Asheeqa 12

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Di balik sebuah keterbatasan yang Allah berikan kepada hamba-Nya, bukan menjadi halangan untuk seorang hamba untuk tidak taat perintah Allah. Melainkan lewat keterbatasanyalah Allah ingin menguji hamba-Nya apakah dia bersyukur terhadap nikmat Allah atau dia menjadi seorang yang kufur nikmat."

~Asheeqa~

Sudah dua hari ini aku bergantian dengan Rayan dan Ayesha untuk menjaga Bila. Rayan kebagian malam, sedangkan aku pagi sampai Ayesha pulang sekolah. Dan baru di lanjut giliran Ayesha. Sedangkan bunda dan abah sesekali menemaniku atau Ayesha.

Di sini suasananya begitu hening dan dingin, malah terkesan menyeramkan. Mungkin ini karena momok ruang ICU yang hanya di tempati pasien sakit berat dan kritis yang dirawat secara khusus, dengan perlengkapan khusus, dipantau secara ketat dan dilakukan total care. Sesekali hanya terdengar bunyi monitor yang mendeteksi tanda vital pasien.

Jauh sekali berbeda dengan ruang rawat inap biasa yang terkesan santai dan penuh dengan hiruk-pikuk para pengunjung. Malah kadang seperti pasar begitu rame saat orang-orang berbondong-bondong menjenguk salah satu pasien.

Kali ini aku duduk di sebelah bed Bila. Bila masih belum sadar, kondisinya sudah stabil. Masa kritis juga dah terlewati. Tapi dia masih jadi putri tidur.

Aku melirik ke bed samping Bila. Berbaring seorang anak seumuran Bila yang juga tergolek lemah. Sang Ibu tersenyum ramah padaku. Aku hanya bisa tersenyum balik. Untuk saling menguatkan. Aku kembali menatap Bila sang putri tidur.

Bila ini cantik, hidungnya mancung kayak kedua kakaknya. Berbeda denganku yang mancung nggak, pesek juga nggak. Kata orang sih hidungku mungil. Makanya sering banget di cubit bang Aries dan bang Igo. Katanya biar mancung kayak mereka. Hadeh kok malah jadi curcol  he.

Bibirnya tipis dan buat aku lebih iri bulu matanya lentik banget. Walaupun lagi tidur tapi dia begitu cantik dan imut. Pengin bawa pulang xixixi.

"Giliran kamu yang jaga?" Tanya dokter Azlan heran. Mengganggu ritualku mengamati si putri tidur.

"Iya dok." Jawabku males. Kenapa sih mesti ketemu dia lagi. Dan seneng banget seharian kemarin nggak ketemu dia. Eh sekarang malah nongol.

Dokter Azlan memeriksa Bila menggunakan pen light. Melihat ada tidaknya respon dari kedua pupil Bila. Jika tidak ada respon berarti Bila masih dalam keadaan koma.

"Gimana dok?" Tanyaku penasaran.

"Masih sama?" Tanyaku lagi.

Dia hanya tersenyum, kemudian berkata dengan suster mengenai terapi dan obat buat Bila.

Aku menghela nafas dan menghembuskannya pelan. Membelai puncak kepala Bila lembut dan mengecup kening gadis cantik ini.

"Bila, mbak memang nggak kenal kamu. Tapi mbak kenal kamu dari kedua kakakmu. Yang selalu setia berdoa sama Allah agar kamu kembali membuka matamu." Aku menjeda perkataanku beberapa detik, "Tau nggak Bil, Ayesha dan Rayan begitu kangen sama senyum manismu. Kata mereka kamu punya senyum termanis. Ngalahin si rambut nenek favoritku. Tapi aku nggak percaya. Soalnya kamu masih tidur, nggak ada senyum-senyumnya sama sekali. Mbak penasaran Bil, bunda dan abah mbak juga penasaran. Oh ya, sekarang kedua kakakmu tinggal di rumah mbak. Dan kalian sekarang jadi bagian keluarga mbak. Kamu suka kan? Bunda jago masak loh. Apalagi abah doyan mancing. Nanti kamu pasti bakalan di ajarin mancing tau. Biar nanti kalau kamu pengin ikan tinggal goreng. Kamu suka ikan kan?" Kataku bermonolog di depan Bila dengan suara lembut.

