Asheeqa 17
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Hijrah dengan berganti pakaian tertutup itu gampang. Tapi hati kita juga harus berhijrah. Menjadi pribadi yang lebih baik."
~Asheeqa~
Hari ini jadi hari bersejarah buatku. Untuk pertama kalinya, aku belanja baju sampai jutaan. Gila apa ya? Beli sepatu harga 700 ribu aja bunda udah ngomel berhari-hari. Apa kabar dengan hari ini? Pasrah deh nih kuping.
Walaupun nggak semua juga sih pakai uangku. Malah bisa di bilang delapan puluh persen bayar pakai ATM bang
Igo dan bang Aries. Tapi tetep aja hari ini namanya pemborosan.
"Maafin kaka ya Allah." Ucapku lirih selirih-lirihnya.
"De, ngomong apa sih? Kok mukanya ditekuk kayak gitu." Tegur Bang Aries.
Wajahku sudah manyun, dengan bibir bawah lebih maju di bandingkan dengan yang atas menghadap bang Aries.
"Abang, nanti kalau bunda, abah, umi dan abi marah gimana?" Rengekku menghadap bang Aries yang kini berjalan di sampingku.
"Marah?" Bang Aries tampak bingung.
"Iya. Kita bawa kayak gini." Kataku sedih sambil memperlihatkan beberapa tas belanjaan yang ku bawa. Di tambah bang Aries juga punya nasib yang sama membawa tentengan belanjaanku.
"Nggak bakalan." Ucapnya santai kembali berjalan mendahuluiku.
"Kok gitu bang. Ini keterlaluan banget loh. Hampir lima belas gamis abang beli tau!" Kataku kesal.
"Hemm, mereka nggak bakalan marah sayang. Wong mereka juga termasuk yang milihin kok."
"Tapi ini tetep salah bang." Kataku ngotot nggak mau kalah. Yang bener aja nggak salah, ini salah banget lah. Belanja banyak kayak gini.
"Nggak ada yang salah, lagian kan kita bayar. Bukan nyolong oneng." Bang Aries menempelkan telunjuknya di keningku dan mendorong pelan.
"Ishhh abang. Bukan maksud ade kayak gitu. Ini namanya pemborosan alias berlebihan alias... "
"Stop." Kali ini telunjuk bang Aries mampir ke mulutku, "protesnya nanti di mobil. Nggak nyadar apa kita jadi pusat perhatian orang." Bang Aries memelankan suaranya dan memberi kode padaku untuk melihat ke sekeliling.
Aku hanya mengangguk. Malu deh jadi pusat perhatian orang. Apalagi pandangan mereka aneh-aneh. Berasa jadi terdakwa deh.
Bang Aries berhasil menggenggam tanganku. Memintaku berjalan segera menuju parkiran.
Semua barang belanjaan sudah aku masukkan ke jok belakang.
"Bang, bener kan bang ini berlebihan?" Tanyaku masih takut.
"Nggak, biasa aja." Jawabnya masih sok cuek dan enteng.
"Abang nyebelin banget sih." Keluhku makin kesal. Menghentakkan kaki ke tanah, sebal.
Tampak bang Aries menghela napas pasrah. Melihatku bermode kesal dan ngambek.
"Dengar de. Ini nggak berlebihan, ini semua buat kamu agar bisa hijrah seutuhnya. Abang nggak mau lihat kamu berpakaian kayak gini nanti setelah berhijab."
Aku kembali manyun dan melihat penampilanku sendiri. Celana jeans dengan atasan kemeja kotak-kotak dan di tambah outer serta hijab pemberian Bila.
"Itu bukan pakaian muslimah yang Allah perintahkan. Kamu tahu kan nggak boleh menyerupai pakaian laki-laki dan membentuk lekuk tubuh. Plus satu lagi hijab yang kamu pakai harus menutupi dada."
"Iya bang ade tahu. Cuman apa ini nggak berlebihan sampai beli sebanyak ini." Lagi-lagi aku menunjukkan barang belanjaan.
