Pertemuan pertama

"Awaaas!!!"

Sebuah teriakan tiba-tiba terdengar diiringi suara dentuman hebat pertanda kerasnya dua benda yang saling bertabrakan, membuat suasana malam semakin mencekam di jalanan yang menurun. Gerimis terlihat semakin intens seakan menyenandungkan duka atas kejadian yang terjadi cukup cepat barusan.

Hening sesaat setelah kejadian tak terelakkan. Mobil yang ringsek serta mulai mengeluarkan kepulan asap,  membuat beberapa warga yang melihat kejadian dengan sigap memberi pertolongan pertama dan segera menghubungi pihak berwajib.

Sementara terlihat korban sepasang suami istri yang nampak tertelungkup tak berdaya dengan mata terpejam serta cairan merah segar yang terlihat mengalir dari beberapa bagian tubuhnya menandakan luka yang mereka alami cukup serius. Mereka berusaha menyelamatkan satu per satu korban agar bisa segera keluar dari mobil yang tidak lagi utuh.

"Masih ada anak kecil di belakang!" Seorang pemuda berteriak berusaha membuka pintu jok penumpang belakang ketika dua korban sebelumnya telah berhasil dievakuasi.

***

"Maaf, Pak. Dengan berat hati saya sampaikan jika korban atas nama Bapak Evan tidak bisa diselamatkan." Seorang dokter terlihat menunduk penuh penyesalan setelah berusaha menyelamatkan nyawa korban kecelakaan yang dibawa ke IGD satu jam yang lalu. Mendengar ucapan sang dokter, seorang pria baya di depannya terlihat mundur satu langkah dengan raut cukup terkejut. Ia tak menyangka anaknya akan pergi secepat ini.

"Lalu, anak saya? Bagaimana dengan anak saya?" Seorang pria baya tergopoh dari kursi tunggu mendekat ke arah dokter yang memberi kabar.

"Maaf, Pak. Kami menyesal, korban atas nama Bu Nadia juga tidak bisa kami selamatkan. Hanya anak kecil yang bersama mereka yang selamat karena terlindung oleh boneka besar yang ada dipelukannya sewaktu kejadian. Dia hanya mengalami syok serta luka ringan akibat goresan pecahan kaca, namun sementara perlu istirahat." Dokter kembali menjelaskan.

Tidak ada pembahasan apa pun lagi mengenai bocah laki-laki itu. Hingga pemakaman selesai dilakukan, bocah itu tetap sendiri, meski salah satu dari keluarga kedua pria baya itu terpaksa mengambil alih biaya perawatannya. Hanya sekedar itu, tidak ada yang mau merawatnya sebagai keluarga.

Nataya Bintang Wishaka, bocah berumur tujuh tahun itu harus kehilangan orang tuanya karena kecelakaan mengerikan. Tidak ada keluarga lain yang menginginkan keberadaannya kecuali Evan dan Nadia selaku orang tua kandungnya.

Pernikahan Evan dan Nadia yang selama ini ditentang oleh seluruh keluarga, membuat Bintang menjadi sebatang kara karena tak ada keluarga yang mau menerima serta merawatnya. Hingga sebuah keputusan diambil keluarga orang tuanya dengan menitipkan Bintang ke sebuah panti asuhan milik keluarga mereka.

***

"Bintang, maafin Tante ya. Tante nggak bisa ajak Bintang pulang. Nanti, Tante akan sering jenguk Bintang di sini. Bintang jangan benci Tante ya? Tante terpaksa nglakuin ini demi kebaikan semua." Seorang yang baru saja dikenal Bintang sebagai Tante dari pihak mamanya menepuk pelan pundak Bintang setelah sesaat lalu terlihat bicara serius dengan seorang wanita paruh baya dalam ruangan di depan mereka.

Si Bintang kecil hanya memberikan anggukan tanpa menjawab sedikitpun, hingga akhirnya wanita muda yang sedikit mirip ibunya itu pergi dan mungkin tidak akan pernah datang menemuinya lagi.

"Sekarang Bintang tinggal di sini sama Bunda Isma, nanti Bunda kenalin Bintang sama temen-temen di sini. Bintang pasti akan punya banyak teman nanti." Bunda Isma menuntun Bintang yang masih memeluk boneka berbentuk mobil merah besar satu-satunya kenangan terakhir bersama orang tuanya memasuki panti lebih dalam dengan sebelah tangan yang menenteng ransel kecil berisi data diri serta perlengkapan anak itu.

