Asheeqa 33
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Besok hati kamu dok. Tapi bukan aku tabrak. Melainkan aku bedah terus aku tulis namaku di hatimu."
~Asheeqa~
Tak henti-hentinya bacaan hamdallah terlantun dari bibirku. Aku merasakan Allah begitu sayang sama aku. Menunjukan semua kebesarannya untukku.
Dalam waktu beberapa bulan ini, aku bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dari Mehru yang tomboy, kayak preman pasar. Hingga menjadi Asheeqa yang menutup auratnya. Walaupun saat ini aku masih belajar. Tapi aku rasakan semuanya Allah permudahkan.
Rasa benci yang begitu teramat pada ayah pun kini telah memudar. Berganti rasa sayang dan bahagianya punya ayah yang selama ini sebenarnya dia adalah sosok yang aku rindukan. Ternyata selama ini hanya salah paham, yang berakibat fatal membuatku menjadi anak durhaka. Tapi lagi-lagi Allah menunjukkan kuasanya. Allah lah yang mampu membolak-balikkan hati hambanya. Dan hanya Allah lah yang bisa kembali memberikan hidayah-Nya untukku.
Sebuah keluarga utuh kini aku rasakan. Berkumpul dengan semuanya di momen bahagiaku. Tak ada lagi rasa sedih dan benci. Hanya senyum yang merekah di bibir kami masing-masing. Bisa di bilang sekarang jadi keluarga besar. Ada abah dan bunda yang tak henti-hentinya mendoakan yang terbaik untukku. Keluarga susuanku, umi, abi, dan dua abang terbaikku bang Igo dan bang Aries. Terakhir yang terpenting Ayah, ibu dan Rendi juga.
Bertambahnya jumlah anggota keluarga dengan hadirnya ketiga kakak beradik yatim piatu yang tak sengaja menuntunku kembali bertemu dengan ayah. Membuatku memperbaiki hubunganku dengan ayah. Dan tentunya tanpa adanya teguran kecil dari Allah saat Bila sadar. Aku mungkin tak akan menjadi Asheeqa yang menutup aurat seperti sekarang. Semua ini atas kebesaran Allah. Alhamdulillah....
Allah memang punya rencana tersendiri untuk setiap makhluk-Nya. Treatment dan teguran-teguran kecil berupa ujian yang bisa membuat hamba-Nya kembali menuju jalan yang di ridhoi-Nya.
Dan sekarang di tempat ini, di acara wisudaku. Kami semua sudah berkumpul hendak berfoto bersama. Itung-itung jadi foto keluarga terlengkap pertama bagiku. Mungkin dari ratusan mahasiswa yang di wisuda hari ini. Hanya aku sendiri yang membawa begitu banyak anggota keluarga. Tak tanggung-tanggung total 13 orang termasuk aku. Pokoknya ini jadi salah satu hari terspecialku.
"Ayo semuanya menghadap kamera ya jangan lupa senyum." Ucap seorang fotografer yang hendak mengambil foto kami semua.
Semuanya sudah siap dengan gaya masing-masing dengan senyum tiga jarinya.
Cekreekkk
Tak cuma sekali, kami melakukan banyak sesi foto keluarga yang aneh-aneh. Apalagi dengan tingkah konyol kedua abangku, Rendi, dan ketiga adik angkatku yang kali ini benar-benar membuang title jaim mereka.
Ada satu pose foto yang akhirnya membuatku meneteskan airmata saking bahagianya. Untuk pertama kalinya aku berfoto dengan bunda dan ayah. Aku yang diapit keduanya. Membuatku merasakan begitu bahagianya punya keluarga utuh.
Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga
"Anak ayah kok malah nangis?" Ucap ayah menghapus airmataku.
"Ini tangis bahagia yah. Makasih ayah dah mau maafin Kaka." Ucapku sesenggukan yang langsung mendapatkan pelukan ayah.
"Ayah yang seharusnya bilang makasih sama kamu. Ayah begitu bangga punya anak kayak kamu. Apalagi kamu dapat gelar cumlaude."
"Kaka nggak boleh nangis. Nanti bunda ikut nangis." Mellownya bunda kambuh.
"Kaka sayang ayah dan bunda." Ucapku terisak memandang kedua orangtuaku.
"Cuman ayah dan bunda nih? Kita semua nggak mbak sayang?" Celetuk Rendi di belakangku. Dengan semua anggota keluarga lainnya yang memandangku sambil memamerkan deretan gigi putih mereka.
