Asheeqa 30

بِسْــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Kalau payung ini di pakai kita. Kemungkinan kontak fisik sama kamu ada. Aku lebih baik menghindarinya."

~Asheeqa~


"Sembilan puluh delapan,,, sembilan puluh sembilan,,, seratus,,, seratus satu... Ahhh..." erangku frustasi menghitung domba atau kambing aku lupa apa namanya.

Kok gini banget sih. Nih mata juga lebar banget. Padahal aku dah ngantuk, tapi nih mata susah banget buat di pejamin.

"Tidur dong." Keluhku, melirik jam dinding yang kini tepat menunjukkan angka 00.45.

"Udah malem, ikan aja udah bobok. Tapi kenapa aku susah banget sih buat merem." Mewek deh.

"Kalau mau tidur ambil air wudhu, baca doa. Baca surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nas." Pesan bunda saat aku merengek nggak bisa tidur.

Tepok jidat, kenapa baru inget sih soal beginian. Harusnya kan dari tadi aku lakuin. Kenapa jadi lakuin hal sia-sia yang nggak Rasulullah anjurin.

Dari Aisyah, beliau radhiyallahu anha berkata,

كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ) ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash), Qul audzu birobbil falaq (surat Al Falaq) dan Qul audzu birobbin naas (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari no. 5017).

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/1097-adab-islami-sederhana-sebelum-tidur.html


Aku memilih beranjak dari tempat tidur dan ke kamar mandi untuk ambil air wudhu. Kembali berbaring, dan menutup separuh tubuhku dengan selimut. Dilanjutkan membaca tiga surat terakhir dalam Al Qur'an. Meniupnya ke telapak tangan dan di usapkan ke seluruh badan. Semuanya sudah aku lakukan. Sekarang waktunya merem.

Tapi baru beberapa detik mata terpejam. Mataku kembali terbuka dengan lebarnya.

Hikz hikz hikz,,, ini semua gara-gara si dokter papan kayu. Bikin aku nggak bisa tidur. Iya aku nggak bisa tidur bukan mikirin kondisi Rendi atau masalah dengan ayah. Melainkan sama sikap si singa yang aneh bin ajaib.

"Aku pria, hujan bagiku hal biasa. Kalaupun kamu memintaku untuk memakai payung sendiri dan membiarkanmu basah. Lebih baik aku membuangnya dan sama-sama kita basah oleh tetesan hujan."

Aku yang berjalan akhirnya berhenti . Menoleh pada si dokter, yang masih siap sedia memayungiku. Meski aku menolaknya.

Memandang wajahnya yang datar, senyum yang tadi tercetak di bibirnya kini telah hilang. Walaupun mengucapkan kata-kata yang begitu sweet tapi tampangnya masih sama. Kalau kata bu Prihatin dia ini kayak papan triplek.

"Jangan baper."

Aku memandangnya tak percaya dengan ucapannya. Ngapain juga baper sama kata-katanya. Biasa aja kok, malah aku pikir dia itu lebay. Dan bisa jadi dia yang baper kali sama aku.

"Kalau payung ini di pakai kita. Kemungkinan kontak fisik sama kamu ada. Aku lebih baik menghindarinya."

"Terus kemarin gendong aku itu gimana?" Batinku menelisik pada sorot matanya, yang buru-buru dia alihkan pandangan matanya ke samping.

"Kemarin darurat." Jawabnya singkat tanpa memandangku. Seakan bisa membaca pikiranku.

Tapi nggak tahu darimana aku masih saja berdiri dan memandangnya. Padahal aku tahu, kalau memandang lawan jenis yang bukan mahram. Sama aja itu namanya zina mata.

"Ayo buruan jalan. Ngapain liat-liat saya!. Saya bukan ojek payung. Jadi lekas jalan, abang kamu udah nungguin." Mulut pedasnya kembali berujar.

Aku udah siap-siap ingin meluncurkan semua uneg-uneg dihatiku sama ucapan pedas level 10. Siapa juga sih yang mau di payungin. Ngapain repot-repot nyamperin aku.

"Buruan jalan!" Tatapnya tajam padaku.

Malas berdebat akhirnya aku memilih jalan. Dan tetap si dokter triplek memayungiku dari belakang.

Jadi buat kalian jangan bilang kalau kata-kata si dokter itu sweet pakai banget. Buktinya mulutnya itu lebih pedas dari mie cabe yang kemarin aku makan.

Sumpah tuh dokter aneh. Bikin aku makin benci sama dia. Kadang bisa manis tapi dalam hitungan berikutnya bisa nyemburin cabe dari mulutnya. Astaghfirullah....

Ku hembuskan nafas kasar dan membuang jauh-jauh pikiran si dokter singa. Dan berusaha kembali memejamkan mata. Tapi lagi-lagi aku terjaga. Benda pipih diatas nakas asyik bergetar.

Ayah is calling....


Aku geser icon telpon ke arah kanan. Menjawab panggilan ayah.

