Chapter 8

"Ada apa? Mengapa Anda tadi tampak kesakitan?" tanya Asia. Manik violetnya menatap lurus pada Leonel.

"Kau punya bakat. Ahahaha."

Tawa yang sama dengan Monica. Sama-sama hambar. Asia hanya menghela napas. Kehidupan di dunia baru ini benar-benar sangat aneh.

"Kalau begitu. Sampai ketemu besok sore."

Asia pun beranjak pergi. Lalu menarik Orion keluar. Leonel tampak memangku wajah pada kedua tangannya dan tersenyum pada kepergian Asia.

.
.
.

"Jadi, kau orang baru di sini?"

Asia bertanya setelah ia membelikan Orion sebuah permen tangkai untuk mereka berdua. Dia dan Orion duduk di salah satu kursi kosong di pusat kota, di dekat tiang lentera.

"Aku mengikuti ayah berkunjung ke sini. Besok lusa, kami telah pulang."

Asia merasa, Orion tipe anak yang pemalu. Dari tadi, dia terus saja menunduk jika diajak berbicara.

"Ayahmu pasti baik," lirih Asia. "Dia pasti menyanyangimu. Benar, 'kan?"

Orion sendiri tidak langsung menjawab. Ia agak ragu dengan pendapat Asia. Merasa melemparkan pertanyaan salah. Asia mencoba menggati pertanyaannya.

"Rumahmu jauh dari Yuvrae, ya? Apa kalian ke sini untuk berbisnis?"

"Iya. Kurasa itu."

Asia sudah tidak tahu mau bertanya apa lagi. Hari sudah makin siang, dia harus segera kembali ke istana.

"Aku pergi dulu, ya?" pamit Asia.

"Tunggu!" Orion menahan jubah Asia. "Mungkin kita tidak bisa bertemu lagi. Apa aku boleh memberikan sesuatu padamu?"

"Tanda persahabatan?" balas Asia. "Boleh."

Orion pun tersenyum lebar. Lalu menarik telapak tangan Asia dan mendekatkan ke arah bibirnya. Asia merasa cukup geli saat Orion mengecup punggung tangannya. Ada sensasi dingin yang menggelitik.

Bocah ini!

.
.
.

Penginapan matahari. Tempat itu penuh muda-mudi yang tengah kasmaran. Asia hanya berani masuk dan menunggu Leonel di lobi. Dia benar-benar tidak nyaman dengan penginapan yang penuh dengan pasangan seperti itu. Beberapa pasangan, menatap Asia dengan kebingungan. Seolah bertanya, apa yang dilakukan bocah seperti dirinya di tempat itu.

"Hoi! Sudah lama menunggu?" Akhirnya, Leonel muncul dari tangga atas. "Ikut aku."

Asia rasa, seharusnya dia meminta maaf pada dirinya karena telah menyuruh seorang bocah ke penginapan cinta satu malam.

"Belajar sihirnya di mana?"

Leonel tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan di depan Asia melewati keramaian penduduk sekitar. Semakin lama, mereka malah semakin jauh dari pusat kota. Lalu berhenti di area sebuah bangunan bertulang kayu yang dindingnya mulai retak-retak.

Di sana, banyak sekali anak-anak yang bermain. Beberapa di antaranya, Asia kenal sebagai anak jalanan yang kadang ia jumpai.

Leonel menyapa mereka. Anak-anak itu balas melambai dengan riang. Mereka semakin berjalan mendekati rumah utama. Begitu Asia melangkah masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka lebar.

Asia terbelalak melihat lebih banyak anak di dalam sana.

"Panti asuhan," seru Leonel pada Asia. Ruangan itu memiliki ruang tamu yang cukup kumuh. Leonel semakin berjalan masuk, lalu berhenti di sebuah kamar yang cukup besar. Di dalamnya ada tiga orang bocah yang sedang terbaring lemas.

"Leonel." Seorang wanita tua datang menyambut mereka dengan baskom penuh air. "Siapa Nona kecil ini?"

"Muridku. Dia akan membantu Anda merawat anak-anak yang sakit, iya, 'ka?"

Asia masih kebingungan menyimak. Bayangannya, mereka akan berlatih sihir dengan cara mempraktekkan dari buku atau peragaan yang dibuat Leonel. Tetapi faktanya, Leonel malah meminta Asia menyembuhkan bocah gelandangan yang sakit.

"Sia? Kau bisa, 'kan?" Leonel kembali bertanya.

"Ah, iya."

Untuk pengobatan dasar dan tahap menengah awal. Asia mampu menyembuhkannya dengan bantuan mana, sejauh ini hanya itu yang bisa. Mantra-mantra yang ia pelajari tidak bisa selalu diandalkan jika dia tidak memiliki gelar.

