahuku dulu waktu SMA kamu tidak tinggal di sini."
"Memangnya kenapa kalau aku tinggal di desa ini sekarang?" tanya Subuh.
"Bukan, maksudku--" Asmara menggigit kuku jarinya karena salah tingkah. "Maksudku, kamu membayar berapa ke warga untuk bisa dipanggil Ustaz di sini?"
Subuh membeliakkan mata tidak percaya mendengar kalimat tanya yang baru saja diucapkan Asmara. Namun, dia memilih mengabaikan pertanyaan itu. Hingga Asmara menyadari dia salah berucap. Grogi di hatinya membuat Asmara tidak bisa mengontrol apa yang dia ucapkan.
"Maaf, Buh. Maksudku tidak seperti itu. Masyarakat membayarmu berapa hingga kamu bersedia melakukan semua ini untuk kami?" tanya Asmara membenarkan.
"Mulailah mempertajam mata hatimu, Mara. Tidak setiap sesuatu itu bisa dihitung dengan uang. Karena tidak selamanya satu ditambah satu menjadi dua."
Asmara hanya terdiam sampai Subuh tidak terlihat dari pandangannya. Dia akan mempersiapkan diri menyambut magrib tiba dan Asmara hanya bisa menelan ludahnya. Mengartikan sendiri apa maksud kalimat yang diucapkan Subuh kepadanya.
03 Ramadan 1444H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top