"Assalamu'alaikum yah."

"Wa'alaikumsalam Ka. Maaf ayah nelpon kamu malam-malam."

"Nggak apa-apa yah. Ada apa? Rendi baik-baik aja kan?" Tanyaku khawatir.

"Alhamdulillah Rendi udah sadar. Dan dia mencarimu."

"Alhamdulillah. Tapi ini..." kalimatku terpotong.

"Ayah tau kak. Cuman ayah harap setelah salat subuh kamu segera kesini ya."

"Insya Allah yah."

"Assalamu'alaikum." Ucap ayah mengakhiri panggilan.

"Wa'alaikumsalam."

Aku mengusap wajahku. Makin bertambah deh alasan buat aku nggak bisa tidur. Apa yang terjadi sama Rendi? Sampai ayah nyuruh aku segera kesana.

Kalau sekarang kesana nggak mungkin. Memang sih rumah sakit nggak tutup tapi buka 24 jam. Tapi jalan menuju ruang ICU dan rawat inap pasti di tutup. Melarang pasien di kunjungi malam-malam.

Pokoknya sekarang aku harus tidur. Sudah cukup mataku bengak karena menangis seharian. Jangan lagi di tambah sama efek mata panda karena aku terjaga semalaman.

Akhirnya dengan ritual sebelum tidur yang aku lakukan tadi aku ulangi kembali. Di tambah dengan mendengarkan murotal dari handphone yang menenangkan membuatku tertidur.

.

.

.

Aku memenuhi janjiku. Sehabis shalat subuh dan membaca selembar ayat suci Al Qur'an aku segera bersiap ke rumah sakit.

Bunda merasa heran ketika melihatku sudah rapi. Gamis berwarna maroon dan khimar senada yang kini melekat menutupi auratku.

"Ka?"

"Mau ke rumah sakit bun, Rendi udah sadar. Ayah semalam menelpon nyuruh aku datang."

Bunda hanya mengangguk. Dan berpesan agar aku berhati-hati menuju rumah sakit.

Hubungan aku dan ayah sekarang jauh lebih baik. Sepanjang kemarin di rumah sakit ayah selalu memelukku saat aku melihat Rendi dari balik kaca pembatas ruang ICU. Dia berujar kalau aku nggak usah kuatir tentang kondisi dia. Rendi anak ayah yang paling kuat. Selama di rawat di rumah sakit, tak sekalipun dia mengeluh. Walaupun puluhan kali jarum suntik menyentuh kulitnya yang tipis. Apalagi saat kemoterapi yang membuat rambutnya rontok tak tersisa. Dia hanya tertawa di depan kaca dan bilang kalau dia mirip Ipin di serial Upin Ipin.

Tak terasa aku sudah sampai di pelataran rumah sakit. Hari masih gelap, hanya ada beberapa keluarga pasien yang terlihat baru bangun. Beberapa perawat juga terlihat keluar masuk ruang rawat inap. Mungkin mereka habis mengganti infus pasien atau ada hal yang pasien butuhkan.

Saat aku berbelok di koridor menuju ICU aku berpapasan dengan si dokter singa. Wajahnya terlihat kuyu. Jas putih yang biasa rapi dan pas di badannya, kini tidak di pakai melainkan ada di lengannya.

Dia hanya melirik sekilas padaku kemudian berjalan melewatiku, tanpa menyapa.

"Sekolah mah tinggi, tapi attitude nggak ada." Sindirku.

Dia menghentikan langkahnya. Merasa kali kalau sindiranku sampai di hatinya.

"Ehm permisi." Jawabnya singkat, kemudian melanjutkan jalannya.

"Dasar Triplek."

"Maaf nama saya dokter Azlan. Kalau kamu lupa?" Jawabnya dengan suara sedikit keras, tanpa menolehku.

"Mati aku, ternyata tuh dokter telinganya hebat banget pendengarannya. Ngalahin kelelawar kali ya." Gumamku dalam hati. Beruntung di sepanjang koridor ini hanya ada aku dan dia.

Dokter Azlan sudah tak terlihat lagi.

Aku mengusap dadaku. Bersyukur dia tidak lagi mengucap kata-kata pedasnya. Aku harap ini terakhir kalinya ketemu dia di rumah sakit.

"Asal kamu tahu ini hari terakhirku di sini." Nggak tahu dari mana tiba-tiba telingaku mendengar kata-kata itu.

"Ihhh kok jadi merinding sih. Siapa lagi yang ngomong, nggak ada orang lagi. Cepet-cepet kabur nih. Amit-amit jangan sampai salah satu penghuni rumah sakit ngikutin aku.

.

.

.

Di ICU.

Tampak ibu Anita, ibunya Rendi tersenyum kearahku. Aku menghampiri dan mencium tangannya.

"Masuk aja Ka. Ayah di dalem."

"Emang boleh bu? Bukannya belum buka jam segini."

