𓆩✩11. Si Paling Bawel
Ketika cahaya matahari menyinari ruang kelas 11-IPS 7, pemuda berpipi berisi sampai tepat waktu di kelasnya. Namanya senja. Meskipun namanya mirip dengan suasana langit ketika matahari tenggelam, tetapi Senja sendiri meng-klaim, dirinya lebih mirip matahari terbit.
Senyuman dan sifat Senja yang periang, membuat siapa pun yang berada di sisinya akan ikut bersemangat. Namun, jika suasana hati Senja sedang buruk, mungkin orang yang ada di sisinya akan menjadi korban dari pukulan Senja.
Misalnya saja, Vano. Teman sebangku Senja dari kelas 10. Vano terbiasa mendengarkan Senja bercerita tentang lelucon bapak-bapak, atau cerita tentang kehidupan sehari-hari. Hampir semua masalah hidup Senja, diketahui Vano. Namun, tak jarang Senja memukul barang milik Vano, tetapi Vano sama sekali tak marah.
Dibanding Senja yang mudah tersulut emosi, Vano lebih tenang dan santai. Jika Senja banyak bicara---seperti ibu-ibu ketika bertukar pikiran di tukang sayur---maka Vano lebih sering menutup mulut dan berbicara seperlunya saja. Termasuk ketika Senja berteriak-teriak di kelas, untuk menyampaikan pengumuman kepada teman-temannya.
"Awas kalian telat dateng ke sekolah lagi! Kelas kita udah ditandain guru BK!"
"Yang telat terus malu-maluin kelas 11-IPS 7, didenda tujuh belas juta."
"Jangan berisik!"
"Sama satu lagi, siapa pun yang udah ngerjain tugas, serahin buku tugasnya sama gue! Soalnya mau gue salin!"
Vano hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar teriakan orang yang ada di samping kursinya. Pemuda berwajah asing itu tersenyum tipis, kemudian memakai earphone di sisi kanan dan kiri telinganya.
Sementara Senja sendiri tersenyum lebar, setelah mendapatkan salah satu buku tugas. Dia berniat untuk mengerjakan tugasnya secepat kilat, meskipun akhirnya gerakan Senja terhenti ketika melihat notifikasi di ponselnya.
"Wah."
Mata Senja memelotot lebar. Dia menarik kedua sudut bibirnya ke atas, lalu berdeham beberapa kali. Senja sengaja melirik ke arah Vano, sembari menggoyangkan bahu Vano. Vano yang merasakan getaran di bahunya langsung menurunkan earphonenya. Pemuda itu melirik ke arah Senja, lalu menyahut, "Hm?"
Senja menunjukkan layar ponselnya di depan Vano. Dia memberitahu, "Gila, kelas kita baru bikin akun menpes beberapa hari! Tapi banyak banget yang ngirim pesan buat lo!"
Vano tersenyum tipis, lalu mengoreksi, "Maksudnya menfess?"
"Nah, itu dia! Lo udah tahu pesan-pesannya? Hampir semua postingannya di tujuin buat lo!" seru Senja sembari memelototkan mata. Senja menggulir layar ponselnya ke bawah, dan melihat pesan-pesan rahasia untuk Vano.
Sementara Vano sendiri hanya terdiam, sembari melanjutkan pekerjaannya dalam menyalin tugas. Pemuda itu baru berhenti menulis, ketika Senja kembali berkata tanpa menjauhkan matanya dari layar ponsel. "Populer banget, lo. Gue jadi iri."
Akhirnya Vano merampas ponsel Senja dari tangan pemiliknya. Meskipun mata memelotot Senja langsung tertuju ke arahnya, tetapi Vano dengan santainya menjawab, "Diem, dan kerjain tugas lo."
Ucapan Vano membuat Senja merasa kesal. Namun, Senja akhirnya menyetujui keinginan Vano. Pemuda itu kembali melanjutkan pekerjaannya, sembari memberitahu Vano, "Hari ini, si Mahesa izin gak masuk sekolah, buat jenguk si Juna. Berhubung mereka temen sekelompok kita, jadi kerkom kita niatnya diundur lagi."
"Oh," jawab Vano.
Senja menatap ke arah Vano sebentar, lalu melanjut, "Tapi karena waktu pengumpulannya bentar lagi, mendingan kita kerjain dikit-dikit dari sekarang."
"Oke," balas Vano.
"Nanti pulang sekolah, gue ada kerjaan di kafe samping toko sepatu, gimana kalo kita kerkom di sana aja?" kata Senja.
Vano mengangguk setuju, lalu bertanya, "Lo beneran kerja di sana?"
Senja menjawab, "Ya beneran lah! Gue kebagian kerja di waktu sore sampe malem!"
Vano terdiam beberapa saat. Dia mengernyitkan kening, lalu bertanya, "Bukannya, lo masih bagian dari klub seni? Kalo lo kerja berarti..."
Senja menepuk bahu Vano, dan berkata, "Gue udah minta izin, dan pelatih ngizinin gue."
"Lagian gue udah bilang, kalo gue gak bakal kuliah setelah lulus SMA. Setelah lulus, mungkin gue bakalan langsung kerja. Lo juga tahu kan, kondisi keuangan keluarga gue kayak apa?" lanjut Senja.
Vano tak mengatakan apa-apa lagi. Begitu pula dengan Senja yang fokus mengerjakan tugas. Namun, tak biasanya Vano berhenti mengerjakan tugasnya, hanya untuk merenungkan masalah teman di sampingnya untuk ke depannya nanti.
