S - Kembali
S - K E M B A L I
***
Azan berkumandang dari Masjid Jami' Darul Akhyar. Sebelum itu pun, sudah banyak santri yang berbodong-bondong menuju musala dan masjid. Tak terkecuali aku dan tiga orang sahabatku lainnya, yang masing-masing mendekap mushaf dan mukenah.
Kami biasanya sudah bangun sekitar pukul tiga pagi untuk menunaikan salat tahajut, dilanjut mendaras Al-Quran di musala bersama santri lain. Menunggu hingga azan subuh berkumandang, lantas mendirikan salat berjamaah.
"Nanti kalian ada kegiatan?" Gladys bertanya. Seusai salat, ada beberapa santri yang tinggal di musala untuk menyetorkan hafalannya, sebagian lain memilih kembali ke kamar-kamar asrama untuk melanjutkan tidur atau melakukan aktifitas lain.
Orang yang pertama kali merespons pertanyaan Gladys adalah Hafshah. Gadis kalem itu menggelengkan kepalanya, dengan wajah tertekuk. "Aku nggak ada. Mungkin nuntasin tugas sekalian nambah hafalan," ucapnya lesu.
Kami berempat termasuk orang yang masih bertahan di musala. Tapi bukan untuk menyetorkan hafalan, melainkan ngerumpi di teras musala sebelum pulang ke asrama.
"Aku sama Dypsi mau ke pasar. Mau nitip sesuatu? Kecuali Culametan ya. Mangganya berapa kilo, Buk?" suara Syahlaa dengan logat sundanya yang khas. Ia menyenggol bahuku yang masih termenung, membuat lamunanku hilang ditiup angin.
"Tadi kalian ngomongin apa?" tanyaku masih bingung. Ketiga orang temanku ini malah menatap dengan sorot heran. Mereka saling berbagi pandangan, sebelum menanyakan ada apa denganku yang dari semalam membisu?
Euh, pertanyaan mereka nggak aneh sih. Selain mungkin khawatir pada keadaanku yang takut kesusupan Mbak Harum, sehabis memanjat pohon mangga. Mungkin juga aneh melihatku yang biasanya berceloteh dan nggak bisa diam tiba-tiba jadi seperti sekarang.
"Kamu ada masalah, Med?" Gladys bertanya, yang kujawab dengan gelengan kepala.
"Trus kenapa diem aja?" Mungkin karena tak tahan dengan sikapku, Hafshah pun ikut bersuara.
Membuat orang khawatir adalah salah satu hal yang paling nggak kusuka. Mereka jadi bertingkah sangat peduli, dan memandangku dengan sorot khawatir—atau lebih pas jika dibilang mengasihani?
Kuhirup udara pelan-pelan. Katanya, oksigen menjelang pagi sangat bagus untuk kesehatan badan. Bersih, belum tercampur asap dan polusi udara lainnya. Meski sebenarnya aku bertanya-tanya, di tengah bangunan yang di kelilingi persawahan seperti ini. Di mana motor pun sangat jarang ditemui, memangnya udara masih bisa terkontaminasi?
Kalau aku bertanya pada Syahlaa, mungkin ia akan menjelaskannya panjang lebar.
Sekali lagi aku menggelengkan kepala, raut wajah yang nampak bengong tadi kuubah menjadi ceria kembali. Memang bukan sifatku bermelow-melow ria. Yang terkenal ceria akan dicap aneh jika tiba-tiba diam bak patung pancoran.
"Nggak ada masalah, Sister-sisterku! Cuma lagi pusing aja dikit."
"Musingin apa sih? Bengongnya kamu tadi serem tau, apalagi ...," Syahlaa menggantung kalimatnya. Ia melirik ke arah ruang kosong di samping kiriku. Tatapan dan kalimatnya cukup memberitahu kami jika ada keberadaan makhluk lain yang tengah berdiri di belakangku. Entah itu Mbak Harum atau bukan, yang jelas bulukudukku jadi merinding.