"Kaka sayang kalian semua hiks hiks hiks." Tangisku pecah dihadapan semuanya.
Bukannya ikut terharu atau menangis tapi mereka semua tertawa terbahak-bahak. Membuatku malah merajuk.
"Tapi ada satu kejutan special nih buat kamu dek. Iya nggak om, eh maksud aku ayah Ahzar." Ujar bang Igo.
Aku menatap ayah, tapi ayah hanya tersenyum begitu juga bunda.
Abah orang yang paling dituakan akhirnya menghampiriku. Merangkulku dan tersenyum manis.
"Abah mau kasih aku mobil ya?"
Abah menggelengkan kepala.
"Terus apa?"
"Kaka kan udah gede. Kaka juga udah penuhin permintaan abah dan bunda jadi sarjana. Jadi sekarang waktunya abah dan ayahmu tentunya mencarikanmu pendamping."
"Yah kirain dapat mobil." Ucapku sedikit kecewa.
"Lebih dari mobil kali neng ini mah. Kamu bakalan dapat supirnya juga yang dengan senang hati membawamu ke surga dunia dan surganya Allah." Bang Aries ikut ngoceh.
"Jadi ceritanya Kaka mau di jodohin gitu?"
"Bukan di jodohin. Tapi kemarin ada seorang pria dengan gentlenya nemuin ayah buat mengkhitbahmu."
Glek
Aku menelan ludahku sendiri. Doa yang nggak sengaja kemarin aku ucapkan akhirnya menjadi kenyataan.
"Siapa yah?"
"Nanti dia juga kesini."
Tanpa aku sadari seorang pria membawa sebuket bunga mawar merah menghampiri kami semua. Tapi dia nggak sendirian ada dua orang lain di belakangnya satunya memakai toga sepertiku dan seorang lagi pria dengan hidung prosotan.
Kenapa dia? Apa benar dia yang datang menemui ayah. Terus kemana seseorang yang selalu membuat duniaku jungkir balik. Kemana dia yang dengan polosnya, ibunya memintaku menjadi menantunya. Kaka ngarepin dia ya Allah. Beberapa hari ini kan Kaka nyebutin namanya di setiap akhir shalat. Kenapa malah orang lain yang datang.
"Asheeqa! Akhirnya kita udah jadi sarjana." Zahra memelukku erat, saking bahagianya.
Aku sendiri hanya tersenyum getir menyapa dua pria di belakang Zahra.
"Selamat juga buat Nyonya Salman yang akhirnya di wisuda bareng aku." Ucapku sedikit menghilangkan rasa sedih di hati.
"Oh ya ada yang mau ketemu nih." Zahra cengengesan melirik seorang pria yang membawa sebuket mawar merah di samping suaminya.
"Selamat ya Asheeqa." Ucap suami Zahra duluan.
"Selamat ya Asheeqa. Ini, maaf cuman bunga." Ucap Rayhan menyerahkan sebuket bunga.
Aku hanya tersenyum menerimanya. Tapi senyum ini palsu. Nggak tahu kenapa ada sesak yang kembali aku rasakan kayak kemarin.
Aku melirik ke belakang mencara keberadaan keluargaku yang kini malah sudah bergeser sedikit menjauh dari kami berempat.
Ya Allah apa ini pria yang kemarin datang ke ayah? Tapi jujur aku belum siap kalau dia orangnya. Entah kenapa aku malah menyebut nama orang lain di sela doaku.
"Mau kerja apa lanjut ngambil S2?" Tanya Rayhan lirih.
"Ka, di tanyain juga malah diem bae lu ah."
"Eh maaf tanya apa mas?"
"Mau langsung kerja apa lanjut S2?" Ulang Rayhan.
"Nikah kan Ka. Ngikutin gue gitu hehehe." Senggol Zahra menggodaku.
Lagi-lagi aku memilih tersenyum saja menanggapinya. Pikiranku masih kacau memikirkan semua ini. Aku belum siap.
Hanya beberapa menit kami mengobrol. Lebih tepatnya Zahra dan Rayhan yang lebih banyak bersuara. Aku hanya sesekali menanggapi walaupun hanya sepatah dua patah kata yang terlontar dari bibirku.
Setelah mereka bertiga pamitan, aku memilih kembali menuju kumpulan keluargaku. Moodku benar-benar hancur. Saat aku menatap ayah dan abah pun mereka hanya tersenyum. Tidak ada sanggahan atau apapun dengan pertanyaan dari tatapanku yang sedih.