•••
Pulang sekolah, Senja bekerja di sebuah kafe. Jika di sekolah, Senja gemar membuat keributan, maka saat bekerja Senja berubah menjadi orang yang berbeda. Sebagai pekerja baru, Senja tak banyak membantah dan bekerja sesuai perintah dari seniornya. Meskipun terkadang para senior melimpahinya tugas yang bukan merupakan bagiannya, termasuk menyapu dan mengepel lantai.
"Anj*ng. Mentang-mentang senior, hobinya nyuruh gue terus," gerutu Senja sembari membersihkan lantai.
Meskipun Senja merasa kesal, tetapi Senja masih mempunyai batasan untuk tidak mengumpat di depan seniornya. Senja tahu, kerasnya dunia kerja, apalagi dirinya hanyalah seorang anak SMA yang belum lulus sekolah.
Bahkan ketika Vano datang ke kafe, Senja tak memiliki waktu untuk berdiskusi dengan Vano. Sang Senior terus menerus memberikan pekerjaan terkecil sekali pun pada Senja, hingga akhirnya Vano memperbolehkan Senja kembali bekerja. Sementara tugasnya dikerjakan Vano seorang diri.
Vano duduk di salah satu meja, dengan secangkir kopi. Namun, matanya tertuju ke arah Senja yang terus menerus bekerja menuruti seniornya. Terkadang Vano ingin protes, ketika melihat para senior tertawa di balik meja pesanan. Namun, karena Senja yang bersikeras bekerja tanpa menolak, akhirnya Vano hanya bisa mengamati dari jauh.
Puncaknya adalah ketika Senja kelelahan, dan tak sengaja memecahkan gelas kopi untuk salah satu pelanggan. Senja terburu-buru merapikan pecahan gelasnya, meskipun saat dia pergi ke dapur, para seniornya sudah memarahi Senja habis-habisan.
"Dasar bocah. Belum lulus sekolah aja, mau sok-sok an kerja di tempat ini. Dibanding kerja di sini, cari pekerjaan di tempat lain aja. Lagian boss kami gak akan rugi kehilangan pekerja ceroboh kayak lo," celetuk salah satu senior.
"Ke mana nyokap sama bokap lo? Apa mereka gak ngawasin bocahnya?"
Awalnya Senja masih bisa bersabar untuk menutup telinganya rapat-rapat. Namun, ketika para senior menyinggung orang tuanya, Senja langsung mengepalkan tangannya. Dia memelototkan mata, melihat tajam ke arah sang senior.
Senja tersenyum kecut, dan berkata, "Kenapa? Kalian berdua iri, karena gue bisa gampang masuk dan kerja di sini, meskipun belum lulus?"
"Kalian gak suka gue kerja di sini, karena gue lebih berguna dibanding kalian? Atau kalian takut disaingin?" tanya Senja.
Ucapan Senja menambah minyak ke api di kompor. Salah satu Senior langsung menarik kerah baju Senja, dia memukul Senja dengan satu kali pukulan. Begitu pula dengan Senja yang tak terima, dan ikut menggunakan kepalan tangannya untuk memukul.
Kedua orang itu berkelahi di dapur. Mereka baru berhenti melakukan serangan, ketika atasan mereka datang dengan mata memelotot dan tangan mengepal kuat.
"Boss?" Kening Senja mengernyit. Tanpa banyak tingkah, Senja langsung mematung dan menundukkan kepala. Lutut pemuda itu mulai lemas. Dia baru takut dikeluarkan dari pekerjaannya saat ini, padahal dirinya belum mendapatkan gaji.
Oleh karena itu, Senja berkata, "Maaf."
Sang Boss berjalan ke arah Senja, dia bertanya apa yang sudah terjadi. Lalu para Senior langsung mengadukan ulah Senja, setelah Senja tak sengaja menjatuhkan gelas kopi untuk pelanggan.
"Boss, dia cuman remaja puber yang gak bisa nahan emosi, dan ceroboh. Kenapa Boss masih mau nerima dia?" tanya salah satu Senior.
Senja meremas kemejanya. Dia berkata, "Maaffin saya! Saya cuman---"
Belum sempat Senja mengakhiri ucapannya, Vano melarang, "Gak usah minta maaf."
Senja mendongak, melihat Vano memasuki dapur dengan santainya. Pemuda itu tak takut diusir, padahal para senior menatapnya dengan tatapan tajam. Mereka berkata, "Mohon maaf, tapi orang yang gak berpentingan dilarang masuk ke dapur."
Vano tersenyum kecut, lalu melirik ke arah sang boss. Dia mengeluarkan dompet miliknya, kemudian menjulurkan kartu pengenal siswa sekolahnya pada kedua senior dan juga boss Senja. "Vano Christian Hans."
"Hans?" Seketika sang boss melirik Vano dari bawah hingga ke atas. Sudut bibirnya yang melengkung ke bawah, langsung menarik ke atas lagi. Orang itu berjalan ke arah Vano, sembari berkata, "Den Vano? Putranya Pak Hans yang bule-bule itu, kan? Mau apa Aden ke sini?"
Vano melihat ke sekeliling. Dia mengernyitkan kening, lalu menunjuk ke arah dua orang senior dengan wajah tanpa dosa. "Pecat dua karyawan itu."
𖤐𖤐𖤐
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top