Asheeqa 22


بِسْــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Nggak mungkin orangtua lu milihin jodoh yang nggak baik buat lu. Pasti mereka milihin jodoh yang terbaik buat anaknya.

~Asheeqa~


Aku udah sampai di cafe tempat janjian dengan arab. Setelah tadi panggilan dia menyelamatkanku dari obrolan yang nggak bermutu.

Judulnya berhasil kabur dari mereka udah bersyukur banget. Walaupun langsung tancap gas bawa si putih ngindarin mereka. Dan bikin aku kecepatan dateng ke cafe ini.

Setengah jam sudah aku duduk di sini. Satu gelas lemon tea tandas menyisahkan es batu di dasar gelas.

Seorang pelayan menghampiri mejaku.

"Ada yang mau di pesan lagi mbak?"

"Satu gelas lemon tea lagi deh mbak." Jawabku nyengir.

"Ini aja mbak? Atau ada lagi?"

"Itu aja deh mbak. Saya masih nunggu temen. Kalau udah sampai nanti saya pesan lagi."

"Baik." Sang pelayan pergi.

Hemm, si arab kemana sih kok nggak nyampe-nyampe. Sekali lagi aku melirik jam tangan. Sepuluh menit lagi nggak nyampe mending cabut aja deh.

Heran juga tuh bocah kenapa lama banget. Dia kan nggak tinggal di arab yang musti berjam-jam naik pesawat buat sampai sini.

Kuketukkan jariku di atas meja menanti kedatangan si putri padang pasir.

"Naik onta apa ya dia ke sini." Keluhku lirih.

Aku kembali berkutat dengan handphone. Meneror si arab di whatsApp. Tapi sekian panjang dan tiap menit pesan yang aku kirim cuman di read doang sama tuh bocah. Bikin tambah kesel aja sih dia.

Baru juga lepas dari dua makhluk penghuni rumah sakit eh sekarang di bikin kesel lagi sama si arab.

"Lu Mehru?" Tanya seseorang takut-takut berdiri di depanku.

Tatapan tajam langsung aku berikan padanya. Tapi saat mulutku ingin mengumpat kata-kata kesal, dia sontak memelukku.

"Rab, lepasin napa ah. Sesek napas nih gue."

Cewek yang di panggil arab melepaskan pelukannya.

"Lu Mehru kan? Iya kan preman pasar sohib gue!."

Tuk

Sentilan keras reflek aku berikan ke arab. Mulutnya nggak bisa di jaga apa ya. Ngomong keras banget. Bikin satu cafe nengok ke arah kami.

"Duh sakit kali Ru." Keluhnya mengusap kening bekas sentilanku.

"Makanya punya mulut di jaga. Ngomong kayak pakai toa."

"Sorry ru. Kok lu pakia kayak gini? Habis ikut bunda pengajian ya?" Tanyanya melihat penampilanku.

"Sekarang penampilanku kayak gini." Jawabku dengan suara lembut.

"Beneran? Lu nggak kayak artis-artis di tv kan? Yang pakai hijab terus lepas lagi." Lagi-lagi suara cempreng arab menggema di seantero cafe.

Pusing. Denger ocehan si arab. Aku lebih memilih memijit jidat, menunduk malu.

"Duduk rab." Pintaku yang cepat di turuti arab.

Cewek yang duduk di sebelahku ini emang keturunan arab asli. Nyak dan babehnya orang arab, yang lama tinggal di jakarta. Makanya nih bocah yang ngaku sohibku punya suara cempreng dan asal nyaut kalau di ajak ngobrol. Makanya nggak heran kalau dia bangga jadi arab betawi.

Nama aslinya sih Fatimah Az Zahra. Nyak ame babehnya berharap nih anak cewek satu-satunya bisa jadi cewek yang lemah lembut kayak anak baginda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Tapi harapan tinggal harapan, karena kebanyakan ngejar-ngejar layangan waktu kecil dia punya suara yang cempreng dan keras. Bikin nyak dan babehnya selalu istighfar. Apa salah dan dosa kedua pasangan arab itu.

"Ada apa nih ngajakin ketemuan di sini? Lagi punya uang banyak ya? Apa jangan-jangan toko parfum lu lagi laris manis ya?" Tanyaku berurutan tanpa memberikan jeda buat si Fatimah alias Ipeh alias arab sohibku.

