Asheeqa 4


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Open your mind
Before
Open your mouth

-Asheeqa 4-


Aku masih saja tersenyum menahan tawa mengingat nama dokter yang duduk di depanku sekarang. Sesekali aku masih meliriknya, tapi selalu tatapan tajam dari netranya yang aku dapatkan.

"Ngapain senyum-senyum nggak jelas? Minta dibedah apa mulutmu?"katanya setengah berbisik menatapku tajam. Terlihat jelas dia masih kesal soal singa. Ganteng tapi galak ternyata.

Aku mengacungkan dua jari membentuk V kearahnya tersenyum, memberi tanda damai. Husna juga masih saja tersenyum melihat tingkah kakaknya.

"Sabar mbak Mehru. Kakakku ini nggak bakalan berani bedah mulut mbak kok. Palingan dada mbak yang bakalan dibedah."kata Husna menahan tawa dengan menutup mulutnya.

Perkataan Husna sukses membuatku langsung menyilangkan kedua tanganku di dada. Masa gara-gara manggil singa aja sampai dibedah dadaku. Atau jangan-jangan dari tadi dia menatap tajam ke arahku sedang mikirin gimana caranya membedahku. Mulai dari mana? pakai apa? Akankah sama kayak di drama korea yang aku tonton, pakai scalpel atau jangan-jangan yang lebih ekstrim lagi pakai pisau daging.

"Nggak mau."kataku merinding ketakutan, menggelengkan kepala.

"Iya bakalan aku bedah." Kata Azlan menyeringai. Membuatku menelan ludah, ketakutan.

"Dibedah dadanya, diambil hatinya terus ditulis deh Azlan,"ujar Husna terkekeh menggoda kakaknya. Nih bocah ngapa ya?

Kali ini tatapan tajam Azlan mengarah ke Husna. Husna hanya nyengir ke arah kakaknya, yang tersirat kalau dia tidak suka dengan apa yang dikatakan adiknya.

Aku sendiri hanya bengong mendengar perkataan Husna. Abah dan bunda malah tersenyum nggak jelas ke arahku dan dokter singa di depanku. Sedangkan dokter Azlan nggak peduliin dengan senyuman kedua orang tua di samping dan depannya. Dia lebih memilih menyantap masakan bunda dengan lahapnya.

"Maksudnya apa Hus? Aku kan nggak sakit liver,"kataku masih me-loading perkataan Husna soal hati.

"He, ada deh mbak. Nanti tunggu aja ya."jawab Husna aneh.

Padahal kan kita baru pertama bertemu tapi kenapa jadi bahas soal hati sih? Apa dia bisa mendiagnosis penyakit pasien dengan hanya melihat wajah pasien. Apa bener hati aku bermasalah? Aduh aku kan belum menikah. Masa iya aku dah kena penyakit liver. Gimana bunda dan abah nanti, tau aku sakit. Aku kan juga belum berdamai, masa iya aku mati masih memendam benci dan sakit hati ini. Bisa-bisa aku nggak bisa jawab pertanyaan malaikat Mungkar dan Nakir. Yang lebih parah lagi aku kena azab kubur. Lagi-lagi aku memilih menggeleng ketakutan.

Aku menatap bunda bingung. Bunda hanya membalas dengan senyuman membuatku tambah bingung.

"Dok?"aku memanggil dokter singa.

"Apa!"jawabnya ketus, menatap tajam aku.

"Maksud Husna apa sih? Aku sakit liver ya?"tanyaku makin penasaran.

Husna sudah nggak bisa tahan tawanya, dibalik mulutnya yang di tertutup jari-jarinya aku masih mendengar tawanya.

Bunda hanya menggeleng tersenyum melihat kebingunganku.

"Ihh kok ditanya pada aneh sih. Dok, jelasin kenapa sih?"kataku sambil menendang kakinya di bawah meja.

"Aduh, ngapain sih kakiku ditendang segala!" keluh Azlan makin kesal.

"Ditanya ya dijawab lah." kataku sebal.

