A - Sarang Pegosip
A - S A R A N G P E G O S I P
***
What? Minyak kelon?
Aku sengaja membuat isyarat itu, sembari melongo histeris. Lucu aja lihat ekspresi Meda yang sudah kesal setengah mati. Gadis itu pun mengulang kalimatnya dengan ekspresi gemas. Beruntung kami berada di gedung berbeda. Kalau tidak, mungkin Meda sudah menggeplak punggungku menggunakan penggarisnya.
Kelas santri putra dan putri tentu terpisah oleh gedung berbeda. Jarak antar gedung nggak terlalu jauh, tapi nggak terlalu dekat juga. Yang jelas, lemparanku yang cukup keras masih bisa terjangkau ke kelas Meda. Posisi Gedung saling membelakangi, dengan jendela dan ventilasi agar udara tetap keluar masuk dengan lancar.
Di tiap kelas juga terdapat gorden, dan memang lebih sering ditutup daripada dibuka. Terutama di gedung santri putri. Jendela dan gorden dibuka hanya saat kerja bakti bersama. Tapi entahlah, gadis itu beberapa kali sering membuka jendela dan gorden di kelasnya. Kemudian ditutup sebelum santri lain masuk.
Kadang aku penasaran, apa yang Meda lakukan. Dia membuka semua gorden dan jendela di kelasnya. Tapi tetap membiarkan jendela dan gorden yang posisinya pas dengan meja gadis itu tertutup rapat. Nggak jarang dalam sekali atau dua kali kesempatan kami bertemu, aku ingin menanyakan hal itu. Namun, Meda bukanlah tipe anak yang terlalu terbuka akan masalah pribadinya.
Ia lebih suka menbelokkan pembicaraan, jadi aku pun tak pernah bertanya. Orang-orang sering salah menganggapku nggak peduli pada masalah sahabat kecilku itu, padahal nyatanya aku selalu ingin tahu. Hanya berusaha menekan ego saja, menunggu Meda sendiri yang bercerita. Toh, kalau lagi kesal dia pasti mencariku.
"Mandangin apa kamu, Nar? Senyam senyum kaya orang kesurupan." Ghufta yang duduk di depanku baru saja meletakkan tasnya. Ia akhirnya ikut menoleh ke arah gedung putri lalu menggeleng maklum. "Gini nih kalau udah kelamaan misah. Kangennya sampai lupa sama larangan Allah."
"Ada apa nih? Kok ribu pagi-pagi?" Azri ikut nimbrung. Entah sejak kapan ia sudah berada di depan pintu kelas. Wajah semringah dan senyum khasnya, menyapa kami satu persatu.
"Teman kamu tuh, Sri. Pagi-pagi udah kangen akhwat sebelah."
Azri mencibir, "Kayak kamu nggak kangen sama anak pindahan aja."
Ghufta memutar bola matanya, nampak tak ingin disinggung masalah teman sekamar Meda. Sementara si Azri menarik kursi di meja sebelah. Lalu ikut bergabung membahas masalah tugasnya yang memusingkan. Topik tadi sudah nggak lagi dibahas, mereka malah sibuk membuka buku masing-masing. Mengerjakan tugas yang belum terselesaikan.
Begitu pun aku. Karena semalam masih sibuk menambah hafalan, satu tugas pun menjadi terbengkalai. Tapi tenang saja. Hanya tiga soal yang belum kuisi. Tugas-tugas lain sudah kucicil jauh-jauh hari supaya nggak pusing di hari pengumpulan.
Kunci sehat ala aku: jangan membuat diri sampai stres. Perbanyak bersyukur dan nikmati hidup tiap detiknya.
"Nar, nomor lima sudah selesai?"
Aku mengangguk, lantas menjawab lewat sebuah kertas. "Sudah."
"Wih, mantap. Coba lihat pendapat kamu dong."