"Duh, apa sih! Jangan ngeliatin gitu dong!" Aku yang memang tak tahan pada hal-hal mistis, menarik lengan Syahlaa dan Hafshah, bergerak meninggalkan musala.
Jangan bilang aku penakut! Aku sama sekali nggak takut sama mereka. Hanya karena wajahnya saja yang agak di luar normal, membuatku kadang kala merinding sendiri.
"Ada yang kamu pikirin ya, Med?" Gadis yang pantang menyerah, kuacungi Gladys jempol karena rasa khawatirnya yang melebihi ibu-ibu.
Jarak musala dan asrama yang tak terlaku jauh, membawa kami cepat sampai di depan gedung asrama. Beberapa santri terlihat turun, sembari membawa gayung berisi banyak perlengkapan mandi dan handuk di pundak masing-masing.
Aku menyempatkan melirik ke arah antrian kamar mandi yang masih belum terlalu mengular. Di sana, ada beberapa gayung tak bertuan juga yang menggantikan pemiliknya mengantri mandi. Dan pasti dua orang perempuan di depan dan belakang gayung itu adalah salah satu teman seperkumpulannya yang menjaga antrian baris si pemilik gayung. Lucu sih, tapi ini menjadi hal unik yang kutemui saat baru menginjakkan kaki di Darul Akhyar.
"Kemarin," mulaiku berdeham sejenak. "sehabis ngepel toilet cewek. Ustaz Zainal manggil aku."
Perhatian ketiga sahabatku semakin terfokus, menatap tanpa berkedip lantas berucap bersamaan, "Terus?"
Inginnya sih aku bilang, "nabrak" tapi nggak lucu. Kalau nggak ada yang tertawa kan jadi keki sendiri.
"Yah, gitu deh." Gedikan bahuku masih menimbulkan tanya, terlihat dari sorot sepasang mata mereka bertiga. "Biasa sih, orang penting. Ya gimana ya, jadi anak nomor satunya Darul Akhyar itu susah. Mau pensiun aja masih ada yang maksa-maksa ikut lomba. Aku kan jadi pusing. Mau nolak nggak enak, di-iyain tapi mager bimbingan."
"Yeeee, dasar! Bilang aja kalau mau!" sorak mereka serempak. Membuat pecah tawa sepanjang jalan menuju kamar kami.
"Jadi ... kamu diikutin lomba lagi?" Syahlaa mengajukan pertanyaan. Ada getar ragu di nada suaranya. Seolah ada yang tengah ia sembunyikan, tapi aku tak terlalu berani untuk bertanya.
Kepalaku berayun mantap. "Doain aku ya. Nanti kalau menang di babak final, aku mention nama kalian waktu ngasih pidato singkat."
"Nggak usaaaah!"
Kali ini, tawa kami semakin pecah. Membumbung ke langit yang menampakkan semburat kemerahannya di ufuk timur. Bersama mereka, setidaknya badai yang akan datang seolah dapat kuatasi.
***
Yang kuingat dari sekian nasihat Yayah adalah, bagaimana kita menyandarkan segala urusan pada Allah. Menjalankan kegiatan sehari-hari berdasarkan asma Allah. Maka semua pekerjaan insyaallah akan lancar.
Kakiku berhenti tepat di depan pintu kayu tua berwarna coklat usang. Berdiri sejenak di depannya, sembari memikirkan ulang keputusan yang kuambil. Banyak hal yang bergelut di pikiranku, bahkan hanya dengan melihat pintu ini saja perasaanku serasa diaduk-aduk.
Mundur? Nggak mungkin. Melarikan diri bukanlah caraku menyelesaikan masalah. Tapi, mengingat semenjak masuk kembali setelah pandemi hingga sekarang, aku tak mengunjungi ruangan ini sama sekali. Bukankah tindakanku bisa juga disebut pengecut?
