Asheeqa 24


بِسْــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Lima persen itu adalah kemungkinan yang bisa menjadi seratus persen jika Allah sudah berkehendak.

~Asheeqa~




Tekadku sudah bulat dimanapun nanti kalau aku ketemu ayah. Aku nggak boleh marah apalagi main kabur menghindarinya. Aku harus berani melawan rasa takut akan tersakiti lagi saat bertemu ayah. Pokoknya aku harus perbaiki hubunganku dengan ayah. Agar aku bisa mendapatkan jodoh.

Tapi darimana ya aku memulai pencarian ayah. Haruskah ke tempat dimana aku terakhir bertemu ayah? Tempat terakhir aku bertemu ayah ya di rumah sakit. Tapi ogah kalau aku harus memulai dari rumah sakit.

Males aja ketemu dua makhluk cowok aneh yang nyebelin banget. Kok bisa tuh dokter dan pasien bisa segitunya sama aku. Pokoknya cukup nggak mau berurusan sama mereka lagi.

Tapi kalau nggak je rumah sakit berarti harus kemana dong? Hadeeeh makin pening nih kepalaku.

Handphone di atas nakas bergetar, tapi aku masih enggan untuk memeriksanya. Paling juga sms dari operator yanh selalu setia mengirimkan pesan bagi pelanggan tercintanya kayak aku. Sudah setia lebih dari delapan tahun nggak ganti operator.

Ddrtt drrtt drtt drrtt....

Makin lama kok getarnya makin intens. Hahaha baru nyadar kalau ini bukan getar karena sms atau notifikasi dari sosial media yang aku punya. Tapi ini karena ada panggilan masuk.

Aku sendiri merupakan salah satu tipe orang yang enggan memakai ringtone ketika ada pesan masuk atau panggilan. Lebih memilih memakai getar, walaupun kadang di omelin gara-gara nggak tahu kalau ada panggilan masuk. Habis aku kan orang yang suka dengan kedamaian. Tapi kalau di ajak ribut paling di depan buat berkoar-koar atau bikin suasana damai jadi ribut. Sstt ini nggak baik jangan di contoh yak!

Nama Ipeh Arab, tertera di layar handphone kesayanganku. Mukanya yang lagi monyong sengaja aku jadiin foto profil dia.

Aku memilih menggeser keatas gambar telpon yang berkedip-kedip sedari tadi. Soalnya sengaja tadi nunggu sampai si Ipeh melakukan tiga kali pemanggilan. Bukan maksud ngerjain, tapi tuh anak hobi banget cumi (cuma miscall).

"Assalamu'alaikum..." kataku ramah.

"Ngapain aja sih nggak di angkat-angkat!" Ipeh langsung teriak, menjawab telponku.

"Jawab salam dulu Ipeh."

"Panggil gue Zahra Ru!"  Masih aja nih bocah dari padang pasir masih tak terima aku panggil Ipeh.

"Assalamu'alaikum Fatimah Az Zahra anaknya babeh Mustaqim dan Nyak Zaenab."

"Wa'alaikumsalam Mehru cucunya abah Abraham yang sekarang udah tobat mau ngalahin Karput biar dapet Habib."

Emang perlu di getok sama centong kayunya bunda nih bocah. Apa coba mikir aku yang hijrah di samain sama artis.

"Kenapa!" Aku langsung ngegas.

"Wuidihh kok sekarang jadi lu yang galak sih Ru."

"Udah to the point aja. Lu ngapain telpon gue?" Aku masih saja ke bawa emosi. Padahal aku udah janji bakalan jadi cewek lemah lembut. Tapi tetep susah ngontrolnya, apalagi di sulut sama panasnya mulut Arab.

"Ke Mall yuk. Nanti aku traktir sepuasnya deh." Rayu si ipeh.

Tapi kalau tiba dia baik gini pasti ada maunya.

"Yah Ru, temenin gue. Please... "

"Udah jujur aja Rab, minta gue nemenin ke mall pasti mau ketemu si raja Salman kan?" 