"Nggak usah didengerin omongan Husna. Makan aja, atau beneran mau aku bawa ke ruang operasi?" Ucapnya masih dengan tatapan horornya.

"Iya aku makan!" jawabku cepat, kemudian melanjutkan makan. Dari pada di bawa ke ruang operasi, ogah banget cukup sekali masuk ke ruang operasi gara-gara nih kaki nggak tahu nginjak apa di pantai, sampai bengkak dan nyeri banget.

Sekarang kami memang ada di kantin. Menikmati masakan bunda, yang sudah repot-repot aku bawa dari rumah. Beruntung bunda lumayan banyak membawa makanan. Jadi kami semua bisa makan bersama, walaupun porsiku sedikit atau lebih banyak berkurang demi dokter singa di hadapanku ini, yang asyik mengunyah timun. Baru lihat deh singa herbivora.

Dah tau bawanya hanya cukup untuk lima orang. Untuk aku, abah, bunda, Husna, Rayan dan Ayesha. Eh tiba-tiba ngajak si dokter singa. Nih dokter juga aneh nggak ada malu-malunya langsung iyain aja ajakan bunda. Ya sudahlah nggak apa-apa lagian berbagi kan dapat pahala. Moga aja bisa bikin berkurang tabungan dosaku.

Aku duduk satu deret bareng bunda, Husna dan Ayesha. Di bangku berhadapan dengan kami ada dokter singa, abah dan Rayan.

Rayan dan Ayesha makan dalam diam, sama sekali tidak terusik dengan keributan antara aku, Husna dan dokter singa. Mungkin bagi mereka lebih penting memikirkan kondisi adiknya di ruang ICU. Aku juga sebenarnya kepikiran tentang Bila juga sih, tapi gara-gara kedatangan dokter singa bikin pikiranku kacau. Ditambah Husna yang ngomong ngawur. Makin kacau deh hariku ini.

Makanan di piring Azlan sudah tandas masuk ke perutnya. Gelas di depannya juga sudah kosong. Berbeda dengan piring kami semua yang masih ada sedikit nasi dan lauk. Tuh dokter kayaknya kelaperan sampai makan cepet banget.

"Alhamdulillah. Bunda, abah makasih ya makanannya. Azlan mau balik kerja lagi." pamit Azlan mencium tangan abah disampingnya.

"Makasih ya dok, baru kali ini ada cucu abah langsung nurut sama perintah orang selain abah," ujar Abah masih menjabat tangan Azlan.

Azlan hanya mengangguk dan tersenyum.

"De, kamu nanti pulang sendiri aja. Nggak usah dianterin sama cewek tomboy ini." Kata Azlan melirikku.

"Maksudnya apa nih?" Kataku tak terima mendengar perkataan dokter singa.

Dia sama sekali tidak menghiraukan perkataanku. Dia lebih memilih untuk berpamitan dengan bunda dan yang lainnya kemudian pergi dari kantin tanpa menoleh lagi.

Dadaku masih naik turun menahan emosi, udah seenaknya ngancam mau bedah aku. Eh sekarang malah melarang aku buat nganterin adiknya. Siapa juga yang mau nganterin nih bocah. Emang aku babysitternya apa?

"Mbak, maafin mas Azlan ya. Dia nggak bermaksud apa-apa kok. Dia nggak pengin aja ngrepotin mbak buat nganter aku segala," ucap Husna menenangkan aku.

"Udah, nggak usah emosi gitu. Dokter Azlan kayak gitu juga, gara-gara kamu kan seenaknya manggil singa." Kata Abah ikut menenangkan aku.

"Iya Ka, kamu juga sih. Lain kali kalau mau ngomong sesuatu dipikirkan dulu, jangan asal nyeplos." Bunda ikut bersuara. Aku sendiri manyun, kenapa sih semua nyalahin aku.

"Maafin Mas Azlan ya mbak." Kata Husna lagi.

"Iya gue maafin, bilang juga gue minta maaf udah manggil dia singa. Tapi kalau sikap dia masih gitu, aku bakalan tetep manggil dia singa. Udah tatapannya kayak singa mau menerkam mangsanya lagi ke aku." Kataku masih kesal.