"Ini buat persediaan dan gantiin semua isi lemari kamu." Ucap bang Aries pasrah.
"Bang ini boros namanya. Dan abang tau kan kalau pemboros itu saudaranya setan." Kataku mengingat perkataan abah saat aku belanja banyak kemeja gara-gara ada diskon gede-gedean.
وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27
Artinya : “(26) Dan Berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang ada dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghamburkan (hartamu) dengan boros. (27) Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudaranya setan dan sesungguhnya setan itu sangat ingkar kepada tuhannya.” (QS Al Isra : 26-27)
"Oh iya ya, maaf abang lupa. Habis kalap dan terlalu bersemangat tahu kamu mau hijrah." Senyum-senyum gaje deh nih abang.
"Hijrah dengan cuman ganti pakaian muslimah emang gampang bang. Tapi yang terpenting kan hati kita juga hijrah. Tapi kalau pemborosan kayak gini sama aja balik ngikutin ajakan setan." Kataku bijak.
"Ihh pinter banget sih de kamu. Tapi...," perkataan bang Aries terhenti.
Kayaknya masih ada yang mau dikatakan bang Aries. Lebih baik aku diem dulu.
"Tapi, seperti yang kamu bilang. Hati kamu juga harus hijrah kan? Apakah kamu sudah memaafkan ayah?" Tanya bang Aries takut-takut.
Aku hanya tersenyum dan menahan gejolak di hati ini.
Apa aku udah bisa maafin ayah? Apakah aku bisa istiqomah dengan jalanku memilih hijrah saat ini.
Ya Allah,
Engkau yang Maha Tahu apa yang ada di hati hamba.
Engkau pasti tahu apa yang terbaik untuk hamba.
Engkau pasti akan menunjukkan jalan yang lurus untuk hamba.
Hilangkanlah rasa sakit di hati ini agar hamba bisa memperbaiki diri.
Bukan cuman penampilan yang berubah.
Tapi...,
Hati juga ikut hijrah.
Dan bisa memaafkan Ayah.
Aku masih terdiam sampai suara bang Aries menginterupsi.
"De, kamu mau pulang atau balik ke rumah sakit?"
"Balik ke rumah sakit. Si putih kan di sana." Jawabku.
"Ok."
"Tapi abang bawain belanjaanku pulang ke rumah ya. Kan nggak mungkin aku bawa pakai si putih. Ntar di kira mau buka lapak." Rayuku.
"Hemm, iya deh."
"Makasih abangku ganteng." Ucapku ceria.
***
Aku sudah sampai di rumah sakit. Bang Aries hanya ngedropin aku. Jadi dia nggak ikut masuk.
Ruangan Bila terlihat sepi. Bunda dan abah sepertinya udah pulang. Bila juga sedang tidur. Lama juga ya aku belanja. Sampai pegel nih kaki.
Terdengar suara keran dari dalam kamar mandi. Sepertinya Bila nggak sendirian.
"Mbak udah di sini?" Tanya Ayesha terkejut saat keluar dari kamar mandi.
Aku hanya tersenyum.
"Bener ya, mbak tambah cantik." Ungkap Ayesha melihat perubahanku.
"Dari dulu kali Sha hehehe." Aku terkekeh, masa iya sih aku ganteng kan aku cewek pasti cantiklah. Mungkin berhijab bikin kadar kecantikanku naik berkali lipat kali ya.
"Iya deh." Ujar Ayesha melihatku yang cengar-cengir keGe-Eran.
"Bunda sama abah udah pulang ya?"
"Udah mbak dari tadi kok."
Aku hanya mengangguk-angguk. Payah nih abah, masa ninggalin anak di bawah umur di rumah sakit.
Hampir sejam aku ngobrol tentang hijab dengan Ayesha. Sampai mencoba tutorial hijab ala anak zaman now. Tapi tetep itu cuman buat lucu-lucuan aku nanti bakalan pakai hijab syar'i. Memakai khimar yang menutup sampai perut.
