Berita yang Nyata

Tawanya berbisik menatap sosok yang juga sedang tertawa. Bukankah wanita itu menyedihkan? Dengan sudut bibir yang berdarah, juga memar di bagian leher, dan wajah yang memerah. Merasa iba, tangannya bergerak hendak mengelus wajah si wanita. Namun, yang teraba justru permukaan yang rata dan licin. Dahinya mengerut. Butuh beberapa kedipan untuk sadar bahwa cerminlah yang sedang dia amati.

"Jelek." Tubuh Belle terhuyung mengambil langkah mundur. Mengarahkan kedua jari tengah sambil menyeringai tepat pada pantulannya. Sempoyongan dia beralih mendekati ranjang dan duduk di pinggir ranjang. Termenung sejenak, lalu mengesot mendekati nakas. Ada satu kaleng lagi di sana. Sudah terbuka, siap untuk diteguk hingga tetes terakhir.

Inilah yang dia sukai dari hotel kecil milik Papi. Tidak seperti hotel lain yang tersebar di sekitar diskotek. Di sini, selain bisa berlama-lama dan tidak takut digerebek warga-Papi sungguh memiliki relasi mumpuni yang mampu mengunci mulut-dia dan para pekerja Papi yang lain bebas memesan apa pun. Bahkan bir kaleng dalam jumlah banyak tanpa harus membayar.

Sendawanya terdengar jelas. Dan kaleng bir terakhir yang menghantam lantai, turut membuat tubuhnya kembali berdiri. Tangannya menggapai tas tangan dan sebungkus rokok di nakas sebelum menghadapkan tubuh ke cermin di meja rias. Dia mengacungkan lagi jari telunjuknya dan berjalan pelan mendekati pintu sambil meringis.

Bule itu benar-benar tidak terkendali. Padahal dia sudah memohon dengan manja untuk pelan-pelan. Namun, seolah suara yang dikeluarkan obat perangsang, tubuhnya langsung diempas. Sakit benar-benar menjalar di setiap jengkal badannya. Bahkan luka di ujung bibir dan memar di leher masih menyisakan rasa digigit dan disedot.

Nath pasti merasa sangat bangga, jika tahu dia kewalahan melewati malam ini. Bukan hanya tentang peringatan yang tidak digubris, tetapi juga stamina yang dimiliki. Nath sangat tangguh sekalipun harus melayani dua bule dalam semalam. Dan keesokan malamnya, Nath masih sanggup menerima order lagi. Sementara dia, mungkin akan drop lagi.

Belle menghela napas dalam dan cekikikan menatap anak tangga yang seolah bergoyang di bawah kakinya. Tidak mau mengalami kejadian seperti Mini beberapa hari lalu, dia memutuskan untuk duduk dan bersandar di tembok. Sebagai seseorang yang diberi perintah untuk mengarahkan, dalam keadaan sakit kemarin dia sempat memberi wejangan pada Mini. Bagaimanapun juga, malam itu adalah malam pertama Mini menemani tamu di kamar hotel. Sudah dia tegaskan, jangan sekali-kali meneguk bir kaleng kalau habis bercinta. Apalagi Mini belum punya pengalaman minum. Namun, mungkin karena polos atau desakan dari si tamu, diminum juga bir itu. Dan keesokan harinya, ada dua orang terkapar di kamar. Yang satu jelas dia yang masih sakit. Sementara yang lain adalah Mini yang beruntung masih bernapas setelah jatuh dari tangga hotel.

"Payah." Dia mulai mengetukkan setiap sisi bungkus rokok di telapak tangan. Mengambil satu batang dari sana kemudian tertawa. Ingat kalau dia tidak punya geretan. Namun, dibiarkan saja celah bibirnya mengimpit benda itu. Ada sensasi manis yang berhasil dikecap dari kertas tip yang membungkus filter rokok. Dan itu sudah cukup.

Sambil berakting rokok itu hidup, pikirannya menerawang, dan kembali tertawa mengingat air muka Ici. Entah dari mana Ici tahu kediamannya. Dia belum sempat menginterogasi Nath dan Mini. Namun, siapa pun yang memberi tahu, dia sadar kalau tidak memiliki kewajiban untuk marah. Toh selama ini dia tidak pernah mengungkit soal keluarga. Saat Nath memutuskan ke kampung halaman ketika Lebaran, dia dengan enteng mengatakan kalau Jakarta adalah rumahnya. Nath juga tidak pernah memaksa untuk tahu.

Jadi, saat Ici mengatakan ingin berbicara, dia hanya menaikkan sedikit dagunya setelah sempat menoleh kaku ke arah Mini dan Nath, lalu berjalan melewati Ici. Sempat lengannya dicekal, tetapi dengan sekali sentak dia bebas. Dan tatapan nyalang itu ... masih tidak dapat dia memungkiri adanya kesedihan di sana.

"Abah jatuh di kamar mandi. Saya dan Sueb akan pulang besok pagi. Kami harap kamu ikut, Ruk."

Dan getar dalam suara Ici kembali membangkitkan sulur-sulur di hatinya untuk mengikat kuat di dada. Dia tersenyum dan cekikikan. Sendiri, di tengah anak tangga menuju lantai dasar hotel, dan mungkin masih ada beberapa jam lagi sebelum subuh hadir, dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangan. Masih mengimpit batang rokok di bibir, dia langsung berbicara saat di seberang menjawab telepon.