Kursi Ghufta diubah posisinya menghadap ke arah mejaku. Ia membaca sederet kalimat yang kutulis, sembari sedikit bertukar pikiran. Kami nggak sadar, kalau ada Azri yang sama-sama kebingungan tengah menekuk bibir sambil menatap kami dengan sorot terluka.
"Memang kalau ngumpul sama kalian pas ngerjain tugas gini, aku merasa teranaktirikan," dumelnya tapi tetap bergerak menghitung soal fisika tentang kuat arus.
"Sabar, Sri. Yang penting kita tetap kaya iklan Honda. "
Kami bertiga kompak tertawa keras, karena belum ada santri lain kupikir nggak ada yang bakal keganggu.
Eh, lupa kalau ada tetangga sebelah yang mendengar keributan kami.
"BERISIIIK! Pagi-pagi udah bikin polusi suara tau!"
***
"Syukron, Binar. Semuanya sudah ngumpulin?" Ustaz Zainal menghitung jumlah buku tugas yang baru saja kuletakkan di mejanya.
Kujawab pertanyaan beliau dengan anggukan kecil, lantas meninggalkan ruangan setelah dipersilakan. Sementara Ghufta sudah menunggu di depan ruang asatid, dan Azri yang masih berdiri di samping meja salah satu asatid. Saat aku melintas di depannya, Azri berbisik memanggil.
"Nar, tunggu aku di depan juga ya, ke aula bareng," katanya.
Setelah ini, kami memang masih ada rapat OSIS, sepuluh sampai lima belas menit. Pembahasan masih sama saja, seputar event Ekskul Exhibition yang sebentar lagi akan diselenggarakan. Dalam beberapa kali kesempatan, anak OSIS diberi kebebasan keluar masuk pesantren untuk mencari sponsor. Namun, tetap dengan prosedur yang jelas dan pengawasan yang ketat.
Banyak yang menantikan acara tahunan ini. Selain menarik minat santri untuk bergabung dengan salah satu ekstra kurikuler, acara Ekskul Exhibition juga selalu dimuat di majalah pesantren. Yang tentunya, akan semakin meningkatkan ketertarikan calon-calon santri baru di luar sana agar masuk ke Darul Akhyar.
Kalau dipikir-pikir, santri olimp matematika nggak ikut di acara tahun kemarin. Meda juga nggak kelihatan batang hidungnya saat acara berlangsung. Aku dengar, dua anggota olimp matematika punya masalah. Namun, aku nggak pernah tahu dengan jelas apakah santri yang dimaksud adalah Meda atau bukan.
Sama seperti alasanku sebelumnya, Meda nggak pernah menceritakan masalah pribadinya. Dan aku pun tak punya hak untuk memaksa dia bercerita.
Sepenasaran apa pun, aku berusaha menekan keingintahuan.
"Afwan lama."
"Lama banget," balas Ghufta yang nampak tak sabaran.
Kami berjalan menuju aula. Sembari mendengarkan Azri dan Ghufta yang masih berdebat hal nggak penting, aku melirik sekilas ke arah gedung santri putri. Berharap menemukan Meda di kerumunan anak-anak berjilbab putih di sana. Tapi, nggak ada. Ia mungkin sudah pergi ke kantin, mengisi perutnya sampai kenyang dengan pempek. Makanan favorit kedua Meda setelah rujak.
Hafal ya sampai makanan favoritnya? Pasti, lah. Kami sudah bersama dari usia enam tahun, semua hal tentang Meda seperti buku catatan yang kupegang ini. Tertulis dan tersimpan rapi di rak memori.
"Aduh, males banget ada santri putri di sini," keluh Azri. Ia sedikit mempercepat langkah kakinya, begitu pun dengan Ghufta. Mereka berdua hampir seperti berlari, meninggalkan aku sendirian di belakang.
Di depan aula memang terdapat taman yang kadang dikuasai oleh santri putri. Seperti sekarang contohnya, tiga orang santri putri yang kuketahui anak kelas 11, membicarakan sesuatu dengan berapi-api.
Yang satu menangis, satu yang lain menghibur. Aku bukan berniat menguping. Namun saat nama Meda disebut, radarku mengarah ke tiga santri tadi.