Hari-hari belajar bersama Leonel berlalu seperti itu. Leonel terus mengajak Asia berkeliling merawat para lansia, tunawisma dan orang-orang yang membutuhkan.

Asia memang penasaran dengan pola pengajaran Leonel. Tetapi dia sadar, Leonel tidak akan memberikan ia jawaban, jika dia bertanya. Aktifitas ini terus dilakukan Asia selama 4 bulan terkahir.

Dia juga diam-diam ikut berlatih seni pedang dari Sir Johan tanpa sepengetahuan Monica. Hingga menjelang 6 bulan belajar bersama Leonel pun berlalu begitu cepat.

Kali ini, Asia tidak diajak berkeliling jalan sore lagi. Leonel justru mengajak Asia menikmati jagung bakar di pusat kota sambil duduk di dekat air mancur.

"Apa tubuhmu merasa lebih baik belakangan ini?"

Asia mengganguk saja sebagai jawaban.

"Kemampuanmu sudah bagus. Kau bisa menjadi Penyihir Agung suatu hari nanti."

"Anda tidak mau mengatakan alasan soal metode pelajaran yang selama ini diberikan?"

Asia melirik Leonel yang terkekeh pelan. Dia juga sudah membuat Asia bersabar. Sejujurnya, cara mengajar Leonel jauh lebih baik dari Sir Ethan. Entah bagaimana nasib pria itu sekarang.

"Ini."

Leonel meletakkan ujung telunjuknya pada kening Asia. Ada sesuatu yang bersinar dan merembas ke dalamnya.

"Selamat, kau sudah menjadi Priest. Tahap menjadi Cleric sudah kau lewati dengan baik. Saat umurmu menginjak 17 tahun. Kau sudah bisa menjadi Saintess."

Leonel tersenyum puas. Warna matanya yang merah, seolah terbakar oleh berkas cahaya sore. Asia mengedip tidak percaya.

"Ba- Bagaimana bisa? Tanda itu hanya bisa diberikan oleh Dewa."

"Kau mempercayai itu?" Leonel malah merasa geli dan terkekeh dengan ucapan Asia.

"Bukankah itu yang tertulis?" Asia semakin bingung dengan Leonel.

"Pernah dengar Penyihir Suci?"

"Apa Master Penyihir Suci?" Asia balas bertanya.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Anda seolah ingin mengatakan, bahwa selain Dewa. Penyihir Suci bisa melakukannya."

Di Yuvrae, di atas Penyihir Agung adalah Penyihir Suci. Keberadaan mereka sangat sedikit dan terbatas. Bahkan tiap benua, berlomba-lomba memiliki sosok tersebut.

"Kau bisa menganggapnya seperti itu," seru Leonel dengan kedipan mata.

"Saya merasa sulit untuk percaya."

Leonel merasa tertohok. Lagipula, siapapun pasti tidak akan percaya. Pria itu menghela napas berat.

"Sia, dengarkan aku. Ini hari terakhir kita bersama." Raut wajah Asia mendadak berubah. "Aku tidak bisa mengajarimu lebih dari ini. Kemampuanmu sudah cukup hebat berkembang sendiri. Tetapi ...."

Leonel menggantung ucapannya. Sorot mata merahnya memandang jauh ke arah matahari terbenam.

"Bagaimana pun caranya. Berusahalah untuk tidak menjadi penyihir sebuah negara tertentu. Nikmati hidup dan kemampuanmu dengan bebas. Jangan pernah ikut Monica ke medan perang, sekalipun dia memaksa."

"Kenapa?" Dibilang seperti itu, tentu saja Asia penasaran.

"Aku melihat takdirmu. Aku harap kau bisa mengubahnya dan jangan lupa. Jika suatu hari Baron menemukanmu. Monica pun tidak akan bisa menahanmu di sisinya. Baron punya kekuatan hukum untuk membawamu pulang. Satu-satunya cara agar terbebas adalah menikahlah dengan seorang pria saat kau sudah memiliki kekuatan Saintees. Jika kau memiliki nama suami di belakang namamu. Baron tidak akan bisa berbuat apapun."

Asia hanya mematung. Dia bingung mengutarakan perasaannya. Memang benar, banyak pelajaran hidup yang Asia alami selama bersama Leonel.

Menolong orang adalah hal penting bagi seorang penyembuh. Terlepas seberapa besar gelar yang ia miliki. Sore itu, Leonel pamit untuk terakhir kalinya pada Asia.

Dia pergi, tanpa mau memberitahukan alasannya dan lima tahun kemudian, kedamaian benua Yuvrae berubah total.

___/_/____/___
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top