"Bismillah." Kugumamkan basmalah sebelum mengambil langkah pertama. Mengenyahkan segala pikiran buruk dan gejolak batin tadi, lantas memegang knop pintu. Belum juga sempurna memutarnya, suara orang-orang dari dalam menghentikan pergerakan tanganku.
Suara-suara yang membuatku terusik setahun belakangan ini.
"Katanya Mbak Med balik lagi?" ucap salah seorang gadis di dalam. Walaupun tak dapat melihat wajahnya, aku masih bisa mengenali suara-suara mereka.
Ya, suara-suara adik tingkatku yang selama ini terus menggaung di kepala.
"Ha? Bukannya dia udah janji nggak bakal ikut lomba apa-apa di kelas 12?" sergah seorang dari mereka lagi.
"Ustaz Zainal yang minta secara pribadi," ketus orang yang lain.
"Yah, kalau gitu nggak ada untungnya dong kita ikut ekskul ini, kalau dia balik lagi."
Aku mulai menggit bibir bawah. Menahan emosi yang merangsek keluar.
"Anak kesayangan kan emang beda!"
Brak!
Niatanku untuk terus memendam amarah hilang diterjang ombak. Inginnya masuk secara baik-baik, malah membuat tegang seisi ruangan. Tak ada yang berani bersuara setelah bantingan pintu barusan. Mereka yang tadinya sangat menikmati menghardikku, nampak terkejut dan langsung menunduk.
Lengang, hanya suara derap setapuku saja yang mengisi kekosongan sekarang.
"Kalau mau ngomongin orang di depannya sini," tantangku begitu sampai di tengah ruangan.
Bola mataku mengedar, memindai satu persatu orang yang tadi sempat membicarakanku di belakang. "Pada kicep semua?"
Sejujurnya, nggak ada emosi dari nada suaraku. Hanya cenderung dingin dan tak bersahabat. Ini pertama kalinya seumur hidup, aku meletupkan amarah di depan umum.
"Ngomong sini kalian. Siapa yang nyolot barusan?" Aku menatap mereka sekali lagi. Masih sama, tak ada yang bergerak, apalagi mengangkat kepalanya.
"Nadiya!" sentakku. Gadis yang tadi begitu luwes memprotes kehadiranku di ruangan ini berjengit. "Angkat wajah kamu!"
Perempuan yang bertahan di tempat duduknya itu makin menunduk. Air mata merembes turun dari kedua pipinya. Rasa bersalah pun turut hadir, menelusuk ke relung hatiku. Namun sayang, amarah yang meletup-letup ini lebih mendominasi.
"Coba ulangin barusan ngomong apa!"
Nadiya terisak. Sementara aku kembali mengedarkan pandangan ke penjuru kelas. Masih dalam keadaan emosi yang menggebu-gebu, aku meneriakkan kekesalanku pada mereka.
"Kalau mau berkompetisi yang sehat dong! Kalau emang kalian belum memenuhi ekspektasi Ustaz Zainal belajar lebih giat! Sandarin semua usaha sama Allah! Berdoa! Bukan nyalahin kemampuan orang lain!" Suaraku memantul. Entah dapat menyadarkan atau malah mereka semakin memupuk benci padaku. Kakiku melangkah menuju pintu kembali. Kali ini tanpa gebrakan. Aku menarap sinis semua anggota ekskul olimp matematika.
"Kalau iri bilang, Bos!"
***
Assalamu'alaikum, Teman².
Ini update malam terus ya. Hihi, maafkan 😅
Btw, sikap Meda mungkin nggak petut ditiru ya. Hehe, sikap adik tingkatnya pun menurutku nggak patut dicontoh. Jadi, silakan ambil yang baik, buang buruknya.
Karena tiap hal pasti ada hitam dan putih.
Dan terakhir, aku mau minta tolong like video ulasan kisah Mahvash-Om Halim-Aariz berikut. Hehe :') Syukron katsiir ❤
.
.
.
Salam sayang, bawelia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top