Harusnya sekarang aku kan bahagia, habis wisuda. Perjuanganku menyelesaikan kuliah. Hingga gelar cumlaude aku raih. Tapi semuanya hancur. Hikz hikz hikz apakah ini akhir pencarianku mencari imam.
"Ciyee yang dapat mawar merah. Adek kita udah gede ya bang."
Aku mencebik dengan mata berkaca-kaca menatap bang Aries.
"Loh kok malah mewek gitu sih." Bang Aries dan bang Igo panik melihat reaksiku yang lebay banget kata Rendi dengan bahasa bibir sekembalinya aku dari ngobrol dengan pasukan timur tengah.
"Duh cini-cini abang peyuk,,," ujar si bawel bang Aries.
Bang Igo langsung memelukku.
"Kenapa dek?"
Aku hanya menggeleng. Bang Igo menguraikan pelukannya.
Kali ini nggak tahu kenapa aku ingin sendiri aja. Beberapa temen yang memintaku untuk berfoto bareng juga hanya aku tanggapi dengan senyuman dan foto layaknya bikin foto KTP datar tanpa ekspresi kegembiraan gelar mahasiswa tak lagi aku sandang.
Mawar merah yang aku pegang hanya aku pandang sekilas dan kuberikan ke Ayesha.
"Kok buat aku mbak?"
"Nggak apa-apa mbak nggak suka mawar merah."
"Sukanya uang selembaran berwarna merah ya mbak." Celetuk suara nyinyir dari belakangku. Tak lain suara adik tiriku yang kalau udah ngomong pengin aku jitak kepalanya.
Aku merasakan ujung toga yang aku pakai di tarik oleh Bila.
"Kenapa?" Tanyaku menggerakkan jari-jariku berkomunikasi dengan Bila.
"Foto di sana yuk." Gerak tangan Bila menunjuk ke sebuah bangku di bawah pohon angsana yang menjadi latar beberapa mahasiswa yang sibuk menghabiskan batere kamera mereka.
Aku hanya mengangguk dan berjalan dengan terus menunduk. Bagiku rumput yang ku injak ini lebih bagus dari pada aku harus melihat kegembiraan teman-temanku. Toh suasana hatiku juga sudah sendu. Jadi apalah daya mataku harus memandang ke sekeliling. Aku lebih baik menjaga pandangan mataku dari pada aku zina mata. Perubahanku yang memakai khimar ini juga membuat temen seangkatanku juga mulai aneh-aneh. Mereka bak melihat artis ibukota yang datang ke acara wisuda hari ini. Pandangan mereka penuh rasa memuja melihatku. Jadi pilihan memandang rumput itu yang terbaik.
Mengingatkanku bangku taman yang sama persis di rumah sakit dengan guguran bunga angsana di bawahnya. Tempat dimana adegan payung bersama dokter Azlan. Andai dia ada di sini, pasti lengkap rasanya berfoto di tempat ini. Jadi background foto after weddingku kelak.
Hingga tanpa aku sadari, aku menabrak sesuatu benda yang keras tapi punya aroma yang begitu menenangkan. Aku begitu menikmatinya, sampai mataku sengaja aku pejamkan.
Bila menarik ujung togaku menyadarkanku dari kenikmatan sesaat yang begitu menenangkanku.
"Apa?"
Bila menunjuk sesuatu di depanku.
Astaghfirullah....
Lagi-lagi efek nggak fokus. Kurang minum kali ya aku. Ternyata yang aku tabrak itu punggung seorang pria berkemeja warna biru, dengan lengan yang digulung sampai siku.
Sang pria membalikkan badan. Aku sendiri buru-buru menundukkan pandanganku. Yang ku lihat satu tangannya membawa sebuket coklat dan beberapa wafer yang sengaja di bentuk menyerupai buket bunga dengan sebuah boneka tedy bear berwarna putih yang memakai toga di tengahnya.
Sepertinya aku menabrak seseorang yang ingin menemui salah satu wisudawan di sini.
"Maaf." Lirihku.
"Kebiasaan kamu ya. Lain kali kalau jalan harus fokus. Mata juga di pakai buat melihat ke depan." Ucapnya menyindirku.
Bibirku sukses manyun menatapnya. Tapi buru-buru aku langsung menunduk ke bawah.
Kenapa dia ada di sini?
"Kemarin mobilku penyok, sekarang badanku. Besok apa lagi?"
"Besok hati kamu dok. Tapi bukan aku tabrak. Melainkan aku bedah terus aku tulis namaku di hatimu."
