Asheeqa 5
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Allah Ta'ala berfirman :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ
Artinya: "Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh."
(QS. An Nisa ayat 36)
-Asheeqa 5-
Aku masih menunggu hasil pemeriksaan Rayan, dengan Rayan duduk disampingku. Beberapa pasien dan perawat serta dokter memperhatikan wajah Rayan yang babak belur. Mereka sibuk berbisik-bisik dengan pandangan yang macam-macam. Ada yang sedih, ada juga yang meremehkan. Aku sendiri nggak tahu apa yang mereka bicarakan. Mau negatif atau positif toh yang nanggung dosa mereka. Malahan ada yang berani nanya secara langsung ke Rayan dan aku. Rayan hanya diam dan menundukkan kepala.
Aku sih cuek aja dan barangkali terkesan datar, nggak mikirin alias bodo amat sama pandangan orang dan pemikiran mereka serta pertanyaan yang terlontar ke aku dan Rayan. Amat aja udah pintar masa kalian masih bodoh aja, sibuk berkasak-kusuk mencari tahu ataupun sok peduli ada apa dengan Rayan. Yang berhak tanya kan dokter yang memeriksa Rayan. So, nggak usah sok perhatian ya.
Lebih baik kalian mikirin aja, kondisi pasien yang kalian bawa atau kalian rawat. Kalau kalian peduli, diluar sana banyak orang-orang yang lebih membutuhkan kepedulian kalian. Jangan kalian bilang peduli sama orang yang membutuhkan, tapi sikap kalian sama sekali tidak adanya rasa peduli. Makanan aja sering kalian buang, padahal banyak orang yang mengais sisa makanan di tong sampah. Demi mengisi perut mereka yang kosong.
Lihat diluar sana, banyak orang yang rela melakukan kejahatan karena perut mereka kosong. Tetep aja sih perbuatan mereka salah, tapi coba deh kalau kalian peduli sama saudara atau tetangga kalian. Apa mereka sudah makan? Apa mereka punya makanan? Apa mereka baik-baik saja? Apa ada yang bisa dibantu? Pernah nggak kalian bertanya? Hah!. Jangan jadi orang yang bisa sumbang sana sini, tapi ke saudara atau tetangga dekat kalian nggak pernah kalian sumbang atau peduliin.
Aku masih ingat, ada pemberitaan tentang seorang nenek yang di penjara karena mencuri singkong. Padahal yang punya lahan singkong orang kaya, tapi nggak ada belas kasihannya kepada nenek renta itu. Nenek itu nggak akan mencuri, kalau ada makanan yang bisa beliau makan. Beliau juga nggak akan mencuri, kalau orang terdekat beliau peduli sama apa yang terjadi di keluarganya. Dan tahu apa ada beras atau nasi yang bisa dimakan hari ini.
Saat berita ini muncul kepermukaan, berbondong-bondong orang menyuarakan tentang ketidak adilan pada si nenek. Semua ini nggak akan terjadi kalau kita punya rasa peduli dan perhatian kepada saudara atau tetangga dekat kita.
"Alhamdulillah, kondisi ... "
"Adik saya dok."potongku cepat perkataan dokter di depanku ini.
"Ehm, adik anda baik-baik saja. Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Hanya ada lebam dan luka robek di pelipis dan bibir saja."
"Alhamdulillah," ucap aku dan Rayan bersamaan.
"Lain kali hati-hati ya, jangan berkelahi lagi. Lebih baik kalau mau berkelahi lagi di Ring saja." Kata dokter mengingatkan sambil tersenyum. Dari awal aku memang berbohong kalau Rayan ini babak belur karena berkelahi dengan temannya.
Kalau di Ring mah bukan main hakim sendiri dok, tapi tanding satu lawan satu di temani wasit. Kalau ngomongin Ring, jadi kangen sama bang Igo. Bisa juga sih aku ajak Rayan buat latihan di sasana milik bang Igo. Kan dia bisa membela diri kalau di keroyok lagi. Tapi aku bukan membenarkan ya agar Rayan menjambret lagi. Latihan bela diri kan bisa buat jaga-jaga kalau sewaktu-waktu Rayan dihadapkan masalah ada orang yang mau jahat sama dia. Buat kesehatan juga.