"Ihh ngaco deh lu. Ngapain ketemu raja Salman. Wong gue mau ketemu sama Pangeran Salman anaknya juragan kain calon suami gue."

"Maksud gue juga itu." Ipeh hanya cekikikan menyadari maksud perkataanku.

"Please ya Ru mau. Nanti gue beliin sepatu high hells deh buat lu." Rayuan gombal si Ipeh.

"Ogah! Lu pengin bikin kaki gue keseleo ya?"

"Ihh Ru lupa ya. Bulan depan kan kita wisuda. Pakai kebaya dan toga, masa iya kamu nggak pakai high hells. Apa jangan-jangan lu mau pakai stiletto ya?"

Aku mendengus kasar. Dasar tuh bocah makin ngaco aja. Gila aja suruh gue pakai begituan.

"Nggak mempan. Gue nggak mau nemenin lu pokoknya."

"Abang Salman mau bawa temennya Ru. Jadi lu ikut ya? Siapa tahu dia nanti jadi jodoh buat lu. Okey! Please ya Mehru cantik. Tolongin sohib lu nih. Biar gue nggak grogi di samping dia. Pokoknya gue janji bakalan beli apapun yang lu mau. Lima menit lagi gue nyampe di rumah lu. Pokoknya lu dah siap!"

"Eh Arab, jadi dari tadi lu nyetir sambil nelpon?" Lagi-lagi arab hanya cekikikan.

Dasar tuh bocah, kalau ketilang baru deh ngedrama nangis-nangis.

"Pokoknya lima menit lagi gue sampai. Dan nggak ada penolakan.
Assalamu'alaikum."

Tut tut tut.

Telpon dimatikan sepihak oleh Ipeh, tanpa memberiku waktu menjawab salamnya. Sabar-sabar punya sohib macam dia.

"Wa'alaikumsalam." Ucapku lirih meletakkan handphone kembali di atad nakas.

.

.

.

Bukan cuma di telpon dia maksa aku buat nemenin dia pergi. Tapi pas sampai rumah tanpa rasa malunya dia maksain aku buat ikut ke mall ketemu calon suaminya.

Abah dan bunda juga sama. Langsung ijinin aja pas si Arab minta ijin ngajakin aku pergi. Pakai acara katanya mau ngenalin aku ke temennya si Salman lagi. Biar bisa bareng-bareng naik pelaminan bareng. Bareng-bareng hamil, dan lahiran juga bareng. Berasa pengin banget punya teman seangkatan seumur hidup bareng aku kali ya.

Tapi ogah juga, apalagi temennya si Salman pasti punya hidung kayak prosotan. Pokoknya nggak mau! Titik.

Walaupun di rayu biar memperbaiki keturunan lah. Biar hidung anakku nanti nggak kayak aku. Tapi tetep aku nggak suka produk import pengin yang lokal aja. Asli indonesia kayak dialah pokoknya. By the way  dia siapa ya? Bantu pikir napa...

"Ru, pakaian gue pas kan nggak norak?" Pertanyaan ke sepuluh yang Arab tanyain ke aku. Sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di kamarku, sampai kita ada di pelataran parkiran mall.

Aku memilih memperhatikan dari ujung kaki sampai ke kepala arab. Dia memakai dress bunga-bunga se betis dengan lengan panjang. Di padukan dengan sepatu flat shoes yang nyomot di lemari sepatuku. Gara-gara dia gagal mau pakai high hells 15 centi meter miliknya.

Udah tomboy pakai gaya pakai high hells. Gagal lah. Masa pakai high hells jalannya kayak robot. Pakai segala acara tangan di rentangkan lagi, kayak kiper jagain gawangnya.

"Udah cantik rab." Itu jawaban singkatku di sepeluh pertanyaan yang sama dari arab.

"Beneran kan? Gue nggak norak kan pakai begini."

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Kalau boleh jujur sebenarnya si ipeh alias Zahra ini lebih cantik kalau pakai hijab. Aku pernah liat fotonya, dia lebih mirip jadi putri dari kerajaan arab dengan aurat yang tertutup. Tapi aku nggak berani mengatakan itu semua di depan dia.