Husna sendiri hanya tersenyum menanggapi perkataanku. Dan abah hanya menggelengkan kepala.

"Sudah-sudah, kamu minta maaf kok ada syaratnya gitu sih ka? Nggak ada tulus-tulusnya," ucap bunda.

"Biarin, habis aku kesel."

"Abah, bunda maaf kami berdua mau ke Bila dulu ya. Barangkali udah bisa ketemu sama Bila. Dan makasih makanannya." Pamit Rayan, beranjak dari tempat duduknya diikuti Ayesha yang masih diam.

"Iya sama-sama yan. Nanti kalau ada apa-apa kabarin bunda ya. Maaf bunda nggak bisa lama-lama di rumah sakit. Masih ada kerjaan dirumah. Tapi anak bunda masih mau disini kok nemenin kalian," ujar Bunda sama sekali tidak bertanya denganku dulu soal menemani mereka.

"Ka, kamu disini ya. Abah sama bunda pulang dulu. Nanti kamu kabarin kalau ada apa-apa apalagi soal biaya. Kalau bisa nanti kamu ke bagian administrasi ya. Tanya berapa biaya perawatan Bila."

Aku hanya mengangguk menjawab perkataan abah. Sekarang paling penting kondisi Bila. Singkirkan dulu lah pikiranku soal dokter singa kakaknya bocah imut berkhimar di sebelahku.

Setelah membereskan peralatan makan dan rantang makanan sisa tadi. Bunda dan abah akhirnya memilih untuk pulang duluan. Aku akhirnya mengikuti perkataan bunda untuk menemani kedua kakak beradik ini ditemani Husna.

Nggak tega kalau aku juga ikut pulang, apalagi muka Rayan masih babak belur. Pasti masih sakit gara-gara dihakimi massa tadi.

Kami berempat memilih untuk kembali ke ruang ICU.

"Mbak, aku rasa lebih baik kita bawa Rayan ke poli deh. Aku takut dia kenapa-kenapa." Usul Husna ketika berjalan denganku.

Aku mengangguk setuju usulnya, walaupun Rayan tadi sudah diobati lukanya. Tapi tetep saja aku masih mengkhawatirkan kondisinya. Apalagi dia tadi mendapat pukulan dan tendangan disekitar kepala dan perutnya. Lebih-lebih selama makan dia seperti masih menahan sakit.

"Yan."

Rayan yang berjalan dengan Ayesha di depanku, berhenti dan menoleh kebelakang.

"Ada apa mbak Mehru?"

"Ikut gue ke poli ya, periksain lukalu."

"Nggak usah mbak. Aku dah banyak ngrepotin mbak. Aku baik-baik aja kok." Elak Rayan.

Tapi karena aku masih penasaran, dan aku rasa kalau Rayan berbohong. Aku memilih untuk menekan sedikit perutnya. Dan benar dugaanku. Rayan meringis kesakitan.

"Baik-baik gimana. Ini buktinya lu kesakitan."

Ayesha tampak cemas melihat kondisi kakaknya.

"Kakak." Lirih Ayesha.

"Udah, ikut gue aja. Periksa kondisimu. Kamu nggak kasian apa sama Ayesha? Bila di ICU masa iya kamu juga sakit."

"Iya Yan, ikut mbak Mehru aja ya. Biar Ayesha sama aku. Oh ya, ini uang buat ke poli. Kalau masih kurang nanti aku tambahin," Ucap Husna memberikan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan ke aku.

"Tuh, kurang baik apa coba korban lu, Yan. Dia masih peduli sama lu dan adiklu. Jadi ikut gue ke poli sekarang." Kataku tak menerima penolakan.

Rayan menoleh ke Ayesha, meminta persetujuan adiknya. Ayesha mengangguk setuju.

"Iya mbak, nanti kalau Rayan udah punya duit. Rayan ganti ya mbak Husna."

"Udah nggak usah diganti, aku ikhlas kok." Kata Husna tersenyum.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top