Tapi kok bete juga ya. Pengin jalan-jalan keliling rumah sakit. Apalagi lihat Ayesha yang udah terkantuk-kantuk.
"Sha, mbak tinggal sendiri nggak apa-apa kan?"
"Nggak apa-apa mbak." Jawabnya ramah.
Akhirnya aku memilih berjalan keluar dari ruangan Bila.
Nggak tahu kenapa pengin aja jalan-jalan keliling rumah sakit tanpa ada tujuan. Padahal kemarin aku kayak orang aneh. Ketakutan masuk ke rumah sakit gara-gara ketemu ayah. Tapi apa iya aku jalan-jalan ini pengin ketemu ayah.
Nggak. Nggak mungkin. Aku kan jalan-jalan cuman pengin jalan-jalan aja. Lihat situasi rumah sakit. Lihat kesibukan rumah sakit. Pokoknya niatnya pengin keliling. Pegel di kaki gara-gara belanja nggak tahu kenapa juga udah hilang.
"Mbak." Sapa seseorang berkursi roda saat berpapasan denganku.
Aku menunjuk diriku sendiri. Memastikan kalau dia menyapaku.
"Iya. Mbak yang kemaren nangis di taman kan?" Tanyanya memastikan kalau dia tak salah orang.
Aku mengusap wajah dan tertunduk. Kok dia masih ingat sih. Itu kan peristiwa yang memalukan.
"Bener kan? Kok sekarang pakai hijab mbak. Tobat ya mbak?" Tuduh dia begitu menohok jantungku.
"Bukan tobat tapi hijrah." Jawabku menatap tajam mengintimidasinya. Bukannya takut dia malah tertawa mendengar jawabanku.
"Semoga istiqomah ya."
"Aamiin." Jawabku singkat, kemudian kembali melangkahkan kaki.
"Mbak tunggu." Cegahnya.
"Apa?" Tanyaku menoleh padanya, malas.
"Minta tolong dong, dorongin kursi rodaku sampai ke tempat kemarin." Pintanya.
"Ogah. Kalau aku nganterin kamu. Sama aja aku bantuin kamu kabur dari acara minum obat." Kataku berbalik badan menghadapnya.
"Aku nggak kabur mbak. Aku udah minum obat. Aku cuman bosan aja di kamar." Raut wajahnya berubah muram.
Aku berpikir sejenak. Kasian juga sih lihat dia. Pasti bosen juga di kamar rawat. Aku aja cuman beberapa jam aja udah bete apalagi dia yang kayaknya udah berhari-hari.
"Gimana mbak? Kalau nggak mau nggak apa-apa aku bisa minta tolong orang lain." Katanya hendak menggerakkan kedua tangannya mendorong roda kursi rodanya.
"Iya aku bantuin. Tapi bener kan kamu nggak lagi kabur?" Tanyaku penasaran.
"Nggak mbak. Aku bosen di kamar. Lagian aku cuman sendiri di kamar."
"Orangtua kamu atau saudara kamu yang nemenin di rumah sakit nggak ada?"
Dia hanya menggeleng.
Karena rasa belas kasihan. Aku menuruti kemaunnya, menuju tempat kemarin aku menangis. Dan mendengar ocehan si dokter singa yang begitu menyakitkan.
"Sampai." Kataku mengikuti logat salah satu adegan di sebuah sinetron. Membuat Rendi tertawa.
"Mbak, ada-ada aja sih."
"Emang udah sampaikan?" Tanyaku cengengesan.
"Iya deh. Makasih ya mbak." Jawab Rendi tersenyum.
"Sama-sama." Kataku, kemudian duduk tepat seperti kemarin dengan Rendi di sampingku.
"Loh kok mbak duduk di sini?"
"Iyalah duduk, capek dorong kamu." Kataku pura-pura capek menghadapnya.
