A - Manjat Lagi

A - M A N J A T L A G I

***

Aku melangkah hati-hati,  berharap siapa pun tak bisa menemukanku di dalam sini. Bahkan Ustazah Windy sekali pun. Atau anak-anak Geng Micin. Tidak setelah aku membuat masalah baru, yang mengharuskanku untuk meminta maaf pada orang yang seharusnya meminta ampunan dariku.

Hadeh.

Sehabis keluar dengan keren dari ruang club matematika, Arfi sempat menahan langkahku. Anak laki-laki kurus berkulit sao matang yang berasal dari Madura itu, menampilkan wajah bersalah. Kedua matanya tak berani menatapku, ia malah berbicara sambil menunduk. Meminta maaf atas sikap teman-temannya yang tak sopan.

"Memangnya itu salahmu, Fi?" Dari deretan anak olimp matematika, hanya Arfi dan Marco saja yang berada di pihakku. Sementara lainnya? Entah terkena hasutan dari setan mana yang berani menginjakkan kaki di penjara suci ini. Mereka mulai berulah ketika aku berada di kelas 11 semester awal. Tepatnya, sesaat setelah kejadian yang cukup membuat Darul Akhyar heboh.

"B-bukan, Kak. Aku cuma—"

"Nggak kan?" potongku. "Jangan merasa bertanggung jawab, Fi. Yang salah harusnya berani minta maaf. Kalau dibiarin terus kaya gitu, nggak bakalan dia sadar."

Arfi semakin menunduk, mentap ujung-ujung sepatu yang ia kenakan kurasa. Walaupun baru mengenalnya selama dua tahun, dan kami hanya sering berbicara saat kegiatan ekstra. Tapi, Arfi nggak pernah menunjukkan tanda-tanda pengkhianatan. Marco pun sama. Mereka berdua polos, bukan bego ya. Karena keduanya sama-sama pintar dan cerdas di bidang yang kusuka ini.

Maaf, maaf saja. Aku memang bukan tipe yang suka jaim, atau bisa mengontrol kata-kata. Kadang kala, kalimat menyakitkan bisa keluar dari mulutku. Meluncur begitu saja kayak ingus. Kalau bisa mengelak sih, aku tipe orang yang bicara apa adanya. Kalau kata anak Geng Micin ya sebaliknya. Mereka menganggapku anak yang ceplas ceplos. Mengutarakan apa yang di pikirkan, tanpa tahu perasaan orang.

Oh, big no. Dikira aku nggak punya hati. Padahal kadang kala aku juga ngerasa nggak nyaman dan terus kepikiran.

Balik lagi ke masalah Arfi yang tadi menahan jalanku. Dia nggak berani lagi mengeluarkan sebuah kalimat. Yang Arfi lakukan hanya menunduk, hingga aku mengembuskan napas pasrah. Menghadapi yang polos-polos gini kadang nggak tega.

"Dengar ini, Fi. Aku nggak perlu minta maaf dari kamu. Aku tau rasanya ada di posisi kamu dan Marco. Kalian nggak salah, malah memang lebih baik diam seperti itu. Seandainya kalian turut membela, malah aku yang nggak enak. Gimana kalau sampai kalian ditindas juga?" Perlu digaris bawahi, mau di mana pun tempat kalian. Di tempat paling aman pun, paling oke, atau malah tempat paling buruk sekalian. Hal-hal semacam perundungan dan lain-lain pasti akan ditemui. Jadi, kitalah yang harus mawas diri. Jangan pernah merasa tinggi, jangan memandang orang lain rendah. Toh, kita nggak tahu mereka punya kelebihan apa. Ingat juga, balasan karena perbutan keji itu nyata adanya. Allah nggak tidur, Allah Maha Melihat.

"Balik gih, aku mau ketemu Ustaz Zainal dulu. Mau minta bimbingan khusus di perpus besok."

"Boleh ikut, Kak?"

"Boleh dong. Ajak Marco saja sekalian ya?"

Arfi mengangguk patuh. Ia kemudian mengulurkan buku catatan beserta pulpen yang biasanya disimpan di kantung bajunya. Hanya dua adik tingkat ini, dan anak Geng Micin saja yang tahu kebiasaan usilku. Bedanya adalah, Geng Micin paling malas saat aku mengerjai mereka menggunakan ini. Sementara Marco dan Arfi malah sebaliknya. Mereka berdua sangat antusias.

Aku terkekeh geli sebelum menerima buku dan pulpen milik Arfi. Di halaman yang masih bersih, kugambar segitiga bersudut 90 derajat. Masih ingat kan kalian jenis segitiga apakah ini?

"Misalkan pintu masuk adalah sudut B, rak artikel penelitian adalah sudut C, dan tempat meja yang akan aku duduki ini sudut A." Jemariku menari lincah, menuliskan angka-angka tanpa disertai mual atau pening seperti gejala anak-anak yang anti terhadap matematika.

"Jarak dari pintu masuk ke rak artikel penelitian, memiliki panjang 24 langkah. Sementara sudut B: 90° dan sudut A: 30°. Carilah panjang jarak dari pintu ke tempat dudukku ini. Paham kan?"

Senyum semringah terbit di bibir Arfi. Wajahnya nampak cerah, dihiasi binar dari bola mata hitam yang sedikit terhalangi poninya. Masih menunduk, tak memandang wajahku sama sekali, Arfi berucap dengan semangat. "Sudah paham, Kak!"

"Mantul lah!" Aku terkikik kecil.

Namun, keceriaanku nggak bertahan lama. Sebab, setelah memberikan Arfi soal. Marco datang menghampiri kami dengan tergopoh-gopoh. Ia mengabarkan, jika Nadiya mengadukan kejadian barusan pada Ustazah Windy. Sembari membawa beberapa saksi mata, ia membumbui cerita pilunya agar terdengar lebih dramatis.