"Ini resepnya, di tebus di apotek ya mbak. Dan satu lagi, untuk mengobati lebamnya bisa di kompres pakai air hangat ya." Lagi-lagi dokter berkumis tebal ini memberi masukan ke aku dan Rayan.
"Makasih dok."kataku dan Rayan kemudian bersalaman dengan dokter.
Aku dan Rayan berjalan menuju apotek.
"Mbak Mehru sekali lagi makasih ya."
"Ya elah ngomong makasih mulu sih, udah kayak penjaga minimarket aja. Kalau sekali lagi ngomong makasih, dapat hadiah piring cantik loh." ujarku meniru gaya seorang kasir minimarket.
Rayan ikut tertawa, walaupun akhirnya tertahan karena luka di bibirnya.
"Nggak usah ikut ketawa, kalau masih sakit. Sekarang pikirin aja soal Bila."
"Iya mbak, mungkin aku mau cari kerja lagi."
"Sip! Itu namanya adik gue." Ucapku memberikan dua jempol ke Rayan.
"Aku dah dianggap adik ya?"tanya Rayan, membuatku menurunkan kedua jempolku.
Aku memegang bahunya, dan mengangguk setuju.
"Aku ini anak tunggal, cuman tinggal bertiga sama abah dan bunda. Dari awal mendengar cerita lu, gue dah berkomitmen buat jadi kakak kalian."
"Makasih ya mbak Mehru,"ujar Rayan berkaca-kaca.
"Hore dapat piring cantik, silakan diambil di rak piring bunda hehehe."kataku girang bertepuk tangan kayak anak kecil.
Rayan hanya tersenyum dan menggaruk kepalanya malu.
"Soal kerjaan, kamu ikut kerja sama abah aja. Ya memang sih gajinya nggak seberapa. Tapi ya lumayan lah bisa buat makan dan nyekolahin dua adikmu."
"Kerja apa mbak?"
"Abah punya toko bangunan, kalau nggak salah kemarin ada salah satu karyawan abah yang keluar. Dari pada aku yang jadi karyawan abah buat angkut semen sama pasir, mending Lu aja. Kalau mau sih?"tawarku.
"Mau mbak, lagian aku juga cuman sekolah sampai kelas dua SMA." Rayan bersemangat.
"Nanti aku bilang abah. Tapi nggak apa-apa nih kerjaannya berat loh. Kalau nggak ya nanti jadi drivernya bunda aja nganterin cateringan."
"Kerja apa aja mbak yang penting halal. Lagian ini jadi ucapan terima kasihku sama abah dan bunda mau nolongin aku."
"Makasih lagi makasih lagi,,,, gatel kuping gue." Aku menggaruk kupingku, menatap malas ke Rayan.
Rayan hanya tersenyum malu.
Sebenarnya ucapan terima kasih aku hanya ingin di dengar cuman sekali aja. Tanpa harus berulang kali. Lagian kan sama-sama manusia dan sesama muslim tolong menolong itu kan di anjurin dan wajib. Jadi lebih baik berterima kasih aja sama Allah. Yang udah mempertemukan kita.
"Habis ini lu salat taubat nasuha ya. Minta ampun sama Allah gara-gara jambret." Kataku mengingatkan, tapi kata jambret yang aku katakan hanya dengan bahasa bibir. Aku takut kalau beberapa orang ada yang mendengarnya. Bisa berabe kalau ada yang tahu.
Aku memang tahu soal agama, abah sering mengajarkan aku. Tapi ya gini aku, bisa nasehati orang soal agama. Sedangkan aku sendiri masih aja kayak gini, nggak bisa menasehati diri sendiri.
"Asheeqa." Terdengar seseorang memanggilku dari belakang.
Aku menghentikan langkahku.
"Mbak Mehru kok berhenti?"tanya Rayan bingung.
"Lu ke apotek duluan ya. Gue ada perlu."
Rayan menganggukkan kepala, dan kembali berjalan.
"Asheeqa ..."
Suara ini nggak asing. Iya aku tahu ini suara siapa. Suara yang sama sekali nggak pengin aku dengar. Panggilan yang sama sekali nggak pengin aku dengar dari mulutnya.