Mukanya malah cemberut dan manyun. Matanya juga berkaca-kaca. Dalam hitungan dua. Dia sudah nangis kejer memelukku.

Lagi-lagi bikin kehebohan nih si arab. Bikin malu banget asli. Rasanya pengin banget pinjem panci bunda buat tutupin mukaku yang sudah cantik pakai khimar ini.

Bener-bener deh hari ini penuh drama banget buatku. Pengin banget kabur lagi.

Hampir sepuluh menit arab nangis di pundakku. Aku juga rela dan ikhlas banget khimarku basah gara-gara airmata dan ingus si arab.

"Nih minum." Kataku menyodorkan segelas lemon tea pesenanku tadi.

Sedotan yang ada di dalam gelas di buang sembarangan sama si arab. Langsung aja si Ipeh menempelkan bibirnya di gelas. Dalam sekali minum lemon teaku sudah tandas pindah ke perut si arab.

"Haus mpok?"

Dengan punggung tangannya si arab mengusap mulutnya. Dan meletakkan gelas di meja dengan kasar.

"Duh rab, bisa lembut dikit nggak. Masa naruh gelas aja bisa bunyi keras gitu. Kalau pecah siapa yang mau ganti." Keluhku, nggak nyangka si arab bisa aneh kayak gini.

Pokoknya lebih parah dari aku tingkah si arab. Dia emang lebih tomboy gayanya di bandingkan aku. Tapi soal pakaian dia lebih feminim dariku. Dia masih mau pakai rok. Walaupun sama dia belum pakai hijab. Belum dapat hidayah.

"Gue di jodohin sama anak juragan kain Ru." Ucap Ipeh sambil bibirnya di maju-majuin.

Aku mengusap mukaku. Ternyata semua tingkah anehnya yang ajaib ini masalahnya cuman satu. Gara-gara si arab di jodohin.

"Alhamdulillah dong Peh. Sama juragan kain kan nanti kalau gue beli kain buat bikin gamis pasti di gratisin." Kataku cekikikan.

"Bukan juragannya Ru, tapi anaknya." Ipeh nggak terima. Padahal kan sama aja ya. Kalau orang tuanya meninggal kan yang warisin dia.

"Iya lah terserah lu deh. Anaknya atau juragannya juga boleh lah."

"Mehru! Juragannya udah tua kali Ru. Ini anaknya yang mau di jodohin sama gue."

"Iya deh. Terus yang jadi masalahnya apa?"

"Ya gue di jodohin. Di Jo Do Hin. Tau kan Ru? Gue nggak pernah ketemu dia. Tapi nyak babeh gue main terima aja lamarannya."

"Ohhh."

"Kok cuman Oh sih Ru. Iba atau prihatin kek sama gue." Airmata Ipeh sudah mengalir deras dari kedua pelupuk matanya.

"Sorry. Kalau nyak babeh lu nerima dia. Berarti dia itu laki-laki yang baik buat lu. Kan nggak mungkin orangtua lu milihin jodoh yang nggak baik buat lu. Pasti mereka milihin jodoh yang terbaik buat anaknya." Jawabku panjang lebar, menenangkan Ipeh.

"Kalau ini terjadi sama lu gimana? Apa lu bakalan terima? Tanpa drama kayak gue?"

Aku menelan salivaku. Nggak bayangin kalau tiba-tiba kejadian itu menimpaku. Tapi siapa juga yang mau minta aku jadi istri, dan ibu buat anak-anaknya. Lagian kan aku juga belum berdamai sama ayah. Apa dia mau jadi wali nikahku?

"Ru kok lu diem sih? Lu juga nggak mau kan di jodohin kayak gue?" Ipeh mengibaskan tangan di depanku menyadarkanku dari lamunan.

Aku hanya tersenyum.

"Peh." Ipeh manyun. Aku lupa dia nggak suka kalau di panggil Ipeh sama aku. Bagi dia, panggilan Ipeh hanya boleh buat nyak babeh dan keluarganya. Kalau aku sebagai sohibnya di suruh manggil dia Arab atau Zahra.

"Zahra sohib gue yang cantik kalau lagi diem. Menurutku sih lu terima aja maunya orangtua lu. Dari pada lu selalu ngayal nikah sama cowok yang pakai bedak. Mending anak juragan kain itu lebih nyata."