Karena menutup aurat karena paksaan tidak akan bertahan lama.

"Rab, si juragan kain udah sampai?"

"Ihh Mehru. Kita mau ketemu Salman bukan bapaknya tau."

"Iya anak juragan kain. Kalau bapaknya meninggal kan dia yang jadi juragan kain. So, apa salahnya gue nyebut dia juragan kain juga."

"Eh, iya juga yah. Berarti nanti gue jadi nyonya juragan kain. Pinter banget sih Ru." Arab menepuk bahuku lumayan keras.

Aku hanya menghembuskan nafas, mencoba sabar sama perlakuan cewek yang ngakunya sohib. Tapi malah melakukan kekerasan ke aku. Perlu bukti visum nih kayaknya.

Arab memeriksa handphonenya.

"Udah sampai Ru. Tapi temennya belum sampai."

"Alhamdulillah."

"Kok lu Alhamdulillah sih Ru? Harusnya kan lu bilang 'Lah, kok dia belum sampai sih? Nanti gue kan nggak bisa buat lihat cowok ganteng.'. Harusnya gitu Ru." Dengan nyebelinnya si Ipeh memeragakan gaya sok centil ketika mengatakannya.

Aku cuman melirik sekilas dan memilih jalan mendahului si arab.

"Mehru kok lu ninggalin gue sih? Emang lu tau tempatnya?"

Gimana aku nggak tahu. Sudah lima kali dia bilang kalau mau ketemuan sama di Salman di Restoran seafood langganan kami kalau ke mall.

Arab lari tergopoh-gopoh menyusulku.

Sebenarnya ada untungnya Ipeh ngajak aku ke Mall. Jadi aku bisa jalanin misi buat ketemu ayah. Semoga aja di tempat ini aku ketemu beliau.

Walaupun kemungkinan hanya lima persen aku bisa bertemu dengannya. Tapi tetep lima persen itu adalah kemungkinan yang bisa menjadi seratus persen jika Allah sudah berkehendak.

Salman si calon suami arab sudah menunggu di salah satu meja di dalam restoran.

Penampilannya tetap sama. Dengan perawakan yang tinggi khas pemuda keturunan timur tengah. Kaos dan celana jeans yang dia pakai terkesan santai dan casual. Cocok di sandingkan dengan dress yang di pakai Ipeh. Pas deh buat acara kencan mereka, sebelum minggu depan mereka resmi bertunangan.

"Assalamu'alaikum, maaf ya nunggu lama." Ucap ramah si Ipeh di depan calon laki-lakinya.

"Wa'alaikumsalam. Nggak kok baru juga beberapa menit."

Aku dan Ipeh memilih duduk berhadapan dengan Salman. Sebenarnya agak risih jika harus duduk berhadapan seperti ini dengan cowok bukan mahram.

Eits bentar, kok otakku sekarang berjalan dengan baik sih. Bisa merespon kalau duduk posisi ini risih. Kayaknya karena pakai gamis kayak gini, pola pikirku dengan sendirinya berubah. Mana yang baik dan nggak menurut agama.

Ipeh dan Salman mulai mengobrol. Sedangkan aku hanya sesekali menjawab pertanyaan mereka.

Mataku juga tak seratus persen ada di obrolan mereka. Malah lebih banyak mataku melihat ke sekeliling. Barangkali aku melihat sosok ayah di sini.

"Ru, lihat apaan sih lu?"

"Nggak lihat apa-apa kok Ra." Jawabku bohong.

"Nyari temenku ya? Dia masih jalan kok bentar lagi juga sampai." Nah, nih pertanyaan yang bikin aku setuju kalau mereka cocok. Sama-sama punya minat sama jodohin aku. Sama-sama perkataan mereka nyebelin.

"Nggak lah. Ngapain juga nyari temenmu bang. Tau orangnya aja kagak. Lihat kesana-kesini tuh barangkali aja gue ketemu orang yang gue kenal di sini. Dari pada nemenin kalian." Jawabku ramah tapi pada kalimat terakhir sengaja kutekankan.

Salman dan Ipeh kompak tertawa.

