بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Aku selalu percaya Allah itu sayang sama aku. Makanya Allah ngasih jalan buatku agar aku menuju jalan lurus yang di ridhoi-Nya.
~Asheeqa~
"Loh kok mata kaka bengkak sih. Kayak habis ..." Ujar bunda ketika melihatku, namun perkataannya terpotong saat abah memberi kode dengan telunjuk yang di tempelkan ke bibirnya. Spontan bunda menutup mulutnya.
Aku tahu apa yang bunda ingin ucapkan. Nangis. Itu pasti lanjutannya. Aku sendiri hanya diam dan tak menanggapi maksud perkataan bunda. Toh itu benar. Mataku bengkak karena menangis semalaman. Aku menangis, membayangkan perkataan abah. Aku nggak mau abah meninggal duluan, sebelum lihat aku pakai hijab.
Ucapanku yang bilang kalau aku akan pakai hijab kalau ketemu jodoh aku buang jauh-jauh. Aku nggak mau menyesal seumur hidup kalau aku nggak penuhin permintaan abah. Dan bikin bunda sedih. Beberapa hari ini begitu banyak kejadian yang menjadi cambuk dan tamparan keras buatku. Apalagi pemikiranku tentang menutup aurat. Tapi kali ini tekadku sudah bulat. Aku nggak akan lagi menanti jodoh agar aku memakai hijab. Walaupun hati ini masih sakit karena ayah. Tapi aku selalu percaya Allah itu sayang sama aku. Makanya Allah ngasih jalan buatku agar aku menuju jalan lurus yang di ridhoi-Nya.
Pagi ini aku memang belum memakai hijab. Tapi aku janji sebentar lagi Mehru tomboy akan berubah menjadi Asheeqa ya manis dan cantik dengan hijabnya. Sekarang aku hanya ingin pergi ke suatu tempat agar aku lebih yakin dengan pilihanku ini.
"Kak, kok diem. Kamu nggak mau sarapan?" Tanya bunda melihatku bengong.
"Ini mau makan bun." Jawabku tersenyum.
"Sip deh makan yang banyak ya. Ayesha juga makan yang banyak biar kuat olahraganya hari ini," ujar bunda menyemangati Ayesha yang duduk di sampingku.
"Oh ya Sha, hari ini mbak anter ya." Kataku melirik Ayesha yang sedang minum.
"Nggak usah mbak. Ayesha bisa naik angkot kok." Tolak Ayesha.
"Nggak apa-apa sekalian jalan lagian searah kok."
"Loh kok searah? Kaka nggak ke rumah sakit?" Tanya bunda.
"Mau jenguk bang Igo dulu bun. Nanti baru ke rumah sakit. Boleh kan bun?" Kataku meminta ijin sambil memamerkan deretan senyum manis iklan pasta gigi.
"Iya boleh. Nanti abah sama bunda yang gantiin kamu." Jawab Abah.
"Makasih bah. Kamu udah selesai sarapan Sha?"
"Udah mbak."
"Ya udah bah, bun kaka pamit ya." Pamitku mencium tangan bunda dan abah. Begitu juga Ayesha mengikuti di belakang.
"Ka tunggu." Kata bunda mencegahku ketika hendak keluar rumah.
Aku akhirnya memilih menunggu bunda. Beberapa menit kemudian bunda keluar sambil menenteng satu tas.
"Apa bun?" Tanyaku ketika bunda menyerahkan tas.
"Makanan buat abang. Salam ya buat abang, bunda kangen sama abang." Mulai lagi deh bunda termehek-mehek.
"Iya bunda. Nggak usah lebay gitu ah. Bentar lagi abang kan pulang. Boleh peluk sepuasnya deh." Ucapku menggoda bunda.
"Kamu ka." Bunda menepuk pelan bahuku malu-malu. Mungkin malu kali ya bunda nangis di hadapan aku dan Ayesha.
"Udah ya bun. Kita berangkat dulu. Kasian nanti Ayesha bisa-bisa telat. Assalamualaikum." Pamitku.
"Waalaikumsalam" jawab bunda.
**
Aku menjalankan motor dengan kecepatan sedang. Beruntung jalanan lengang.
"Kok diem aja Sha?" tanyaku.
"Eh nggak mbak. Mau ngajak ngobrol takut ganggu konsentrasi mbak."
"Aduh salah mbak juga kali ya diem dari tadi hehehe." Aku terkekeh menyadari sedari tadi aku memang lebih diam.
"Nggak apa-apa mbak. Kan mbak lagi nyetir harus fokus."
"Betul juga. Tapi nggak enak diem-dieman kayak gini. Berasa lagi musuhan aja."