Sebenarnya bukan aku saja yang sering bicara sendiri sama Bila. Kedua kakaknya juga sering bercerita apa saja. Mulai saat Bila kecil sampai sekarang dan satu hal yang bikin aku kadang nggak bisa bendung airmata kalau Ayesha atau Rayan cerita soal almarhum dan almarhumah orang tua mereka. Lantunan ayat suci Al Qur'an juga selalu terdengar dari kedua bibir kakak Bila. Aku sendiri belum PD kalau harus ngaji di depan Bila.

Benar nggak ya? Kalau orang koma itu bisa denger orang yang di sampingnya ngomong. Dan katanya lebih baik ngajak ngobrol dan cerita yang baik-baik atau lucu biar mereka cepat sadar. Ahh lagi-lagi aku korban film huffth. Tapi dokter singa kan juga nyuruh gitu. Moga cepet sadar kamu Bil.

Berdasarkan temuan studi yang dilakukan Theresa Pape selaku profesor neurologi di Northwestern University's School of Medicine di Chicago dan rekan-rekannya. Ia mengungkapkan bahwa mendengar cerita dari suara orang tua atau saudara kandung bisa melatih otak pasien yang sedang koma.

"Mendengar orang tua atau orang terdekat menceritakan kembali kisah menyenangkan bisa melatih sirkuit otak yang bertanggung jawab terhadap memori jangka panjang. Rangsangan itu perlahan membantu memicu bangkitnya kesadaran mereka saat koma," terang Pape.

Dalam laporannya di jurnal Neurorehabilitation and Neural Repair dan dikutip pada Selasa (27/1/2015).

https://googleweblight.com/i?u=https://m.detik.com/health/berita-detikhealth/d-2815072/studi-terapi-cerita-bisa-bantu-pasien-koma-sadar-lebih-cepat&hl=id-ID

Aku melirik jam di tangan kiriku, jam 12 siang. Ternyata aku sudah satu jam di sini. Tapi nggak ada bosennya mengamati setiap inchi wajah Bila.

Aku merasakan gerakan di tangan Bila yang sedari tadi aku genggam. Kelopak matanya sedikit demi sedikit bergerak terbuka. Aku tahan napas melihat semua ini. Aku nggak mimpikan. Ini beneran terjadikan?

Setengah teriak aku memanggil dokter Azlan yang masih berdiri di nurse station.

"Dokter Azlan!"

Dokter Azlan kaget dan buru-buru menghampiri kami.

"Jangan teriak-teriak ini bukan pasar." Ucap dokter Azlan tegas menatapku.

"Bila dok. Ini... " kataku terputus menatap Bila yang kini terbuka matanya.

Dokter Azlan sama sepertiku terkejut dan bergegas memeriksa keadaan Bila.

"Bila." Sapanya dengan lembut menatap si putri tidur yang kini telah terbuka matanya.

Bila hanya mengangguk dan tersenyum lemah.

Bila melihat ke kanan dan kiri. Seperti mencari seseorang. Mungkin dia bingung kenapa hanya ada aku dan dokter Azlan. Kemana kedua kakaknya.

Bila menarik tangannya lemah dari genggamanku dan jari-jarinya bergerak, seperti seseorang yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

"Kakak Bila sedang ada di rumah. Nanti dokter kasih tau mereka kalau Bila bangun." Ucap dokter Azlan pelan, kata demi kata.

Bila hanya mengangguk, dan menatapku. Lagi-lagi jari-jarinya bergerak lemah.

