𓆩✩08. Si Paling Sensitif
Sudut bibir diam di tempat, tanpa melengkung ke atas atau pun ke bawah. Mata fokus tertuju pada barisan huruf yang membentuk sebuah kalimat. Kening mengernyit, dengan tangan mengepal memegangi buku bacaan di atas meja. Salah satu siswa yang sering melakukan kebiasaan ini, sering dipanggil Mahesa.
Sejak dulu, Mahesa fokus belajar untuk masuk kampus incarannya. Dia tahu, dia tidak sepintar Yohan--yang mendengarkan guru sembari tertidur pun---ilmu yang disampaikan pasti masuk. Mahesa lebih percaya, pada kerja keras dan tekadnya untuk belajar.
Ketika siswa seusianya senang membuat onar, mempermainkan hati para gadis, membolos, nongkrong, tawuran, mer*kok, balapan, dan semua jenis kenakalan remaja lainnya, berusaha Mahesa hindari. Dia terobsesi menjadi siswa baik, sesuai keinginan ibunya yang sudah bercerai dengan sang ayah.
"Eisa, lo belajar lagi? Buat apa? Toh, ulangan masih lama," ucap seorang pemuda, yang terkenal dengan kebawelannya. Namanya, Senja. Orang-orang sering memandangnya sebagai artis kelas, yang berhobi menyanyi dan merusuh.
Walaupun terkadang Senja sering membuat onar, akan tetapi kehadirannya di kelas menambah energi bagi murid-murid yang malas bersekolah. Senja selalu menjadi jeruk vitamin, yang membangkitkan semangat merusuh semua siswa. Berbeda lagi dengan Mahesa yang tak suka keributan.
Selain ingin dicap sebagai siswa baik-baik, Mahesa juga dikenal sebagai siswa sinis yang sulit didekati. Dia tak suka diganggu, apalagi ketika dirinya tengah fokus belajar. Mahesa bertanya, "Emangnya belajar itu, cuman pas mau ulangan aja?"
"Kali-kali main bareng temen sekelas! Kita bisa main futsal, basket, atau bahkan gangguin adik kelas sama-sama!" ajak Senja dengan senyuman lebar.
"Lo emangnya gak pusing tiap hari belajar?" tanya Senja penasaran.
Mahesa menjawab ketus, "Lebih pusing lagi, kalo gak tahu apa-apa, karena gak belajar."
Senja merotasikan matanya. Dia kemudian berucap, "Gue ngedatangin lo ke sini, bukan cuman mau ganggu lo dengan basa-basi gak jelas gue."
"Terus lo mau apa? Cepetan ngomong, gue gak punya banyak waktu buat ngomongin hal gak jelas," ucap Mahesa.
Ucapan ketus Mahesa lagi-lagi membuat Senja harus menarik dan mengeluarkan napas panjang. Pemuda itu mengusap-usap dadanya, baru kemudian menjelaskan, "Gue, lo, Vano sama Juna.... Kita berempat satu kelompok. Jadi, gue mau ngobrolin soal kerja kelompok."
"Oh," balas Mahesa singkat.
"Kok, 'Oh' doang? Kasih reaksi yang lebih panjang lagi! Jangan cuman 'Oh' doang!" desak Senja.
Mahesa menutup bukunya. Setelah itu, dia menatap tajam ke arah Senja. "Di kelompok kita ada empat orang kan? Kalo mau diskusi, seharusnya dua manusia itu ada di sini. Sekarang, mereka gak ada di sini?"
"Jadi, dibanding ngeganggu gue, lebih baik kita diskusi nanti, pulang sekolah di grup chat aja," ucap Mahesa kemudian membuka bukunya lagi.
Senja mendengkus. Dia berkomentar, "Kalo di grup chat, pasti ada yang aktif, ada yang enggak. Susah komunikasi!"
"Gue udah ngobrol sama Vano, dan Vano tipe orang yang ngeiyain apa yang gue bilang. Dia bahkan gak keberatan, kalo kita kerja kelompok tengah malem, ditemenin mbak-mbak kunti."
"Lalu Juna? Dia..." Belum sempat Senja mengakhiri ucapannya, Mahesa melirik ke samping kursinya. Dia mengernyitkan kening, menyadari jika Juna tak ada di kursinya.
Dari gelagat bingung Mahesa, Senja bisa menebak jika Mahesa tak tahu apa yang terjadi dengan Juna saat ini. Oleh karena itu, dia tersenyum lebar, dan bertanya, "Sa, ke mana bestie lo, alias si bapaknya para anak kucing itu?"
"Kok dia gak masuk-masuk dari tadi?" tanya Senja.
Mahesa tak tahu Juna ke mana. Karena sejak pagi, dia belum melihat Juna menunjukkan batang hidungnya sedikit pun. "Gak tahu. Lo pikir gue melihara dia?" tanya Mahesa.
Senja menjawab, "Kan kalian Sahabat deket. Masa sahabatnya, gak tahu sekarang Juna di mana?"
"Juna bukan sahabat gue, dia cuman temen sekelas dan temen sebangku aja. Gak lebih. Siapa juga yang mau jadi sahabat cowok itu," jelas Mahesa.
Dilihat dari raut wajah Mahesa yang tak ingin tahu kondisi Juna, membuat Senja mengungkap, "Sebenernya gue tahu apa yang terjadi sama si Juna. Tapi, karena lo gak mau tahu. Jadi... gak bakal gue kasih tahu."
Ucapan Senja memancing Mahesa untuk mendengarnya lebih jauh. Dia sedikit menurunkan bukunya, kemudian berucap, "Ya emang gak mau tahu, dan gak peduli juga."
"Oh, oke. Padahal, kalo lo gak peduli sama Juna. Gue mau kasih tahu, kalo Juna kecelakaan dan saat ini---" Ucapan Senja belum selesai, tetapi Mahesa sudah lebih dulu menutup bukunya rapat-rapat. Pemuda itu berdiri dari kursinya, kemudian memegangi kerah baju Senja, dengan mata berkaca-kaca.
"Hah? Lo gak salah bilang?"
"Cowok aneh kayak si Juna kecelakaan?"
"Apa yang terjadi sama dia?"
"Kenapa dia bisa kecelakaan segala?"
"Apa dia gak hati-hati? Dia emang ceroboh!"
"Sekarang, dia ada di mana?"
"Gimana keadaannya?"
"Sama siapa dia sekarang?"
"Juna yatim piatu, dia pasti kesepian."
"Di mana Juna?"
"Jawab dong, G*b**k!"
Pertanyaan beruntuy yang diajukan Mahesa, membuat Senja meneguk ludahnya sendiri. Pemuda itu berkata, sembari merotasikan matanya. "Katanya gak peduli, tapi kok khawatir?"
Mahesa memalingkan wajahnya ke arah lain. "Enggak! Gue... gue gak khawatir! Gue cuman penasaran aja!"
"Penasaran karena khawatir 'kan?" tebak Senja.
Mahesa meremas kerah baju Senja. Dia menatap Senja dengan tatapan tak bersahabat, kemudian bertanya sekali lagi. "Ini bukan waktu buat bercanda. Sekarang, di mana Juna?"
𖤐𖤐𖤐
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top