***

"Aduh!" teriak gadis berkepang dua yang nampak telah terduduk di lantai dengan tangan di belakang mencoba menahan tubuhnya.

Langkah Bintang berhenti ketika seorang gadis kecil menabraknya dari samping.

"Hati-hati, Sayang. Asa nggak apa-apa?" Bunda Isma berjongkok membantu gadis kecil yang ia panggil Asa berdiri serta melihat apakah terdapat luka pada tangan dan kaki anak itu.

"Asa enggak apa-apa, Bunda. Asa buru-buru." Gadis itu menunduk ketika tidak sengaja matanya melirik pada Bintang yang diam berdiri serta menatapnya dalam.

"Lain kali lebih hati-hati ya, nanti Asa bisa terluka kalo lari-larian," kemudian Bu Isma melihat sekilas pada Bintang dan beralih kembali melihat Asa,"Asa, ini Bintang. Asa minta maaf terus kenalan sama Bintang. Mulai hari ini, Bintang akan tinggal di sini sama kita."

"Asa minta maaf," Asa mengulurkan tangannya serta memberikan cengiran yang memperlihatkan satu gigi depannnya yang ompong, "Aku Asa."

"Aku .... Bintang." Bintang balas menjabat tangan Asa dan menperkenalkan dirinya. Asa kemudian menyambutnya dengan sangat antusias, menarik Bintang dan memperkenalkan pada satu per satu penghuni panti. Asa yang ceria membuat Bintang tidak lagi merasa kesepian. Gadis yang hanya terpaut setahun lebih muda dari Bintang itu terlihat bersemangat membawa Bintang berkeliling.

"Bintang ... Asa boleh nanya? Kenapa Bintang bisa di sini?" tanya Asa pada Bintang saat mereka duduk bermain di ayunan setelah Asa selesai membawanya berkeliling panti.

"Papa sama Mama Bintang udah meninggal. Tante bilang, Bintang enggak bisa pulang. Tapi, Bintang tau kalo mereka enggak mau ada Bintang di sana. Kakek selalu marah setiap liat Bintang." Bintang menunduk ketika mengingat bagaimana perlakuan pria tua yang diperkenalkan oleh sang tante sebagai kakeknya setiap melihat keberadaan Bintang.

"Wah, Bintang ada papa mama. Asa malah enggak punya. Enggak pernah lihat juga. Kata Bunda, Asa cuma punya kalung ini aja waktu masih bayi. Jadi Bunda bisa tau nama Asa, Davedya Ae ... Aele .... Aeleasha. Ah, nama Asa susah." Usianya baru enam tahun, tapi ia tahu jika ia punya orang tua, ia tidak akan berada di sini. Asa menyentuh kalung berliontinkan namanya, seraya mencoba melafalkan nama lengkapnya, hingga sesaat kemudian ia tertawa ketika merasa sedikit kesulitan mengeja namanya sendiri.

"Enggak apa-apa, Bintang. Ada Asa sama temen-temen yang temenin Bintang. Mulai sekarang Bintang jadi temennya Asa." Asa tersenyum manis ketika mengatakannya.

"Asa sama Bintang, selamanya. Jangan tinggalin Bintang ya. Bintang janji selalu sama-sama Asa." Janji Bintang dengan menjulurkan jari kelingking kanan yang ditautkan dengan kelingking mungil milik Asa. Sebuah janji masa kecil yang mereka ucapkan.

***

"Bintang enggak akan tinggalin Asa, kan?" Pertanyaan itulah yang beberapa kali Asa ucapkan pada Bintang ketika beberapa orang hendak mengadopsi salah satu dari mereka.

Sejak perjanjian itu, semua sikap dan ketulusan Asa membuat Bintang pertama kali merasa ada orang yang menginginkan keberadaannya selain papa dan mamanya. Sejak saat itu pula, keduanya semakin dekat dan tidak terpisahkan. Bintang dititipkan di panti asuhan milik keluarga sang mama, itu berarti ia tidak akan meninggalkan panti hingga keluarganya sendiri yang menjemput dan bagi Bintang hal itu tidak akan terjadi karena keluarga papa mamanya telah menolak kehadirannya sejak awal.

"Bintang mau di sini aja sama Asa."

Hingga beberapa tahun berlalu, Asa dan Bintang tumbuh bersama. Tanpa mereka tau jika sebuah pertemuan selalu beriringan dengan perpisahan, hanya tinggal menunggu waktu saja.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top