Aku masih terpaku, sama sekali nggak ada niatan untuk menjawab panggilannya ataupun menoleh.
"Asheeqa," terdengar kembali panggilan itu semakin mendekat.
Aku menggertakkan gigi. Sesak, di dada ku rasakan. Emosi benar-benar memuncak di dadaku. Tanganku bergetar, dan mengepal dengan kuatnya, hingga buku-buku jariku memutih.
"Kamu Asheeqa kan?" Tanyanya kembali sambil memegang bahuku.
Dengan gerakan slow motion aku menggerakkan kepalaku untuk menoleh dan memastikan siapa yang memanggilku.
Di dalam hati aku terus berdoa semoga bukan dia. Iya bukan dia. Dia yang sama sekali tidak ingin aku lihat. Dia yang sama sekali tidak ingin aku dengar suaranya. Dia yang sama sekali tidak aku inginkan menyentuhku. Dia yang menjadi luka terbesar dalam hidupku. Dia yang membuatku merasakan sakit yang teramat menyakitkan. Dia yang nggak pernah menganggapku ada...
Satu
Dua
Tiga
Pria paruh baya, dengan potongan rambut rapi, berkemeja warna navy menatapku penuh. Ada binar bahagia di sorot matanya ketika tahu dia nggak salah panggil orang.
Tapi semua itu berbeda seratus delapan puluh drajat denganku. Aku menatapnya tajam, mataku memerah karena emosi. Nggak ada rasa bahagia bertemu dengannya. Walaupun hampir delapan tahun aku tak bertemu dengannya. Ini pertemuanku dengannya untuk ke lima kalinya selama aku hidup. Tanggapanku tetap sama, marah, kecewa, sedih dan yang lebih menyakitkan aku jijik melihatnya.
Kenapa sekarang? Kenapa dia tiba-tiba ada disini? Apa nggak ada rumah sakit lain di kota ini, apa! Aku benci! Iya aku bener-bener benci sama dia! Kenapa harus hari ini Ya Allah ...
Aku belum siap ...
"Asheeqa, syukur nak akhirnya a..." katanya dengan mata berbinar.
"Jangan panggil aku Asheeqa! Kamu nggak berhak buat memanggilku Asheeqa!" Potongku cepat, dengan penuh penekanan kata perkata.
Aku bener-bener nggak suka. Pening kepalaku ketika mendengar dia memanggilku.
"Asheeqa, maafin a..."
"Udah aku bilang. Kamu nggak berhak memanggilku Asheeqa!" Jawabku kembali mengacungkan telunjuk di hadapannya, marah. Tampak wajahnya berubah sedih.
"Maafin a ..."
"Stop! Nggak usah banyak ngomong. Sana urus keluargamu. Jangan ganggu hidupku, aku sudah bahagia hidup tanpamu!" Ucapku lagi dengan emosi yang tak tertahankan. Dadaku juga naik turun menahan emosi. Bodo amat soal sopan santun terhadap orang tua. Aku benar-benar meninggalkan ajaran yang abah ajarin padaku.
Aku lebih sakit jika aku tetap ada disini. Rasa sakit ini benar-benar sudah memuncak, emosiku pun tak terbendung lagi. Dari pada aku bikin keributan lebih baik aku pergi.
Kulangkahkan kaki pergi menjauh darinya. Sekuat tenaga aku menahan airmata jangan sampai dia melihatku menangis.
Samar-samar aku mendengarnya memanggilku. Aku malah menutup kedua telingaku, dan berlari semakin menjauh darinya.
Beberapa kali aku menabrak orang. Tanpa permintaan maaf aku tetap saja berlari. Beberapa orang tampak marah melihatku.
"Kalau jalan pakai mata!"
"Ini rumah sakit mbak!"
"Mbak! Woy!"
Aku tak menghiraukan orang-orang yang memperingatkanku. Aku hanya ingin lari menjauh darinya, dan menumpahkan semua emosi di dadaku. Mataku terasa panas, dan tak lama cairan bening sialan ini keluar dari pelupuk mataku. Kasar, buru-buru aku menghapusnya dengan tetap berlari. Hingga akhirnya aku menabrak bahu seseorang, dan kehilangan keseimbangan ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top