"Kirim tiga kaleng lagi, dong. Di tangga, yah. Oke."

Dia akan menghabiskan dini hari di sini. Merasa yakin bahwa minum bir adalah pilihan tepat untuk membuat sulur-sulur itu menghilang, membiarkan rongga dadanya bebas untuk bernapas. Terlebih, bir itu gratis.

***

Belle meringis saat Mini kembali mengerok punggungnya dengan bawang merah lanang. Menurut Nath, bawang yang juga sering disebut bawang tunggal itu memiliki khasiat untuk mengeluarkan angin. Namun, bau yang sekarang melingkupi kamar mereka justru membuat dia semakin pusing. Apalagi bercampur aroma minyak kayu putih, sekalipun hidungnya ditutupi masker tetap saja tercium.

"Tuh merah! Teken terus, Min. Angin itu."

Bak anak buah yang patuh, Mini menjalankan perintah Nath.

"Nanti habis ini, bawang merahnya kamu keprek, terus campur sama minyak kayu putih, terus taro deh tuh di kepala si Bell."

Belle langsung menatap Nath sambil membuang napas keras.

"Apa?" tantang Nath. "Itu biar demam kamu cepet turun. Lagian suruh siapa sakit? Untung tepar di tangga, kalau di jalan gimana? Makanya, kalau masih sakit tuh enggak usah dipaksa. Aku siap kok gantiin."

Ingin sekali dia menyumpal mulut Nath menggunakan masker. Nath akan seperti mercon yang terus menyala jika merasa direpotkan. Dan dia lebih merasa tidak enak ke Mini. Dibandingkan Nath yang lebih banyak berceloteh, Minilah yang sudah membawakan dia sarapan dan rajin menyiapkan air hangat untuk mengompres. Bahkan anak itu yang mengurus muntahan dia kemarin.

"Kalau diinget-inget ... kayaknya baru kali ini kamu sakit sampe begini. Biasanya cuma minum obat warung sekali langsung sembuh. Bener ini kata Mami, kamu sakit pikiran. Mikirin apa, sih?"

Tubuh Belle menegang. Berpikir tidak ada gunanya bercerita, dia bungkam.

"Cewek itu siapa, Bell? Dia yang udah buat pikiran kamu enggak tenang?"

Suara Nath terdengar berbisik. Mungkin berhati-hati. Dan Belle bersyukur karena saat Ici mengejar, baik sosok Nath maupun Mini tidak ikut-ikutan. Namun, yang namanya rasa penasaran pasti menggelitik minta diselidik. Dia bisa maklum kalau Nath jadi ingin tahu, tetapi dia juga memiliki hak untuk terus menyimpan.

"Maaf, Teh."

Belle menoleh sedikit ke arah Mini.

"Kemarin ...."

Tangan Mini yang berhenti mengerok punggungnya, membuat Belle perlahan menghadapkan tubuh ke belakang. Menatap langsung kepala perempuan itu yang menunduk. Dia tidak tahu apa yang ingin dikatakan Mini, tetapi jantungnya sudah berdetak cepat. Dia beralih menatap Nath yang terlihat juga bingung.

"Kemarin-kemarin itu ... si Akang sama si Teteh dateng ke tempat karaoke nyari Teh Bell. Si Akang ngenalin saya dan nanya Teh Bell tinggal di mana. Tadinya mah saya enggak mau kasih tahu. Tapi itu si Teteh ngejelasin, kalau mereka nyari Teh Bell buat diajak pulang jenguk abahnya Teh Bell. Hapunten abdi, Teh. Saya enggak mikir sejauh ini. Punten, Teh."

Belle menarik napas dalam. Sebelah tangannya mengelus pundak Mini. "Enggak apa-apa." Namun, dia tidak dapat menahan getar dalam suaranya.

"Kamu masih punya orang tua?"

Belle sudah akan menjawab, tetapi suara ketokan pintu yang brutal tiba-tiba saja mengusik mereka. Belle yang hanya mengenakan sarung untuk menutupi bagian atas tubuhnya merangkak gesit ke lemari. Mengambil baju yang sebenarnya milik Nath.

"Udah," lapornya pada Nath yang sudah ancang-ancang membuka pintu.

"Ada Rukmini?"

Dan suara berat itu membuat Belle melepaskan masker sekaligus mengepalkan kedua tangannya. Sudah cukup! Dia tidak mau dibujuk lagi. Bukankah saat itu Sueb bilang tidak akan memaksanya pulang? Lalu kenapa mereka datang silih berganti ke tempatnya? Dia tidak akan memberi toleransi lagi. Ancaman bila perlu akan dia layangkan. Termasuk ide yang mendadak datang untuk memohon pada Papi agar pindah indekos.

"Mau apa lagi kamu?" Belle berjalan cepat ke arah pintu, membuat pandangan matanya menggelap sebentar.

Sueb tampak kacau dengan keringat, kemeja yang lusuh, dan napas terengah-engah. Bahkan pria itu menangis. "Abah, Ruk ...."

Seketika Belle merasa AC di kamar menyala. Bulu-bulu halus di sekujur tangannya meremang.

"Abah ... Abah meninggal, Ruk."





















Sedikit catatan:

Hapunten abdi : maafkan saya.
Punten : maaf.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top