"Mbak bisa aja. Bang Igo siapa mbak?" Tanya Ayesha takut-takut. Mungkin dia sedikit bingung, kenapa sampai aku tidak pergi ke rumah sakit dulu melainkan lebih mementingkan bertemu dengan bang Igo.
"Bang Igo kakaknya bang Aries. Masih inget kan abang susuanku yang pernah aku ajak jenguk Bila."
"Masih mbak." Ayesha mengangguk.
"Iya aku lagi kangen pengin ketemu abang." Aku tersenyum, mengingat hampir tiga mingguan ini nggak sempat jenguk bang Igo gara-gara fokus sidang skripsi.
"Sha, kamu udah lama pakai hijab?" Tanyaku pelan-pelan, saat berhenti karena lampu merah.
"Dari SD kelas lima mbak mulai kemana-mana pakai hijab. Biasanya cuman pas sekolah aja. Awalnya liat mamah yang pakai khimar aku iri. Malu juga sama orang, mamah pakai khimar tapi aku malah rambutnya keliatan." Ayesha tersenyum, terlihat dari spion.
Hatiku kembali menangis. Ayesha aja punya malu karena almarhumah mamahnya pakai khimar dia nggak. Tapi kenapa aku yang sebesar ini masih belum nyadar juga. Padahal bunda pakai hijab sejak beliau kecil.
"Berarti karena malu ya?"
"Nggak juga sih mbak, cuman pas denger ustadz ceramah saat ikut kajian bareng mamah aku merasa bersalah sama papah dan mamah. Udah nambahin dosa mereka gara-gara aku nggak pakai hijab."
Lagi-lagi aku mendapat tamparan keras tentang arti hijab. Aku nggak pengin nambahin dosa buat bunda. Dan sebenarnya hati kecilku kini juga ikut berseru kalau aku nggak boleh bikin ayah makin bertambah dosanya.
"Mbak berhenti di depan ya." Ucap Ayesha menyadarkan lamunanku.
Aku mengarahkan motorku ke tepi jalan, di depan sekolah Ayesha.
"Makasih ya mbak. Salam juga buat bang Igo, walaupun Sha belum kenal. Tapi Sha yakin bang Igo juga orang baik kayak mbak dan keluarga."
"Sip. Nanti aku sampein kalau bang Igo dapat salam dari cewek cantik. Sayang bang Igo udah tua, kalau seumuran kamu sih aku setuju kamu jadi jodoh abang hehehe." Godaku.
"Aku masih kecil mbak." Ayesha sedikit manyun tapi kemudian tersenyum malu.
"Iya juga yah. Tapi abang pasti seneng adik ceweknya sekarang nambah. Cantik dan shaleha lagi." Aku kembali menggoda Ayesha.
"Mbak bisa aja. Mbak juga cantik dan shaleha juga kok. Ayesha masuk dulu ya mbak. Ati-ati naik motornya." Pamit Ayesha kemudian berjalan memasuki gerbang sekolahnya.
Aku menghela nafas dan menatap ke atas. Memikirkan kembali pilihan apa yang akan aku ambil.
"Bismillah..." ucapku lirih kemudian kembali menjalankan motor menuju tempat bang Igo.
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, akhirnya aku sampai. Suasana tempat ini menjadi momok tersendiri ketika orang melangkah ke tempat ini. Sunyi dan sedikit seram apalagi dengan tulisan besar tentang nama tempat ini.
Motorku memasuki sebuah gerbang kemudian memarkirkan si putih motor matic kebanggaanku.
Sebuah bangunan bertembok tinggi dan kokoh tepat di depanku. Ini bukan pertama kalinya aku ke sini. Hampir seminggu sekali aku ke sini, tapi sejak kesibukanku sidang skripsi aku memilih tidak datang ke tempat ini. Selain itu bang Igo juga melarangku ke sini sering-sering.
Aku memasuki loket informasi. Dan menunggu giliran di panggil. Di sini semua harus antri. Nggak bisa main langsung masuk untuk bertemu bang Igo. Beruntung hanya ada tiga orang yang mengantri termasuk aku. Mungkin karena masih pagi.
Sekarang giliranku. Aku berdiri di depan loket. Duduk seseorang petugas dan memintaku memberikan tanda pengenal.
"Baru ke sini lagi ya?" Tanyanya setelah membaca KTP-ku. Petugas yang bernama Imran ternyata masih mengenalku.
Aku tersenyum mengangguk.
"Ketemu Virgo kan?" Tanya pak Imran menyebut nama bang Igo.
"Iya pak."
"Ini id cardnya. Tapi tunggu dulu ya masih setengah jam lagi boleh bisa besuk."
Aku hanya mengangguk dan menerima id card atas namaku dan tertera juga nama bang Igo.