Jadi, di sinilah aku sekarang. Menyembunyikan diri setelah mengambil langkah seribu. Duduk di belakang baju-baju penghuni kamar Rufaida, sembari menguap karena mengantuk. Nggak berselang sedetik, aku sudah tertidur nyaman. Berkelana ke alam mimpi tanpa ada gangguan.

Lalu, orang-orang yang menemukanku di dalam lemari pakaian kamar Rufaida adalah Geng Micin yang menyerukan namaku bersamaan.

"Astagfirullahal adzim, Medaaa!"

Kepalaku menoleh lamban ke kanan dan kiri, menetralkan cahaya yang masuk menabrak irisku. Dengan nyawa yang baru terkumpul setengah, aku bertanya polos pada mereka.

"Sudah pagi ya, Manteman?"

***

"Mbak Harum nongol."

"WHAT?" pekikku nggak tanggung-tanggung.

Yang benar sajalah, ini sudah keberapa kalinya sih Mbak Harum.muncul dalam seminggu ini? Nggak bisa apa ya kalau sehari aja nggak narsis?

Aku mempercepat langkah kaki, memastikan di mana Mbak Harum tadi muncul. "Di mana?"

"Di samping kamu tadi, makanya aku nyuruh kamu turun."

Badanku reflek bergidik. Mendadak rambut-rambut halus di tanganku bangun. Semenjak SMP, cerita tentang Mbak Harum memang menjadi rumor nomor satu di Darul Akhyar. Walaupun aku nggak terlalu tahu detail bagaimana santri putri yang diceritakan meninggal di pondok pesantren ini, karena banyaknya versi cerita dari para senior dulu.

"Amit-amit deh. Pengennya berdampingan sama oppa-oppa di pelaminan, eh malah berdampingan sama Mbak Harum di pohon mangga," tandasku mengundang tawa kecil dari Syahlaa dan Gladys.

Setelah menemukanku di dalam lemari. Mereka bertiga—bersama Ustazah Windy dan gus cilik menyeretku untuk mendengarkan rencana memanjat pohon mangga tadi. Kabar baiknya, nampaknya Ustazah Windy nggak terlalu peduli pada cerira Nadiya yang dibuat-buat. Kabar buruknya, aku kembali dijadikan umpan untuk memanjat pohon mangga.

Mantaps.

Akhir cerita, aku menyetujui usulan mereka. Beruntung matahari tak terlalu panas, dan rencana mereka benar-benar berjalan mulus. Hanya saja aku yang sedikit menderita karena digigiti semut.

Meski sedikit terganggu. Aku nggak terlalu kesal-kesal amat. Sebab, mungkin inilah tanda jika aku memanglah anak yang manis.

Ihiw.

Misi kami sukses. Mangga kudapat, hukuman pun lewat. Setelah mencuci bahan-bahan rujak dan mulai meracik bumbu. Obrolan mereka di meja itu berganti dengan kepulangan Gus Nuril, Si Gus tampan kesayangan Bu Nyai. Kalau ini sih bukan lagi rumor, malah jadi tranding topic nya Darul Akhyar.

Di angkatanku yang mulai masuk pondok dari zaman SMP, siapa yang tidak tahu dan terpana pada pesona Gus Nuril? Jika Gus Nuril lewat di depan gedung santri putri, mata mana yang rela berkedip? Nggak ada yang mau melewatkan momen langka bertemu dengan sosok gus yang satu itu.

Terkecuali aku sih. Sampai meminta Geng Micin membuat tagar baru, #MSGAntiGusNuril. "Pokoknya kita jangan kaya santri putri lain yang dikit-dikit baper, dikit-dikit demen. MSG itu high class, jual mahal lah," ucapku yang ditanggapi cibiran oleh Ustazah Windy.

Aku nggak terlalu banyak nimbrung di obrolan mereka. Apa lagi, ketika kaum hawa ini membanding-bandingkan antara Gus Nuril dan anak kyai lainnya. Termasuk Gus Emil—Suami Ustazah Windy.

Di tengah keasikan sesepuh MSG itu berceloteh. Bola mataku sudah menangkap bayang-bayang seseorang di ambang pintu. Mangga yang tadinya terasa nyaman di lidah, berubah sepahit pil dari dokter.

Posisi dudukku bergeser. Sementara Syahlaa, Gladys dan Hafshah sudah menunduk dan membisu. Ini mau kabur ngajak mereka, kasian sama Ustazah Windy. Tapi kalau nggak segera kabur, pasti kena batunya juga.

Tatapan laser Gus Emil di balik tubuh Ustazah Windy mampu membuat kami bergidik ngeri. Ditambah, suara dinginnya yang berkata. "Siapa yang kamu bilang versi tua, Dek?"

Semua membeku. Termasuk Ustazah Windy yang tadinya masih berceloteh ria. Hanya satu orang yang mampu menyapa Gus Emil dengan senyum semringah sekarang ini. Wajah polos dan tanpa dosanya itu, malah tersenyum lebar ke arah pamannya.

"Kholi Emil!"

Mampus dah kita!

***

Assalamu'alaikum!  ❤

Meda alhamdulillah bisa kembali hadir di hari minggu. Hehe

Yang masih inget rumus matematika di atas siapa hayoo. Wkwk. Tebak deh, itu pake rumus. Apa 😂

Wkwk, dariku cukup sekian malam ini. ❤ Karena sudah terlalu malam kalian harus tidur. Asal jangan tidur di dalam lemari aja kaya Meda. Wkwk

.
.
.

Salam sayang, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top