"Sumpah, dia tuh ngeselin banget! Sok jago, sok berkuasa!" kata santri yang menangis.
Sedangkan gadis yang berapi-api tadi melipat kedua tangannya di depan dada. "Emangnya si Meda itu nggak nyadar apa? Padahal udah kucorat coret juga bangkunya! Masih belagu aja dia!"
Tanpa sadar aku mengepalkan tangan. Bagaimana rasanya mendengar sahabat sendiri diomongin di belakang? Panas. Mereka pikir aku tuli dan bisu, ya memang sedari bayi aku nggak bisa mendengar suara. Mama bilang, aku baru tertawa ketika berumur 6 bulan. Setelah dokter memberikan alat bantu dengar khusus. Papa juga mengatakan jika saat kecil, aku pernah mendapatkan operasi di bagian telinga. Katanya sih memasangkan alat buatan yang disebut implan koklea. Namun, aku masih menggunakan ABD sama seperti sekarang untuk mendengar lebih jelas suara yang masuk.
Tapi fungsi ABD hanya sebatas itu saja, mengeraskan suara. Berbeda dengan implan koklea yang dapat membantu syaraf di rumah siput mengantarkan informasi suara ke otak. Walau sebenarnya, itu nggak penting. Aku hanya ingin mengatakan jika sedari balita, aku nggak lagi tuli, meski masih harus menggunakan alat bantu dengar. Dan di umur delapan tahun, aku nggak lagi bisu. Berkat petunjuk Allah, aku menjalani terapi bicara hingga bisa mengobrol seperti orang-orang pada umumnya.
"Tau tuh. Mana dia kegenitan lagi sama cowok-cowok. Sama Ustaz Fahri, sama Arfi, sama Marco. Bahkan sama Kak Binar juga. Nggak punya harga diri kayanya."
"Bener-bener si Cabe itu—!"
Prank!
Aku menggebrak papan yang terbuat dari seng di sebelah gazebo. Membuat ketiganya berjengit karena terkejut. Kemudian menoleh dengan gerakan lamban ke arahku, yang sudah setengah terbakar amarah.
"Siapa yang kalian bilang cabe?" suaraku, sangat dingin. Untuk pertama kalinya, aku menunjukkan suara pada orang lain. Selama ini, aku mengeluarkan suara hanya jika bersama Ghufta dan Azri saja di kamar asrama. Serta pada ustaz saat menyetor hafalan. Kira-kira enam orang yang baru mengetahui, kalau aku bisa berbicara.
Nggak disangka, demi Meda aku malah melupakan tujuan awal untuk tetap berpura-pura bisu.
"Sudah puas bergosipnya?" Mereka nggak menjawab, hanya terpaku dengan mimik takut. Sedangkan aku paling nggak tahan mengintimidasi perempuan. Jadi kubuka jalan menuju aula. Salah satu dari mereka juga anggota OSIS, tapi satu anak adalah anggota olimp matematika—kalau aku nggak salah ingat, dia dulu sangat nempel pada Meda.
Nadiya, gumamku dalam hati membaca name tag di jilbabnya.
"Masuk, tempat ini bukan sarang pegosip."
"I-iya, Kak," jawab salah satu dari mereka lantas berlari menuju aula.
Aku sendiri masih bertahan, lebih tepatnya memberi sinyal peringatan pada anak yang bernama Nadiya. Tanpa kata-kata, aku meninggalkan kedua anak perempuan itu dengan wajah terpaku. Syok? Atau apalah, aku nggak terlalu peduli.
***
Assalamualaikum :")
Minggu ke mana? Kok ga update? Itu, minggu aku ada halangan 😂 Maafkan ya.
Double up? Insyaallah. :') Doakan semoga kepalaku ga muter2 trus. Hehe.
Syukron katsiir yang sudah mampir 🙏 Nantikan next cerita Meda ya. ❤
.
.
.
Salam kangen, bawelia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top