Ibu tersenyum,"jam segini diijinin kok Ka. Tapi hanya sebentar, nyuapin sarapan gitu."

Aku baru tahu. Tapi nggak apa-apa deh. Lumayan bisa lebih cepet. Dari pada nunggu sampai jam 9.

Aku memakai baju khusus. Lagi-lagi de javu masuk ruangan ini.

"Assalamu'alaikum." Sapaku melihat ayah duduk di sebelah Rendi.

"Waalaikumsalam, Alhamdulillah kamu udah sampai Ka." Ucap Ayah sumringah melihat kedatanganku.

Aku memilih tersenyum. Aku masih merasa bersalah pada Rendi.

"Rendi nggak percaya Ka, kalau kamu dan ayah udah baik-baik saja."

Aku mengernyitkan dahi mendengar perkataan ayah.

"Emang bener mbak?" Tanya Rendi lirih.

Aku hanya mengangguk, berdiri di samping ayah dan memeluknya. Beliau pun merangkulkan tangannya di bahuku.

"Alhamdulillah,,, jadi kalau aku nggak ada nanti ada mbak yang nemenin ibu dan ayah."

"Kok ngomongnya gitu sih?" Tanyaku terkejut.

Rendi hanya cekikikan menanggapi reaksiku.

"Iya kan setiap manusia pasti akan mati. Mau tua atau muda." Rendi menjeda perkataannya, "apalagi aku yang sakit hehehe."

"Nggak boleh ngomong kayak gitu. Kamu pasti sembuh. Kamu harus sehat. Emang kamu nggak mau lihat aku wisuda? Lihat aku nikah? Lihat aku punya anak? Nggak mau gitu gendong keponakan dan main bareng dia? Anak-anakku kan pasti lucu-lucu." Kataku penjang lebar tentang masa depan.

"Hehehe, emang mbak udah punya calon suami apa? Sampai ngayal sejauh gitu." Rendi meledekku, walaupun masih banyak kabel terpasang di badannya. Dan selang oksigen di hidungnya tetap aja bisa meledekku.

Aku mendengus nafas kasar, memanyunkan bibirku.

"Hemm, ayah jadi penonton aja ah. Yang penting ayah siap kapanpun kalau ada cowok yang datang meminang kamu. Kalaupun dimintain jadi wali hari ini juga seratus persen ayah siap."

Aku kini menatap ayah. Ternyata anak sama ayah sama aja. Aku makin terpojok.

"Tuh mbak ayah udah siap. Jadi kapan nih di seriusin?"

"Mbak heran padahal baru aja kemarin di operasi kepala kamu. Kok malah ngomong nglantur nggak jelas kayak gini. Perlu ditanyain ke singa nih. Jangan-jangan dia salah nyambungin syaraf di kepala kamu."

"Ciyeee dokter Azlan di bawa-bawa nih yeee."

Tanganku udah mengepal siap menjitak kepala bocah ini. Tapi aku tahan-tahan, banyakin baca istighfar aja deh ngadepin dia. Apalagi sekarang dia jelas adik tiriku. Kalau aku jitak lagi bisa-bisa pendarahan lagi tuh kepalanya.

"Jangan kangen ya mbak sama dokter kesayanganku. Tunggu aja sampai dia dateng nemuin kamu mbak. Jangan terlalu benci juga sama dia. Eh nggak apa-apa ding benci. Benci kan artinya benar-benar cinta." Goda Rendi.

"Language ya Ren. Nggak usah banyak ngomong. Mending lu diem biar cepet sembuh. Kalau mau konser dan stand up nunggu kalau kamu udah di bawa ke bangsal." Pamitku langsung meninggalkan Rendi dan ayah.

Panas nih kuping dan hati kalau lama-lama deket sama dia. Nggak sehat nggak habis operasi tetep aja tuh mulut nyinyir juga.

"Kenapa Ka?" Tanya ibu melihatku komat-kamit nggak jelas.

"Sebel. Bela-belain kesini tetep aja tuh bocah ngledekin mulu."

Ibu terkekeh mendengar aku mengadu.

"Cumam sama kamu Ka, Rendi bisa ngomong banyak kayak gitu. Dia cuman nggak tahu caranya nunjukin rasa sayang dan senangnya tahu kalau dia masih punya kakak kayak kamu. Ibu juga makasih banget, karena kamu Rendi bisa tersenyum dan banyak omong. Bagi dia kamu itu bukan sekedar kakak. Tapi bagi dia kamu itu obat dan penyemangat dia buat sembuh." Ujar Ibu membelai kepalaku yang tertutup khimar.

Kata-kata ibu mengingatkanku pada seseorang. Yang dulu juga mengucapkan terima kasih karena aku membuat Rendi tersenyum. Ahh lagi-lagi aku diingatkan lagi akan sosoknya. Aku kan dah niat buat nggak berurusan lagi sama dia. Moga aja tadi jadi terakhir kalinya aku ketemu dia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top