Dokter Azlan memperhatikan setiap gerakan tangan Bila, dan menatapku.

"Kamu bisa hubungin Rayan kan?" Pinta dokter Azlan.

Aku hanya diam dan masih terkejut, dan malah memundurkan satu langkah dari samping bed Bila.

"Bisa?" Tanya Azlan memastikan.

"Eh." Kataku masih bengong, memperhatikan komunikasi antara Bila dan dokter Azlan, yang menggunakan bahasa isyarat.

"Bisa telpon Rayan."

"Oh iya dok bentar." Kataku, buru-buru aku merogoh saku mengambil handphone dan menghubungi orang rumah.

"Sudah dok." Kataku setelah mengakhiri telpon.

Bila menatapku dan tersenyum, manis sekali.

Satu tangan Bila yang terbebas dari infus bergerak keatas kepala memegang puncak kepalanya.

Lagi-lagi Bila menggunakan jari-jarinya yang masih lemah berbicara dengan dokter Azlan. Aku sendiri benar-benar nggak tahu apa maksudnya.

Aku iseng mencoba nebak, "Bila pusing?" Tanyaku.

Bila hanya menggeleng, dokter Azlan yang tahu artinya kemudian pergi menuju nurse station dan membawa selembar kain berwarna putih. Kemudian memakaikannya diatas kepala layaknya hijab untuk menutupi rambut Bila.

Aku benar-benar kehabisan kata tentang semua ini. Aku masih terdiam, dan nggak tahu harus apa.

"Bila bisa baca gerak bibir. Jadi kalau mau ngomong, ngomong aja tapi pelan-pelan biar Bila tahu apa yang kamu bicarain." Terang dokter Azlan yang melihatku masih diam saja.

"Kenalkan aku Mehru. Aku teman Rayan." Kataku menuruti dokter Azlan berbicara dengan pelan dan jelas agar Bila bisa baca gerak bibirku.

Bila kembali tersenyum. Dan aku hanya bisa tersenyum kecut di depannya.

Sepuluh menit kemudian Rayan datang tergopoh-gopoh bareng bunda dan abah. Rayan langsung memeluk dan mencium adik bungsunya.

Rasa haru benar-benar terasa saat ini. Seperti biasa bunda sudah berurai airmata. Aku sendiri masih terdiam. Aku baru tahu kenyataan tentang sosok Bila. Dan memilih untuk pergi keluar menghirup udara segar. Memberi waktu buat Rayan dengan Bila.

***

Aku memilih sendiri sekarang, duduk di bangku taman di bawah pohon besar. Tempat yang nyaman buatku.

"Boleh duduk di sini?" Izin dokter Azlan, menunjuk bangku sebelahku yang kosong.

Aku hanya mengangguk.

"Kenapa kamu jadi diem?" Tanya dokter Azlan setelah duduk di ujung bangku yang aku duduki. Mungkin kalau dilihat-lihat aku dan Azlan saling duduk di ujung bangku taman, kayak orang musuhan.

Aku hanya tersenyum dan kembali larut dalam pikiranku. Sejak keluar dari ruang ICU dan makan bareng di kantin aku memang lebih banyak diam. Nggak tahu kenapa aku merasa di tegur sama Allah.

"Bila salah satu pasien spesialku. Dia yang selalu ngajarin aku buat bersyukur." Cerita Azlan.

Aku hanya menunduk mendengarkannya.

"Kamu terkejut ya ternyata Bila salah satu anak berkebutuhan khusus?" Tanya Azlan tanpa memandangku.

Aku hanya tersenyum dan kembali menunduk. Sebenarnya ini hanya salah satu kenyataan yang aku baru tahu tentang sosok Bila. Dia salah satu penyandang disabilitas. Bila Tunarungu.

"Atau kamu lebih terkejut, saat Bila sadar kalau dia nggak pakai hijab. Dan memintaku mencari kain untuk menutupi rambutnya." Tebak Azlan terus terang.