"Akhirnya dateng juga. Sudah lama loh kami nungguin kamu pak dokter." Ucap abah dari belakangku.
Aku sukses langsung menengok ke belakang mendengar penuturan abah.
Beberapa anggota keluargaku yang lain cekikikan melihat tampangku yang super aneh. Antara muka yang masih sedih karena kedatangan pasukan timur tengah, di tambah mulut pedas si Azlan papan triplek dan wajah bengongku tak kala tahu kalau yang di tunggu kedatangannya dari tadi ternyata si dokter terkece serumah sakit kalau Rendi ngomong.
"Nih." Ucap Azlan memberikan sebuket makanan ringan ala-ala mahasiswa kere yang nggak bisa beliin bunga buat kelulusan teman sekampusnya.
Aku hanya menerima dengan wajah masih terkejut.
Dokter Azlan melewatiku begitu saja setelah buket yang ada di tangannya kini beralih ke tanganku. Dia memilih menyalami para tetua di bandingkanku.
"Mbak bengong mulu sih. Kalau nggak mau sini buketnya. Lumayan aku laper. Iya nggak Bil?" Ucap Rendi meminta pendapat.
Sedangkan bila seperti biasa memamerkan senyum manis khas rambut nenek. Salah satu jajanan favoritku waktu SD.
"Hai dokter." Sapa bang Aries sok dekat.
"Panggil Azlan aja. Ini kan nggak di rumah sakit."
"Oh iya lupa. Calon adik iparku. Tapi beneran nih serius mau jadiin adik kita calon istri lu?"
"Insya Allah siap bang."
Bentar-bentar, maksud adik ipar dan calon istri apa nih. Kok perasaan cuman aku aja yang nggak ngerti apa-apa. Sedangkan keluargaku yang lain malah tampak akrab dengan tuh dokter. Umi, abi serta ibu juga langsung aja bisa ngobrol dengan si Azlan. Malah sekarang kok aku yang di diemin mereka. Siapa saja please, tolong jelasin sama aku.
Rendi, Bila, Ayesha dan Rayan yang ada di sampingku lagi-lagi hanya cengengesan saat aku memandang mereka. Meminta penjelasan tentang semua ini.
Beberapa menit kemudian Azlan datang menghampiriku yang masih di apit sama ke empat adikku.
"Nggak usah kaget. Aku memang pria yang datang menemui ayahmu. Dan yang selalu menyebutkan namamu di sela doaku. Meminta agar di permudah sama Allah untuk menjadikanmu bidadari di dunia dan surganya Allah kelak." Ucap si Azlan dengan wajah datar dan pemilihan kata yang mungkin sedikit aneh dan nggak ada sweet-sweetnya bagiku.
Aku sendiri masih saja bengong mendengar ucapannya yang lumayan panjang.
Ini ungkapan dari hatinya atau sekedar kata-kata yang dia hafalkan sih. Kok mukanya itu lempeng aja nggak ada reaksi apa-apa. Bukannya ini sama aja dia sedang melamarku kan?
"Ya elah nih orang malah bengong. Udah mbak nggak usah sok bengong dan kaget. Nih dokter Azlan tuh yang kemarin datang ke rumah. Bukan si hidung prosotan yang tadi."
Aku menatap tajam ke arah Rendi. Nih bocah emang musti di lakban mulutnya.
"Gimana mbak kalau yang ini mbak suka kan? Mau kan jadi istrinya pak dokter." Giliran Rayan yang bersuara.
"Ini serius kan bukan mimpi?"
Aku melihat sekilas ke dokter Azlan yang kini mengangguk dan memamerkan senyum termanisnya di hadapanku.
"Aku boleh pinsan nggak?" Ucapku sebelum akhirnya aku memang tak sadarkan diri saking shocknya nggak nyangka kalau doaku beberapa hari ini yang menyebutkan nama Azlan agar menjadi suamiku dikabulkan sama Allah.
"Yah malah pinsan." Samar-samar aku mendengar suara si bocah nyinyir tak lain Rendi, yang tak ku hiraukan. Yang penting aku pengin pinsan aja sangking seneng dan shocknya dokter Azlan mau jadi suamiku.
Yang penasaran mau tau ungkapan hati kenapa si dokter singa mau jadiin Kaka istri. Tunggu ya versi bukunya. Insya Allah kalau jadi di terbitin. Heee
Terima kasih semua... jangan lupa ikutan GA.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top