"Bukan cowok pakai bedak. Dia oppa-oppa korea Ru. Inget Oppa korea itu manis, matanya kecil di tambah hidungnya mancung kecil. Bukan hidung gede kayak prosotan anak-anak."

Aku memilih menepuk jidat. Nih orang nggak nyadar diri apa ya. Babeh dan abang-abangnya kan punya hidung gede kayak prosotan juga. Wong hidung dia juga kayak prosotan.

"Mehru." Panggil Ipeh mendorong-dorong lenganku.

"Emang lu dah ketemu sama tuh anak juragan kain?"

Ipeh hanya menggeleng.

"Ya udah temuin aja dulu."

"Nyak gue bilang. Kalau hari ini gue di suruh temuin dia. Jam tiga ini di cafe ini." Lirih si Ipeh bicara.

Aku melirik jam ditanganku, 14.57.

"Rab, tiga menit lagi. Tapi kenapa lu ngajakin ketemu di sini juga?"

"Temenin gue, ketemu anak juragan kain." Ucap Ipeh memelas, memegang tanganku pakai efek mata pupuy eyes lagi. Bikin aku nggak bisa nolak.

"Kalau gue nggak suka. Buat lu juga boleh kok."

"Ngaco lu ah."

"Beneran deh. Gue sukanya sama oppa-oppa korea." Ipeh mengacungkan dua jari, bersumpah.

Sekali lagi jariku mennyentil jidat putri arab dari betawi ini.

Sambil bibir manyun dia mengusap jidatnya.

"Ogah ya ogah. Gue nggak minat punya suami hidung gede kayak prosotan di TK deket rumah gue."

Arab malah ketawa ngakak mendengar ucapanku. Memang sedeng nih putri arab.

"Emang lu dah punya cowok buat di jadiin calon suami ya?" Tanyanya.

"Gue?" Aku menunjuk diriku sendiri.

Arab hanya mengangguk.

"Belum. Tapi gue pengin kayak lu."

"Maksudnya di jodohin?"

"Bukan di jodohin. Tapi kalau ada yang suka sama aku ya. Langsung datengin orantua gue. Buat nglamar gue. Pokoknya model taaruf kayak gitu."

"Ciyeee, yang sekarang udah jadi ukhti-ukhti cantik ya maunya pakai model taarufan."

Aku dan Ipeh tertawa bersamaan. Mengiyakan perkataannya. Intinya sih pengin sesuai syariat islam gitu lah hidupku nanti.

Saat kami tertawa bareng, menertawakan konyolnya Ipeh yang nangis jadi tontonan pengunjung cafe. Seorang pria bertubuh tegap dengan hidung sesuai cerita Ipeh tadi, berdiri di depan meja kami.

"Assalamualaikum, maaf apa anda yang bernama Fatimah Az Zahra?" Tanyanya lembut.

Si Ipeh yang punya nama hanya bengong menatap pangeran arab di depannya.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Iya Kak, ini yang namanya Zahra." Jawabku, menunjuk Ipeh.

Ipeh terlihat gelagapan bingung mau jawab apa.

"Ra, jawab salam dulu." Tegurku.

"Maaf, wa'alaikumsalam. Kakak anak juragan kain ya eh salah maksud aku kak Salman?"

Dia tersenyum dan meminta ijin untuk duduk satu meja dengan kami.

Muka Ipeh yang tadi kusut katanya nggak mau punya suami arab dengan hidung gede, sekarang malah senyum-senyum bahagia. Pria yang di panggil Salman juga terlihat senang bertemu dengan calon istrinya.

"Sampai lupa. Kenalin kak sohibku Mehru namanya." Ipeh memperkenalkan aku dengan suara lemah lembut mirip putri kraton.

"Mehru." Ucapku menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Salman."

"Ya udah Ra, aku pamit ya. Di rumah masih sibuk soalnya." Pamitku berdiri. Males juga kalau di sini nanti bisa-bisa jadi nyamuk.

"Ru, disini dulu ya nemenin aku."

"Sorry Ra, gue ada perlu. Nggak apa-apa kan kak Salman aku tinggal?"

Salman hanya tersenyum.

Saat aku bersiap-siap mau pergi. Ipeh berdiri dan membisikkan sesuatu.

"Ru, kayaknya aku bakalan mutusin oppa korea deh. Mau nikah aja sama pangeran arab anak juragan kain."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum ke arah Ipeh.

"Sukses." Ucapku lirih.















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top