Aku makin menunduk lebih dalam.

Perkataan Azlan benar. Ya seratus persen bukan melainkan seribu persen benar. Aku lebih terkejut saat tahu Bila mengetahui kalau auratnya terbuka selama dia koma. Itu benar-benar cambuk buatku.

Bila masih kecil, umurnya juga baru sembilan tahun. Bisa di bilang Bila belum Baligh. Tapi dia tahu kalau rambut yang orang bilang mahkotanya wanita harus ditutupi dan hanya mahramnya yang boleh lihat.

Itu berbanding terbalik  seratus delapan puluh derajat denganku. Aku masih mengumbar auratku di depan laki-laki yang bukan mahramku. Padahal bunda, abah, umi, abi dan abang-abangku terus-terusan mengingatkanku untuk menutup aurat. Tapi apa yang terjadi padaku, aku benci dan marah ketika mereka mengingatkanku. Aku malah lebih suka membiarkan rambutku terlihat oleh orang-orang dan penampilanku yang mirip dengan laki-laki. Lagi-lagi karena sakit hati dan sulitnya aku memaafkan sosok ayah dalam hidupku.

"Aku hanya seorang dokter di sini, yang mengobati pasienku. Tapi bagaimanapun aku mengobati pasien jika orang-orang yang ada di dekat pasienku malah menghindari si pasien karena keterbatasannya. Itu yang malah buat si pasien lebih lama untuk sembuh. Para penyandang disabilitas, mereka tidak suka di kasihani. Mereka lebih menginginkan kalau mereka di hargai dan di anggap normal bukan malah di jauhi."

"Aku bukan orang seperti itu!" Tolakku akan pendapat Azlan. Menatapnya tajam.

"Terus. Apa yang membuatmu diam?" Azlan menjeda perkataannya dan menatapku sekilas kemudian kembali menatap ke depan.

"Atau kamu malu kalau bila menutup auratnya di balik dia yang kekurangan?" Pertanyaan Azlan, menohok jantungku.

Aku membuang muka.

"Ternyata benar. Seorang Asheeqa yang ceplas-ceplos dan berkata tanpa berpikir sebelumnya ternyata masih punya sisi malu."

"Jangan panggil aku Asheeqa! Kamu nggak berhak!" Kataku mengacungkan jari telunjuk di depan Azlan, marah. Sorot mataku berubah benci pada dokter singa.

Azlan tersenyum tapi malah terkesan mengejek bagiku.

"Menutup aurat itu pilihan buat seorang wanita. Apakah dia ingin menaati perintah agamanya atau dia ingin melanggarnya. Yang menggiring dia sendiri menuju ke neraka.Tapi di balik sebuah keterbatasan yang Allah berikan kepada hamba-Nya, bukan menjadi halangan untuk seorang hamba untuk tidak taat perintah Allah. Melainkan lewat keterbatasanyalah Allah ingin menguji hamba-Nya apakah dia bersyukur terhadap nikmat Allah atau dia menjadi seorang yang kufur nikmat." Ucap dokter Azlan panjang lebar.

Aku hanya diam seribu bahasa. Tidak seperti biasanya aku yang selalu bisa menjawab nasehat dari abang. Kini lidahku benar-benar kelu.

"Maaf kalau aku terlalu berlebihan dan sok tahu. Tapi aku ingin memegang janjimu untuk menjadi seorang kakak yang baik untuk mereka bertiga. Bersikap lah seperti biasa saja di hadapan Bila. Jangan lihat kekurangannya tapi lihatlah kelebihannya. Permisi Assalamu'alaikum," ujar dokter Azlan pamit dan berdiri meninggalkanku sendiri.

"Wa'alaikumsalam" Jawabku lirih dan terbata.










*Disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.

*Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baiksebagian atau seluruhnya yag diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengaranya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top