Padahal aku duduk di sini hanya ingin menemaninya, serta memastikan kalau dia baik-baik saja. Rendi sepertinya bukan pasien dengan penyakit biasa. Kalau aku inget-inget dia kan lagi nungguin pendonor. Jadi kemungkinan dia mengidap penyakit serius.
"Maaf ya mbak udah ngrepotin. Kalau kakiku punya tenaga buat menopangku berjalan. Pasti aku nggak akan merepotkan orang." Ucapnya sedih.
Aku menepuk bahunya, menyalurkan semangat padanya. Ada perasaan ikut sedih saat melihat wajahnya yang muram.
"Nggak usah sedih. Kamu harus semangat biar cepat sembuh." Terangku memotivasinya.
Rendi tersenyum. Dia sama sepertiku punya satu lesung pipi di sebelah kiri saat tersenyum.
"Saudara mbak udah sehat?"
"Alhamdulillah, adik mbak udah keluar ICU. Mungkin tiga hari lagi udah bisa pulang." Jawabku tentang kondisi Bila.
"Syukur deh. Kita nggak bisa ketemu lagi dong." Rendi kembali bersuara.
"Maksudnya?" Tanyaku heran.
"Iya. Nggak tahu kenapa nyaman aja dekat mbak. Padahal kita baru dua kali ketemu hehehe."
Dahiku mengernyit menatapnya aneh. Nih anak halu apa ya. Nyaman di sampingku, maksudnya apa nih. Anak masih bau kencur udah ngomong aneh-aneh.
"Nggak usah mikir nggak-nggak mbak. Seleraku bukan mbak-mbak kayak situ. Aku bingung aja kenapa bisa ngrasa nyaman ngobrol dan deket sama mbak. Soalnya baru kali ini aku ketemu sama orang yang kayaknya enak buat jadi teman pertamaku."
Awalnya aku udah pengin jitak kepala nih bocah. Bisa banget nebak apa yang aku pikirkan. Tapi di akhir kalimatnya buat aku kembali terenyuh.
Seakan tahu apa yang kembali aku pikirkan. Dia kembali berbicara.
"Mbak bisa jadi teman pertamaku. Selain suster dan dokter di sini." Rendi menjeda perkataannya, "aku dari kecil bolak-balik ke rumah sakit. Jadi aku nggak punya teman, saudaraku juga udah meninggal."
Kembali aku mengetahui kenyataan dari sosok Rendi.
Rumah sakit benar-benar jadi tempat aku mengetahui banyaknya sebuah masalah pelik. Yang membuatku berkali-kali mengucapkan syukur kalau aku masih lebih beruntung dari mereka. Dan satu hal lagi, aku yang selama ini selalu merasa kalau aku punya masalah paling berat. Tapi ternyata di luar sana banyak yang lebih berat dariku
"Yah, ini malah bengong. Mbak nggak usah mikir nggak-nggak. Aku baik-baik aja dengan semua takdirku ini. Jadi mbak nggak usah ngasihani aku ya," ujar Rendi, menatapku tersenyum.
Aku merasa bersalah saat ini. Karena kasihan aku mau membantunya. Harusnya aku membantu seseorang tanpa adanya embel-embel kasihan.
Tapi benar juga sih ada perasaan nyaman yang aneh. Pokoknya bukan perasaan tentang cintrong ya. Tapi rasa nyaman kayak ngobrol sama bang Aries atau bang Igo.
"Mbak, suka banget sih bengong. Hati-hati loh nanti kayak ayam punya engkong."
Tuk
Karenq kesal sentilanku mampir di jidat Rendi yang nyebelin banget.
Rendi malah tertawa terbahak-bahak. Tapi melihat tawanya membuat hatiku bahagia. Bisa membuat bibir tipis yang pucat milik Rendi tertawa.
Tanpa aku sadari ada seseorang yang tersenyum bahagia melihatku dan Rendi tertawa dari kejauhan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top