Aku memilih untuk duduk di taman, berbaur dengan beberapa orang yang sama sepertiku. Membesuk seseorang di balik tembok kokoh ini.
"Mbak mau besuk juga?" Tanya seorang ibu paruh baya menatapku lembut.
"Iya bu." Jawabku ramah.
"Kasus apa?" Lanjutnya.
"Kasus penganiayaan ringan bu."
"Itu mah bentar lagi juga bebas neng. Kalau ibu mah nunggu anak ibu masih lama keluarnya. Dia kena kasus narkoba gara-gara salah pergaulan." Curhat sang ibu.
Aku hanya tersenyum menanggapi sang ibu yang terus bercerita tentang anaknya yang menjadi warga binaan seperti bang Igo.
Saat ini aku memang berada di luar Lembaga Pemasyarakatan kelas I A di kotaku. Bang Igo memang seorang warga binaan. Abang terjerat kasus penganiayaan ringan Pasal 351 KUHP ayat 1.
(1).Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500_
Tapi hakim menjatuhkan vonis ke abang 10 bulan penjara. Abang sebenarnya orang baik, dia hanya ada di tempat dan waktu yang salah.
Waktu itu abang dapat telpon dari temennya katanya buat nongkrong bareng. Ternyata di sana abang malah di ajakin buat minum alkohol. Karena atas nama teman abang akhirnya ikut minum itu aja cuman sedikit. Tapi karena kondisi mabuk teman-teman abang terlibat perkelahian dengan orang. Awalnya abang cuman melerai tapi seseorang mengaku terkena pukulan abang. Dan orang tersebut melapor ke polisi.
Abang sendiri adalah seorang pelatih Thai Boxing dan kadang dia juga bertanding di sebuah kejuaran martial art.
Tapi ada fakta yang baru aku tahu. Ternyata abang di jebak oleh temannya. Agar abang di jebloskan ke penjara. Dan nggak bisa ikut event kejuaraan martial art tingkat nasional.
Semua anggota keluarga benar-benar shock tau abang di tangkap polisi. Semua cara sudah dilakukan agar abang bebas. Dari mulai datang ke keluarga korban dengan maksud meminta maaf agar dia mau mencabut laporan. Tapi tetap dia kekeh agar abang di penjara. Beruntung pengacara yang abi bayar bisa di andalkan di sidang pengadilan. Sehingga abang hanya di penjara sepuluh bulan.
Aku lebih suka kalau menyebut abang sedang di pondok bukan di penjara. Karena memang di tempat ini abang jadi belajar agama. Layaknya seorang santri di pondok pesantren. Raganya memang di dalam dan tak bebas. Tapi di sini jiwanya menjadi lebih baru dengan ilmu agama.
Di sini para warga binaan di beri pelatihan dan penyuluhan. Agar nanti setelah keluar mereka tidak menjadi penjahat kambuhan. Melainkan mereka di dalam lapas banyak melakukan kegiatan. Seperti keterampilan barang bekas menjadi barang yang mempunyai nilai jual, belajar menjadi tukang kayu, pelatihan usaha, bengkel, dan salah satunya adalah kegiatan agama.
Pendidikan agama di sini paling di pentingkan. Karena bekal agama menjadi poin paling penting bagi para warga binaan agar kembali menjadi orang yang lebih baik. Sekaligus modal paling besar agar mereka bisa di terima kembali di masyarakat. Ya walaupun nggak semua warga binaan yang tobat keseluruhan tapi ada beberapa dari mereka kembali ke lembah hitam. Makanya para warga binaan benar-benar harus mendapatkan pendidikan agama yang jelas. Inilah yang menjadi alasan banyak mantan warga binaan yang akhirnya hijrah setelah mereka memperdalam ilmu agama di sini.
Ini yang menjadi alasan kenapa sekarang aku di sini. Aku ingin lebih yakin dengan pilihanku. Aku ingin berdiskusi dengan bang Igo. Di bandingkan dengan bang Aries. Bang Igo lebih bijaksana ketika aku meminta pendapat dan lebih nyaman aja ketika bang Igo mengingatkan aku tentang soal agama terlebih perintah tentang hijab.
Bang Igo lebih suka ketika aku datang ke sini ngobrol tentang agama. Dari pada aku ke sini yang datang meratapi nasibnya menjadi seseorang yang terenggut kebebasannya dari dunia luar.
Terlihat seorang petugas mulai membuka pintu tanda kami para orang-orang dari luar di perbolehkan membesuk warga binaan.
"Bismillah, semoga abang bisa meyakinkan aku agar aku hijrah." Ucapku lirih sebelum memberikan id card kepada petugas loket masuk membesuk warga binaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top