"Kan tau sendiri Ra. Cowok cewek bukan mahram kalau bertemu itu nggak boleh berduaan nanti ketiganya setan hihihi." Mulut Ipeh bersuara.

"Jadi?"

"Jadi apa Ra?" Tanya Ipeh pura-pura nggak tahu. Melainkan tuh bocah udah cekikikan.

"Udah ahh, mendingan kalian buru-buru ijab qabul biar halal. Jadi kalau mau ketemuan nggak rusuhin aku."

Lagi-lagi dua makhluk dari timur tengah cekikikan.

Aku memilih membuang muka menghadap ke salah satu meja yang di duduki dua orang pria yang sedang duduk berhadapan. Satu pria menghadap ke arahku sama sekali aku nggak kenal. Tapi pria yang lainnya yang hanya punggungnya aku lihat seperti tak asing.

Saat pria itu menoleh. Jatungku seakan berhenti berdetak. Bibirku juga kelu. Mataku sama sekali tak berkedip melihatnya.

Aku kenal. Iya aku kenal orang itu. Walaupun hanya beberapa kali aku bertemu. Tapi yang namanya ada ikatan darah. Pasti aku mengenalinya. Aku tahu kalau dia orang yang ingin aku temui.

"Ra, bentar ya gue mau nemuin seseorang." Pamitku.

Aku berjalan dengan pelannya menuju dua pria itu. Sebenarnya ada rasa takut buatku untuk menyapanya duluan. Apalagi kalau aku ingat-ingat pertemuan terakhir dengannya.

Dua pria tadi tampak berbincang-bincang serius. Sampai nggak tahu kalau aku ada di belakang mereka, yang berjarak satu meter. Tapi dari sini aku jelas mendengar obrolan mereka.

"Gimana kabar anak perempuanmu Zar?" Tanya pria di hadapan ayah.

"Anak perempuanku sudah lama meninggal Fan." Jawab ayah dengan nada sedih.

Bagai di sambar petir di siang bolong aku mendengar perkataan itu langsung dari bibir ayah.

Meninggal. Ayah menganggapku sudah meninggal. Terus kenapa kemarin dia mengatakan kalau dia ayah yang ingin meminta maaf padaku. Sedangkan hari ini dia bilang aku sudah meninggal.

"Maaf mbak ada apa ya? Kok berdiri di situ." Teman ayah akhirnya mengetahui keberadaanku.

Ayah menoleh dan terkejut melihatku di belakangnya.

"Asheeqa." Panggilnya lirih, berdiri menghadapku.

"Jangan panggil aku Asheeqa. Kamu nggak pantas memanggilku dengan nama itu." Kataku penuh dengan kemarahan.

"Kamu denger apa yang tadi ayah katakan?"

"Kamu bukan ayahku. Bagi kamu aku udah lama meninggalkan?" Jawabku dengan menatapnya tajam, diiringi dadaku yang kembang kempis menahan amarah.

"Ka, ayah bisa jelasin." Ayah mengulurkan tangan hendak meraihku.

Aku menepisnya dan berlari menjauhinya.

Aku sama sekali tak menghiraukan panggilannya. Ipeh yang melihatku berlari juga berteriak memanggilku. Tapi sama, aku mengabaikannya dan terus berlari keluar dari restoran.

Dadaku sakit mendengar perkataan ayah.

Tak terasa cairan bening ini kembali keluar, saking tak tahannya aku mendengar kalimat itu.

Saat aku bertekad untuk melupakan kesalahannya. Dan mencoba berdamai dengan masa lalu, tapi kenyataan pahit yang malah aku dapatkan.

Aku terus berlari hingga aku tak sadar sudah berada di parkiran mobil.

Aku menangis sejadi-jadinya mengingat perkataan ayah. Pikiranku benar-benar kacau. Rasa sakit ini begitu menyiksaku.

Hingga aku tak menyadari ada sebuah mobil yang ingin berbelok di tempatku berdiri. Dalam hitungan detik aku sudah jatuh tak sadarkan diri. Samar-samar aku mendengar suara seorang pria yang memanggil-manggilku.

















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top